Cerita panas: Ustazah Nara yang jadi binal setelah melihat umi dan abah ngentot

Author:

Perkenalkan namaku Nara Syaima atau biasa di panggil ustazah Nara, hidupku sepenuhnya ku berikan untuk mengabdi di pondok pesantren at tahuhid tempat ku dulu menimba ilmu. Seperti biasa siang ini aku mengajar santriwati hingga puku 12.00, WIB.

Teeeeeenggg…., bunyi bel istirahat, semua santriwati bergegas keluar kelas, begitupun dengan aku, lain dengan para santri yang menuju kantin, sedangkan aku menuju ndalem atau rumah abah Tasbiha, untuk makan di dapur. Semua santri yang mengabdi di pesantren ini makan di rumah abah Tasbiha lebih tepatnya sebagai santri ndalem.

“maaf bu cari siapa?” Tanyaku pada seorang wanita yang sedang berdiri celingukan di depan rumah abah.
“oh anu nduk, saya cari abdul yang ngabdi di sini, saya siti ibunya nduk.” Jawab ibu itu ramah.

“Abdul? Abdul siapa buk?” Tanya ku lagi, perasaan disini nggak ada yang Namanya abdul.

“Abdul sahal nduk”

“Oalah, kang sahal tah buk, supir nya abah?”

“Iya nduk”

“Mari mari masuk buk, saya antar ketemu dengan umi dulu.” Ajak ku mempersilahkannya masuk.

Aku menuntun ibu itu masuk ke dalam rumah abah, dan mempersilahkan nya untuk duduk, dengan segera aku menuju kamar umi untuk memanggilnya.

“Assalamulaikum, umii, ada ibu nya kang sahal di ruang tamu.” Ucap ku sambil mencium tangan umi afifah istri abah tasbiha.

“oiya nduk, nanti umi temui beliau, kamu tolong panggil sahal di dapur!”

“Njih umi.” Jawab ku lalu segera menuju dapur, untuk segera mencari keberadaan kang sahal.

Aku celingukan melihat ke sekeliling dapur, belum juga ku temui wajah kang sahal di sana.

“cari siapa ra?” Tanya azizah seorang ustazah juga di pesantren ini.

“Kang sahal” jawab ku singkat sambil celingukan

“Cieeeee, kiw kiw”, Seketika semua orang yang berada di dapur itu berteriak meledek

“kang sahal di cariin sama jodoh tuh “ucap azizah meledek.

tak menghiraukan ledekan mereka aku hanya mengerutkan kening.

” di cariin ibuk mu kang, di

tunggu di ruang tamu.” Ucap ku sambil meraih piring kosong yang tertata rapi di rak.

“Oh iya ustazah, syukron.” Jawab kang sahal sambil senyam senyum.

Aku hanya mengangguk dan segera melahap makan siang ku hari ini, tak terasa hampir 10 tahun aku menikmati jadwal makan ku di dapur legend ini. Keluarga ku bukan orang yang berada, apa lagi aku hanya tinggal dengan seorang bapak, ibuku meninggalkan ku sejak aku berumur 5 tahun, entah pergi kemana dan mungkin sudah menikah lagi dan mempunyai keluarga baru. Ketahuilah bu, anakmu ini telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang ustazah, apakah ibu tidak ingin melihat sekali saja wajah gadis kecil yang dulu ibu tinggalkan ini. Susah payah bapak membesarkan ku, kini beliau sudah sangat tua, di rumah sendirian tanpa seorang istri dan anak, aku hanya bisa pulang menengok bapak ketika liburan pesantren tiba. Aku berusaha sekuat dan semampuku menafkahi bapak, walaupun sampai detik ini bapak tidak pernah meminta sepeserpun hasil keringat ku, tapi ini lah bentuk terima kasih dan kasih sayangku untuk bapak.

***
“tadi ibu di anterin kesini sama ustazah cantik, dia baik dan sangat ramah.” Ucap ibu siti

“Oh itu ustazah nara bu, memang orangnya ramah ke semua orang, dia juga sudah cukup lama disini.” Jawab kang sahal menjelaskan.

