Sore itu aku membawa sepedaku ke bengkel Bang Iqbal untuk memperbaiki pedalnya yang macet, tetapi Bang Iqbal sedang menambal ban sepeda motor. “Masih lama Dik Har, apa mau tunggu?” tanya Bang Iqbal yang sudah kukenal cukup lama sejak aku punya sepeda.
“Ya Bang, aku penting buat besok pagi sepedaku mau dipakai. Nggak papa aku tunggu, Bang.” jawabku.
“Ngopi dululah di dalam,” suruhnya.
Kadang-kadang Bude Yatik, istri Bang Iqbal suka ada di bengkel membantu suaminya menambal ban kalau bengkel Bang Iqbal lagi ramai. Biasanya hari minggu siang habis orang-orang pulang dari Car Free Day bengkel Bang Iqbal ramai orang memperbaki sepeda atau menambal ban sepeda motor. Dan biasanya pula yang datang ke bengkel Bang Iqbal adalah langganannya Bang Igbal. Peralatan sepedanya sangat lengkap dan Bang Iqbal juga terima tambal ban sepeda motor atau ban mobil yang bocor.
“Oke deh, Bang. Bude ada ya, Bang?”
“Ada… ada…, masuk saja!” suruhnya.
Aku menuju ke belakang bengkel Bang Iqbal. Hanya terdapat sebuah dapur sederhana yang berantakan serta sebuah kamar mandi yang sudah rontok atap sengnya dan selebihnya adalah tanah kosong penuh dengan alang-alang setinggi setengah badan orang dewasa. Tetapi Bude Yatik tidak kelihatan di belakang bengkel.
“Nggak ada tuh Bang, Bude Yatik.” kataku keluar menemui Bang Iqbal di bengkel.
“Ada, di kamar mandi kali. Coba dicari.” suruhnya.
Aku kembali ke belakang bengkel. Salahnya aku, aku tidak memanggil Bude Yatik, tetapi aku pergi ke depan kamar mandi dan langsung mendorong pintu kamar mandi. “Aduhhh… Bude…!” seruku berteriak dengan seketika.
Bude Yatik yang telanjang dan berpegangan pada pinggir bak mandi sedang mengusap-usap nonoknya dengan tangannya juga tersentak kaget, tapi ia masih sempat tertawa menyeringai padaku. “He.. hee…”
Aku pun tidak takut dengan Bude Yatik akan marah padaku. “Digosok-gosok gitu lagi gatel ya, Bude?”
“Jangan berisik, nanti ketahuan Bang Iqbal.” jawabnya.
Akhirnya aku berani memegang pantatnya yang telanjang. “Ugghhh… Bude, montok!” seruku pelan.
“Sudah ah sana, aku mau mandi.” usirnya.
“Ahh… Bude, sudah bikin kontol aku berdiri, nggak dikasih apa-apa malah mau mandi…” kataku semakin berani.
“Ini memek sudah layu, apa mau kamu?” ia bertanya padaku dengan menyodorkan selangkangannya yang berbulu hitam itu dan sekaligus aku juga bisa melihat teteknya yang sudah menggantung, namun masih lumayan menantang untuk diremas, apalagi putingnya besar berwarna hitam. “Lekas, kalo mau!”
“Jilat dulu ya Bude. Boleh?” tanyaku. Selama ini aku hanya menonton saja, belum tahu apa rasanya bau nonok yang asli.
Tapi Bude Yatik yang berusia kira-kira 45 tahunan ini terbuka matanya. Bingung, heran, kaget, barangkali mendengar aku berkata ingin menjilat nonoknya.
Tapi segera kudorong Bude Yatik menghadap kembali ke bak mandi. Aku buka lebar bongkahan pantatnya yang besar itu. Kulihat anusnya berwarna hitam berkerut-kerut. Pantas saja kalau mata Bude Yatik terbelalak menatap aku heran. Hmmm… bau anusnya menusuk sampai ke paru-paruku ketika aku mencoba mencium pantat Bude Yatik. Bikin bulu kudukku berdiri semuanya. Tapi tetap kucium anus Bude Yati, malahan kukeluarkan lidahku menjilat anus Bude Yatik.
