Cerita dewasa: Jalan pagi yang sangat menyehatkan

Author:

Saya suka jalan pagi. Selama saya jalan pagi sudah hampir satu tahun lebih lamanya saya tidak pernah bertemu dengan ibu-ibu atau wanita yang berjalan sendirian, mereka berjalan pasti dengan pasangan mereka, anak mereka, atau sesama teman.

Tetapi pada suatu pagi, saya bertemu dengan seorang wanita berjalan pagi hanya sendirian dari arah yang berlawanan dengan saya. Karena tidak saling kenal, saya diamkan saja dan ia juga mendiamkan saya.

Akan tetapi, pagi berikutnya saya bertemu dengan wanita itu lagi. Kali ini mau tidak mau saya harus mengucapkan salam padanya. “Selamat pagi, Bu.” ucap saya menganggukkan kepala.

Mau ia membalas ucapan saya atau tidak, bukan urusan saya. Saya sudah bertindak ramah terhadapnya.

Ternyata ia menjawab saya juga. “Tinggal dimana, pak?” tanyanya menghentikan langkahnya. Ia tidak memakai pakaian olahraga dan sepatu olahraga lengkap seperti saya. Ia hanya memakai daster ukuran panjang sampai di lutut dan sandal jepit.

“Di jalan Mawar 3, Bu. Ibu…?”

“O… kita tetanggaan dong…” jawabnya tersenyum senang. “Saya juga tinggal di Mawar 3.” katanya. “Rumah Bapak di tengah kali, ya. Rumah saya di ujung gang…” jelasnya.

Usianya kurang lebih 50 tahunan. Tapi kalau melihatnya di siang hari, mungkin ia akan kelihatan cantik, karena meskipun usianya sudah paruh baya, namun tubuhnya masih berbentuk.

Sedangkan usia saya juga sudah tidak muda lagi. Saya sudah hampir kepala 5. Tapi jangan ditanya urusan seks. Saya masih kuat.

Jika saya keluar kota selama seminggu misalnya, pulang ke rumah saya bisa menyetubuhi istri saya 2 atau 3 kali dalam semalam. Istri saya juga senang melayani saya ber’olahraga malam’ meski anak kami sudah besar-besar.

Anak cewek kami sudah hampir lulus kuliah. Kami mempunyai 3 orang anak dan sekarang usia istri saya sudah 45 tahun dan anak bungsu kami sudah berusia 17 tahun.

Istri saya melahirkan ketiga anak kami, ia tidak pernah mau melahirkan dengan operasi caesar. Namun begitu

harus saya akui lubang vagina istri saya yang pernah melahirkan 3 orang anak itu tidak kendor, tetapi saat kami bersetubuh lubang itu masih mampu memegang batang penis saya dengan erat. Maka itu, sangat nikmat saat saya menyetubuhi istri saya.

Akan tetapi setelah saya mengenal wanita yang saya temui sewaktu jalan pagi itu, paradigma saya mengenai istri saya berubah total, karena entah kenapa saya selalu merindukan ingin bertemu dengan wanita tersebut. Terkadang saya menyetubuhi istri saya, saya juga membayangkannya dan kesempatan itu tersedia bagi saya.

Pagi itu saya bertemu dengan wanita ini bukan berlawanan arah, tetapi ia berjalan beberapa meter berada di depan saya.

Saya mengejarnya. Dan sewaktu saya sudah berjalan bersamanya, kami ngobrol sambil berjalan.

Ternyata suaminya sudah stroke hampir 2 tahun. Mereka hanya tinggal berdua. Rumah itu dibeli oleh anaknya untuk mereka tinggal berdua.

Anaknya hanya satu orang saja dan sudah punya istri. Tinggalnya di tempat lain. Lalu saya memperkenalkan diri saya padanya. Ia bernama Anne. Saya memanggilnya Bu Anne. Ia memanggil saya Pak Joko.

Kami bertemu lagi pagi berikutnya. Mungkin sayalah yang ingin bertemu dengannya, bukan Bu Anne yang ingin bertemu dengan saya.