“Ooohh, pantes tutur katanya begitu tertata, kalo bisa kamu cari yang seperti ustazah nara saja.” Ucap bu siti sambil tersenyum.

“buk, sahal ndak minta muluk muluk, sahal cuma seorang supir bu.”

“Memangnya apa salahnya? Kan semua orang berhak mendapatkan pasangan yang terbaik.”

“sahal minder bu” ucap kang sahal menunduk.

“Mari bu makan dulu.” Ucapku menghampiri kang sahal dan juga ibunya sembari membawa beberapa makanan yang juga di bantu beberapa santri.

” ndak usah repot repot nduk, ibu sudah makan”

“Di sini kan belum bu, monggo di makan dulu banyak berkahnya yang masak santri

.” Aku mencoba membujuk bu siti.

“makasih nduk, kamu ndak ikut makan tah?”

“Saya sudah makan di belakang tadi, ibu saja monggo, saya ada jam ngajar bu, saya pamit dulu ya bu.” ucapku sambil beranjak dari posisi duduk ku.

“Oh iya nduk ati ati.” Aku hanya menganggukan kepala.

Kang sahal tak menatapku sedikitpun dia hanya menunduk, ada apa? Dia malu denganku atau sedang ada masalah, ah sudah lah, mungkin dia lagi males melihat wajahku gara gara di ledekin tadi di dapur.
Aku berjalan menuju kelas, kelihatanya semua santri sudah lama menunggu ku, dengan langkah terburu buru aku tak sengaja melihat gus aiman tasbiha putra sulung abah tasbiha, beliau sedang berdiri sambil menyulut sebatang rokok di depan kelas tempatku mengajar.

“Assalamualaikum gus.” Ucapku sedikit gugup

“Waalaikum salam, niat mengajar nggak kamu ini?, ini jam berapa?, santrimu belum masuk kelas!” Jawabnya ketus dengan nada tinggi.

“Maaf gus, tadi ada tamu” jawabku menundukan kepala.

“Alesan!” Bentak gus aiman sambil meninggalkan ku yang masih tertunduk.

Selama aku mengabdi di pesantren ini belum pernah aku melihat abah juga umi berbicara nada tinggi, mengapa putranya begitu angkuh dan arogan? Astagfirullah biar bagaimanapun beliau putra abah, aku nggak boleh berprasangka buruk terhadapnya.

Selesai juga akhirnya jam mengajar hari ini, aku nggak langsung kembali ke kamarku, perutku sangat lapar, aku mencoba ke kantin, siapa tau bu nining tukang jualan gorengan masih ada.

“Bu nining, masih ada nggak gorenganya? Laper nih.” Tanyaku sambil duduk di kursi panjang legend.

“Masih ustazah, wah tumben nih sore sore ke sini.”ucap bu nining sambil mengangkat gorengan yang baru saja matang.

“Mau ke ndalem lagi males bu.”

“loh kenapa ustazah? Nggak boleh gitu loh ustazah.”

“Tadi siang saya habis di marahin gus aiman, takutnya nanti ketemu lagi, siapa tau beliau masih marah sama saya.”

“Oalah gus aiman toh, biasa marah marah beliau ini,

saya juga heran ustazah, kenapa sifatnya pemarah padahal abah tasbiha sangat penyabar.”

“Banyak pikiran kali bu, udah waktunya nikah, belum nikah juga.” Jawab ku ngasal

“bisa jadi tuh ustazah, soalnya denger denger tadinya mau nikah sama ning dari jombang tapi batal katanya ning nya masih mau kuliah dulu ke kairo.” Jelas bu nining.

” serius bu?, kasian juga si gus aiman jadi tempramen gara gara cinta.’

Kalau hanya soal pendidikan apa mungkin pernikahan itu dibatalkan, kan bisa setelah jadi istri gus aiman di sambi kuliah mana mungkin abah tasbiha melarang, atau memang ning dari jombang itu ada unsur penolakan lain dengan gus aiman, entahlah.

