AKU baru saja mau tidur sewaktu pintu kontrakanku diketuk oleh seseorang dengan tergesa-gesa.
“Dek Pendi..ii… Dek…! Dek Pendi…!!”
Suara itu terdengar seperti suara Mbak Aisha, tetangga sebelah kiri kontrakanku. Lalu aku segera bangun membuka pintu.
Ternyata benar Mbak Aisha. “Mmm… mmm… mmm…” Mbak Aisha berkata tergagap.
“Ada apa, Mbak…? Jangan gugup…” kataku.
“Mmm… mmmm… anu, Dek Pendi… mmm… Fadilah… Fadilah muntah-muntah, badannya panas…” jawab Mbak Aisha panik.
Hanya memakai celana pendek dan kaos oblong aku segera ke rumah Mbak Aisha dengan Mbak Aisha.
Fadilah yang sedang sakit terbaring lemas di kasur yang digeletakkan di lantai hanya ditutupi dengan kain batik.
“Jadi… Fadilah mau dibawa ke dokter nih, Mbak…?” tanyaku.
“Nggak tau deh, Dek Pendi… Mbak bingung…” Mbak Aisha menarik aku keluar dari rumahnya lalu berbisik padaku, “…Mbak nggak punya duit, Dek Pendi…”
“Baiklah Mbak, kalau begitu aku yang ngurus, tapi sudah malam begini, mana ada dokter yang masih buka, Mbak… apa nggak lebih baik kita bawa Fadilah ke rumah sakit saja?” kataku.
“Terserah Dek Pendi saja baiknya bagaimana…” jawab Mbak Aisha.
“Ayo Mbak, kita bergerak cepat, aku ambil handphone dulu sama dompet…” kataku balik ke kontrakanku.
Aku segera meraih handphone dan dompetku yang mungkin hanya berisi 200 ribu kurang, secepatnya aku mengunci pintu kontrakanku, lalu pergi ke rumah Mbak Aisha.
Suami Mbak Aisha, Mas Lamin pekerjaannya adalah sebagai sopir bus AKAP.
Mas Lamin jarang kelihatan di rumahnya, tetapi tetap saja ia pulang ke rumah, cuma harinya tidak menentu.
Aku yang tinggal di kontrakan ini sudah setengah tahun, bertemu dengan Mas Lamin hanya 4 kali.
Aku segera masuk ke rumah Mbak Aisha dan, ohhh….
Langkahku tidak bisa mundur lagi. Kalau hari biasa, bisa jadi aku tidak bisa melihat pemandangan seperti ini. Tetapi mungkin karena panik, Mbak Aisha memakaikan celana panjang pada Fadilah dalam keadaan Fadilah telanjang bulat!
Fadilah sudah dewasa, berumur 22 tahun. Sehari-hari pekerjaan Fadilah di rumah saja membantu ibunya berjualan gado-gado di depan kontrakan.
Bayangkan, bagaimana berdegupnya jantungku saat melihat tubuh Fadilah yang telanjang.
Aku tidak tau Fadilah sudah punya pacar atau belum. Yang jelas, aku bisa melihat tubuh telanjang Fadilah semuanya.
Payudara Fadilah masih segar dan kencang bagaikan 2 buah bola karet yang bulet dan besarnya seperti nasi kotak atau nasi yang dibungkus dengan kertas putih untuk teman makan ayam goreng.
Di pucak bulatan itu terdapat puting susunya yang berwarna coklat dan besarnya kira-kira setengah buku jari kelingking orang dewasa.
Belum lagi di bagian bawah perutnya. Aku bisa melihat bulu kemaluan Fadilah yang tipis hitam berada di bagian atas gundukan selangkangannya dan juga vagina Fadilah.
Karena Mbak Aisha belum selesai memakaikan celana pada Fadilah, untuk melihat lebih jelas tubuh telanjang Fadilah, buru-buru aku berkata pada Mbak Aisha, “Mari aku bantu, Mbak.”
Fadilah berwajah biasa-biasa saja, kulitnya berwarna coklat sama dengan warna kulit ibunya, tetapi penisku jadi tegang dibuatnya.