Dan pagi ini barangkali juga merupakan pagi yang sangat membahagiakan saya, saya bisa memegang tangan Bu Anne sewaktu ia mau jatuh karena asyik ngobrol dengan saya, ia tidak melihat polisi tidur. Ia hampir terjatuh karena kakinya terantuk polisi tidur.

Bu Anne tertawa senang dan pagi itu saya langsung mengajak Bu Anne ke rumah saya berkenalan dengan istri saya, dan sewaktu Bu Anne mau pulang, istri saya membekali Bu Anne dengan 2 porsi kolak pisang.

Dengan demikian saya jadi lebih bebas berjalan pagi dengan Bu Anne tanpa dicurigai oleh istri saya. Tetapi menurut pantauan saya dari diri Bu Anne, kelihatannya sudah timbul benih-benih ketertarikannya pada saya.

Kalau tidak, tidak mungkin saya bisa bertemu dengan

Bu Anne setiap pagi dan saya kemudian diajaknya ke rumahnya bertemu dengan suaminya. Suaminya masih biasa berjalan, tetapi fisiknya sudah sulit untuk bergerak di sebelah kanan, sehingga dalam pikiran saya, betapa menderitanya batin Bu Anne yang masih layak mendapatkan nafkah batin dari suami itu, tetapi harus dihentikan, karena suaminya sudah tidak mampu memberikan padanya.

Sudah pasti!

Saya berani jamin 100% Bu Anne sudah tidak mendapat nafkah batin dari suaminya. Namun begitu saya tidak berani gegabah.

Lebih baik pelan tetapi menghanyutkan daripada cepat, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Terbukti sewaktu Pak Thamrin menikahkan anaknya malam itu Bu Anne juga ikut hadir.

Bu Anne datang duluan. Saya sampai di rumah Pak Thamrin, Bu Anne sedang duduk makan dengan beberapa tetangga.

Setelah saya memberikan salam pada kedua pengantin, dan keluarga Pak Thamrin serta besannya, saya ikut antri ambil makanan. Setelah itu, saya duduk di samping Bu Anne. Sambil makan kami ngobrol dan Bu Anne memakai kebaya warna putih yang dipadunya dengan kain batik berwarna coklat.

Sungguh cantik Bu Anne. Apalagi sewaktu ia berdiri saya melihat bongkahan pantatnya yang begiii..iitu montok, saya benar-benar menelan ludah melihatnya.

Tetapi mungkinkah saya bisa mendapatkan bongkahan montok pantat Bu Anne? Mustahil… menurut saya, tetapi sewaktu saya mau pulang, Bu Anne mau ikut pulang dengan saya supaya ia punya teman jalan pulang bersama.

Udara yang sedikit dingin mungkin hari mau hujan membuat saya berani menggenggam tangan Bu Anne saat kami berjalan pulang berdua. Rupanya Bu Anne tidak menolak tangannya saya genggam.

Sesampai di depan rumah Bu Anne, tangan Bu Anne sudah sangat sulit saya lepaskan. Lalu tangan itu saya cium.

“Mampir, Pak Joko…” ajak Bu Anne.

“Suami…?” tanya saya.
“Jam segini sudah tidur. Yuk…” ajaknya menarik tangan saya.

Mana gayung tidak bersambut? Adalah laki-laki yang sungguh bodoh jika tidak mau menerima ajakan Bu Anne, apalagi saya tertarik

padanya.

Istri saya di rumah gampang diatur.

Bu Anne membuka gembok pintu pagar dengan kunci yang dibawanya, sedangkan pintu rumah tidak dikunci.

Ia lalu mengajak saya masuk ke rumahnya dan pintu rumah langsung dikuncinya. “Duduk dulu, Pak Joko.” kata Bu Anne sesampai saya di ruang tamunya yang resik dan tertata apik. “Saya tukar pakaian sebentar…”

Saya menahannya. Saya lalu duduk di kursi ruang tamunya yang empuk, sementara Bu Anne berdiri membelakangi saya seolah mempertontonkan bongkahan pantatnya yang indah itu pada saya.

