Cerita dewasa: Aku menghamili kakak ipar temanku

Author:

Hubunganku dengan keluarga Jupri sangat akrab. Jupri tinggal menumpang di rumah kakak lelakinya, Mas Wandi. Mas Wandi sudah menganggap aku seperti adiknya sendiri. Aku sering menginap di tempat Mas Wandi, demikian pula sebaliknya Jupri sering menginap di rumahku. Jadi sudah tidak ada kecanggungan sama sekali di antara kami.

Mas Wandi orangnya agak pendiam, kebalikan dengan mbak titin, istri Mas Wandi, yang sangat bersahabat.

Ramah, murah senyum dan lesung pipit selalu menghias pipinya. Diam-diam aku mengidolakan Mbak Titin, kalau punya istri aku ingin yang seperti Mbak Titin.

Mereka belum dikaruniai momongan sampai saat itu.

Pagi itu aku ke tempat Jupri untuk mengajaknya main badminton. Aku masukkan Honda kesayanganku ke halaman rumah Mas Wandi. Mbak Titin yang menyambutku di pintu sambil tersenyum.

“Jupri ada, Mbak… ?” tanyaku.

“Wah dia barusan pulang ke kampung, kemarin sore di telepon ibu disuruh pulang. Kamu janjian sama dia, ya..?”

“Nggak Mbak, cuman mau ngajakin main badminton aja…! Ya sudah Mbak, aku pulang aja…” kataku.

Aku sudah hendak menstarter sepeda motorku lagi.

“Eeh… Han, jangan pergi dulu…! Bantu Mbak, itu DVD nggak bisa keluar dari tempatnya…! Mas Wandi nggak di rumah, sejak kemarin pergi training…! Mbak nggak berani maksa keluarin, takut rusak…”

“Oke, aku lihat dulu, tapi nggak janji ya, Mbak…?” kataku.

Motor aku standardkan lagi, lalu bergegas masuk ke dalam rumah mengikuti Mbak Titin. Mbak Titin mengajak aku ke ruang tengah tempat TV dan pemutar DVD-nya berada, lalu Mbak Titin meninggalkan aku.

Tidak sampai 10 menit keping DVD karaoke kumpulan lagu-lagu nostagia itu berhasil aku keluarkan. Mbak Titin membawakan segelas teh dan sebuah toples berisi biskuit keluar dari dapur.

“Bisa dikeluarkan ya, Han…?” tanya Mbak Titin menaruh teh dan biskuit di meja.

“Alhamdulillah bisa, Mbak…!”

“Sekalian dicobain, DVD-nya ambil tuh, dilaci…” ujar Mbak Titin.

Aku membuka laci tempat menyimpan DVD, lalu sembarang mengambil DVD paling atas.

DVD kumpulan lagu-lagu dangdut.

Keping DVD aku masukan dan langsung aku Play dengan remote, sedangkan Mbak Titin ikut berlutut di samping aku menyaksikan.

Astaga, bukan DVD kumpulan lagu-lagu dangdut ternyata, tapi DVD porno!

Buru-buru aku keluarkan. “Kenapa dikeluarkan…?” tanya Mbak Titin.

“Bukan DVD karaoke, Mbak…. tapi DVD mesum…”

“Sudah, masukin lagi, Mbak mau nonton…!”

“Tapi, Mbak…”

“Tapi, apa…?”

“DVD itu berbahaya untuk ditonton, karena isinya film porno…”

“Biarin saja…”

“Apakah Mbak sering nonton film porno…?” tanyaku melihat Mbak Titin begitu santai menjawab aku.

“Belum pernah, mumpung ada sekarang, Mbak pingin tahu bagaimana yang namanya film porno…”

Pasti ini DVD-nya Jupri, habis nonton, lupa disembunyikan, batinku.

DVD aku masukkan lagi ke player. Film porno Thailand.

Mungkin sekarang sering dirazia oleh polisi, sehingga pembuatnya membuat print di atas keping DVD jadi DVD karaoke untuk mengelabui aparat penegak hukum.

Akhirnya aku dengan Mbak Titin menonton DVD porno itu sambil duduk di karpet bersandarkan sofa yang empuk. Aku salah tingkah juga dengan Mbak Titin yang duduk di sampingku.

Tapi lama kelamaan terbawa oleh panasnya adegan di video, aku jadi terangsang dan tanpa bisa dikomando, penisku menegang dengan sendirinya. Pikiranku sudah dimabukkan oleh tubuh berkeringat yang ada di layar TV.

Tak sedetik pun aku mengalihkan tatapanku dari layar TV. Apalagi saat adegan blowjob diperagakan si cewek terhadap si cowok.