“Shheetttsss… yeahhh… aauuggg… aauugg…” desis Bude Yatik memegang pinggir bak mandi kuat-kuat sambil nungging.
Di tengah kujilat, tiba-tiba… piuutttt… angin kencang sekelebat keluar dari lubang anus Bude Yatik. Mmmm… sedapppp….
Napsu memang akan membuat seseorang kehilangan akal sehat. Contohnya napsu ingin cepat kaya, membuat orang nekat korupsi. Napsu ingin dapat jabatan tinggi, membuat orang nekat membeli ijasah palsu. Apalagi napsu sex, napsu yang paling tua di dunia ini. Aku pun mengikuti saja napsuku. Kutusuk lubang anus Bude Yatik yang sempit dengan lidahku.
“Aihhh… aaaggg… aggg… Dee.. ekk.. Hariiii…. mmmm…” desah Bude Yatik.
“Nikmat ya, Bude?”
“Iyaa… aahhh…” desah Bude Yatik menjawabku sambil dibukanya pahanya yang besar itu lebih lebar lagi supaya kepalaku bisa menyelinap masuk menuju nonoknya.
Bau nonok Bude Yatik tidak kalah seremnya dengan bau anusnya. Asem, pesing, amis, mantapppp..! Tapi tidak ingin aku kehilangan kesempatan, segera kujilat nonok Bude Yati yang rasanya asin itu. Cairan kuning segar bercucuran keluar dari lubang kencingnya. Segera kutadah air hangat segar itu dengan membuka mulutku lebar-lebar.
“Bude sudah siap, Dek Hari. Ayo, ngentot Bude, cepat…!” mintanya.
Setelah perutku kenyang minum air kencing Bude Yatik, aku turunkan celana pendekku dengan celana dalamku hanya sampai di pahaku. Entahlah bagaimana kontolku yang mengacung tegang itu menemukan lubang nonok Bude Yatik, istri dari Bang Iqbal ini. Aku pun sudah lupa dengan sepedaku sewaktu lubang nonok Bude Yatik yang hangat berhasil kumasuki dengan kontolku besar dan panjang.
“Aduuhhh… enakk…!” seru Bude Yatik saat kugerakkan pinggulku maju-mundur dan kontolku menggesek-gesek lubang nonoknya yang kegatelan itu, mungkin sudah nggak pernah digesek kontol Bang Iqbal, makanya kegatelan nonoknya.
Akibatnya membuat aku semakin menggebu-gebu mengocok kontolku di lubang nonok Bude Yatik sampai berbunyi kecipak-kecipok, kecipak-kecipok. Tetek Bude Yatik juga ikut bergoyang kian kemari seirama dengan kocokan kontolku. Kutangkap dari belakang tetek Bude Yatik, lalu kuremas-remas nikmat. “Ugghhh… Dekkk… ugghhh…. Bude mau kluarrr…” erang Bude Yatik ingin orgasme.
Kumasukkan kontolku dalam-dalam dan kukocok semakin cepat kontolku dalam lubang yang sudah pernah melahirkan 4 orang anak ini. Kecipak… kecipok… kecipak… kecipok… plakkk… plakkk… plakkk…
“Ouuggggghhhhhh…” erang Bude Yatik panjang.
Bersamaan dengan nonoknya yang berdenyut-denyut, melimpahlah air maniku di dalam relung nonok Bude Yatik yang paling dalam. Crroott… croottt… sherrr… croottt….
“Ooggghhh…. oogghhhh….” rintih Bude Yatik nikmat.
Aku terkulai lemas di belakang tubuh Bude Yatik sambil mendekap teteknya. Beberapa hari kemudian sengaja kubocorkan ban sepedaku supaya bisa kuulangi lagi ngentot nikmat dengan Bude Yatik.