“ustazah kok jadi ngelamun gitu.” Ucap Bu nining mengagetkan ku.

“ustazah juga sudah cukup umur buat nikah, kapan nih ustazah nikahnya, nunggu di jodohin abah?” Tanya bu nining penasaran.

“Ah kalo saya si pasrah aja bu, bapak saya juga masih membutuhkan saya, saya malah belum kepikiran nikah.” Jawabku santai

“kalo nikah sama orang sini saja ustazah biar tetep ngajar di sini.”

“yah sedapetnya aja lah bu, ya udah bu saya pamit dulu takut umi nyariin.” Kataku sambil menyodorkan sejumlah uang.

malam harinya di kamar para ustazah…

Semua sibuk dengan materi masing masing, ada yang sedang menghafal nadhom ada yang sedang membaca buku & ada juga yang sedang muroja’ah. Aku sibuk mempersiapkan materi untuk para santri besok.

“Ra, tadi siang gus aiman ngamuk di bawah” ucap azizah mendekat ke arahku

“Loh kenapa lagi?”

“Katanya si bakal di jodohin lagi, tapi gus aiman nggak mau, trauma mungkin sama perjodohan kemaren.”

“Ah masa cuma gara-gara itu beliau ngamuk, emang ngamuknya ngapain aja?” Tanyaku penasaran.

“Teriak teriak ke abah katanya selalu mengganggu ketenangan hidupnya.”

“Mungkin udah nggak ada minat nikah kali zah.”

“Iya kali, atau ada cinta yang tak tersamapaikan alias tertolak .”

“nggak tau deh zah aku jadi pusing,

kok kita jadi gibain gus aiman sih.” Aku menggerutu menepuk punggung azizah. Azizah hanya tertawa.

“sssttttt Ustazaaah jangan berisik, ini jam tenang para santri!” Ucap farah ustazah paling killer di antara kami.
Aku dan azizah hanya saling tatap dan tertawa kecil, sekelas ustazah saja masih dimarahin sama dia apalagi santri xixixi. Aku dan azizah segera membaringkan tubuh di kasur yang sangat aku impikan 4 tahun lalu saat aku masih menjadi santri di sini. Aku jadi kepikiran dengan omongan bu nining, iya juga ya di umurku yang menginjak 25 tahun ini masa belum kepikiran buat nikah, bisa bisa jadi perawan tua jika aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri, tapi aku hidup di lingkungan yang tidak memungkinkan untuk mengenal banyak laki laki, lalu dari mana aku harus menjemput jodohku?,

Ya allah tunjukan jalan ke pesantren ini jika jodohku belum menemukan aku, karena aku juga tidak tahu dia ada dimana, jika saja aku tahu keberadaanya, akan ku jemput walau dengan jalan kaki hehehe. Lalu bagaimana dengan bapak setelah aku menikah nanti, apakah bapak akan benar benar sendirian, rasanya tak tega meninggalkan laki laki yang berjuang keras membesarkan ku. Tapi jika aku tidak menikah bapak juga pasti lebih sedih, karena menua sendirian adalah kenyataan yang pahit.

***

Pagi pagi sekali aku turun ke dapur untuk mengambil jatah sarapan ku pagi ini, karena jam sarapan tidak sebanyak jam makan siang, kesiangan sedikit saja bisa bisa aku telat mesuk kelas, kalau ketahuan gus aiman lagi bisa di marahin habis habisan.

“Eh kebetulan kamu sudah turun nduk” kata umi afifah menengok ke arahku.

“iya umi, takutnya malah nanti kesiangan”

“bantuin umi dulu ra…,nyiapin sarapan untuk abah sama gus aiman, mereka mau pada berangkat ziaoroh ke kudus.” Ucap umi sambil menggandeng tanganku.

“njih umi.” Jawabku yang langsung cekatan menyiapkan beberapa makanan untuk di hidangkan.

