Pertama melihatnya, hatiku seperti hilang setengah. Energiku down sampai 25 persen hingga harus bertumpu di kursi. Tatapanku menghujam tepat di matanya yang menatapku. Lalu tatapanku berpendar ke seluruh permukaan wajahnya. Tak terkata betapa memikatnya Tuhan menciptakan gadis kecil ini. Ibarat hasil maha karya sempurna yang tak ternilai. Mungkin yang dapat kugambarkan hanya warna pipinya yang putih dengan semburat rona ungu dan bibirnya yang merah bak jambu air yang menantang untuk digigit.
Aku dibebani tugas menjadi ketua panitia penyambutan siswa baru. Padahal aku baru juga naik ke kelas dua. Seandainya dapat memilih, aku memilih tidak ingin jadi panitia apapun. Aku lebih suka memanfaatkan waktu luang untuk mengurus kebun coklat peninggalan ayah yang tidak seberapa. Lumayan untuk tabungan dan keseharianku dengan Mama. Tapi tugas adalah tanggung jawab, apalagi ini dengan restu Kepala Sekolah. Repotlah aku mengurusi dua ratusan anak-anak yang baru melepas seragam putih biru itu. Dan saat itulah dia datang!
Melihatnya, aku seperti melihat sesuatu yang seperti ‘milikku’. Seandainya dia sebuah mainan, maka aku sangat ingin memilikinya. Andai dia permen, maka aku ingin mengemutnya. Atau misalnya dia boneka, maka aku ingin memeluknya. Atau mungkin dia aroma udara, maka aku ingin menghirupnya dalam-dalam hingga dia tinggal sepenuhnya dalam diriku.
Tapi keinginan itu tinggal keinginan. Dia seperti bulan yang mustahil kuraih. Teman-teman mengakui aku menarik. Tapi semua itu hampir tidak ada artinya dibanding dia. Dia cantik lahir bathin, kaya dan putri tunggal Bupati, serta cerdas. Kecerdasannya dapat dilihat saat setahun kemudian kami sama-sama masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional wilayah timur.
Masuk final berarti kami akan melakukan perjalanan dan harus menginap sedikitnya dua malam untuk masing-masing dua kali persentase. Di hotel, kami mengambil dua kamar. Satu untukku dan Pak Yamin, satunya lagi untuk ibu Hana dan dia. Lucunya, ternyata dua official kami, Pak Yamin dan Bu Hana sementara dalam proses ‘saling mendekat’.
Melewati dua hari yang melelahkan, kami memutuskan menambah waktu dua hari untuk menunggu pengumuman hasil. Mungkin juga menjaga jangan sampai ada pemberitahuan berikut. Tapi menambah waktu berarti ada waktu jalan-jalan. Lalu siang jam satu, official kami mengajak nonton di Twenty One. Tapi kurasa itu hanya basa-basi. Aku menolak dan lebih memilih jalan dengan Ika (nama gadis itu) lihat-lihat buku di Gramedia. Ika sepakat, tapi setelah mereka berangkat, Ika malah menerobos ke kamarku.
“Aku mau tidur di sini,” ucapnya ringan.
“Cewek masuk kamar cowok nggak baik dilihat orang,” celetukku asal.
Ia tidak menjawab. Malah mengunci pintu dan memasukkan anak kunci ke sakunya. Tubuhnya dihempaskan ke kasur. Nampaknya dia betul-betul ingin tidur.
Tidak lama dia pulas dengan irama napas yang teratur. Wah, tidur kok di sini, pikirku. Dia juga kan punya kamar. Kalau begini, aku tidak bisa keluar. Aku tidak mungkin mengambil anak kunci di sakunya. Apalagi di saku depan. Memikirkannya saja sudah tidak mungkin.
Menunggu setengah jam lebih, aku ikut mengantuk. Mungkin kami memang butuh istirahat setelah dua hari memforsir tenaga dan pikiran. Hati-hati aku berbaring di sebelahnya setelah sebelumnya memasang guling sebagai pembatas. Rasanya deg-degan juga tidur di sebelah gadis yang telah lama memikat hatiku ini. Tapi perasaan ingin ‘memilikinya’ telah lama kukubur. Mungkin itu yang membuatku cepat terlelap.
Aku terbangun setelah merasa pipiku hangat dan pinggangku terbebani sesuatu. Aku kaget bukan kepalang menyadari pipi Ika yang menghangatkan pipiku. Seperti mimpi, tapi ini nyata. Terasa betul napasnya hangat. Di bawah, betisnya melingkari pinggangku. Pangkal pahanya bersandar tepat di pinggang sebelah kiri. Hangat.
