Siang mendung menggelayut di langit, sebentar lagi turun hujan. Aku buru-buru naik angkot yang sedang ngetem di depan halte kampus. Di dalam angkot duduk 2 penumpang. Seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita muda yang membawa sekantong belanjaan.
“Kasihan ya Dek, sekarang angkot susah dapat penumpang, semua orang pada naik ojek,” sapa si ibu saat saya duduk di sampingnya.
“Hee.. hee.. “ saya hanya tertawa kecil tidak berani menjawab si ibu, karena takut omongan saya tidak disukai sopir angkot. “Ibu habis dari mana?” tanya saya.
“Ngantar anak ke sekolah mampir ke pasar sekalian. Adek, kuliah di sini?”
“Iya Bu, daripada nganggur…”
“Adek tinggal di mana?”
“Pasar Ujung Bu, Ibu?”
“Gang Benhur…”
“Bawa banyak belanjaan dagang ya, Bu?”
“Iya dagang nasi, sejak suami meninggal. Habis mau kerja apa, bisanya hanya segitu…”
Angkot mulai bergerak. Penumpangnya hanya kami bertiga. Si laki-laki yang duduk di depan kami tidak memperhatikan kami. Ia sibuk dengan hapenya. “Sudah berapa lama suami meninggal?”
“Sudah hampir 2 tahun!”
“Ee… ee… ee… ee… Abang! Hati-hati, dong!” teriak si ibu mencengkeram tangan saya. Sopir angkot ngerem mendadak, karena mobil di depannya berhenti mendadak juga, sebab ada kambing yang mau nyeberang jalan.
Entah kambing dari mana. “Maaf ya, Dek!” si ibu buru-buru melepaskan tangannya dari tangan saya.
Tapi kemudian ia sempat memandang saya dengan senyuman seperti tangan saya ada magnitnya. Saya juga tersenyum. “Saya mau turun di warung mie ayam. Ibu mau ikut?” tanya saya.
Saya siapkan uang 10 ribu rupiah untuk membayar angkot. Ternyata si ibu mau ikut saya turun di warung mie ayam. Saya membantu mengangkat barang belanjaannya turun dari angkot. Namanya Yayuk, umurnya 38 tahun. Begitu informasi yang saya peroleh dari Bu Yayuk sendiri saat kami duduk di warung mie ayam. Suaminya meninggal karena kanker paru. Anaknya 4 orang, yang paling besar duduk di kelas XI SMK, sedangkan yang paling kecil masih SD kelas 5.
“Bagaimana urusan ranjang dong Bu, Ibu masih muda sudah nggak punya suami? Apa nggak ada niat nikah lagi?” tanya saya.
“Nggaklah Dek Jupri, anak-anak nggak suka ibunya nikah lagi. Urusan ranjang, tahan-tahanlah cari kesibukan…”
Saya menggenggam tangannya di bawa meja. Tidak ada penolakan dari Bu Yayuk, berarti kalau saya membawanya ke ranjang pun, ia tidak akan menolak saya, batin saya.
“Mau Ibu, kalau saya bawa jalan-jalan sekali-sekali…” tanya saya.
“Mau aja Dek Jupri, saya sendiri apa sama anak-anak?”
“Iya… sama anak-anak dong, Bu…”
“Dek Jupri… “ desah Bu Yayuk memandang saya tajam dan menggenggam tangan saya lebih erat lagi seolah-olah tubuh, jiwa dan rohnya ia berikan pada saya.
Hampir 30 menit kami ngobrol dan makan mie. Bu Yayuk mengajak saya ke rumahnya. Dari depan Gang Benhur ke rumah Bu Yayuk masih jauh, kira-kira 100 meter. Rumah kontrakannya sempit dan lingkungannya agak kumuh. Seorang ibu yang lagi netek anaknya juga jorok, nggak nutupin teteknya, sehingga tetek yang montok itu menjadi santapan mata laki-laki.
“Ini anak saya, hari ini libur.” Bu Yayuk memperkenalkan anaknya yang duduk di ruang tamu bermain games pada saya.
“Joko, Kak!” Joko bangun dari duduknya bersalaman sopan dengan saya.
“Dulu Bapak masih hidup rumah nggak begini Dek Jupri, habis dijual buat ngobatin Bapak…” jelas Bu Yayuk.
Bagaimana saya dapat menjawab keluhan Bu Yayuk?
“Jemput adikmu Ko, sekalian motor isi bensin, nanti sore Mama mau pergi…” suruh Bu Yayuk pada Joko.
Joko anak penurut. Joko segera meninggalkan tempat duduknya. Setelah motor berbunyi, Bu Yayuk mendorong pintu rumahnya sedikit tertutup. Ia duduk di samping saya, memegang paha saya, menanti reaksi saya. Itulah tujuannya kenapa ia menyuruh Joko pergi.
Saya segera merangkul pundaknya dan menyambut bibirnya. Napas Bu Yayuk mendengus-dengus saat bibir saya melumatnya dan tangannya tidak henti-hentinya meremas kontol saya yang masih tersimpan di dalam celana saya seolah-olah ia sangat membutuhkan kontol saya sekarang juga. Saya maklum, Bu Yayuk sudah ditinggal mati oleh suami sekian lama pasti memeknya memerlukan penyegaran. Saya juga mau cepat-cepat menikmati memek Bu Yayuk.