Sial, aku harus

bertemu dengan gus aiman lagi, kalau dia mengungkit masalah kemarin di depan abah bagaimana?, yang lebih parahnya lagi nada bicaranya selalu keras semua orang bakal denger kalau dia lagi marah marah. Tapi ini perintah umi aku nggak boleh ngedumel takunya nanti kualat. Gus aiman ini selain putra sulung juga putra semata wayang abah, jadi nantinya pesantren ini akan di pegang gus aiman, apa jadinya yah kalau gus aiman yang memimpin, loh memangnya kenapa? Beliau juga lulusan kairo, ilmunya sangat cukup, pengetahunya juga luas, apa yang perlu di khawatirkan darinya, harusnya mau jadi apa pesantren ini jika ada di tanganku xixixi.

Aku menyuguhkan makanan di depan gus aiman yang sedang mengancing jas hitamnya, wajahnya yang sangar tapi juga tamapan, tubuhnya yang tegap tinggi semampai beliau ini sangat indah di pandang ketika sedang diam, karna kalau berbicara selalu dengan nada yang mengagetkan.
monggo gus.”ucapku sembari menaruh bebrapa makanan di meja sambil menunduk, aku tak berani menatapnya dari dekat takut kena omel, sorot matanya yang tajam membuat banyak santri ketakutan ketika berpapasan dengannya. Aku pun perlahan mundur berniat kembali ke dapur untuk sarapan.

“Naraa!!!” Panggil gus aiman menghentikan langkahku.

Aku pun menoleh dan kembali ke hadapanya dengan tubuh yang sedikit gemetar.

“Njih gus” jawabku dengan nada sangat lirih.

“Cari kan jam tangaku di kamar!! Cepat 5 menit!”

“Saya gus?.” Tanyaku dengan bodohnya

“ya iya kamu, siapa lagi.” Jawabnya ketus

Dengan segera aku menuju kamar gus aiman, ini beneran aku masuk kamar beliau, selama berada di sini baru kali ini aku masuk kamarnya, rasanya sangat tidak sopan, aku pun ragu untuk membuka pintunya, rasanya tanganku tak mampu menggapai daun pintu itu.

“5 menit naraaa!!!” Teriak gus aiman dari kejauhan.

Karena kaget dengan terikanya, tanganku pun reflek membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalamnya, Aku celingukan mencari keberadaan jam tangan itu, dimana gus

aiman menyimpanya? Harusnya aku bertanya dimana dia menyimpan jamnya itu.

“cari apa ra?” Tanya umi mengagetkan aku yang sedang mencoba membuka laci.

“anu umi…itu…gus aiman minta di ambilkan jam tanganya” jawabku dengan wajah ketakutan.

“Oh, aiman biasanya nyimpen di lemari baju, buka saja, ada 2 jamnya, bawa saja semua nya, suruh dia milih mau pakai yang mana.” Jawab umi sambil tersenyum simpul dan mengelus pundaku.

“oh njih umi, matur nuwun.” Aku pun tersenyum lega.

Perlahan ku buka lemari baju yang kokoh itu, wangi semerbak menusuk hidungku, masya allah wangi sekali, bau surga ini yah, yang jelas bau orang orang soleh, mataku mencoba mencari jam tangan di antara baju baju yang tergantung rapi, pandanganku terhenti barang yang aku cari sudah ku temukan, aku segera menutup lemari itu dan kembali menghadap gus aiman.

“ini gus.” Kataku dengan nafas yang sedikit tersenggal – senggal.

“kok dua?, masa 2 tangan ini pakai jam semua? Repot nanti aku ngeliat jamnya.’ Ucap gus aiman dengan sedikit tersenyum.

Aaarrrgghhhh baru kali ini aku melihat dia setampan ini, senyum sedikit saja sangat tampan kenapa harus selalu marah marah sih gus.

“saya takut salah ambil gus, jadi gus aiman pilih saja, nanti sisanya saya kembalikan ke kamar gus.” Ucap ku sedikit santai, karena senyum tipisnya tadi meredakan sebagian tremor ku.

