Cerita dewasa: Budhe pura-pura sakit padahal ada maunya

Author:

Di rumah Budhe karmini ada sebuah komputer desktop bekas pakai Mas Hari, anak Budhe Karmini yang sekarang kuliah di Jepang. aku suka minjam pakai komputer tersebut untuk mengerjakan tugas kuliahku.

Budhe Karmini pernah menyuruh aku membawa pulang saja komputer itu, karena sudah tidak dipakai oleh Mas Hari, tapi tidak diizinkan oleh Papa.

Sekarang Budhe Karmini baru merasakan manfaatnya aku tidak membawa pulang komputer itu, karena aku bisa menjadi teman ngobrol Bude ketika Pakdhe Jarwo keluar kota mengurus bisnisnya, kadang-kadang sampai satu minggu Pakdhe Jarwo baru kembali ke rumah.

Jumat sore, aku baru saja sampai di rumah Budhe Karmini, Budhe Karmini menyuruh aku membeli bubur. Kata Budhe, ia tidak bisa makan nasi, perutnya lagi mual.

Sepulang membeli bubur, Budhe menyuruh aku menuang bubur ke mangkok.

“Jangan banyak-banyak, sedikit aja, Re.” kata Budhe dari kamar tidurnya.

Setelah menuang bubur di mangkok, aku bawa ke kamar Budhe. Budhe bangun dari tidurnya. “Suapin Budhe ya, Re,” suruh Budhe.

Budhe duduk di tepi tempat tidur. Aku berdiri menyuap bubur ke mulut Budhe sesendok demi sesendok. Budhe hanya makan bubur sedikit saja, tidak habis bubur yang aku tuang ke mangkok, lalu Budhe minta minum.

Setelah itu, aku membawa mangkok yang masih berisi bubur yang tidak habis di makan Budhe dengan gelas bekas minum Budhe ke dapur. Aku buang sisa bubur ke tong sampah, lalu mencuci mangkok dan gelas.

Selanjutnya aku mau pergi ke kamar tidur Mas Hari menyalakan komputer, tetapi Budhe memanggil aku. Aku masuk lagi ke kamar Budhe. “Tolong kasih minyak kayu putih ke perut Budhe ya, Re.” minta Bude yang sudah berbaring di tempat tidur menyodorkan botol minyak kayu putih padaku.

Aku mengambil botol minyak kayu putih dari tangan Budhe, lalu membuka tutup botol. Minyak berwarna hijau dan baunya menyengat hidung itu kutuang di telapak tanganku. Budhe menaikkan kaosnya.

Karena pikiranku belum ‘nyangkut’ jadi aku tidak berpikir macam-macam tentang Budhe saat kulihat bagian bawah tetek Budhe menyembul keluar dari baju tidurnya.

Aku hanya tahu Budhe tidak memakai BH. Aku mengusapkan minyak kayu putih di lambung Budhe, terus Budhe menarik turun celana santainya meminta aku menggosok minyak kayu putih ke perutnya juga.

“Leher Bude sekalian, Re.” pinta Budhe berikutnya.

Aku menurut saja apa yang Budhe Karmini minta. Aku mengusapkan minyak kayu putih ke leher Budhe Karmini, tapi Bude Karmini membuka 2 kancing bagian atas baju tidurnya, sehingga aku bisa melihat semua belahan tetek Budhe Karmini berikut separuh tetek Budhe.

“Sini juga, Re,” pinta Budhe.

Kini, pikiranku mulai ‘nyangkut’ melihat pemandangan yang menggairahkan itu, meski tetek Budhe tampaknya sudah melempem. Bisa jadi wanita berusia 55 tahun ini mau membangkitkan birahi mudaku untuk melayaninya, bisa jadi juga tidak dan ia benar-benar mau minta tolong dariku.

Pikiranku kalut, sehingga saat telapak tanganku menggosok minyak kayu putih ke belahan dada Budhe, dengan pura-pura bodoh, telapak tanganku mendaki tetek Budhe.

“Uughh… di situ boleh juga, Re!” kata Budhe dengan mata terpenjam, sedangkan kedua tangannya menguak baju tidurnya lebih lebar sampai kedua teteknya jadi terbuka telanjang.

Saat itu juga aku bisa segera menarik kesimpulan, bahwa Budhe memang mau membangkitkan gairah mudaku biar aku melayaninya. Bisa jadi Budhe pura-pura sakit.

“Ahh, biar sekalian Redi urut saja, Budhe. Mau nggak?” tanyaku.

“Tugas kuliahmu nggak terganggu?” tanya Budhe.

“Minggu depan baru dikumpulkan, besok masih ada waktu untuk mengerjakannya.” jawabku. “Ayo Budhe, Redi bantu lepas baju Budhe, sesudah itu Budhe tengkurap.” aku segera membantu Budhe membuka sisa kancing baju tidurnya.

Budhe tidak menolak, bahkan ia memberikan aku melepaskan baju tidurnya. “Bisa tengkurap nggak, Budhe?” tanyaku kemudian.

“Bisa,” jawab Budhe yang bertelanjang dada.