“Kalau begitu Mbak pesan mobil ya, Dek Pendi…?” kata Mbak Aisha meninggalkan aku yang sedang berjongkok di samping pembaringan Fadilah, sedangkan Fadilah sudah memakai celana, tetapi belum dipakaikan baju.
Aku mengerti maksud Mbak Aisha. Mbak Aisha meninggalkan Fadilah padaku supaya aku memakaikan baju pada Fadilah.
“Aku mau dibawa kemana sih, Bang…?” tanya Fadilah padaku setelah Mbak Aisha ke luar ke depan rumah membawa hapenya.
“Ke rumah sakit…” jawabku.
“Nggak mau ah, Bang. Nanti aku disuntik dan nggak boleh pulang…”
“Abang akan menjaga kamu sampai kamu sehat, kamu tenang saja. Ok…?” jawabku.
Tiba-tiba Fadilah bangun memeluk aku. Aku kelabakan, dan sekaligus senang.
Kelabakan karena aku khawatir Mbak Aisha sudah memesan mobil lalu masuk ke rumah melihat Fadilah memeluk aku dalam keadaan telanjang dada.
Senang, karena kemudian aku bisa memeluk Fadilah yang masih gadis dan merasakan bulatan teteknya mendekap di dadaku dan aku bisa mengusap-usap punggungnya yang telanjang.
“Pakai bajumu dulu, sebentar lagi mobil datang.” kataku.
Fadilah menurut. Ia duduk di kasur, aku memandang teteknya.
“Emmm…” gumannya malu. “Tetek aku jelek ya, Bang…?”
“Siapa bilang…?” tanyaku. “Bagus kok… Abang suka tetek yang mungil… boleh Abang cium…?”
Fadilah melapangkan dadanya menyerahkan payudaranya kucium. Kucium puncaknya yang berputing itu, ahhh…
Fadilah beruntung sudah tengah malam Mbak Aisha masih bisa dengan cepat dan lancar mendapatkan mobil dan disuruh menunggu sekitar 10 menit.
Sewaktu mobil datang, aku yang memapah Fadilah ke mobil, sedangkan Mbak Aisha yang hanya memakai daster tipis memakai mantel untuk menahan dingin, sekaligus melindungi payudaranya yang tidak memakai BH.
Aku mencari rumah sakit yang paling dekat dan malam itu ruang UGD rumah sakit itu sepi sehingga Fadilah bisa segera ditolong oleh dokter jaga.
Mbak Aisha menempel terus padaku.
Dan setelah Fadilah diperiksa sekitar setengah jam oleh dokter jaga, keputusannya Fadilah harus dirawat. Bisa jadi Fadilah kena DBD atau gejala typus, karena kedua penyakit ini gejalanya hampir sama, tetapi beda. Lalu Fadilah dipasang selang infus oleh dokter jaga.
Aku segera pergi mengurus administrasi rawat inap, sedangkan Mbak Aisha menjaga Fadilah.
Sekali lagi Fadilah beruntung, ia bisa segera masuk ke ruang rawat inap tanpa membayar DP dengan jaminan KTP dan kartu kerjaku.
Ruang rawat inapnya terletak di lantai 7 dan tidak memiliki kelas, karena ruang rawatnya adalah sebuah bangsal besar yang dibagi-bagi menjadi banyak ruangan. Satu pasien, satu ruangan. Kamar mandi berada di luar ruangan pasien.
Dan kembali aku disuguhkan pemandangan yang indah di tengah malam itu oleh seorang perawat yang mendorong tempat tidur Fadilah ke ruangan rawat inap.
Perawat yang tingginya sekitar 165 sentimeter ini cantik dan memiliki bongkahan pantat yang montok.
Ia mengenakan celana panjang ketat berwarna hijau muda, sehingga dengan demikian celana dalam yang dipakainya menjiblak dengan jelas di celananya panjangnya.
Bukan berbentuk segitiga sama sisi seperti ini ( \/ ) melainkan bagian sebelah kanan mencong ke dalam.
Semoga siksaan ini cepat berlalu, batinku dan Fadilah cepat sembuh. Itu permohonanku.
