Bernard

Bernard
Masa SMU memang masa yang paling menyenangkan. Di masa itulah saya bertemu dengan Bernard, pria pertama yang kutaksir. Kami satu SMU di sebuah sekolah swasta Jakarta Pusat. Meskipun mahal, orangtuaku yang berpenghidupan pas-pasan memaksakan diri untuk membiayai sekolahku. Saya bersekolah dengan giat meski selalu dapat angka merah untuk matematika sialan. Sewaktu naik ke kelas 2 (tahun ajaran 1997/1998), saya bertemu Bernard. Pada pandangan pertama, saya langsung jatuh cinta. Saya ingin memiliki dirinya. Di dalam kelas, saya selalu mencari alasan untuk menengok ke belakang agar dapat memandang wajah tampannya meski hanya sedetik saja.

Bagiku, Bernard adalah pria terganteng yang pernah kulihat, meskipun banyak yang beranggapan sifatnya agak ‘reseh’ dan terkadang centil. Namun kecentilannya itu tidak parah (tak seperti bencong sejati) dan hanya keluar pas dia ingin bercanda saja. Tubuhnya proposional, tak ada lemak. Saya sering mengintipnya mengganti pakaian tiap kali pelajaran olahraga selesai.

Ah.. Dadanya itu sangat menggoda selera. Memang dadanya tidak bidang tapi lumayan seksi. Kedua putingnya selalu dalam keadaan hampir tegang. Ingin rasanya saya memilin-milin keduanya agar mereka tegang melenting. Saya paling suka melihatnya habis motong rambut, biasanya dengan model cepak pada bagian belakang. Ganteng sekali! Apalagi pas dia tersenyum. Senyumannya sejujurnya tidak smepurna, sebab gigi depannya pecah sedikit di bagian bawah. Tapi justru gigi itulah yang semakin membuatku jatuh cinta padanya. Hingga pada suatu hari..

“Belum dijemput bokap?” tanyanya ramah saat melihatku sedang berdiri sendirian di depan pintu sekolah. Saya menggeleng.
“Belum, tuh, Kenapa mau antarin gue pulang?”
“Kamu mau pulang sama gue?” tanyanya, tertawa kecil. Dia menyandarkan tangannya pada bahuku. Jantungku serasa copot! Bernard mau mengantarku pulang. Astaga, kesempatan emas, nih.
“Mau sekali,” jawabku spontan.
“Daripada nungguin bokap gue yang gak tau kapan baru datang. Bendingan ikut ama loe.”

Singkat cerita, saya pun mengikutinya berjalan ke dalam mobilnya. Tentu saja sebelumnya saya sempat memakai telepon umum untuk mengabarkan pada keluargaku bahwa saya akan pulang dengan teman. Di dalam mobilnya, Bernard terus saja tersenyum padaku. Lalu tiba-tiba, tangannya disapukan ke atas pahaku. Saya agak merinding dengan nikmat dibuatnya.

“Kamu suka dipegang seperti ini?” tanyanya mendadak. Mukaku langsung memerah, salah tingkah.
“Tak perlu takut. Gue sadar benar, kok, kalo loe sering liatin gue di kelas.”

Saya tak tahu harus berkata apa. Malu sekali, kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Tapi Bernard menengadahkan kepalaku dengan jarinya dan tersenyum manis padaku.

“Gue sebenarnya juga suka ama loe.” Kutatap wajahnya dengan mata hampir melotot.
“Hah? Apa loe bilang?” tanyaku, tak percaya. Saya ingin memastikan bahwa saya tak salah dengar.
“Gue naksir loe, Endy. Gue pengen kita pacaran. Loe mau kan jadi pacar gue?”

Ucapannya sungguh di luar dugaan. Tak ada yang lebih bahagia selain mendengar ucapan ‘I love you’ dari seorang pria yang kita taksir. Jantungku berdegup kencang sekali, hampir lepas dari tempatnya.

“Gimana? Mau jadi pacar gue?” tanyanya lagi, penasaran. Saya hanya dapat mengangguk-ngangguk, tersenyum bahagia. Tanpa malu, saya memeluk Bernard dan menangis di bahunya. photomemek.com Bukan tangisan sedih, melainkan tangisan kebahagiaan.
“Sekarang kita ke tempat gue, yuk,” katanya. Saya langsung menatapnya dengan pandangan bingung. Bagaimana dengan keluarganya? Seakan bisa membaca pikiranku, dia berkata.
“Tenang saja. Ortu gue pergi ke luar negeri dan adik gue keluar ama cowoknya. Kita bebas di kamar gue.” Tiba-tiba dia terdiam, dan hanya memandangi wajahku.

