Mama mau mencari orang untuk membersihkan rumah, karena kakak perempuan saya seminggu lagi mau menikah. Saya tidak tahu Madin, satpam di perumahan kami mendapatkan berita ini dari mana.
Sewaktu saya mau berangkat ke lapangan futsal sore itu, Madin mencegat sepeda motor saya di depan kantor RW tempat ia bermarkas. “Yog, sebentar! Saya mau nanya… Mama kamu lagi cari pembantu, ya?”
“Mana saya tau..?” jawab saya.
“Tolong dong, Yog… istri saya, ngomong sama mama kamu…”
“Istri kamu lagi hamil kan?”
“Baru hamil 4 bulan, nggak apa-apalah, Yog. Tolong bilangin mamamu ya, Yog!”
“Bilang sendiri sana! Saya mau ke lapangan futsal..”
“Yogg… Yogg… buss..syyett… dahhh… belum selesai ngomong udah ngacirr….”
Benar saja, sekitar jam 7 pagi sewaktu saya sedang mencuci sepeda motor di halaman, Unah berdiri di depan pintu pagar rumah saya. “Ada Ibu nggak, Yog?” tanya Unah yang bertubuh pendek sekitar 160 senti itu pada saya.
“Ada di dapur, masuk aja!” suruh saya.
Unah memakai kaos putih ketat dengan celana ketat semata kaki bermotif bunga warna-warni. Setelah itu, saya tidak memperhatikan Unah lagi.
Selesai saya mencuci sepeda motor, saya bertemu dengan Mama yang sudah berpakaian rapi di ruang tamu. “Yog, Mama minta Unah membersihkan rumah. Kamu nggak kemana-mana kan? Tolong dilihat-lihat ya? Mama mau membawa undangan ke rumah budhemu…” kata Mama. “Kalau sudah selesai, nih.. duitnya, 400 ribu…”
“Rumah secuil juga, ngerjain apa sih Ma, sampai 400 ribu? Memangnya Mama sudah janjian mau bayar 400 ribu sama Unah?”
“Belum sih… tapi sudahlah kasih segitu… setahun nggak sekali ini, lagian ia hamil, pasti perlu banyak duit…” jawab Mama iba.
“Mama juga sih, orang lagi hamil disuruh kerja…”
“Mama nggak suruh ngangkat barang yang berat-berat, cuma nyapu dan ngepel… Mama pergi dulu ya, Yog?”
Sewaktu saya masuk ke dapur, Unah sedang membersihkan sarang laba-laba dengan sapu di sudut ruangan dapur. Saya masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, saya bertanya pada Unah,: “Nah, kata Madin kamu hamil, kok perut kamu nggak kelihatan besar?”
“Baru 4 bulan, Yog…”
“Anak sudah 3, masa masih hamil juga sih kamu?”
“Nggak tau tuh Madin!”
“Madin apa kamu yang suka?”
“Sudah ahh, ngomong sama kamu terus, nanti pekerjaan saya nggak selesai-selesai…”
Tak lama kemudian, ketika saya berada di dalam kamar, kedua anak Unah datang ke rumah saya. “Ngapain ke sini, sih?” terdengar teriakan Unah.
“Nihh… Amal nangis, minta netek…” jawab anak sulung Unah yang bernama Teti, umur 1o tahun.
Setelah saya memakai pakaian dan menyisir rambut, lalu saya keluar dari kamar melangkah ke dapur. Di dapur, saya melihat Unah sedang duduk di lantai bersandar di dinding menetek Amal, anaknya yang ketiga, sedangkan Teti duduk di lantai bermain karet gelang sendirian, duduknya agak jauh dari Unah.
“Yog, mau makan, ya?” tanya Unah tanpa menutup teteknya yang mungil, tapi bulat dan kencang itu. Aerolanya hitam harmonis dengan tetek Unah yang berwarna sawo matang.
“Nggak, baru jam berapa?” kata saya. “Saya mau melihat kamu menetek. Amal umur berapa sih masih menetek?”
Unah tertawa. “Satu…” jawabnya.
“Kamu hamil gitu, apa tetek kamu masih ada airnya?”
“Sedikit-sedikit sih keluar… saya sudah sapih dia sebulan, tapi karena badannya suka panas, saya netek lagi…” jawab Unah.
Saya mendekati Unah dan berjongkok. “Saya ikut netek boleh nggak, Na? Tetek kamu kelihatannya segar banget, jarang diisap sama Madin, ya?” bisik saya.
“Yogii… ngomongnya gitu…! Ada itu tuhhh… “ jari tangan Unah menunjuk Teti.
“Biarin aja, dia nggak ngeliat ini,” jawab saya menjulurkan tangan ke tetek kanan Unah yang tidak tertutup kaos.
Unah menahan tangan saya. “Jangan, Yogi!”
“Saya bayar deh…” kata saya.
“Bohong!”
“Ibu ngomong sama kamu nggak, selesai berberes dikasih duit berapa? 100 atau 150?” tanya saya menyelidik.
“100 ya terima, 150 syukur.. saya hanya nyapu sama ngepel saja kok…”
“Saya genapkan jadi 200, kamu kasih saya isap tetek, ya?” bisik saya.
“Mana duitnya?” tagih Unah menjulurkan telapak kanannya.
Hee.. hee.. sambil tertawa dalam hati, saya kembali ke kamar mengambil uang dari Mama. Setelah itu saya berjongkok lagi di dekat Unah yang masih menetek Amal, saya meletakkan di lantai 2 lembar uang 100 ribu. “Nih, kurang nggak?” tanya saya.
Tangan Unah langsung menyambar 2 lembar uang 100 ribu itu, sedangkan tangan saya menyambar tetek Unah, lalu saya remas. Unah tidak menepis tangan saya. Kemudian pentil tetek Unah saya isap. Saya mengisap yang kanan, Amal mengisap yang kiri.
