Saya duduk di kantor agen bus malam sore itu. Saya akan pergi ke Purwokerto, ke rumah mertua saya. Bapak mertua saya di rawat di rumah sakit, demikian berita yang diterima oleh istri saya dari adiknya.
Sewaktu saya membeli tiket bus, dari pihak penjulan tiket mengatakan pada saya bahwa bus akan diberangkatkan ke Purwokerto jam 5 sore, tapi saya baru bisa naik ke bus jam 6. Saya duduk di kursi nomor 4B. Sampai bus berangkat dari agen, kursi nomor 4A masih kosong. Entah bus sampai dimana, saya tidak tahu, saya terbangun karena mendengar suara ribut di atas kepala saya.
Rupanya kenek bus sedang menyimpan barang bawaan seorang penumpang di locker bus, yaitu seorang wanita berjilbab membawa seorang anak kecil berumur kira-kira 1 tahun. Wanita berjilbab dengan postur tubuh kurus tinggi inilah yang kemudian menempati kursi di sebelah saya, kursi nomor 4A.
“Mau ke Purwokerto juga ya, Mbak?” tanya saya.
“Nggak, ke Banjar!” jawabnya singkat.
Setelah itu kami diam. Bus kembali di berangkatkan. Uu… wekk… nah, lho… Mbak yang duduk di sebelah saya mau muntah. Ia buru-buru mencari kantong kresek di tasnya. Belum selesai ia mencari kantong kresek, anaknya menangis.
Ngeribet sekali saya melihat si Mbak ini, mau membantu saya tidak bisa. Dengan lirikan mata, saya melihat ia merogoh bajunya. Benar saja, kemudian si Mbak mengeluarkan teteknya untuk si anak. Teteknya yang kecil itu, tidak ditutupinya dengan ujung jilbabnya. Uu… wekk… wekk.. wekk… si Mbak muntah di kantong kresek.
Penumpang masa bodoh, saya nggak tahan. Bagaimana kalau saya membantu meringankan penderitaan si Mbak ini, kata saya dalam hati. Sewaktu bus berhenti lagi dan saya turun mencari WC, saya baru ingat, lebih baik saya belikan si Mbak minyak angin, air minum dan beberapa lembar kantong plastik kresek.
Si Mbak mau menerima pemberian saya. Sembari saya membantu membukakan tutup botol air minum, saya bertanya pada si Mbak, “Mbak tinggalnya di Banjar, ya?”
“Nggak, Banjar itu rumah ibu saya. Ibu saya sakit, saya mau pulang tengokin. Saya tinggal di Jakarta.” jawabnya jelas, lalu ia minum air dengan sedotan.
Selesai ia minum, saya tanya lagi, “Suami nggak ikut?”
“Dia masih kerja, sesok Jumat nyusul,”
“Suami kerja dimana?”
“Di bengkel…” jawabnya sambil mengoles minyak angin ke keningnya, di leher dan di hidungnya.
Bus kembali melaju di jalan berdebu. Lampu bus dimatikan. Saya melihat si ibu berjilbab biru dan rok panjang bunga-bunga ini bisa bersandar dengan tenang.
“Pak, AC boleh bantu dimatikan? Dingin!” kata si Mbak.
Saya berdiri memutar corong AC bus ke arah lain. Baru saya duduk sebentar, si Mbak u..wekk.. u.. week lagi. Ia buru-buru menadah kantong plastik di mulutnya.
“Mbak, sini saya bantu,” kata saya memberanikan diri menjulurkan tangan saya ke kantong plastiknya.
Si Mbak mengizinkan saya membantunya. Sembari saya menadahkan kantong plastik di depan mulut si Mbak, saya memijit bagian belakang lehernya pelan-pelan dengan minyak angin, ia tidak menolak. Setelah itu ia bersandar di kursi dan kantong plastik muntahannya saya taruh di bawah kursi, saya bersandar juga.