Saya sampai salah tingkah dipandangi seperti itu. Lalu wajah tampannya mendekat, mendekat, dan semakin mendekat. Kemudian, bibir kami pun saling bertautan, terkunci dalam lautan nafsu. Kami saling berciuman ala french kiss, tanpa mempedulikan keadaan sekitar.

“Aahh..” desahannya saat melepas ciumannya.
“Gue cinta banget ama loe, Endy.”

Setibanya kami di rumahnya, Bernard segera mengajakku naik ke kamarnya. Rumahnya tak terlalu mewah, tapi akan sungguh menyenangkan jika dapat tinggal di tempat itu. Begitu pintu kamarnya dibuka, saya terkejut melihat poster-poster pria bertelanjang dada yang memenuhi dinding kamarnya. Tubuh mereka semuanya berotot.

“Loe gak takut ortu loe tau kalo loe ini doyan cowok?” tanyaku.
“Mereka gak curiga sebab itu semua ‘kan poster buat memotifasiku fitness. Paling enggak, itu yang mereka pikir,” jawabnya sambil menutup pintu.
“Ayo sayang. Let’s make love,” katanya.

Berjalan pelan-pelan ke arahku, Bernard mencopot semua kancing seragamnya, lalu membiarkannya jatuh ke atas lantai. Saya hampir lemas melihat dadanya yang mulus, ingin sekali kujilatin dadanya. Berikutnya, Bernard melepas celana panjangnya, beserta celana dalam putihnya. Dan Bernard Jr langsung menampakkan dirinya. Ukurannya pas dan normal sekali untuk pria Asia.

Bernard mengerdipkan matanya padaku, memohon agar saya pun melepas seragamku. Tentu saja kuturuti! Saat tanganku sibuk melepas kancing bajuku, jantungku berdegup semakin kencang. Saya sadar bahwa saya akan segera kehilangan keperjakaanku. Tapi tentu saja tak apa-apa sebab saya rela memberikan apa saja untuk Bernard-ku yang tersayang. Begitu semua pakaianku lepas, kontolku yang berukuran hampir 5inci (hampir 15cm) terhunus dan berdenyut-denyut.

Bernard langsung menerkamku. Tubuh kami terjatuh tepat ke atas ranjangnya yang besar dan empuk. Di sanlah, Bernard sibuk menciumiku. Aahh.. Nikmatnya dicium olehnya. Tanganku sibuk meraba-raba punggungnya yang hangat. Oohh.. Kehangatan yang amat kurindukan. Bernardku yang tersayang. Kontol kami yang tegang saling bergesekkan, saling menurunkan kulit khitan, sehingga kepala kontol kami yang basah dan kemerahan itu pun menyembul keluar. Lama-kelamaan ciuman Bernard menjadi semakin liar dan bersemangat. Erangan-erangan lemah mulai terdengar.

“Aahh.. Uuhh.. Hhoohh.. Uugghh..”
“Gue sayang ama loe, Endy.. Oohh.. Gue cinta loe.. I love you.. Uuhh.. Te amo.. Aahh.. Wo ai ni.. Hhoohh..” Seolah inign membutku terpesona, dia mengucapkan ‘I love you’ dalam berbagai bahasa.

Terdengar agak konyol dan kampungan, tapi bagi sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta dan nafsu, kata-kata konyol itulah yang semakin mengobarkan nafsu mereka. Saya terlena dalam cumbuannya. Dengan ahli sekali, Bernard menciumi seluruh tubuhku, mulai dari bibirku, turun ke leher, dada, perut, lalu berakhir di kontolku yang ngaceng berat. Lelehan precum yang keluar dijilatinya dengan penuh nafsu.

“Mm.. Enak sekali.. Gue suka..” SLURP! SLURP! Kemudian, dia kembali menciumi bibirku sambil merangkul tubuh telanjangku erat-erat. Kami berguling-guling, saling mencium dan saling meraba. Lama-kelamaan kami bosan dan ingin yang lain.

Tanpa disuruh, saya menunggingkan pantatku dan memposisikan badanku seperti anjing. Dengan napas memburu-buru, Bernard pun memposisikan tubuhnya tepat di lubang anusku. fantasiku.com Tak pernah terpikirkan untuk memakai kondom. Walaupun terpikirkan, kami pun tak memiliki kondom. Pertama-tama, Bernard menggoda anusku dengan mengusap-ngusapkan kepala kontolnya pada anusku yang berdenyut-denyut. Lama rasanya menunggunya menusukku dengan kontolnya.