Aku grogi bukan main. Seumur-umur, baru ini pipiku berdekatan dengan pipi cewek. Badanku rasanya bergetar. Mungkin kalau cewek lain, aku masih bisa tenang. Tapi ini, Ika! Gadis yang telah mencuri setengah dari hatiku. fantasiku.com Tak bisa berbuat lain, aku diam saja. Tapi menghayati ke-‘diam’-an dalam suasana begitu, menimbulkan perasaan intim di hatiku. Tidak mampu kutahan, tanganku bergerak membelai rambutnya yang hitam lebat dan beraroma.
Aromanya! Ah, ini menyebabkan aliran darahku mengalir deras dan berpusat di tengah tubuhku. Ada yang tegang di antara degup jantung yang cepat. Aku mulai mengerti diriku saat lengan Ika tiba-tiba mendekap lebih erat. Ia menyeruakkan kepalanya di leherku. Kulirik matanya, kelopaknya tertutup. Ia tetap tidur.
Lamat-lamat kupikir, boneka yang kudamba itu kini dapat kupeluk dan aroma udara itu kini dapat kuhirup! Sekilas peringatan bahwa ini bukan sewajarnya, aku langsung menarik tangan. Saat itu juga kelopak mata Ika berkerjap-kerjap membuka. Ekspresi pertamanya adalah bingung. Serta merta dia menarik diri. Mungkin sadar kalau dia yang mendekapku, dia mendesah lirih dengan wajah memerah.
“Maaf Kak. Ika kira Mama.”
Tadinya aku ingin minta maaf. Tapi melihat ekspresinya, aku jadi ingin mencubitnya. Tapi aku tidak berani. Aku malah tertawa sampai badanku terguncang-guncang.
“Puas ya, bikin orang kayak guling,” candaku.
“Ih, Kakak!” teriaknya tertahan.
Lalu tanpa kuduga dia kembali mendekapku dan menyembunyikan wajah di leherku, sementara kakinya disusupkan di antara kakiku yang miring. Aku kegelian. Tapi satu yang tidak kuperhatikan dari tadi adalah sesuatu yang empuk menyentuh dadaku. Dua bukit kembar itu terasa betul. Kedekatan yang hampir menyatu ini betul-betul membolak-balikkan pikiranku. Darahku yang tadi mengalir deras, kini tambah deras. Aku diam menikmati sensasi baru itu.
Ekor mataku menangkap gerak jam dinding. Jam dua lewat empat puluh menit. Hmm, mereka pasti pulang sore atau malah malam, pikirku mengingat dua official kami. Tidak mungkin dua orang yang lagi kasmaran itu hanya nonton saja. Paling disambung JJS (Jalan-Jalan Sore) atau camilan entah di mana.
Sementara berpikir, tanpa kusadari tanganku bergerak memeluk pinggang Ika. Tubuhnya seperti mau hilang dan menyatu dengan tubuhku. Aku memang lebih tinggi. Dikeloni begitu, Ika malah tambah merapatkan tubuhnya.
“Hihihi, ah,” aku kegelian merasa hembusan napasnya di leherku. Bulu romaku merinding.
“Geli, ah…” ringisku sambil mengubah letak kepalanya. Tapi jariku tidak sengaja malah menyentuh bibirnya.
Spontan dia menengadah dengan mata berkerjap-kerjap indah. Sungguh, caranya menatap dari jarak sepuluh senti itu membuatku ingin menyentuh bibirnya lagi. Tapi tatapan jernihnya sangat polos dan mengundang perasaan sayang.
Perlahan gelora dalam tubuhku berkurang. Tinggal degup jantungku yang malah bertambah. Rasanya aku seperti sedang memandang seorang ‘adik’ yang hanya untuk disayang. Sedikit beda barangkali, karena ada juga perasaan ingin ‘menyentuhnya lebih dalam’.
Ika masih menatapku saat jariku bergerak menyentuh bibir mungilnya. Kubelai pelan kelopak yang mengatup itu penuh perasaan. Lembut, kenyal dan agak lembab. Bibir yang sempurna, bisikku dalam hati. Tiga kali kuusap-usap ke kiri dan kanan hingga sesekali tersibak, Ika menggeser naik badannya hingga wajah kami hampir sejajar. Lagi-lagi kurasakan dadanya menekan erat di dadaku. Kembali getaran aneh menyelimutiku. Kulirik dadanya, ia ikut melirik dan mendapati kancing kemeja atasnya terlepas.
“Eh..?” dia tersentak.
Ternyata kancingnya tanggal. Kembali aku terguncang oleh tawaku sendiri. Wajahnya memberenggut kesal. Dia membalik badan membelakangiku.
