Cerita dewasa: Menikmati memek ibu mertua temanku

Author:

SAYA sudah menikah dan sudah punya satu orang anak yang berumur dua tahun. Sekarang saya berumur dua puluh tujuh tahun. Saya menikah muda pada umur dua puluh lima tahun, istri saya dua puluh dua tahun. Sekarang istri saya berumur duapuluhempat tahun. Orangnya pendek, tetapi teteknya besar.

Ia cukup pandai mengelola seks, sehingga setiap bersanggama dengannya saya selalu dibikinnya puas. Akan tetapi, kenapa saya sampai berselingkuh?

Inilah kisah saya…

Saya punya seorang teman kerja di pabrik. Setiap pulang kerja, ia selalu ikut sepeda motor saya. Sudah pasti saya akan mengantarnya sampai di rumah, tidak mungkin menurunkannya di tengah jalan.

Sesampai di rumahnya, atau lebih tepat di kontrakannya, saya tidak buru-buru pulang, karena ibu mertua teman saya ini cukup kreatif orangnya, seolah-olah menunggu kami pulang kerja.

Duduk sebentar pasti dua gelas kopi dan kue dibawa keluar oleh ibu mertua teman saya ini ke tempat duduk kami. Selalu begitu, setiap sore, hingga saya menjadi akrab dengan ibu mertuanya.

Saya perkirakan ibu mertua teman saya ini belum limapuluh tahun. Wajahnya kelihatan masih cukup segar walaupun payudaranya sudah turun. Kelihatan kalau ia tidak memakai BH, dan ia anggap itu biasa-biasa saja, karena terkadang ia juga ikut nimbung ngobrol dengan saya dan Farhad tanpa memakai BH.

Pada suatu hari Farhad tidak masuk kerja. Entah kenapa, karena ia tidak memberitahukan pada saya, dan hari itu saya juga tidak sempat menelepon Farhad karena saya sibuk dan sewaktu Nina, teman kerja Farhad datang menitipkan uang arisan Farhad pada saya, saya baru sadar dan kemudian pulang kerja saya antar uang arisan itu ke kontrakan Farhad.
“Farhad pulang…” kata ibu mertuanya keluar menemui saya. “Ibunya sakit, maka itu ia ajak bininya pulang sekalian.”

“O… ya, sudah kalau gitu, Bu…” kata saya menyodorkan amplop berwarna coklat pada ibu mertua Farhad. “Ini uang arisan Farhad, Farhad yang dapat…”

Setelah ibu mertua Farhad

mengambil amplop uang arisan Farhad, saya berkata padanya, “Saya langsung pulang ya, Bu…”

“Duduk dulu…” kata ibu mertua Farhad menarik tangan saya. Entah kenapa darah saya berdesir merasakan kehangatan tangan ibu mertua Farhad di tangan saya. “Ibu punya singkong rebus yang enaaa…aakkkk… banget… ayo, masuk…” ajaknya.

Sayapun melepaskan sepatu saya ikut ibu mertua Farhad masuk ke rumah. Mula-mula saya duduk di depan pintu bersandar di dinding saat menikmati kopi panas dan singkong rebus. Tapi sambil menikmati kopi panas dan singkong rebus, ibu mertua Farhad yang duduk di depan saya ngobrol seolah-olah pandangan mata saya tidak mau lepas darinya, sehingga saya begitu sering melirik ibu mertua Farhad sambil berkhayal kalau tubuhnya itu bisa saya peluk dan saya kencani.

Mungkin sudah jodoh saya, tiba-tiba hujan deras. Lalu ibu mertua Farhad bangun dari duduknya menutup pintu karena air hujan masuk ke rumah.

“Sepeda motormu di luar gak apa-apa, Kib…?” tanyanya.

“Nggak papa Bu, sudah sering kehujanan kok…” jawab saya.

Setelah itu ia berbaring di tikar. Ia memegang handphonenya dan pada saat yang sama saya bisa melihat di ujung celana legging ketat yang dipakainya terdapat bongkahan padat yang cukup montok.

Saya tidak ngomong posisinya berbaring seperti itu ia memancing saya. Tidak!

“Bongkahan di paha Ibu masih montok gitu, masih haid ya, Ibu…?” tanya saya berani.