Gus aiman mengambil salah satu jam yang ingin ia pakai, dengan wajah yang tertunduk dia mencoba melingkarkan jam tersebut di tangan nya yang perkasa itu, beliau ini raut wajahnya yang sangat sejuk di pandang sebenarnya, jika saja sifatnya tidak pemarah dan angkuh mungkin beliau ini banyak ning yang mau di jodohkan dengan nya.

“Ngapain?” Tanya gus aiman mengangkat kepalnya.

Tanpa menjawab aku hanya menggelengkan kepala dan segera beranjak menuju kamar itu lagi, untuk kembali menyimpan jam tangan. Tanpa ku sadari kamar itu penuh dengan buku buku dan juga kitab,

kamar yang sangat wangi dan rapi ini di tempati seorang gus yang angkuh dan pemarah.
Aku pun melanjutkan niatku untuk sarapan pagi ini, rasanya sudah lapar dan jam sarapan tinggal 15 menit lagi, sebentar lagi kelas alan di mulai, dengan tergesa-gesa aku makan berharap kali ini tidak kesiangan.

***
Seperti biasanya makan siang di dapur ndalem bersama para ustazah dan abdi ndalem lainnya.
Aku duduk berdampingan dengan azizah teman akrabku sejak menjadi santri dan rezekinya kita menjadi ustazah juga di sini.

“kang sahal nggak keliatan makan siang ini?” Tanya farah sembari menoleh kanan kiri

“cie nyariin” aku balas meledeknya

” dia lagi nganter gus aiman sama abah ke kudus.” Sambungku sambil cengar cengir menaik turunkan alis.

Farah hanya tersenyum menunduk, di balik sifatnya yang galak dia selalu perhatian dengan kang sahal, mungkin saja kasihan. Kasihan? Kasihan atau jatuh cinta yah. Semua orang sepertinya sudah menemukan orang yang ingin mereka cintai, lalu bagaimana dengan diriku yang belum juga melihat tanda tanda hilal dari jodohku. Pesan bapak jangan sampai menua sendiri tanpa pasangan seperti bapak, tapi bagaimana lagi pak anakmu ini belum ada yang mau meminang hehehe.

“Kok kamu tau ra kang sahal ke kudus, kata siapa?” Tanya azizah mendorong tanganku.

“ umi yang bilang, tadi pagi aku nyiapin sarapan buat gus aiman sama abah.”

“nyiapin sarapan? Buat gus aiman?” Tanya azizah terbelalak matanya dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. Aku hanya menganggukan kepala.

“kamu diapain sama gus aiman?” Tanya azizah sambil menelan makanannya dengan paksa.

“Dimakaan!!, ya nggak di apa-apain, biasalah nada bicara kaya hari-hari biasanya.” jawabku dengan menaikan sudut bibirku dan menaikan bola mataku.

“siapa tau kamu di marahin lagi, kalo aku sih mending ngasih makan macan di banding suruh menghadap gus aiman,iihh seremmm.” Jawab azizah sambil memejamkan matanya

“hus nggak boleh gitu ra, dia putranya

abah loh guru kita, lagian gus aiman nggak sekejam yang ada di pikiran kamu itu.” jawabku menusukan jari telunjuku di lengan azizah.

“Astaghfirulloh iya yah, maafkan hamba atas ke seudzonan hama.”

“Eh tapi hati-hati loh ra keseringan kamu ketemu dia bisa bisa tumbuh rasa.” Ucap azizah meledekku
Aku hanya tertawa sambil menepuk pipi azizah yang gembul itu. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan orang yang sangat jauh di atasku dari segi apapaun, bagaikan langit dan bumi jauh sekali, hanya saja minusnya dia pemarah dan angkuh.

Liburan semester akhirnya tiba juga, hampir semua santri bersiap-siap pulang ke kampung halaman masing masing, kecuali para ustazah, tapi lain dengan diriku setiap kali liburan semester meminta izin untuk pulang sebentar sekedar menengok bapak. Jika ibu ada di rumah mungkin aku akan seperti ustazah yang lainnya, yang hanya pulang ketika menjelang idul fitri. Dengan baik hati dan sangat pengertian, dengan kondisi bapak ku yang sendirian, umi afifah selalu mengizinkan ku pulang. Biasanya aku di rumah paling lama seminggu, rasanya berat harus kembali meninggalkan bapak, tapi dengan cara ini aku bisa menghidupi bapak walau tak seberapa uang yang aku beri, setidaknya beliau tidak merasa kelaparan setiap harinya.