Apa yang terjadi kemudian, sungguh di luar dugaan saya. Si Mbak memiringkan tubuhnya lalu menyandarkan kepalanya di bahu saya. Akhh, si Mbak sungguh-sungguh membuat jantung saya berdegub nggak karuan-karuan.
“Mau muntah lagi?” tanya saya.
Ia menggeleng. Saya melihat anaknya tertidur pulas dalam pangkuannya tidak mengisap tetek lagi. Dan berhubung ia sudah berani menyandarkan kepalanya di bahu saya, saya menjulurkan tangan saya ke pundaknya, lalu memeluknya. “Nama Mbak, Sri ya? tanya saya.
Ia menepuk paha saya. Saya ingin tertawa. Lalu saya memegang tangannya yang dipakai menepuk paha saya itu. Ia tidak menolak. Saya meremas tangannya dengan lembut. Ia menengadah memandang wajah saya.
Saya tersenyum. Ia juga tersenyum. Kemudian saya mencoba menunduk ke bibirnya. Ia memejamkan matanya saat saya mencium bibirnya dan dengan lembut, ia membalas ciuman saya. Indah sekali. Kontol saya tidak tahan, bersenyut-denyut rasanya merasakan bibir si Mbak ini.
Tiba-tiba lampu bus menyala terang. Saya menyesal. Si Mbak buru-buru duduk bersandar tegak di tempatnya dan melepaskan tangannya yang saya pegang.
“Mbak nggak mau pipis atau mau makan sesuatu?” tanya saya. “Nanti anak Mbak saya bantu gendong.” kata saya. “Ayo kita turun…” .saya menggenggam pergelangan tangannya.
Ia memberikan anaknya pada saya, lalu ia berdiri merapikan pakaiannya. Maksud saya, ia memasukkan kembali teteknya ke dalam bajunya. Kami turun dari bus.
Di tempat istirahat, saya antar si Mbak ke WC wanita. Selesai ia kencing, saya kemudian kencing, lalu kami makan. Perut kenyang, kami kembali duduk di dalam bus. Anaknya merengek. Si Mbak merogoh teteknya untuk anaknya. Bus masih terang, ia menutupi teteknya dengan ujung jilbabnya.
Saya tidak sabar menunggu bus kembali melaju. Ketika itu terjadi dan lampu bus dimatikan, saya tidak mau menunggu lama-lama lagi. Segera tangan saya memeluk si Mbak, bibirnya saya lumat. Si Mbak menjulurkan lidahnya ke mulut saya. Kami saling memelintir lidah dan pada saat yang sama, teteknya yang lembut dan berpentil besar itu, berhasil saya pegang.
Saya meremas-remas teteknya sampai keluar air, lalu saya hisap pentilnya. Saya menghisap yang sebelah kiri, anaknya menghisap yang sebelah kanan sambil saya membuka ritseting celana panjang saya, lalu saya keluarkan kontol saya yang tegang.
Saya tarik tangan si Mbak ke kontol saya. Ia mau menggenggam batang kontol saya dan diremas-remasnya pelan-pelan batang kontol saya. “Kocok!” bisik saya. Ia mencubit paha saya.
Saya mengharapkan bus tidak cepat-cepat sampai di Banjar. Tadi perjalanan serasa membosankan, sekarang sangat menyenangkan. Saya berbisik ke telinganya lagi, “Boleh minta memek?”
Kali ini si Mbak tidak mencubit paha saya. Ia sibuk melepaskan celana panjang yang berada di dalam rok panjangnya sambil ia menggendong anaknya. Saya tidak mau sampai ia melepaskan celana panjangnya semua, cukup ia turunkan sampai ke pahanya, kemudian saya merogoh memeknya dengan tangan saya.