Aku tidak langsung pulang setelah Fadilah berada di ruang rawat inap, karena selain aku masih harus menemani Mbak Aisha, aku juga harus memantau kondisi Fadilah.
Fadilah sedang tidur, lalu Mbak Aisha meminjam hapeku untuk menelepon suaminya. Mbak Aisha telepon di luar ruangan, sedangkan aku menarik bangku duduk di depan pembaringan Fadilah.
Fadilah membuka mata dan ia memandang aku dengan tersenyum. “Terima kasih ya, Bang… he.. he..” katanya memegang tanganku.
Kugenggam tangan Fadilah dengan kedua tanganku, lalu kucium tangan Fadilah. “Sudah, jangan banyak ngomong dulu, nanti kamu muntah lagi…” kataku.
“Aku sudah sehat kok, Bang…”
“Mau cepat ketemu dengan pacarmu, ya…” godaku.
“Ah, Abang… mana ada yang mau sama aku sih, aku jelek begini…”
“Abang…!” jawabku.
“Di kantor Abang banyak cewek yang cantik-cantik…”
“Cantik itu relatif…” kataku. “Tergantung yang menilainya… Abang yakin kamu akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita melihat kamu membantu Ibu setiap hari…”
Entah bagaimana aku berani menunduk mencium bibir Fadilah. Fadilah menangkap bibirku dan diciumnya bibirku dengan haus.
Aku tidak memikirkan ia sedang dirawat. Aku meremas-remas teteknya hingga napasnya memburu.
“A… aku mau… mau keluar, Bang… oo… ooh…” desahnya.
Mbak Aisha masuk ke kamar sudah bisa tersenyum melihat Fadilah sudah mau ngobrol denganku.
Lalu aku meninggalkan mereka berdua turun ke bawah mencari kantin yang masih buka untuk minum kopi dan makan sesuatu serta membeli air minum untuk Mbak Aisha dan Fadilah.
Di kantin saya makan mie instan rebus ditemani segelas kopi hitam pahit.
Kembali ke ruangan aku membelikan roti dan air minum untuk Mbak Aisha sedangkan untuk Fadilah aku belikan air minum saja.
Jam 5 pagi setelah kami melihat kondisi Fadilah sudah mulai membaik, kami pulang karena Mbak Aisha juga mau mengambil pakaian Fadilah untuk dibawa ke rumah sakit.
Tidak seorangpun tetangga yang tau Fadilah masuk rumah sakit, tetapi hari itu aku tidak tenang bekerja.
Pulang dari kerjaan, aku langsung mandi dan menukar pakaian pergi ke rumah sakit.
Setiba aku di kamar rawat inap Fadilah, selain aku bertemu dengan Mbak Aisha, Mas Lamin juga sudah berada di situ.
Aku dan Mas Lamin ngobrol banyak dan tentu saja tidak ketinggalan dengan ucapan terima kasihnya padaku yang telah menolong putrinya.
Sampai jam 9 malam aku baru minta izin pulang dengan Mas Lamin, tetapi Mas Lamin tidak mengizinkan aku pulang sendirian, ia menitipkan Mbak Aisha padaku.
Turun dari mobil online yang membawa kami pulang kulihat angka jam yang tertera di hapeku 22:12. Aku sudah mengantuk sekali saat itu.
Tetapi membuat aku segar kembali mendengar suara emas Mbak Aisha berbisik di telingaku. Suaranya mendayu dan mesra, “Dek Pendi, tidur di rumahku, ya…”
Suaranya tidak seperti kemarin malam mengetuk pintu rumahku dan bicaranya sampai tergagap-gagap.
Tentu saja aku tidak menolak ajakannya, karena menolak berarti rugi, menjauhkan berkah batin yang akan dihidangkan oleh Mbak Aisha padaku.
Buru-buru aku masuk ke kontrakan Mbak Aisha, kemudian Mbak Aisha mengunci pintu.
Penampakan di dalam kontrakan Mbak Aisha tetap sama seperti pertama kali aku masuk kemarin tengah malam.
Tempat tidur terhampar di lantai, kemudian Mbak Aisha pergi ke kamar mandi.