“Bernard, ayo donk, sayang. Tusuk gue dengan kontol loe. Berikan kontol loe. Gue mau kontol loe. Ayolah, sayang. Fuck me, come on.”
“OK, tahan yach, say. Bakal sakit dikit.”

Dengan itu, Bernard pelan-pelan menyelipkan kepala kontolnya masuk ke dalam anusku. Pada mulanya susah sekali. Lubangku begitu ketat dan kepala kontolnya begitu besar. Dibantu cairan precum, kepala kontol itu pun berhasil membuka anusku sedikit. Lalu dengan tambahan dorongan tenaga, kontolnya pun melesat masuk dengan bunyi PLOP.

“AARGGHH!!” erangku, kesakitan, tapi nikmat. Untuk sesaat, kami tidak melakukan apa-apa. Masing-masing mencoba untuk menyesuaikan diri.
“Loe gak ‘Pa-Pa, ‘kan?” tanyanya, mengusap-ngusap pungungku.
“Gak ‘Pa-Pa, kok,” jawabku, meringis kesakitan. Lubang anusku serasa sobek ditarik paksa seperti itu.
“Ayo, fuck me, baby. Sodomi pantat gue. Gue suka kontol loe. Ayo, Bernard,” bujukku.

Tanpa disuruh lagi, Bernard mulai menarik mundur kontolnya. Saya dapat merasakan dengan jelas gesekkan kontolnya dengan dinding ususku. Bernard menarik kontolnya sampai kepala kontolnya hampir tercabut keluar. Lalu dia kembali menusukkannya dalam-dalam.

“AARRGHH!!” Kami berdua mengerang, nikmat bercampur sakit.

Saya mengerang karena lubang anusku terasa sakit sementara Bernard mengerang karena kepala kontolnya yang sensitif terasa sakit ketika bergesekkan dengan dinding ususku. Tapi rasa sakit itu tak menghalangi kami untuk memadu kasih. Kami melakukannya atas dasar cinta, saling memberi dan menerima kepuasan. Butuh beerapa saat sampai rasa sakit itu memudar dan digantikan oleh rasa nikmat. Rasanya enak sekali disodok-sodok dengan kontol. Tubuhku agak terguncang-guncang setiap kali dia mendorong kontolnya dalam-dalam.

“AARRGGH!!”

Jika hal ini bisa berlangsung untuk selamanya, saya sungguh menginginkannya. Sodokan Bernard sendiri semakin bertenaga sampai-sampai saya merasa seolah-olah kontolnya bakal keluar lewat mulutku!

“Oohh yyeess.. Aarrgghh..” erang Bernard.
“Hhoohh.. Fuck! oohh.. Fuck! uuggh.. Ngentot! aarrgghh..” Saya tak keberatan jika dia ingin mengucapkan kata-kata kotor dalam acara seks kami. Malah saya suka.
“Oohh.. Fuck you! oohh.. Gue ngentotin pantat loe.. Oohh.. Ngentot! uuggh..”
“Aahh yeah.. Ngentotin gue, Bernard.. Ngecret di dalam badan gue.. Uugghh.. Hamilin gue, sayang..” balasku, terengah-engah. Keringat mulai bercucuran membasahi wajah dan punggungku. Nampaknya hal yang sama terjadi pada Bernard sebab saya merasakan beberapa tetes keringat jatuh ke atas tubuhku.
“Aahh..” erangku, lebih terangsang.

Ingin segera ngecret, saya meraba-raba kontolku. Kasihan dia, dari tadi tegang terus tapi tak ada yang urus. Tapi Bernard menyingkirkan tanganku.

“Biar gue aja, say.. Uuhh.. Biar gue coliin kontol loe.. Aarrgghh.. Oohh..”

Dengan cekatan, Bernard membungkus kontolku dnegna telapak tangannya lalu dia mulai memerasnya. Gerakannya stabil, naik-turun, naik-turun. Aahh.. Tangannya terasa nikmat sekali. Sedikit kasar, tapi saya suka. Kami berdua terus-menerus saling memuaskan. Saya berusaha menjepit kontolnya dnegan otot pantatku sementara dia berusaha menyenangkanku dengan menyodokkan kontolnya sedalam dan sekeras mungkin. AARRGHH..!!

Tiba-tiba Bernard mengerang. Dia merasakan spermanya mulai bergerak naik, memaksa untuk keluar.