“Peluk Ika dong Kak,” pintanya sambil meraih lenganku melingkari lehernya.
“Ika enak tidur kalau dipeluk begini,” sambungnya.
Wah! Dipeluk? Aku gregetan bukan main. Tadi saja sudah bikin gemetar, padahal tidak sengaja. Lha, ini?
“Kamu sering dipeluk begini?” tanyaku, terlepas begitu saja.
Diam-diam ada perasaan lain di hatiku. Seperti tidak rela dia dipeluk orang lain. Hmm, rasa cemburukah ini?
“Iya, tapi sama Mama aja. Papa ngomel-ngomel kalau Ika minta dikelonin ama dia. Heran, Papa kok gitu ya?”
“Ya, tentu aja,” ringisku, tapi hanya dalam hati.
Ini anak polos amat, sih? gerutuku. Hampir 16 tahun masih ‘bloon’. Mungkin dia belum banyak tahu seperti aku yang juga masih hijau.
“Kakak belum pernah dengar kamu pacaran, Ik?” tanyaku mengikuti caranya menyebut diriku ‘kakak’. Tanganku menyentuh pipinya. Uh, halus dan nyaman sekali!
“Bakal ada perang dunia kalau Papa dengar Ika pacaran. Makanya Ika nggak mau pacaran. Lagian, perasaan, Ika belum butuh tuh. Kalau… Uffhhh…” Ika meniup tanganku yang turun ke bibirnya.
Tanganku disorong ke bawah, tapi justru menyentuh bukit kembarnya yang empuk.
“Eh?!” spontan ia memekik pelan. Tubuhnya dihadapkan ke badanku.
“Kak.” bisiknya dengan tatapan menghujam mataku. “Kok Ika merinding ya?”
“Merinding?”
“Iya. Tuh, lihat..!” dia menyodorkan lengannya.
“Waktu dada Ika kesentuh tadi, badan Ika seperti kena stroom. Kenapa ya?”
“Masak sih?”
“Iya. Coba, satu kali lagi.”
Wah! Menyentuh dadanya? Ini sih bahaya! Tapi aku tidak dapat berpikir lagi. Tangan kananku bergerak menyentuh gundukan padat berukuran standar yang masih terbungkus itu. Tapi yang kurasa tidak seberapa kecuali bukit berlekuk. Coba kutekan sedikit. Hm, kenyal sekali.
“Tuh, lihat. Merinding kan?” Ika menatapku. “Tapi menyenangkan, hihihi.”
Dia mengetatkan pelukannya hingga pipi kami bersentuhan lagi. Sepertinya dia merasakan getar kewanitaannya dan ingin menikmatinya. Bukit dadanya ditekan kuat ke dadaku. Terdengar suara napasnya agak memburu. Tapi itu bukan hanya napasnya. Napasku juga menjadi pendek-pendek seperti kekurangan oksigen. Baru kusadari kalau sesuatu di bawah perutku menegang dan terasa sakit karena terkungkung celana. Aku menarik badan sedikit dan memperbaiki posisi. Ika memperhatikan wajahku yang meringis.
“Kenapa Kak?””Nggak. Cuma bikin nyaman aja,” elakku.
Aku tidak mau dia tahu kalau aku sedang tegang.
“Kamu pernah dicium, Ik?”
“Udah. Sering, malah. Di pipi. Eh, Ika pernah lihat orang ciuman di bibir. Hani juga ama Mila pernah begitu. Enak, kali ya?”
“Nggak tau. Nggak pernah, sih.” Aku tersenyum kecut. “Mau coba?” tanyaku, asal.
Entah dari mana ide konyol itu.
Ika berpikir sesaat lalu mengangguk. Wah, busyet! Kulirik matanya menutup. Aku coba mengingat-ingat bagaimana cara orang berciuman. Bayangan film dan novel-novel yang pernah kubaca tidak dapat tergambar jelas. Akhirnya aku berimprovisasi membayangkan seandainya posisiku berada di posisinya, kira-kira apa yang menyenangkan?
Mungkin merasa kelamaan, mata Ika membuka lagi. Saat menutup kembali, kelopak matanya itu yang kukecup pertama baru kemudian mencari bibirnya. Terasa napasnya menghantam leherku. Lengannya menekan erat lenganku. Asyik juga, pengalaman mendebarkan nih, pikirku sesaat.