“mau pulang kapan kamu ra?” Tanya azizah yang sedang menata buku-buku materinya.

“besok paling, aku juga belum izin ke umi, ntar malem deh izin dulu.” Jawabku sambil ngaca

kata bapak wajahku sangat mirip dengan ibu, apakah ibu seperti aku sekarang ini?, apakah aku juga harus melihat kaca untuk sekedar mengobati rasa rindu terhadapmu bu? Dunia begitu yakin denganku, hingga aku yang terpilih hidup tanpa kasih sayang seorang ibu, jika aku sekuat itu aku tak akan seringkali menangis melihat bapak yang selalu kesepian dan melihat diri ini yang selalu merindu.

“Hey malah ngelamun!!, kesurupan nanti loh.” Ucap azizah menepuk punggungku hingga aku tersentak.

“Mikirin ара kamu ra?”tanya azizah lagi.

“Nggak zah, kira-kira besok aku naik kereta apa bis aja yah zah?.” Tanyaku mencoba mengalihkan perhatian azizah.

“menurutku kereta lebih cepet ra.”

‘iya juga, harus pagi-pagi banget zah biar nggak kehabisan tiket.” Jawabku sambil merebahkan tubuh ke kasur azizah.

“Aku turun dulu ya ra, laper belum makan siang nih.”ucap azizah meninggalkanku yang masih berbaring. Aku hanya mengacungkan jempol.

***

“Eh kang sahal, baru makan siang kang?.” Tanya azizah basa basi

“Iya nih ustazah, baru pulang juga nganterin abah sama gus, ustazah nara nggak ikut makan?”

” udah makan duluan dia, nggak pulang kampung kang?” Tanya azizah lagi

“Tadinya si nggak ustazah, yang namanya supir mah nggak ada liburnya hehehe, tapi di rumah lagi ada hajatan sodara, terpaksa pulang. “jawab kang sahal sambil mengambil nasi.

“oh pulang toh, kapan kang?”

“Besok.”

“Loh sama dong, nara juga pulang besok kalian searah kan sama-sama kediri, bareng aja kang, biar nara ada yang jagain”ucap azizah sambil tertawa.

“beneran ustazah nara pulang besok?”

“Iya katanya tapi belum izin juga, niatnya si malem ini izin biar besok pagi-pagi langsung beli tiket kereta.”

” sama dong, saya juga naik kereta ” jawab kang sahal antusias.

“Bareng aja udah, biar ada temen ngobrol di kereta.” kata azizah sambil memainkan alisnya.

“saya sih mau mau aja ustazah, tergantung uastazah nara mau apa nggak takutnya dia risih atau malu dengan saya.”

Azizah hanya tersenyum manis

“saya ke atas dulu kang” ucap azizah yang telah selesai makan meninggalkan dapur, kang sahal hanya menganggukan kepala.

***

Malam harinya…

Selesai solat isya aku segera memakai kerudung dan berniat turun ke bawah untuk meminta izin ke umi atas kepulanganku besok. Dengan buru-buru aku menyematkan bros bunga di dada sebelah kiri.

“mau turun sekarang ra?” Tanya azizah penasaran.

“Iya nih zah.” Jawabku sambil merapikan kerudungku

“Udah cantik ra, jangan teralalu cantik takut gus aiman kepincut”

ucap azizah sembari tertawa menghentikanku yang sedang membolak balikan badan di depan kaca.

“Apa sih zah kamu tuh jangan ngaco.” Jawabku dengan muka memerah.

“aku tunggu di dapur, selesai izin kita makan bareng” ucap azizah menggandeng tanganku.