Hanya sebentar Mbak Aisha, wanita bertubuh agak gemuk berumur sekitar 44 tahun itu masuk ke kamar mandi dan ia keluar dari kamar mandi berbalut handuk.
Aku segera melucuti handuk yang menutupi tubuh Mbak Aisha di depan tempat tidur, sehingga sebentar saja Mbak Aisha yang tidak memakai BH dan celana dalam itu telanjang bulat sudah di depanku.
Aku membuang handuk Mbak Aisha ke lantai, memeluk Mbak Aisha lalu mencium bibirnya.
Perut Mbak Aisha memang agak sedikit berlemak dan turun, namun sama sekali tak mengurangi nilai keindahan tubuhnya. Apalagi jika memandang teteknya yang montok.
Mbak Aisha membalas ciumanku dengan liar.
Aku tak tahu sudah berapa lama bibir itu tak merasakan ciuman laki-laki sampai ia seliar itu, yang jelas ciuman Mbak Aisha sangat panas dan buas. Berkali-kali wanita itu nyaris menggigit bibirku, lidahnya yang basah meliuk-liuk dalam rongga mulutku.
Aku dibikin semakin bernapsu saja, tanganku menjalar di sekujur tubuhnya, berhenti di kemontokan pantatnya dan kemudian meremas-remas penuh birahi.
“Ohh.. ergh..” lenguh Mbak Aisha di sela-sela ciuman panas kami.
Dengan beberapa gerakan, wanita itu menjatuhkan tubuh telanjangnya di atas tempat tidur, aku memburunya dan segera menikmati kemontokan buah dadanya. Kuremas-remas dua buah dada montok itu, kemudian kuciumi dan terakhir kukulum puting susunya yang sebesar ibu jari dengan sekali-kali memainkannya di antara gigi-gigiku.
Mbak Aisha menggelinjang-gelinjang keenakan, napasnya semakin terdengar resah gelisah, berkali-kali ia mengeluarkan kata-kata jorok yang justru membuatku semakin bernapsu.
“Ngentot, enak banget Dek Pendii..iihh…!” jeritnya, “Ayo Dek Pendi… Mbak sudah pingin sekali nih…!”
Aku yang juga sudah sangat bernapsu dan segera menjawab keinginan Mbak Aisha. Dengan bantuan Mbak Aisha, aku menelanjangi diriku sehingga tak tersisa satupun busana di tubuhku.
Ukuran penisku biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tetapi sewaktu kulihat di daerah bukit kemaluan Mbak Aisha, di atas bukit itu ditumbuhi rambut-rambut liar, dengan belahan memeknya yang tebal berwarna coklat, mulutku segera menerkamnya.
“Aaahhhh… Dek Pendii..iihh…” rintih Mbak Aisha.
Memek Mbak Aisha berbau amis menyengat.
“Kayaknya sudah lama Mbak nggak ngentot…” kataku.
“Iyah… mau ngentot gimana, Dek Pendi… suami hanya pulang sebentar, Fadilah juga tidur bersama kita…”
“Fadilah sudah punya pacar ya, Mbak…”
“Sudah, dulu tinggal gak jauh dari sini, baru pacaran 3 bulan, bapaknya meninggal… ya, sudah… ia disuruh pulang ke kampung nerusin usaha orangtuanya…” jawab Mbak Aisha.
Aku pun segera menyiapkan senjataku, mengarahkan ujung penisku tepat di depan liang vagina Mbak Aisha.
“Aku masukin ya, Mbak…?” kataku.
“Nggak jadi dijilat? Bau ya… he… he… Mbak cuci dulu apa…?”
“Nggak usah, Mbak…”
Perlahan tapi pasti aku menekan penisku masuk ke lubang memek Mbak Aisha yang terasa sempit.
Sedikit-demi sedikit penisku tenggelam dalam kehangatan liang Mbak Aisha yang basah dan terasa nikmat.
Ketika hampir seluruh batang penisku yang berukuran hanya sekitar 15-an sentimeter itu memasuki liang vagina Mbak Aisha, aku mencabutnya kembali. Kemudian kembali memasukkannya perlahan.