Dua kelopak bibirnya ingin kuemut sekaligus. Tapi tidak. Pertama menelusuri kelopak atas dan kelopak bawah dengan lidahku, sekedar membasahi. Setelah menempel hangat dengan bibirku, baru aku menyibaknya. Lidahku sedikit masuk dan menggigit-gigit pelan sambil sesekali menghisapnya. Bibir Ika yang tipis penuh dan lembut itu terasa segar dan manis. Ika sepertinya cepat paham. Ia melakukan apa yang kulakukan. Tapi posisi miring membuatku kram. Setelah melepas lenganku dari bawah tengkuknya, aku menggerakkan badan ke atasnya, tapi tetap masih miring. Bukannya membantu, dia malah mendorong tubuhku dan menarik diri agak jauh. Ia bangkit tersenyum sambil berkerjap-kerjap indah.
“Ternyata rasanya seperti itu ya..?” ucapnya tanpa memandangku.
Tatapannya menerawang seperti kembali menghayati apa yang baru dirasakannya. Suasana itu membuatku diam. Aku merasa bagai dalam mimpi. Sungguh, ini pengalaman pertama yang takkan pernah kulupa, sampai kapan pun.
“Apa yang kamu pikirkan, Kak?” suara Ika terdengar normal.
Melihat caranya menatapku, aku sadar kalau seluruh hatiku sudah menjadi miliknya. Aku mencintaimu Ika, batinku.
“Kamu cantik,” elakku, bernada canda.
“Mhuummm…”
Tok! Tok! Tok!
Eh?! Refleks kami menoleh ke pintu. Jangan-jangan… mereka, wah! Dengan anggukan, Ika mengerti aku menyuruhnya membuka pintu sementara aku merapikan bantal dan sprei yang kusut.
Syukur! Ternyata resepsionis hotel. Laki-laki setengah baya itu tersenyum melihat baju kami yang kusut. Tapi dia tidak perlu curiga berlebihan. Aku yakin dia pasti tidak akan berprasangka kami berbuat yang aneh-aneh.
“Ada telepon dari official kalian,” ucapnya santai. “Mereka akan pulang malam. Sekitar jam sembilan atau jam sepuluh lah.”
Aku mengangguk sebelum ia menarik daun pintu. Ika hanya menggerendelnya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Hampir setengah empat, sekarang. Di pinggir jendela aku menemukan kesadaranku kembali dengan utuh, merasa apa yang baru saja terjadi adalah sebuah kesalahan.
“Tidak baik kita berduaan di kamar begini.” ucapku tanpa berani memandangnya.
Tapi aku merasa yakin Ika memperhatikanku. Dia mendekat dan menatap persis di depan mataku. Kulihat ada kabut di pandangannya, tapi dalam waktu singkat berubah penuh bintang. Lenganku ditarik dan kami duduk di tepi tempat tidur. Apa lagi nih, tanyaku dalam hati. Tapi dia hanya tersenyum-senyum dalam sekian detik.
“Ika merasa punya seorang Kakak, sekarang. Mmm… Kakak kandung, maksud Ika,” ucapnya bergetar.
Aku ingat dia anak tunggal. Tapi jadi kakak kandung? Tunggu dulu!
“Mau kan, Kak?”
“Apa kewajibannya?”
“Kewajiban? Yeee…” Ika menggelitikku.
Tidak tahan, aku balik menggelitiknya. Jadinya tempat tidur berantakan.
Kami bermain seperti anak kecil. Sekali waktu dia menindihku, sekali waktu aku yang menindihnya. Kecapekan, Ika merebahkan tubuhnya di dadaku. Wajah kami sedemikian dekat hingga hembusan napas kami bertabrakan. Seperti menghadapi kaca kristal yang rapuh, jemariku bergerak hati-hati merapikan anak-anakan rambut di keningnya yang berkeringat kecil.
“Kewajiban kakak yaa… keloni Ika begini.” ucapnya tiba-tiba.
Senyum tipisnya seperti penuh harap. Aku jadi ingat sesuatu.
“Munurutmu kita bisa menang di LKTI ini?”
Ika mengerutkan kening. “Nggak tau. Ika nggak yakin sih. Tapi Ika nggak nyesel ikut ini. Kan malah dapat Kakak, hihi…”
“Rival kita berat-berat. Kakak juga nggak yakin.” Aku ikut pesimis.
Sebuah pikiran konyol melintas. Dua tanganku turun ke bawah sikunya hingga menyentuh bukit kembarnya dari sisi luar. Ika menatapku tajam.
“Ik.., Kakak juga gemetar menyentuh ini,” bisikku hampir tidak kedengaran.
Aku ingat dia tadi bilang merinding, entah kalau kali ini. Dia menggeser tubuhnya, berbaring di sebelahku. Lengan kiriku terhimpit tepat di dada kanannya. Khawatir dia tidak nyaman, kutarik lenganku. Tatapannya kali ini tidak terfokus. Masih penasaran, tangan kananku menyentuh dada kirinya yang membusung. Agak grogi, tapi aku menguatkan hati. Ika diam saja. Aku coba mengelus bukit kecil yang masih terbungkus itu. Tapi dia bangkit duduk.