“He.. he…” ia tertawa sambil satu tangannya ia letakkan dibongkahannya itu dan dielus-elusnya membuat saya semakin horny saja. “Masih, tapi sudah gak lancar…”

“Berarti Ibu masih bisa hamil, dong…”

“Apa kata dunia?” jawabnya. “…sudah 48 tahun masih hamil… ha.. haa…”

“Maksud saya, kalau Ibu masih bisa hamil, kita buat anak untuk Farhad…”

“Uhhhmm… nanti memek ibu robek dimasuki kontol kamu… sudah berapa tahun Ibu nggak bersebadan sama suami…”

“Kenapa Bu…”

“Bapak itu punya penyakit gula yang sudah parah… kalau Ibu nggak jaga makanannya, ia sudah suntik insulin…”

“O…”

“Sudah

ah, jangan ngomong-ngomong gituan…”

Saat ia menjauhkan tangannya, sayapun menyusupkan kepala saya ke pahanya dan mencium bongkahan daging di selangkangannya itu.

“Mmmm… Akib… oohhh…” rintihnya menjulurkan tangan mencengkeram rambut saya. “Kenapa sih pengen ngentot Ibu, apa istrimu nggak pernah memberikan padamu…?”

Bau gundukannya itu membuat saya tidak sanggup lagi menjawab ibu mertua Farhad. Saya lumat gundukannya itu dengan mulut dan hidung.

“Ahhh… ahh.. ahh…” rintihnya. “Sudah, kalau kamu mau beneran, Ibu lepaskan celana…”

“Ibu rela…?” tanya saya.

“Tapi jangan sampe kesebar di luar, ya…” jawabnya sambil berbaring ia melepaskan celana lenggingnya bersama celana dalamnya.

Saya juga melepaskan pakaian saya. Setelah saya telanjang, saya melepaskan kaos dan BH-nya hingga kita sama-sama telanjang, saya memeluknya, saya mencium bibirnya.

“Ohhh… mmmh… oohhh…” desahnya memberikan teteknya yang lembut kenyal itu saya remas-remas kiri dan kanan sambil saya menggeluti bibirnya.

Saya tidak memikirkan lagi ia lebih tua dari saya sampai duapuluhsatu tahun dan ia layak menjadi ibu saya, malah saya kencani.

Dari bibir, saya mencium dan menjilat lehernya, sementara 2 jari saya menusuk lubang pe-mpeknya yang kering. Setelah itu saya rogoh rahimnya.

“Aaaaahhhh….” ia mengerang sampai kepalanya mendongak.

Saya hisap puting teteknya membuat ia semakin mengerang, tetapi sewaktu saya keluarkan jari saya dari lubang pe-mpeknya, jari saya jadi bau amis.

Sungguh bau, seperti bau terasi.

Saya tidak mau menunggu lama lagi. Saya segera memasang penis saya yang tegang di depan lubang pe-mpeknya. Lantas saya pun mendorong penis saya yang keras itu, srrett… srreett… sreett… seret lubang itu, saya tidak berani dorong terus, saya ayunkan penis saya maju-mundur seolah penis saya membuka jalan di lorong sempit itu, hingga akhirnya penis saya terkubur di dalam lubang pe-mpek ibu mertua Farhad.

Saya mendiamkan penis saya sejenak sambil saya mencium bibirnya, baru kemudian pelan-pelan saya menaik penis saya ke belakang, lalu memasukkannya lagi. Demikian seterusnya, bertubi-tubi, kemudian semakin cepat

sehingga penis saya yang tergesek dinding pe-mpek yang agak menggerinjel itu rasanya sangat nikmat.

tak ayal lagi, beberapa menit kemudian saya pun mengejang. Saya mencium bibir ibu mertua Farhad sambil saya loncrotkan sperma saya yang kental hangat itu di dalam pe-mpeknya.

Crroott… crroott… crroott..

“Ahhh…” desahnya.

“Nikmat…?”

“Iya…” jawabnya pelan.

“Mau sekali lagi…?”

Ibu mertua Farhad memeluk saya erat-erat. Entah sampai kapan ia baru akan melepaskan saya karena sampai hari ini kami masih melakukannya.