“Enghh.. gila kamu Dek, kalau begini sebentar saja Mbak sudah keluar, enak banget…” kata Mbak Aisha.
Kini kutambah rangsangan dengan meremas dan memilin puting susunya yang besar.
“Ohh.. ohh.. benar-benar enak Dee…eeekk…” desah Mbak Aisha memejamkan matanya.
Pada penetrasi berikutnya, aku menggenjot lubang memek Mbak Aisha dengan gerakan penuh tenaga dan penuh semangat sehingga kedua tetek Mbak Aisha terguncang-guncang tak terkendali sembari ia menjerit-jerit karena dinding memeknya benar-benar kubesot-besot, kugesek-gesek dengan penisku yang keras sekeras tongkat satpam.
“AAAAHHHH… AAAHHHH… OOOGGGHHH… OOOGHHHH… AAAAHHH…. AAAHHHH… AAAHHHH… AHHH…. plokk… plokk… plokk… AAAHHH… OOOHHH… AAAHHH… plok.. plokk… plok… AAAGGGHH… AAAHHH…. AAAHHH… AAAHHH…”
Aku cuma takut jeritan itu kedengaran oleh tetangganya.
Aku mencabut penisku dari dalam lubang vagina Mbak Aisha yang basah dan menyodorkannya ke mulut Mbak Aisha.
Wanita itu menjilati ujung penisku dengan lidahnya seakan ia membersihkannya dari cairan vaginanya sendiri yang berbau amis itu, kemudian dengan sangat lahap ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya.
Bibir seksi Mbak Aisha terlihat menyedot-nyedot penisku seakan ingin menyedot spermaku keluar. Ia kemudian mengocok penisku dalam mulutnya hingga birahiku mencapai puncaknya.
Kemudian aku memuntahkan spermaku ke dalam mulut Mbak Aisha.
Crroooootttt…. crroott… crroottt… crootttt… crrroott… croott.. croott…
Wanita itu tidak segan-segan menelan seluruh spermaku.
“Sungguh nikmat, Mbak…” kataku mencium bibir Mbak Aisha.
“Terima kasih, Dek Pendi… Mbak juga merasa nikmat dan seneng banget malam ini dipuasin Dek Pendi,” sahut Mbak Aisha. “Jika sampe Mbak dientot sama Dek Pendi sampe Mbak hamil, Mbak rela Dek Pendi…”
Penisku loyo mungkin tidak sampai 10 menit, lalu tegang lagi. Karena lubang memek Mbak Aisha kuentot sampai bolong besar belum kempes, sehingga sambil berciuman dengan gampang aku dorong masuk penisku ke lubang memek Mbak Aisha lagi.
Bluusssss….
Mbak Aisha kembali berteriak memecah kesunyian malam saat lubang di selangkangannya itu kutikam-tikam secara bertubi-tubi dengan penisku yang keras sehingga kedua teteknya pontang panting lagi.
“AAAAHHHH… AAAHHHH… OOOGGGHHH… OOOGHHHH… AAAAHHH…. AAAHHHH… AAAHHHH… AHHH….”
Aku tidak ingin ganti gaya, karena ngentot dengan gaya primitif begini rasanya lebih nikmat. Gesekan penisku ke biji itiel Mbak Aisha juga lebih mengena.
Aku mencabut penisku. Sejurus kemudian aku sudah berada di hadapan bibir kemaluan Mbak Aisha yang baru saja aku nikmati.
Sebelum kujilat terlebih dahulu kubelai bibir itu dari ujung bawah hingga klitorisnya. Kusingkap rambut-rambut kemaluannya yang menjalari bibir itu.
Aku kemudian asyik menjilati dan menciumi bibir mayora maupun bibir minora di memek Mbak Aisha.
Dengan nakal aku memasukkan jari telunjuk dan tengahku ke dalam lubang memek itu dan kemudian mengobok-obok liang becek itu.
Aku sendiri yang sudah terangsang berat segera menunaikan tugasku lagi dengan kembali memasukkan penisku ke lubang sanggama Mbak Aisha.
Di persetubuhan kali ini aku memuntahkan spermaku di dalam vagina Mbak Aisha.