Jari telunjuk dan jari tengah saya berhasil saya masukkan ke lubang memek si Mbak yang telah basah kuyup itu. Saya kocok dan saya korek lubang memeknya dengan kedua jari saya, hingga napasnya terengah-engah, lalu ia melenguh pelan, “Oooo…oooohhhh…”
Mungkin si Mbak orgasme!
Karena kemudian ia menarik tangan saya keluar dari pahanya. Saat itu, terus terang, saya tidak berani mendekatkan tangan saya ke hidung saya. Cairan memek si Mbak menyengat hidung, baunya persis seperti terasi busuk!
Saya pun tidak berani menyentuh si Mbak. Sampai bus berhenti lagi, si Mbak berkata pada saya, “Pak, antar saya kencing,”
Terpaksa saya memegang anaknya dengan tangan bau. Si Mbak bangun dari kursinya sekaligus ia melepaskan celana panjangnya, lalu dimasukkan ke dalam tasnya.
Sembari berjalan mencari WC umum, saya berbisik di telinya, “Sekalian kita cari tempat buat ngentot ya, Mbak? Mau nggak?”
“Nanti saya hamil!” jawabnya.
“Saya keluarkan di luar…” jawab saya.
“Kita cari tempat…” kata saya senang sekali sewaktu saya melihat sopir bus kami sedang duduk minum kopi di warung dengan beberapa sopir bus sambil merokok, berarti bus akan berhenti lama.
Saya berhasil mendapatkan WC. Saya tidak peduli dengan penumpang lain yang lagi cuci muka atau merokok di dekat WC. Mereka tidak mungkin akan menyangka kami mencari tempat untuk ngentot, soalnya si Mbak membawa anaknya masuk ke WC. Saya kunci pintu.
Sembari menggendong anaknya si Mbak menghadapkan pantatnya ke kontol saya. Satu tangannya bertumpu di dinding WC. Saya menghujamkan kontol saya ke lubang memek si Mbak dari belakang, lalu saya setubuhi lubang memeknya menggenjot secepat-cepatnya supaya air mani saya cepat keluar. Urusan nikmat, urusan kedua. Yang penting saya berhasil menyetubuhi wanita berjilbab ini.
Saya hujamkan sedalam-dalamnya kontol saya ke lubang memek si Mbak saat air mani saya mau keluar. CROOOTTTT…. CRROOOTTTT…. CRROOTTTT…. setelah saya tumbahkan air mani saya di rahimnya, secepatnya saya cabut kontol saya.
“Uughhh… Bapak, tadi katanya nggak mau keluar di dalam!” omel si Mbak.
Saya tidak cuci lagi kontol saya meskipun berbau memeknya si Mbak. Saya keluar dari WC, lalu pindah ke WC lain mencuci kontol saya. Setelah itu, saya tidak menunggu si Mbak lagi. Saya kembali ke bus, ternyata si Mbak sudah berada di dalam bus.
“Tadi saya cari, kemana?” ia bertanya pada saya.
“Minum kopi,” jawab saya.
Ia memegang tangan saya, saya biarkan. “Pak, marah ya?”
“Nggak,” jawab saya. “Habis ngentot, ngantuk!”
Kemudian tangannya meraba-raba celana saya dan jari jemarinya memijit-mijit kontol saya. “Sini keluarin, saya kocok!” katanya setelah bus melaju lagi dan lampu dimatikan.
Saya melihat jam di hape saya sudah hampir jam 1 pagi. Tidak terasa. Saya buka ritsleting celana saya, dan saya keluarkan kontol saya. Si Mbak meremas-remas kontol saya sampai tegang lagi. Ia mencium pipi saya. “Pak, mau ngisep tetek?” ia berbisik di telinga saya.
Si Mbak mengeluarkan teteknya dari bajunya. Saya hisap air “susu murni” itu. Sewaktu bus berhenti lagi, saya ngajak si Mbak ngentot lagi di WC.
Sekitar jam 4 pagi, si Mbak turun di terminal Banjar. Petualangan seks saya di dalam bus berakhir!