“Ii..ihh… diemut kayak gitu nggak jijik, ya…?” ujar Mbak Titin.

“Apakah selama ini Mbak belum pernah emut punya Mas Wandi…?”tanyaku berani.

“Nggak pernah…!”

“Masa sih…? Apa Mas Wandi juga nggak minta Mbak emut punyanya…?”

“Nggak…”

Gersang amat kehidupan seks nih pasangan suami-istri, batinku.

“Kata orang yang sudah pernah, enak lho, Mbak…!” kataku.

“Enaknya di mana…? Masa sih….?”

“Aku sih belum pernah…! Bagaimana kalau kita coba..?”

“Masa begitu dicoba…?”

“Mbak sudah berani nonton film begitu, masa coba nggak berani..? Aku juga bukan orang yang Mbak nggak kenal

ini…! Mau ya, Mbak…?”

“Mana Mbak lihat dulu punya kamu, kalau segede gitu, Mbak nggak mau, jijik….!”

Dengan sekali tarik, aku pelorotkan celana olahragaku yang komprang bersama celana dalamku. Batang penisku berdiri tegak. Kepalanya berwarna merah tua tanda darah sudah mengumpul disitu. Lendir berwarna bening juga sudah membasahi kepala penisku sehingga tampak makin mengilap.

“Nggak segede seperti punya laki-laki difilm itu, kan…?” kataku ketika Mbak Titin memandangi penisku.

“Tapi, bagimanapun juga Mbak nggak sanggup melakukannya…”

Aku meraih tangan Mbak Titin. Melihat dia tidak menolak, aku bawa tangan Mbak Titin ke batang penisku. Ketika tangannya menggenggam batang penisku, aku menekan kepala Mbak Titin ke bawah. Tanpa ditahan, kepala Mbak Titin turun ke batang penisku.

Bibir Mbak Titin kemudian menjepit batang penisku. Aku segera lupa siapakah Mbak Titin. Aku menekan kepala Mbak Titin sampai tenggorokannya menekan kepala penisku.

“Mmm…mmm….” rintih Mbak Titin mau menaikkan kepalanya.

Aku tidak membiarkan. Aku menekan kepalanya hingga terjadilah gerakan naik-turun. Aku jadi lupa segalanya.

Yang kuingat hanya kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Seluruh tubuhku terasa kegelian karena isapan mulut Mbak Titin di penisku. rasa geli bercampur kenikmatan sampai terasa di ujung jari kakiku.

Napasku mulai memburu. Aku tahu tidak lama lagi penisku akan memuntahkan lahar panasnya.

Aku sudah tidak punya pertahanan apa-apa lagi. Tanganku segera meremas rambut Mbak Titin sambil menekan kepalanya, aku mengerang,: “…aaagghhhh…..!!”

Crottt…. crooot…. crooott…..

Lahar panasku menyembur di dalam mulut Mbak Titin.

“Mmm… mm…” Mbak Titin meronta hendak mengeluarkan penisku dari mulutnya. Kutahan kepala Mbak Titin sambil aku merasakan kenikmatan yang tidak bisa digambarkan dgn kata-kata. Kenikmatan itu masih belum menghilang sekalipun ejakulasiku sudah tuntas.

Ah, aku betul-betul merasa di puncak surga dunia.

Ini untuk pertama kalinya aku di blowjob.

Aku melepas menekan kepala Mbak Titin. Mbak Titin mengangkat kepalanya sampai seluruh penisku terlepas dari mulutnya. Penisku masih berdiri. Mbak Titin

bubu-buru mengambil tissu di meja, lalu membuang lahar panasku yang dikulum dalam mulutnya ke tissu.

Aku mencium pipi Mbak Titin. “Makasih Mbak, tadi nikmat sekali. Mbak pinter, deh…” kataku.

Mbak Titin tersenyum. Kami meneruskan menonton film porno yang memang belum selesai. Tidak terpikirkan olehku saat itu untuk memakaikan kembali celanaku.

Kami terus menikmati adegan demi adegan di layar kaca sambil duduk bersandar di sofa. Makin lama aku mulai terangsang lagi.

Penisku mulai berdiri lagi. Mbak Titin rupanya memperhatikan hal ini.

“Keras lagi punya kamu, Han…!” katanya. “Tapi Mbak nggak mau bantu emut lagi, ahh…”

Di layar kaca sedang diperagakan adegan si cowok menjilat vagina si cewek.

“Bagaimana kalau punya Mbak aku begituin juga…?” kataku.

“Ii..iichh… gimana rasanya…?” Mbak Titin bergidik.