Malam masih begitu panjang. Kami masih menikmati dua persetubuhan lagi sebelum kelelahan dan mengantuk.
Mbak Aisha merasa begitu puas dan lega, aku sendiri bahagia melihatnya.
Selesai makan siang, kali ini aku yang menarik Mbak Juriah ke tempat kemarin kami bertemu, lalu aku memberikannya duit yang aku tarik di ATM semalam.
“Hitung dulu, Mbak…” suruhku.
“Kok 2,5 juta, Mas Pendi…?” tanya Mbak Juriah bingung.
“Mana tangan, Mbak…?” tanyaku.
Mbak Juriah menyodorkan tangannya padaku. Cincinnya yang kemarin ia berikan padaku kusematkan kembali ke jari manisnya, sebab cincin itu adalah cincin kawinnya, di dalam cincin itu terdapat gravir nama suaminya.
Mbak Juriah memandangku antara bengong dan bingung tidak bisa dibedakan.
“Uang itu nggak usah dikembalikan padaku…” kataku, Mbak Juriah baru sadar dan seketika ia menghambur memeluk aku.
Mbak Juriah menangis!
Aku tau tangisan Mbak Juriah bukan tangisan pura-pura, melainkan tangisan haru.
Aku menghapus air matanya, mengecup bibirnya, lalu menarik Mbak Juriah pergi dari tempat itu.
Sepulang aku dari pekerjaanku pada sore harinya, ternyata Fadilah sudah pulang dari rumah sakit. Aku tidak berani ke rumah Mbak Aisha karena Mas Lamin belum pulang ke posnya di agen bus.
Sepanjang malam aku gelisah tidak bisa tidur membayangkan Mbak Juriah silih berganti dengan Fadilah dan Mbak Aisha. Ketiga wanita itu seolah membuat aku mendadak nikmat.
Beruntung besok hari Sabtu aku libur. Rencananya setelah makan siang aku akan pergi ke rumah Mbak Aisha, tetapi sebelum makan siang aku sudah mendengar suara Mbak Aisha memanggil aku.
Aku keluar dari kontrakanku menemui Mbak Aisha, lalu Mbak Aisha berkata padaku demikian, “Dek, Mbak sama Fadilah mau pulang kampung…”
“Mbak mau pulang kampung?” tanyaku seolah tidak percaya. “Berapa lama, Mbak?”
“Iya… seminggu begitulah… Mbak mau ngajak Fadilah beristirahat di kampung…”
“Mmm… sebelum Mbak pergi… mmm… boleh nggak aku… mmm… melepas rindu, Mbak…?”
“O… jangan, Dek Pendi… setelah Mbak kesini aja, ya…”
Aku tidak menyadari pria berjenggot berada di dalam rumah Mbak Aisha. Sewaktu ia mengangkat barang-barang keluar dari rumah Mbak Aisha bersama Fadilah, aku baru kaget.
Fadilah menganggap aku dan Mbak Aisha yang masih berdiri di depan rumah seolah-olah tidak ada dan aku lebih kaget lagi melihat mobil Alphard diparkir di tepi jalan.
“Mbak pergi ya, Dek Fendi…” kata Mbak Aisha menyadarkan aku.
“Boleh aku cium Mbak nggak, Mbak…?” tanyaku penasaran.
“Hanya cium saja ya, Dek Pendi…” kata Mbak Aisha.
Sewaktu Mbak Aisha melihat ke kiri ke kanan, aku segera menarik tangan Mbak Aisha. Setelah Mbak Aisha berada di dalam kontrakanku, aku memeluk Mbak Aisha, aku mencium bibirnya sambil teteknya kuremas, Mbak Aisha melawan aku sehingga aku dan Mbak Aisha jatuh ke kasur.
“Jangan Dek, jangan perkosa Mbak, Dek…” minta Mbak Aisha iba yang sedang kutindih.
Aku melepaskan Mbak Aisha lalu membiarkannya pergi dari kontrakanku tanpa berkata sepatah katakupun.
Aku kecewa… aku menyesal… meskipun seminggu bukan waktu yang terlalu lama.
Aku sedikit terhibur Senin pagi melihat Mbak Juriah berdiri di depan gerbang pabrik.