Saya pun mengelus bongkahan pantatnya dengan telapak tangan saya, meremasnya, bahkan menciuminya. Bu Anne memberikan itu semuanya pada saya, tanpa satupun ia menolaknya, malahan ia melepaskan kain dan kebaya yang dipakaian, sehingga di tubuhnya yang masih kencang, putih dan mulus itu hanya tersisa celana dalam putih dan BH berwarna hitam.

Saya pun menurunkan celana dalamnya mencium bongkahan pantatnya yang telanjang. Yang mustahil menjadi kenyataan.

Bahkan Bu Anne membuka lebar pahanya memberikan anusnya yang berkerut-kerut berwarna coklat tua itu untuk saya cium dan saya jilat.

“Ssssstt… oohhh, Pak Joko… sudah lama gak dijilat, enak sekaliiii… Pak Jokoooo…” desah Bu Anne. “Mari kita main di kamar…” ajaknya.

Di dalam kamar, kami sudah seperti suami istri beneran. Saya dan Bu Anne bertelanjang bulat. Dan di tempat tidur kami berciuman. Bu Anne begiii..iitu rakusnya…

Saya meremas-remas payudaranya yang besar dan belum lembek itu. Bu Anne benar-benar haus seks. Lubang vaginanya tidak sabar lagi menunggu kontol saya yang tegang memasukinya. Ia segera menggenggam batang kontol saya menuju ke lubang vaginanya.

Lubang vagina Bu Anne sudah seret, mungkin jarang dimasuki penis, atau bisa jadi Bu Anne sudah menopause, namun begitu nafsu birahinya masih menggebu-gebu, apalagi ia bertemu dengan saya yang kontolnya masih kuat perkasa.

Srepp… sreepp… sreppp… saya dorong batang kontol saya masuk ke lubang vagina Bu Anne sedikit demi sedikit. Kadang-kadang saya

tarik sefikit keluar, lalu dorong lagi.

Uhhh… lama-lama pun blleesss… kontol keras saya tertelan lubang vagina Bu Anne.

“Enak, Bu…?”

“Ohh… enak, Pak… ini rahasia kita, jangan sampai orang di luar tau ya, Pak Joko…”

“Nggaklah, Bu… saya berani pastikan rahasia kita terjamin, karena saya juga butuh ibu untuk menyalurkan hasrat saya ke lubang memek Ibu yang masih sangat nikmat…”

“He… he… Pak Joko…”

“Boleh saya ganti panggil Ibu jadi Mama…?”

“Uummmhh… ahhh, Paaa… ohhh… ayo, Pah… puasin Mamah…” desah Bu Anne.

Saya mengayunkan kontol saya maju-mundur, sedangkan Bu Anne mengiringi goyangan saya dengan memutar pinggulnya. Batang kontol saya seperti mengaduk-ngaduk lubang vagina Bu Anne.

Aiihhh… istri saya meskipun jago seks, tidak bisa melakukan goyangan yang memelintir seperti yang dilakukan Bu Anne.

Sehingga tidak sampai 15 menit kami saling berpacu birahi dan melumat bibir, hasrat saya ingin tumpah sudah tak tertahankan. Lalu segera saya dorong kontol saya masuk ke lubang vagina Bu Anne lebih dalam, “Ohhhh… Papah…” desah Bu Anne.

“Papah ingin tumpah, Mah…” erang saya.

“Oohhh… ooohh… oohhh.. oohhh…” dengus napas dan erangan kami saling bersahutan, kemudian tumpahlah sperma saya di depan rahim Bu Anne.

Crroottt… crroooott… croott…

Nikmatnyaaa… sulit saya lukiskan hanya dengan sepotong kalimat. Surga seperti milik kami berdua.

Kami saling berpelukan dan saling berciuman.

Beruntung sesampai di rumah malam itu istri saya tidak mengajak saya ngentot.

Paginya jalan pagi tetap kami laksanakan, tetapi saya dan Bu Anne saling jaga jarak seperti tidak terjadi apa-apa.

Kemesraan hanya di tempat tidur.