“Ika lepas kemeja ya? Ika pengen tau bagaimana rasanya.”
Tanpa tahu harus menjawab apa, kubiarkan dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Jantungku berdegup kencang melihat pemandangan indah kulit putih Ika yang terbuka perlahan. Dadanya masih terbalut bra putih, tapi itu cukup membuat ‘adek kecil’-ku terbangun. Ia melempar kemejanya ke kursi lalu kembali rebah di sampingku. Matanya berbinar-binar. Karena rasa penasaran? Ah, aku tidak punya waktu memikirkan perasaannya. Aku sendiri sibuk menata perasaannku yang bergolak.
Tanganku bergerak tanpa terencana mengelus lehernya. Ika membalas dengan menekan punggungku. Mungkin itu tanda dia terpengaruh. Ada urat kecil yang berdenyut cepat di lehernya. Matanya menutup membuka dengan ritme tidak teratur begitu tanganku mulai turun. Aku memperhatikan dada putihnya yang seperti membesar dan keras. Daerah itu kubelai sekelilingnya. fantasiku.com Gerakan ini membuat tekanan di punggungku makin kuat. Perlahan tapi pasti, jariku menelusup ke balik bra-nya. Dia melenguh tertahan. Tangannya pindah memeluk leherku. Kakinya juga bergerak menyilang saling himpit. Tidak dapat menahan diri, bra-nya kugeser naik. Ah, bukit kembar putih seperti salak terkupas kulitnya itu amat memikat. Seperti inikah dada seorang gadis? desahku dalam hati.
Tiba-tiba Ika bergerak. Tangannya menutup dua bukit kembarnya.
“Risih dilihat-lihat,” ringisnya, tapi lebih mirip senyum.
Kususupkan tanganku ke belakang tubuhnya dan melepas pengait bra. Kulepas hati-hati, berharap dia tidak melarang. Ika menatap tajam begitu kuraih tangannya ke leherku. Kini dari pinggang ke atas, tubuhnya terbuka. Dalam keadaan begitu, Ika lebih mirip bayi cantik yang menggemaskan. Dia memperhatikanku melepas kaosku sendiri. Kami sudah sama-sama tidak berpenutup dada saat aku setengah telungkup di atas tubuhnya.
Kembali kukecup dua kelopak matanya yang segera menutup. Turun ke hidung hingga akhirnya menempel di bibirnya. Dalam posisi begitu, dadanya yang berukuran standar itu menempel lekat di dadaku. Sambil menyibak dan menggigit-gigit kecil bibirnnya, kugoyang pelan dadaku hingga bukit kembarnya juga ikut terbawa.
Kecupanku turun ke leher. Turun lagi dan akhirnya bibirku bermain-main di sekeliling gundukan dadanya. Belahan dada Ika memiliki aroma yang khas. Di situ kubenamkan wajahku dan menghirupnya dalam-dalam seolah ingin memindahkan seluruh aroma itu ke dadaku. Pipiku jadi terhimpit dua gundukan halus itu. Begitu lidahku bermain-main di puting susunya yang berwarna ungu kecoklatan dan tegang, dua tangan Ika menekan kepalaku seperti melarangku berhenti. Lenguhannya terdengar lagi, panjang pendek. Dua puting itu basah oleh lidahku.
Saat puting susunya kuemut sambil sesekali mengisap dan menggigitnya pelan, tanganku memilin, mengusap dan menarik-narik pelan puting yang satunya. Kali ini lenguhan Ika agak keras dan tekanan tangannya juga menguat.
Semenit kemudian, tanganku bergerak ke bawah sementara lidahku tetap di atas. Jari kananku berputar-putar dan mencucuk-cucuk pusarnya. Di situ Ika menggeliat-geliat dan merintih. Tanganku terus ke bawah, menarik reslueting turun. Sesaat ia tegang, tapi akhirnya pahanya membuka memudahkanku menurunkan resluiting. Ikat pinggangnya gampang dilepas hingga dengan cepat telapak tanganku kemudian mendarat penuh di antara pahanya yang membusung. Daerah yang terbungkus CD itu terasa hangat. Aneh, pikirku. Kok, panas?
Aku tidak berniat melepas celana panjang dan CD-nya. Telapak tanganku menempel lama di situ, merasakan kehangatan yang empuk dan ajaib itu. Tubuh Ika meliuk-liuk kusentuh di dua tempat begitu. Dia berusaha menahan rintihannya, tapi sesekali terlepas juga. Ekor mataku melihat dia berusaha membasahi bibir dengan lidahnya. Seperti kehausan.