“Tunggu siapa, Mbak…?”
“He… he… tunggu, Mas…”
“Tunggu aku…?” tanyaku heran.
“Aku… mmm… mau memberi sarapan pada Mas Pendi…” kata Mbak Juriah.
Sarapan dari Mbak Juriah tidak hanya pada hari Senin pagi itu saja, tetapi Selasa pagi… Rabu pagi… aku mulai curiga… ada apa nih dengan Mbak Juriah…?
Terjawab sudah sewaktu Mbak Juriah berdiri di depan kontrakanku dengan satu anaknya yang berumur 2 tahun pada hari Sabtu siang.
Aku mengajak Mbak Juriah masuk ke kontrakanku ngobrol sambil aku bermain dengan anaknya; ngobrol biasa, tentang teman-teman di pabrik.
Lalu aku membelikan makan siang, kami makan bertiga.
Selesai makan siang, Mbak Juriah menyuruh anaknya tidur. Mbak Juriah menyodorkan teteknya pada anaknya sambil berbaring di tempat tidurku.
Tidak sampai 20 menit aku menunggu Mbak Juriah menetek anaknya. Setelah anaknya tidur, tetek Mbak Juriahpun berpindah ke mulutku.
Kami bercinta… kami bercium… kami saling meremas… sampai akhirnya tubuhku dan tubuh Mbak Juriah telanjang sudah dan dan dengan satu tusukan, blleessss…
Masuk penisku ke lubang vagina Mbak Juriah. “AAAAAHHH… MMMHH… OOOHH, MAA… AASS…” desah Mbak Juriah memeluk aku dengan erat seperti seperti seorang musafir yang kehausan di padang gurun sambil mendorong kuat-kuat selangkangannya ke penisku dan pada saat yang sama terasa lubang vagina Mbak Juriah bisa empot-empot ayam meremas batang penisku, oohhh… nikmatnya batang penisku diremas begitu…
Mana aku sanggup lagi teringat dengan Mbak Aisha dan Fadilah, sehingga keesokan siangnya pada hari Minggu aku bersetubuh lagi dengan Mbak Juriah.
Senin pagi seperti biasa Mbak Juriah menunggu aku di depan gerbang pabrik memberikan aku sarapan.
Pada sore harinya Mbak Juriah pulang kerja, dijemput oleh Mas Arifin, Mbak Juriah duduk di belakang sepeda motor Mas Arifin memeluk suaminya itu seperti tidak terjadi ada apa-apa denganku, padahal tubuh yang berada dibalik seragam kerja Mbak Juriah itu sudah kunikmati berkali-kali, termasuk air yang masih terkandung diteteknya, meski sudah tidak lancar keluarnya. Putingnya harus terus dihisap, ASI itu baru bisa lancar keluar dari tetek Mbak Juriah yang sudah kempot. Memang lembek tetek Mbak Juriah.
Sore hari aku pulang kerja, aku senang melihat pintu kontrakan Mbak Aisha sudah terbuka, tetapi kemudian membuat aku terkejut karena bukan menemukan Mbak Aisha, melainkan kontrakannya sudah dihuni oleh orang lain. Dan dari situ pula aku berkenalan dengan 2 lansia yang menghuni kontrak Mbak Aisha, Pakde Wondo dan istrinya yang kupanggil Bude Tika.
Setelah itu pulang ke kontrakanku aku segera menghubungi hape Mbak Aisha. Tidak ada jawaban dan WA-ku juga hanya centang satu. Demikian pula hape Fadilah. WA yang kukirimkan juga centang satu.
Dari sini aku bisa menarik sebuah kesimpulan bisa jadi Fadilah dinikahkan oleh ibunya dengan pria berjenggot itu, Mbak Aisha tidak ingin aku tau. Pria berjenggot itu kaya, tapi berhubung Fadilah dinikahkan paksa, aku yang kejatuhan rejeki nomplok, keperawanannya diberikan Fadilah padaku.
Jadi, aku tidak perlu resah dan gelisah terhadap 2 wanita itu, aku punya Mbak Juriah.
Hari Sabtu pagi.