“Makanya Mbak coba…! Ayo, buka celana dalam Mbak…” aku memegangi paha Mbak Titin yang tertutup daster.

Secara fisik Mbak Titin tidaklah istimewa. Usianya sekitar 35 tahun. Badannya pun biasa saja, agak kecil malah tapi ramping. Tingginya sekitar 155 cm. Kulitnya tidak terlalu putih tapi sangat mulus dan bersih sedangkan wajahnya tidak terlampau cantik tapi cukup manis.

“Ayo, Mbak…!” aku mengelus pelan pahanya. “Bener enak, aku nggak bohong…” kataku.

Mungkin melihat film porno begitu Mbak Titin juga terangsang, akhirnya dia merebahkan tubuhnya berbaring di karpet, kedua kakinya dinaikkannya ke pahaku. Kuku kakinya dicat merah dengan kutek. Matanya masih memandangi layar TV yang saat itu lubang vagina si cewek sudah dipenuhi oleh batang penis si cowok dan tubuh telanjang si cewek sedang meliuk-liuk di atas tubuh si cowok yang berbaring di lantai.

Aku menunduk menciumi kaki Mbak Titin sembari tanganku merayap masuk ke bagian bawah dasternya.

Tanganku mengelus pahanya, sementara itu matanya mulai tampak sayu. Ketika tanganku terpegang celana dalamnya dan dia membiarkan, akupun menyibak bagian bawah dasternya ke atas. Kucium selangkangannya yang tertutup celana dalam berwarna merah.

Mmm…mmm…

Bau khas dari

vagina Mbak Titin menyeruak.

Dengan dua tangan, kutarik turun celana dalam Mbak Titin. Dia memberikan aku melepaskan celana dalamnya, tapi tangannya buru-buru menutup selangkangannya yang sudah telanjang.

Aku menyingkirkan tangan Mbak Titin dan terlihat bulu kemaluan Mbak Titin sangat tipis dan jarang. Sungguh pemandangan yang merangsang kelakianku. Kukangkang lebar kedua pahanya.

Sungguh pemandangan yg indah.

Aku yang belum pernah melihat kemaluan wanita secara langsung bisa menikmati punya Mbak Titin dari jarak cuman sejengkal. Bibir kemaluan Mbak Titin sungguh tipis, liang kenikmatannya sedikit menganga, berwarna
merah tua dan berlendir.

Aku mendekatkan kepalaku, langsung aku mencium kemaluan Mbak Titin. Baunya agak amis tapi tidak membuat mual. Aku mainkan lidahku di seputar lubang senggama Mbak Titin.

“shhhhh… shhhhhh… ahhhh… uhhhhh… yeahh… yeaa..aaahh.. . ohhh…” suara desahan Mbak Titin terdengar bercampur dengan suara desahan si cewek yang sedang dientot oleh si cowok.

Seluruh permukaan kemaluan Mbak Titin aku ciumi dan jilati. Kadang lidahku aku sodorkan ke dalam lubang kenikmatan Mbak Titin sambil aku gelitik pelan. Aku rasakan tubuh Mbak Titin sedikit gemetar.

Aku lanjutkan aksiku, kedua tanganku membelai dan meremas pantat Mbak Titin yang kenyal itu. Kemaluan Mbak Titin makin terasa berlendir bercampur dengan air liurku.

“…shhhh… shhhhh …. ahhhh… ahhhhh ….Haa..aannn….
ahhhh…. ahhhhh…..” rintih Mbak Titin.

Entah perasaanku saja atau memang demikian, aku melihat klitoris Mbak Titin sedikit lebih besar dari awalnya. Aku segera menggelitiknya dengan lidahku.

Tubuh Mbak Titin mulai menegang, desahannya makin kencang.

Lidahku makin giat menari mengitari lubang kemaluan Mbak Titin. Sodoran lidahku ke liang kenikmatan Mbak Titin semakin dalam. Tiba tubuh Mbak Titin mengejang gemetaran. Selangkangannya menekan kuat ke wajahku.sampai aku hampir tak bisa bernapas. Lidahku masih di dalam liang kenikmatan Mbak Titin.

Aku tidak bisa bergerak kecuali menjulurkan lidahku semakin dalam.

Tubuh Mbak Titin gemetaran makin hebat, himpitan di wajahku semakin kuat, aku semakin tidak bisa

bernapas.

“Aaaaaaaaa…. aaaaaaaa….. aaaarrrggghhh…. hhh… oooouughhh…….”