Tidak cukup, telapak tanganku kutekan ke dalam hingga daerah yang gemuk itu seperti melebar, lalu jari tengahku membuat gerakan menggaris, ke atas ke bawah. Aku tahu, tepat di tengah gundukan hangat itu ada lekuk belahan memanjang. Lama-lama CD di lekukan itu basah dan agak lengket. Rintihan Ika mulai bergelombang. Daerah pusarnya juga turun naik seperti ombak. Napasnya mulai megap-megap.
Sambil tanganku terus melakukan gerakan turun naik dan sesekali mengilik bagian atas yang ada klentitnya. Pilinan, gigitan dan sedotanku pada puting susunya juga kuperkuat. Rasanya aku tidak habis pikir kenapa semua itu kulakukan. Mungkin pengaruh bacaan dan film yang pernah kutonton.
Sedikit kesadaran menghampiriku. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku berhenti. Tubuhku kutarik ke atas dan mengecup keningnya tulus. Geliatnya juga berhenti dan kelopak matanya membuka. Aku merasa dia penasaran. Tapi aku jadi kasihan. Rasa sayangku melebihi gairahku saat itu. Kulihat di keningnya ada bintik-bintik keringat. Ah Ika, desahku dalam hati. Aku mencintaimu, tapi kenapa aku melakukan ini padamu? Penuh rasa penyesalan, aku membaringkan tubuh di sampingnya. Lama kami terdiam dengan tatapan ke langit-langit kamar.
“Ika gemetaran Kak.” bisiknya parau.
Tanganku bergerak ke bawah menaikkan celana dan CD-nya.
“Maafkan aku, Ik.” bisikku pelan di telinganya.
Ia menengadah dan kudapati matanya berlinang.
“Ika berharap jadi adikmu Kak,” jawabnya, juga pelan. “Mestinya Ika tadi tidak buka baju. Jadinya begini deh.” dia meringis kecut.
“Kakak juga nggak bisa tahan diri. Penasaran, sih.”
“Kakak pernah begini?”
Aku menggeleng keras. “Cuma pernah lihat di film aja. Pernah juga baca novelnya. Jadinya ya, pengen rasa betulan, hihi.”
“Sama seperti tadi?” dia mendelik nakal.
Cepat-cepat kuraih bra dan kemeja lalu mengancingnya. Geloraku naik lagi begitu menyentuh dadanya kembali. Tapi aku menguatkan diri untuk tidak terpengaruh. Ika tersenyum-senyum menatapku.
“Ika tadi cuma pengen buka baju aja. Kalau Kakak terus ke bawah, Ika akan larang. Tapi kok Ika nggak mampu larang ya? Rasanya Ika keenakan. Pengen terus.”
“Itu bahaya banget, Ik.”
“Kok, Kakak bisa nahan diri ya?”
Aku tertegun. Iya ya? ulangku dalam hati.
“Mungkin aku ingat kamu akan jadi adikku.”
Aku mencium keningnya, lagi.
“Kalau Papamu tau, bukan cuma perang dunia yang terjadi. Armageddon, malah.”
Ika meringis. Dia meraih kaosku dan memakaikan ke tubuhku. Tangannya sempat mencubit putingku yang dilingkari bulu-bulu halus. Aku memekik kecil lalu mendorongnya. Kulumat sekali lagi bibirnya sebelum akhirnya melompat turun.
“Jam empat, Ik. Mandi yuk..!”
“Kakak duluan gih. Ika nyusul. Beresin sprei dulu.”
Kamar mandi kututup tapi tidak kukunci. Aku yakin Ika menyusul. Aku juga yakin dapat menahan diri menghadapinya. Kubuka pakaian dan menyisakan CD. Tidak biasanya aku mandi begitu. Tapi aku risih kalau polos di depannya. Ika menyusul dengan lipatan handuk dan beberapa potong pakaian. Cepat-cepat aku masuk bathtub. Ika juga menyisakan CD-nya dan masuk. Aku menelan ludah melihatnya.
“Tubuhmu indah Ik,” sambutku meraih pinggang dan menuntunnya duduk membelakangiku.
“Kamu juga atletis, Kak.”
Aku menyiram dan mulai menyabuninya. Menyentuh daerah dadanya, Ika rebah di dadaku.
“Ihhh..!” tiba-tiba ia memekik.
Tangannya mencari-cari bagian bawah tubuhku. Sebelum kusadari, ia sudah memegang daerah rahasiaku dan menggenggamnya.
“Jangan..!” sentakku panik. “Bahaya Ik.”