Saya membuka celana saya dan mengeluarkan kontol saya yang tegang. “Cepat… cepat…. “ suruh Bu Yayuk menurunkan celananya dan nungging di depan meja tamu. Ia sudah sangat tidak tahan, apalagi dilihatnya kontol saya sangat besar dan sangat tegang.
Saya tidak segera menusuk memek Bu Yayuk dengan kontol saya. Pantatnya yang putih dan bahenol menarik perhatian saya. Saya cium pantat Bu Yayuk dan belahannya yang wangi keringat saya jilat dengan lidah saya. Bu Yayuk menggelinjang apabila lidah saya mengenai anusnya. “Huuhhh… enak, Dek Jupri…” desah Bu Yayuk, “Jangan biarkan, semuanya Dek Jupri… trusss… oohh… enakkk… trusss…”
Saya tidak tahu desahan dan rintihan Bu Yayuk kedengaran oleh tetangganya atau tidak. Kalau kedengaran, tetangganya juga pasti maklum dengan janda kesepian ini. Pahanya dikangkangnya lebar-lebar untuk saya. Memeknya basah mengeluarkan lendir sampai meleleh ke pahanya. Betapa birahinya Bu Yayuk…
Saya jilat semua cairan birahi Bu Yayuk. Memeknya saya tusuk-tusuk dengan lidah sehingga membuat tubuh Bu Yayuk bergemetaran hebat. Kedua kakinya seolah-olah tidak kuat menginjak lantai. Ia mengalami orgasme yang luar biasa.
“Saya mau menjadi suamimu kalau kamu mau sama saya,” kata saya jatuh cinta pada Bu Yayuk.
Aku tidak panggil Bu Yayuk lagi, aku panggil kamu. Yayuk membalik tubuhnya memeluk saya erat, seerat-eratnya. “Saya mau bahagia bersama kamu, Mas…”
Desah napas Yayuk mengingatkan saya akan pacar saya, Dewi. Dewi rela saya setubuhi siang dan malam kapan saya mau dan Mama saya juga sangat suka sama Dewi. Setiap kali Dewi datang ke rumah, Dewi rajin membantu Mama saya bikin kue untuk dijual.
Saya telentangkan Yayuk di atas meja tamu dan dengan sekali tusuk, kontol saya tembus sampai ke ujung memek ibu yang pernah melahirkan 4 orang anak ini. Yayuk menggelinjang dan kedua tangannya mencengkeram tepi meja, menandakan ia mengalami orgasme yang kedua.
Saya tidak menyia-nyiakan waktu. Kemungkinan Joko pulang menjemput adiknya di sekolah sangat besar, belum lagi kalau tetangga yang datang ingin bertemu dengan Yayuk. Saya pompa memek Yayuk yang licin basah itu seperti kontol saya kecebur di sumur, tapi memek Yayuk masih lengitnya minta ampun. Bibir memeknya tebal sekali, kalau diiris buat masak sayur, bisa dapat sepiring penuh. Hee.. hee…
Kontol saya juga ngacengnya luar biasa. Semakin dipakai untuk memompa memek Yayuk, rasanya semakin tegang saya. “Oooo…. Maa…aasss…. mau lagi, Maaa…aasss….” rintih Yayuk ingin orgasme sekali lagi.
Memek Yayuk mengeluarkan aroma birahi yang tidak sedap. Saya pompa terus memek Yayuk. Plokk… plokkk… plokkkk…. aaaaggghhh…. Maa… aassss…. teriak Yayuk.
“Memekmu legit, Yu..uukkk… aaarrgghhh….” aku mengerang dan tubuhku mengejang hebat.
Selanjutnya, air maniku menyembur-nyembur di memek Yayuk membuat Yayuk terkulai tak bertenaga, sedangkan aku menindih Yayuk dengan napas terengah-engah. Setelah mengatur napas, saya segera mencabut penis saya dari lubang memek Yayuk, lalu pergi ke kamar mandi dengan Yayuk.
Saat saya meninggalkan rumah Yayuk sudah jam 3 sore, kontol saya masih ngilu rasanya. Saya mampir minum es di warung untuk mencari informasi tentang Yayuk. “Baru 3 atau 4 bulan tinggal di situ. Dulu sebelum suaminya meninggal, dia tinggal di perumahan Asri. Ugghh… sombong Dek, dia dulu… sekarang aja dia baru mau bergaul sama kita…” begitu cerita pemilik warung es.
Berarti saya benar, Yayuk bukan wanita nakal. Ia cuma butuh belaian laki-laki, sehingga saya pun sering bertandang ke rumah Yayuk. Saya ke rumah Yayuk tidak hanya urusan syawat, tapi saya juga sering bermain dengan anak-anaknya. Kadang-kadang saya juga nginap di situ, tidur seranjang dengan Yayuk.
Joko dan adik-adiknya paham kalau saya dan ibunya sudah seperti suami-istri.