“Uhh.. Uhh.. Uhh.. Uhh.. Uhh.. Sayang.. I’m cumming.. Hh.. Ahh..,” erangnya. Tubuh seksinya berkelojotan, bergetar dengan hebat. Namun dia tak memperlambatkan sodokan kontolnya, malah makin mempercepatnya. Saya sampai menjerit-jerit karena rasa nikmat yang amat luar biasa. Untung saja rumah Bernard sepi, jadi kami bebas melampiaskan perasaan nikmat kami.

“Ohh.. Ohh.. Ohh.. Ohh.. AARRGGHH!! UUGHH!! AAHH” CROT.. CCRROOTT.. CCRROOTT.. CCRROOTT.. Kurasakan sperma Bernard tumpah ruah dalam perutku, berenang-renang seperti perenang Olimpiade. Anusku menyedot-nyedot semua spermanya agar tak ada setetes pun yang mengalir keluar. Bernard pun terkulai lemas, menimpa tubuhku. Keringat kami menyatu, menyebarkan aroma kelaki-lakian yang menusuk. Jari-jarinya membelai lembut rambutku.

“Oh Endy.. Nikmat sekali, sayang..,” desahnya pelan. Kedua matanya terpejam, menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Sekarang giliran loe, yach, sayang.”

Segera Bernard mencabut kontolnya. Nampak basah dengan spermanya dan cairan di dalam perutku. Setelah membersihkan kepala kontolnya secara kilat, Bernard membaringkan tubuhku di atas ranjangnya. Kami saling bertatapan dan dapat kulihat pancaran sinar cinta di balik sorot matanya yang teduh. Astaga, alngkah tampannya dia.

Sulit kupercaya bahwa sayalah yang beruntung mendapatkannya. Lalu Bernard kembali menjilati tubuhku. Rasanya lama sekali sampai dia akhirnya mencapai kontolku yang kini bocor dengan precum. Tanpa ragu, Bernard mengulumnya dan terus menyedotnya seperti menyedot minuman. Bedanya, ‘sedotanku’ besar sekali:) Lidahnya menari-nari di atas permukaan kepala kontolku yang amat sensitive, membuat tubuhku kelojotan seperti tersengat listrik.

“Aarrgh.. Uugghh.. Hisap terus, say.. Ayo, Bernard.. Oohh.. Kasihku.. Hisap kontol gue.. Ooh yyess..”

Untuk menambah rangsangan, kedua tangan Bernard merambah naik dan menemukan kedua putingku. Tanpa ampun, mereka mencubiti putingku. Tentu saja saya mengerang kesakitan dan agak memberontak. Namun cubitannya membangunkan kedua putingku. Begitu putingku berdiri, Bernard dengan leluasa memain-mainkan mereka. Saya semakin kalang-kabut dengan sensasi-sensasi nikmat yang kurasakan. Semuanya berpadu menjadi satu dan memaksa pejuhku untuk naik.

“Oohh.. Sayang.. Saya keluar.. Ooh.. KkelluaaAARRGHH..!! UUGGH!! OOHH!! OOHH!!” Tubuhku mengejang-ngejang, dan hampir saja Bernard terbanting ke lantai.

Dia berusaha menahan gerakan tubuhku, seperti koboi yang berusaha menjinakkan banteng. CCRROOTT!! CCRROOTT!! CCRROOTT!! Spermaku terus tersemprot ke alam mulut Bernard. Tanpa protes, dia menahan semuanya di dalam mulutnya. Beberapa tetes sperma mengalir keluar dari sisi bibirnya.

“Aahh..” desahku, letih, saat spermaku yang terakhir habis dikeluarkan. Bernard melepaskan sedotannya dan menatapku, bibirnya terdapat tetesan spermaku.

Langsung saja, saya menciumnya. Bibirnya terbuka dan menyatu dengan bibirku. Spermaku yang tertampung di dalam mulutnya tumpah ke dalam mulutku. Tak ada rasa jijik sedikit pun. Kami saling bertukar air ludah dan berbagi spermaku. Dengan adil, kami membaginya lalu menelannya. Aahh.. Nikmat sekali. Acara diteruskan dengan afterplay yang melibatkan banyak sekali ciuman. Dan kami pun tertidur dalam rangkulan masing-masing..

*****

PS: Bernard adalah cowok yang kutaksir pertama kali. Cerita ini kupersembahkan untuknya, walaupun dia sendiri tak tahu

Tamat
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Author: admin