Kami berdua pun turun sesuai rencana tadi yang di bilang azizah, aku langsung menuju ruang tamu, karna biasanya umi sedang muroja’ah di situ.

Ketika Aku hendak menuju ruang tamu, samar-samar terdengar suara-suara dari ruang tamu. Suara ketawa, dengusan dan suara-suara aneh membuat Aku penasaran. Aku mengurungkan niatku menuju ruang tamu, Aku justru mengintip dari ruang Tengah ke ruang tamu dan sedetik kemudian bola mataku membelalak lebar melihat pemandangan yang kulihat dari ruang tengah.

Di sofa ruang tamu, Aku melihat Umi dan abah telanjang bulat tanpa selembar pakaianpun menutupi tubuh mereka berdua hanya tersisa jilbab dikepala umi saja. Aku sempat tertegun melihat Umi dalam keadan telanjang bulat seperti itu. Tubuh Wanita Muslimah yang sudah berumur itu berkulit kuning langsat, langsing dan terlihat proporsional dengan sepasang buah dada besar yang menggelayut di dadanya.

Kemaluan Umi juga nampak bersih dari bulu-bulu kemaluan, bibir kemaluan terlihat rapat dengan warna kemerah-merahan. Umi terlihat bernafsu menciumi sekujur tubuh abah hingga akhirnya terhenti di bagian penis Abah. Tubuhku gemetar ketika mataku melihat penis abah yang tegak mengeras. Penis abah itu besar dan panjang dengan otot-ototnya yang terlihat menonjol, dan terlihat sangat cocok dengan tubuh Abah yang atletis. Umi terlihat sangat bernafsu menjilati dan menciumi penis abah tersebut hingga beberapa lama, umi asyik dengan batang penis abah tersebut. Aku yang melihat keasyikan Umi hanya mampu terengah membayangkan diriku juga ikut menjilati penis abah yang besar itu.

Abah terlihat tersenyum-senyum dan terkadang melenguh keenakan menikmati perbuatan umi. Ketika Umi kemudian menggenggam penis abah dan diarahkan ke liang kemaluannya, Abah segera membalikkan tubuh montok Umi sehingga Abah kini berposisi menindih umi. Umi terpekik

manja namun beberapa saat kemudian Umi mendesah ketika penis besar abah mulai menembus liang kemaluannya dan beberapa saat kemudian Umi merintih-rintih ketika abah menyetubuhinya.

Aku yang mengintip adegan itu hanya terengah-engah dengan tubuh panas dingin ketika penis besar Abah menyodok kemaluan Umi berulangkali. Aku melihat lubang kemaluan Umi yang tampak sempit seakan tidak muat dimasuki penis abah. Tubuh Umi tampak terguncang-guncang oleh gerakan penis abah sementara kedua payudara Umi dengan puting susu yang tegak kecoklatan itu tampak dikunyah-kunyah oleh Abah dengan penuh nafsu. Adegan-adegan itu membuat tubuhku seketika menjadi panas, kemaluanku juga tiba-tiba terasa gatal, aku kemudian tanpa sadar menggosok-gosokkan kemaluanku sendiri. Aku membayangkan penis Abah yang besar itu juga menyodok kemaluanku.

Umi merintih-rintih kenikmatan dengan tubuh yang terguncang-guncang.

“Ohh…ohhh…ssshh….terusss….enaaaaaak..ahhh”

“Sst…jangan keras-keras …nanti kedengaran……kasihan ustazah disini semua belum nikah” bisik abah membuat Umi tertawa manja.

Wajahku memerah mendengar obrolan diantara suara-suara persetubuhan suami istri ini yang membicarakan diriku dan ustazah lainnya. Mendadak ada rasa bersalah yang menyergapku yang tengah mengintip aktivitas abah dan umi sehingga membuatku berniat berhenti mengintip. Namun niat itu buyar ketika Aku melihat tubuh Umi mengejang dan memeluk abah erta-erat. Aku tak mengerti kenap umi sampe mengejang seperti itu.