“Hihihi. Besar, ya…” ia terkikik dengan wajah merah melepas genggamannya. “Tegang, ya..?”
Aku tahu dia penasaran. Tapi ia tidak boleh kubiarkan. Bisa-bisa aku tidak mampu menahan diri.
Melampiaskan rasa penasarannya, dia berbalik menunduk di dadaku dan mengecup kuat hingga membekaskan tanda merah. Sesaat aku tergetar. Kususupkan kepalaku ke dadanya dan balas mengecup satu setengah senti dari putingnya. Ika menggeliat-geliat. Ditekannya kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Kutau dia terangsang hebat. Timbul pikiran untuk menyusupkan tanganku ke balik CD-nya. Tapi aku khawatir tidak dapat menahan diri. Akhirnya kubalikkan lagi tubuhnya. Kusabuni seluruh tubuhnya pelan. Tanganku gemetar di pangkal paha. Cepat-cepat kupindahkan ke dadanya. Daerah lembut kenyal itu kubelai sambil sesekali menekan. Ika tersenyum memeluk leherku. Kulihat dia keenakan tapi dapat bersikap wajar.
Tidak puas-puasnya aku memandang dan membelai dada indahnya. Ia menyadari itu dan mengatupkan mata.
“Gadis yanng sempurna,” ucapku dalam hati tidak bosan-bosannya.
“Ika seperti mau pipis, Kak.” bisiknya tiba-tiba.
Pinggul dan betisnya bergerak-gerak, sementara lengannya erat menekan lenganku.
“Eh?!” Aku tertegun kaget. Mau pipis? Jangan-jangan dia mau orgasme. Menurut yang kubaca, orgasme adalah puncak kenikmatan seks.
Weeh, kulihat gerakan Ika semakin tidak terkendali, sementara tanganku tanpa sadar menekan dan menggoyang buah dadanya agak cepat. Dua jari telunjukku menjepit putingnya.
“Aaah… Emmh… Kak,” dia merintih membuat tanganku bergerak turun ke bawah. Di segitiga pengamannya, telapakku menekan kuat. Itu membuatnya makin menggelinjang. Aku tambah yakin dia mau orgasme.
Tangan kanannya pindah ke tepi, mencengkeram bathtub, sementara yang kiri turun menempel di tanganku yang masih menekan CD-nya. Ditempeli begitu, jari tengahku kugerakkan membentuk garis ke atas dan ke bawah. Tangannya juga ikut terbawa. Ah, rintihan dan geliat tubuhnya mempengaruhi ‘adek kecil’-ku yang terbawa gerakan pinggulnya. Rasanya seperti mau pipis juga. Hey, seperti inikah rasanya kalau mau orgasme? Saya sudah berulang-ulang orgasme lewat mimpi. Tapi nyata-nyata seperti ini adalah hal baru. Jadi ini adalah pengalaman pertama.
Kulihat kening Ika berkerut dengan kepala yang bergoyang gelisah ke kiri dan kanan. Tangannya yang menempeli tanganku kunaikkan ke dada yang satunya, lalu kembali ke bawah. Dengan kebebasan begitu, jari tengahku kugerakkan makin cepat dengan tekanan yang lebih kuat. Tangan yang di dada juga bergerak meremas memilin makin gemas.
Gerakan Ika tambah liar di antara rintihannya yang tertahan-tahan. Aku juga merasa di tengah tubuhku seperti ingin melepas sesuatu yang mendesak-desak. Tubuhku terasa bergetar, entah karena getaran tubuhku atau getaran tubuh Ika.
“Emh… Mhhh… Mhhh… Kaak..!”
“Yaa… Emhh… Emhhh..” rintihan Ika menulariku.
Keringat keluar deras di keningnya dan keningku. Matanya tertutup rapat dengan hidung kembang kempis dan napas megap-megap. Aku merasa tidak jauh beda dengannya.
Tiba-tiba di tengah gerak tanganku yang turun naik, Ika mencengkeram kuat tanganku di bagian atas CD-nya. Kupikir itu daerah klit-nya, sebab terasa ada tonjolan kecil seperti butir jagung, tapi lebih kecil lagi. Kupaksakan turun agak ke bawah dan menekan kuat di situ. Gerakan tubuh Ika membuatku terangsang hebat. Tiba-tiba tangan kiriku mencengkeram dan meremas kuat bukit dadanya, sementara jari tengahku tertekan kuat di belahan paling bawah CD-nya. Aku menggeletar hebat dipengaruhi sesuatu yang menderu deras di ‘adek kecil’-ku.
Aliran deras itu mendesak kuat dan… jebol! Aku megap-megap ingin berontak. Gerakan itu menyebabkan jariku tegang dan menusuk kuat hingga masuk hampir setengahnya bersama CD Ika. Saat itu juga Ika memekik gemetar dan menggelepar-gelepar. Rupanya dia tiba di puncak menyusulku.