Kemudian saya mengeluarkan penis saya dari celana pendek saya. “Nih, saya tambahin berapa?” tanya saya.
Unah kaget. “Yogi! Kan saya lagi hamil, masa main begituan sih?”
Saya mencium pipi Unah yang mulus. “Sayang, justru harus main, biar jabang bayi di dalam perut kamu itu sehat,” kata saya. “Mau, ya? Nih, saya tambahin,” saya menaruh 100 ribu di lantai.
“Tolong tukerin uang recah dong, ada nggak?” kata Unah.
“Kamu mau uang receh berapa?” tanya saya.
“5 ribuan selembar, buat Teti.”
Kebetulan saya ada uang 5 ribuan selembar di kantong. “Tik ini… bawa adikmu pulang!” teriak Unah menyodorkan lembaran uang 5 ribu rupiah pada Teti.
Teti mengambil tanpa protes. “Jangan dijajanin semua!” kata Unah menyerahkan Amal pada Teti. Setelah itu, Unah mengambil uang 100 ribu di lantai, kemudian merapikan BH dan kaosnya.
Unah mengantar Teti dan Amal ke halaman. Ketika Unah masuk kembali ke dalam rumah, saya langsung memeluknya dan menyambar bibirnya. Bibir Unah saya lumat dengan bibir saya.
Tangan Unah mendorong dada saya. Saya melumat bibirnya semakin ganas, hingga napas Unah tersengal-sengal dan tangannya tidak ada tenaga lagi untuk mendorong saya.
“Ludahmu manis. Kamu jarang dicium Madin, ya?”
“Saya takut, Yog! Kalau ketahuan orang-orang di sini, bagaimana?”
Saya memeluk Unah, mengelus punggungnya dengan telapak tangan saya. Mungkin merasa disayang dan diperhatikan, saya berhasil membawa Unah masuk ke dalam kamar tidur saya.
Unah duduk di tepi tempat tidur saya. Saya melepaskan semua pakaian saya, hingga telanjang. Penis saya sangat tegang. Saya mendekati Unah. Unah memegang penis saya. “Saya buka pakaianmu, ya?” kata saya.
Unah membiarkan saya melepaskan kaos, celana, BH sampai celana dalamnya. Ia lalu berbaring di tempat tidur saya dengan telanjang. Kedua kaki berjuntai di tepi tempat tidur. Saya mencium perutnya dan menjilat pusernya dengan lidah.
Bulu kemaluannya yang tipis juga saya cium. Memang bau. Bau keringat, bau bekas kencing, bau lendir vaginanya. Semuanya bercampur menjadi satu, sehingga aroma tersebut menjadi merangsang.
Tapi tangannya menahan kepala saya saat kepala saya mau menyusup masuk ke selangkangannya. “Jangan Yog…. jangan!” pinta Unah.
“Memek kamu belum pernah dijilat Madin, ya?” tanya saya.
Unah menggeleng. “Sekarang saya jilat, kamu rasakan!” kata saya.
“Malu Yog. Masukin saja langsung, kenapa sih dijilat-jilat segala?”
“Nih!” saya menaruh selembar uang 50 ribu di tempat tidur.
Mata Unah bersinar melihat lembaran uang 50 ribu rupiah. Tangannya meraih, kemudian kedua pahanya ikut terbuka dengan ringan. Vagina Unah berwarna coklat tua dengan lubang ternganga berwarna merah dan basah.
Saya segera menangkupkan mulut saya ke lubang vagina Unah. Saya menyeruput lendir vagina Unah yang membanjir di dalam lubang vaginanya. Unah memejamkan mata. Kemudian lidah saya masuk ke dalam lubang vagina Unah. Ketika lidah saya mulai melilit dinding vaginanya, paha Unah mulai terasa berkedut sedikit.
Paha Unah semakin berkedut sewaktu lidah saya menjilat kelentitnya. “Ooohhhh… ooohhhh… ooohhhh….” tiba-tiba Unah menggelinjang dan merintih.
Saya tidak peduli. Saya terus memainkan kelentitnya. Kelentit Unah sangat keras dan lubang vaginanya juga terbuka sangat lebar. Kemudian tubuh Unah meliuk-liuk seperti cacing kepanasan. Suara rintihannya berubah menjadi suara erangan.
Saya memeluknya dan mencium bibirnya. Sementara itu penis saya menusuk lubang vaginanya. Penis saya terdorong masuk dengan mudah ke dalam lubang vagina Unah yang longgar. Saya tanam dalam-dalam penis saya sembari saya melumat bibirnya.
Setelah itu, saya merasakan pantat Unah bergerak naik-turun. Saya membalik Unah hingga ia menjadi di atas. Pantat Unah kembali naik-turun. Lubang vaginanya terasa menggesek-gesek batang penis saya. Lubang yang sudah longgar itu semakin longgar, apalagi sangat basah.
Tak lama kemudian, menyemburlah air mani saya. Croott… crroottt…. crroottt…
Unah menahan napas. “Enak banget, Yog…. enak banget!” desah Unah.
Saya membaringkan Unah di tempat tidur. Saya membersihkan vaginanya dengan tissu. “Kapan-kapan lagi ya, Na?” kata saya.
Unah tersenyum.
Sesudah ia memakai kembali pakaiannya, saya menyodorkan selembar uang 100 ribu lagi padanya. “Kamu simpan saja, Yog. Nanti saya bawa pulang ketahuan sama Madin diambil semua. Saya ambil 200 saja.” kata Unah.
Saya memeluk Unah erat-erat, sepenuh kasih sayang, sepenuh cinta.