“Ahhhhh abaahh……Ummiii keluarrrr..aaahhhhh..ssshhhh” pekik Umi sambil memeluk erat abah dan melingkarkan kedua pahanya membelit tubuh abah dengan pantat yang terangkat tinggi. Aku melihat ekspresi wajah Umi terlihat merasakan kenikmatan yang luar biasa namun aku bingung apa yang umi keluarkan. Beberapa saat kemudian Aku melihat tubuh Umi lemas.

“Abah belum keluar, sayang” desis Abah yang disambut dengan senyuman lemah umi. Aku melihat cukup jelas cairan keluar dari liang kemaluan umi yang masih dimasuki penis abah. Apakah itu yang umi bilang keluar tadi.

“Tuntasin aja bah,” desis Umi kelelahan.

Tubuh lemas Umi kemudian kembali terguncang-guncang oleh gerakan penis abah. Cukup lama tubuh Umi terguncang-guncang sebelum akhirnya abah menggeram lantas memeluk

umi erat. Laki-laki paruh baya bertubuh atletis dan berpenis besar itu membenamkan penisnya dalam-dalam. Tubuh Umi tersentak ketika abah menghujam kemaluan umi yang terakhir kalinya. Umi pun balas memeluk abah dengan erat.

Ruang tamu yang semula riuh oleh bunyi beradunya dua tubuh yang bersenggama mendadak sunyi. Hanya terdengar dengus nafas keduanya yang masih berpelukan dengan penis Abah masih tertanam di kemaluan umi. Mata Umi tampak terpejam dengan senyum tersungging di bibirnya. Dengan beberapa sodokan terakhir, penis abah akhirnya ngecrot, crootttt, crooottt, crooott. Penis Abah mengeluarkan banyak sekali sperma bahkan hingga tumpah-tumpah keluar vagina Umi. Sperma itu putih kental yang sangat banyak selain memenuhi vagina Umi, banyak sperma Abah yang berjatuhan ke lantai. Aku rasanya ingin menjilati semua sperma Abah itu, namun ternyata sperma itu dijilat dan diminum habis oleh Umi.

Beberapa saat kemudian abah dan umi Kembali berpakaian. Beberapa menit kemudian aku memberanikan diriku menemui abah dan umi.

“assalamualaikum umi, abah. ” kata ku dengan badan yang membungkuk.

“waalaikum salam nduk, duduk monggo.” Jawab umi yang masih belum berpaling dari al qur’annya.

“Ngapunten umi, abah, yang pertama saya ingin bersilatuhrahmi, yang kedua ingin meminta izin pulang, besok pagi.” ucap ku menunduk dengan memangku kedua tangnku.

“berapa lama nduk?.” Tanya umi menengok ke arahku.

“Seminggu saja umi.” Jawabku tersenyum tipis.

“naik apa nara?” Tanya Abah yang tadinya acuh mendadak menengok ke arahku.
insya allah kereta bah.”

“Naik mobil abah saja, besok sahal juga pulang katanya mau naik kereta, tapi tak suruh bawa mobil saja kasihan pulangnya cuma 3 hari, kamu ikut sahal saja toh searah, tapi 3 hari saja di rumah!” Ucap abah sambil melepas kacamatanya.

“gimana nduk? Nggak perlu lama juga di rumah, bapakmu sehat toh?.” Tanya umi memastikan
Aku hanya terdiam, bingung harus mengiyakan saran abah atau kembali ke rencana awal, tapi jika mengikuti saran abah, aku

hemat ongkos juga, 3 hari dirumah? Cuma mampir minum dong, apa aku terima saran abah saja lumayan ongkos bolak baliknya bisa ku kasihkan untuk bapak.

” njih abah saya bareng saja dengan kang sahal .” Jawabku menganggukan kepala.

“3 hari ya nduk, nanti sahal suruh jemput kamu lagi!,umi juga butuh kamu di sini.” Ucap umi kembali meraih al qur’anya kembali.

‘njih mi, matur suwun, saya izin pamit ke belakang dulu.” Ucapku sambil melangkah mundur.

“Monggo monggo.” Jawab umi dan abah.

Leave a Reply