“Hati-hati, Budhe!” kataku saat Budhe membalik tubuhnya tengkurap.

Aku menyingkirkan rambut Budhe dari pundaknya, lalu

aku memijat pundak Budhe Karmini sampai pinggangnya. Saat aku pijat pantatnya, tidak terasa celana dalamnya. “Ooo… enak sekali, Re,” desah Budhe.

“Diurut ya, Budhe?”

“Iya!”

Aku mengambil body lotion di meja rias Budhe. Aku mulai mengurut dari pinggang menuju ke pundak Budhe. Egg…. eggg…. Budhe bertahak. “Lebih enak nggak, Budhe?”

“Ngg…”

Kembali aku memijat kedua belah pantatnya untuk minta perhatiannya. Setelah itu aku berujar sambil kedua tanganku memegang pinggang celana pendek Budhe Karmini. “Ayo Budhe,” kemudian kedua tanganku menarik turun celana pendeknya. “Bokong Budhe sekalian Redi urut!” kataku dengan jantung berdetak-detak kencang.

Ternyata Budhe membiarkan aku meloloskan celana pendeknya. Budhe benar-benar tidak memakai celana dalam. Aku segera mengurut pantat Budhe yang telanjang dan dari sela pantatnya yang agak terbuka, terlihat olehku belahan memek Budhe yang tembem beserta bulu kemaluannya.

Aku naik ke tempat tidur Budhe. Aku pentangkan lebar-lebar kedua kaki Budhe. Aku berlutut di antara kedua kaki Budhe mengurut bagian belakang pahanya terus naik ke pantatnya.

Setelah semua bagian belakang tubuh Budhe selesai diurut, aku minta Budhe membalik tubuhnya terlentang.

Waw, Budhe menurut.

Tubuh telanjang Budhe Karmini terlentang di tempat tidur. Bagaimana perasaanku, tidak bisa aku uraikan dalam kata-kata saat itu. Mata Budhe Karmini terpenjam.

Aku telungkupkan telapak tanganku di daerah tumbuhnya bulu kemaluan Budhe. “Diurut ya, Budhe?” ujarku tak takut Budhe marah.

“Nggg!… Ngg, ngg…”

Tapi aku tidak segera mengurut. Aku tahu apa yang Budhe Karmini inginkan dari diriku. Aku segera menundukkan kepalaku ke bulu jembut Budhe yang hitam berkilau mengeringsing itu. Aroma amis menyeruak.

“Ooggh… Redi, kamu tau juga…” desah Budhe memegangi kepalaku saat lidahku mulai menjilat belahan memeknya. Kedua sisi bibir memek Budhe tampak menonjol.

Melihatnya, membuat aku kian terangsang. Mulutku mengisap-isap kedua bibir memek Budhe yang sedikit menggelambir itu. “Aww… aww… Redii…” Budhe berseru.

Lidahku masuk ke lubang memeknya. Lubang memek Budhe Karmini

sudah tidak berlendir. Kudorong dalam-dalam lidahku. “Shhsss…. aaww….” rintih Budhe.

Kemudian mulutku mengisap kelentit Budhe. “Oogghh… Redii…. Redii… sayangg… ooogghhh…. “

Lubang memek Budhe tampak terbuka menganga bolong. Segera aku melepaskan kaosku, celana jinsku dan celana dalamku bertelanjang bulat seperti Budhe. Terus aku menindih tubuh telanjang Budhe. Budhe memegang batang kontolku yang keras, sementara mulutku mengisap puting teteknya yang keras. Rasanya aku mau gigit putus puting tetek Budhe yang bulat itu.

Budhe menekan kepala kontolku ke belahan memeknya sembari kedua kakinya merangkul pantatku. Setelah itu pantatku digoyang-goyang. Batang kontolku menyusup perlahan ke dalam lubang memek Budhe yang seret dan sempit, memek dari Mbak-nya Papa ini.

Ketika kontolku tinggal sedikit di luar, aku dorong pantatku ke depan. Rasanya ujung kontolku menekan rahim Budhe. Mulailah aku menggenjot lubang memek Budhe perlahan-lahan.

“Kontol Redi enak nggak, Budhe?” tanyaku.
“Enak, Ree..! Enak!” jawab Budhe perlahan dengan mata terpejam.

Aku mencium bibirnya. “Maafkan Budhe ya, Re? Budhe bisa begini, karena Budhe sudah benar-benar gak tahan lagi. Pakdhemu pulang hanya tidur saja,” ujar Budhe memelas.

“Ya Budhe. Budhe nikmati saja!” balasku sambil kontolku keluar-masuk ke dalam lubang memek Budhe.

Lubang memek Budhe melilit kontolku seperti mau memeras keluar cairan spermaku. Kontolku rasanya ngilu, tapi nikmat.Tak lama kemudian separuh tubuhkupun mengejang.

Ketika spermaku mulai muncrat, aku memendam dalam-dalam batang kontolku di lubang memek Budhe.

Nikmatnya bukan main, meski tubuhku lemas. Budhe memeluk aku erat-erat. “Kapan-kapan boleh lagi, Re.” ujar Budhe.