“I.. Ik.. Ika… pipis Kaak..! Ah… ah… aahh..!”
Tanganku seperti mau patah dicengkeramnya. Di antara sisa-sisa orgasmeku, aku merasa jari tengahku panas dijepit kuat oleh belahan agak bawah di antara pahanya. Ada kedutan yang keras. Sungguh kuat dan menjepit. Lama-lama kian melemah.
Ika dan aku sama-sama terkulai lemas. Kami menentramkan perasaan dan mengatur napas yang masih memburu. Tiga menit kemudian, Ika berbalik memelukku, menelusupkan kepalanya di leherku.
“Ika lemas, Kak.” bisiknya lemah.
Aku menggigit-gigit bahunya pelan. Coba me-replay perasaan yang kurasakan. Ajaib nan nikmat.
“Ika seperti terbang,” bisiknya lagi. “Enak banget.”
Aku terdiam. Ika mungkin tidak tahu kalau aku juga mencapai klimaks. Mungkin karena pengaruh geliat tubuh dan rintihannya. Atau mungkin karena sudah tegang sejak beberapa jam lalu. Atau karena yang kuhadapi adalah Ika, gadis yang telah lama memikatku ini. Atau mungkin karena ketiga-tiganya.
Ika menggeliat linglung, melepaskan diri dari dekapanku. Aku ikut bangkit. Kuraih dan mendekap tubuhnya di bawah shower yang mengguyur kami.
Jam lima sore di teras, kulihat mata Ika yang malu-malu seperti dipenuhi bintang. Dengan rambut masih agak basah begini dia kelihatan lebih cantik. Duduk bersisian begitu, membuat beberapa tamu hotel mencuri-curi pandang ke arah kami. Aku senyum-senyum bingung, tidak tahu persis apa yang ada di benakku. Di sisi lain aku bahagia, di sisi lain aku merasa malu dengan perasaan berdosa. Ah, sepertinya rasa malu lebih mendominasi perasaanku.
“Kita telah melakukan kesalahan, Ik.”
“Jangan disebut-sebut lagi Kak. Ika malu.”
“Iya, tapi mengenai ini Kakak nggak bakal lupa.”
Ika tidak menjawab, hanya mencubit pahaku pelan.
Kami kembali pulang hanya dengan satu trophy. Ika meraih nomor tiga dalam LKTI itu. Aku hanya dinilai berbakat. Aku memang gagal, tapi yang kualami dengan Ika lebih bernilai daripada sebuah trophy. Kuakui itu membuatku merasa dikejar-kejar perasaan malu dan berdosa, tapi di sisi lain itu adalah hal terindah sejak aku mengenal dunia.
Di sekolah, kami memang akrab. Tapi tidak beda jauh dibanding hari-hari sekolah sebelumnya. Malah terkesan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal aku ingin sekali dapat mendekapnya lagi, walaupun hanya menghirup aromanya.
Suatu hari ia datang ke rumahku. Aku senang sekaligus bingung melihat wajahnya disaput kabut.
“Papa dapat promosi Kak. Terpaksa pindah dan Ika harus ikut.”
Berita itu seperti memaku tubuhku ke kursi. Aku hanya terdiam dan tertegun menatapnya. Air matanya turun dan membasahi pipi mungilnya. Khawatir kepergok Mama, aku hanya mengecup dan memeluknya singkat.
Itu hari terakhir aku bertemu dia. Sampai lima bulan kami masih ber WA an. Tapi setelah itu, setelah dia mengatakan akan dipindahkan lagi, aku dan Mama juga pindah. Pamanku di Manado yang panggil. Beliau pengusaha sukses. Sampai aku selesai SMU, menyelesaikan diploma teknik sipilku, kerja di kontraktor tiga tahun dan kini sedang cari S1 di teknik arsitektur sebuah Universitas swasta di Ujung Pandang, aku tidak dengar lagi beritanya. Dimanakah kau Ika?
Ika, cerita ini khusus untuk kamu. Tahukah kamu bahwa aku tidak mau menjadi kakakmu? Aku ingin kamu jadi istriku! Tahukah kamu bahwa tidak ada nama gadis lain selain kamu di hatiku? Di lebaran kemarin ini, aku ingin minta maafmu atas kesalahanku waktu itu. Andai kamu sekarang sudah jadi milik orang lain, masih bolehkah kita bertemu walau hanya sekedar menatap dan mencium aroma harum rambutmu? Ah, dimanakah kau Ika sayang..?,,,,,,,,,,,,,