Mbak Titin melenguh panjang. Aku cengkeram pantat mulus Mbak Titin dengan kedua tanganku. Tubuh Mbak Titin sudah kaku diam tidak bergerak. Hanya gemetaran dan suara lenguhan keras yang masih menandakan kehidupan di tubuh Mbak Titin.

“Ooooo… oooooohhh…. Haa..ann…. Mbakk….
ooouuhhgg…..”

Tak berapa lama kemudian tubuh Mbak Titin berangsur melemas. Otot yang tadi mengejang sudah mulai kendur.

Perlahan aku mengangkat wajahku dari selangkangannya Mbak Titin, lalu beringsut dan berbaring di sisinya.

Kukecup lembut di pipinya.

“Kataku nikmat, benar kan, Mbak…?”

Mbak Titin tersenyum menyeringai. “Mmm… mmm… Han…!”

Batang penisku masih tegak menantang. Kucoba memeluk Mbak Titin. Ketika dia memberikan aku memeluknya, tanganku pun kuarahkan ke payudaranya. Kalau kemaluan saja sudah diberikannya padaku, masa payudara tidak boleh dipegang sih, batinku.

Ketika telapak tanganku tertelungkup, dia tidak menepis, akupun meremasnya pelan. Payudara Mbak Titin tidak terlalu besar, seimbang dgn tubuhnya yang ramping itu. Dan melihat mata Mbak Titin terpenjam kembali, perlahan kunaiki tubuhnya. Kupegang penisku, dan kuarahkan kepala penisku ke lubang kenikmatan Mbak Titin.

Dia mendiamkan. Kutekan pelan batang penisku ke lubang senggama Mbak Titin dengan memajukan pantatku.

Melihat dia diam juga, aku semakin berani. Sedikit demi sedikit batang penisku menerobos masuk liang kemaluan Mbak Titin sampai seluruh batang kejantananku hilang di dalam lubang kenikmatannya.

Aku merasakan kehangatan liang kewanitaaan Mbak Titin menyelimuti batang kelakianku. Ketika aku mulai menggerakkan batang penisku di dalam lubang vagina Mbak Titin, pantat Mbak Titin juga ikut bergerak.

Kudiamkan sejenak, lalu kulepaskan kaosku. Kemudian Mbak Titin juga memberikan aku melepaskan daster dan BH-nya. Buah dada Mbak Titin yang tidak terlalu besar itu dihiasi puting kecil sebesar kismis, berwarna coklat tua.

Tampak kedua puting Mbak Titin sudah mengeras.

Sungguh pemandangan yg sangat menggiurkan. Kulit tubuh Mbak Titin, sekalipun tidak terlalu putih tapi sangat mulus.

Aku mengagumi tubuh polos Mbak Titin. Kucium lembut

puting payudara Mbak Titin.

Ketika aku menggerakkan lagi batang penisku di dalam lubang kewanitaannya, kuisap lembut puting susu Mbak Titin. Mbak Titin meliuk kenikmatan. Pantatnya melakukan gerakan memutar. Aku merasakan kenikmatanku akan mencapai puncaknya. Aku sudah tak tahan lagi, bendunganku jebol saat itu juga.

Aku melenguh keras. “Oooooooohhhhhhh….” sambil kulepaskan air maniku di dalam lubang vagina Mbak Titin.

Sungguh perasaan puas yang aku rasakan saat itu.

Demikian juga dengan Mbak Titin, sehingga kami sering mencari kesempatan untuk melakukan aktifitas birahi ini lagi… lagi dan lagi.

Suatu siang, aku bertemu dengan Mbak Titin berdiri di depan puskesmas menunggu angkot lewat. Aku hentikan Honda kesayanganku.

“Ayo, aku antar Mbak pulang…!” kataku. “Kenapa ke puskesmas…?”

“Perut Mbak beberapa hari ini suka mual dan sebulan yang lalu Mbak nggak haid…!”

Aku terperanjat dan dugaanku tidak salah. “Ternyata Mbak hamil, Han…”

“Lalu bagaimana dengan aku, Mbak…?”

“Mbak nggak menyalahkan kamu…! Biar nanti pelan-pelan Mbak jelasin dengan Mas Wandi…!” jawab Mbak Titin.

Aku ketakutan ketika bertemu dengan Mas Wandi, apalagi dia menepuk-nepuk pundakku. “Terima kasih ya, Han…” katanya.

“Ada Mas tiba-tiba berterima kasih pada aku…?” tanyaku gemetaran.

“Mbak-mu bisa hamil…!”

Astaga…..!

Kepalaku keluar kunang-kunang. Rasanya aku mau pingsan saat itu juga. Ternyata Mas Wandi tidak memarahi aku, malah dia senang Mbak Titin hamil.