Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, secara tiba-tiba kakak ipar saya datang ke rumah saya. Kami baru beberapa hari pindah rumah, rumah kami masih berantakan.
Kalau hanya berantakan saja sih tidak ada masalah. Ruang tamu yang belum bisa dipakai untuk menaruh kursi atau sofa bisa duduk lesehan dulu di lantai pakai tikar, dapur yang belum bisa dipakai buat masak, bisa diajak makan ke restoran, tetapi tempat tidur?
Saya tentu saja tidak bisa menyuruh istri saya membawa kakaknya tidur di hotel meskipun saya mampu untuk membayarnya.
Itu sama saja dengan saya mengusir kakaknya dari rumah saya, apalagi tujuan kakak ipar saya ke Jakarta dari Lampung untuk bertemu dengan dokter yang pernah merawat suaminya sebab dokter tersebut telah pindah ke Jakarta.
“Nanti, nggak apa-apa ya Mbak, kita tidur bertiga? Kamar mandi juga masih berantakan,” kata istri saya pada kakaknya.
“Ya, nggak apa-apa…” jawab Ayuning. “Sejak kakak iparmu sakit, saya juga nggak pernah tidur nyenyak sekali… sebentar-sebentar ia minta kencing, sebentar-sebentar ia minta makan…”
“Sampai kapan Mbak Yun di sini?”
“Kalau besok siang ketemu dokternya, sore saya pulang.”
Karena ada tamu terpaksa saya harus mengganti lampu yang berada di dekat kamar mandi menjadi yang lebih terang supaya kaki kakak ipar saya tidak terantuk barang-barang yang kami taruh di dekat kamar mandi.
Selain itu saya juga mau menempel lubang di pintu kamar mandi yang sudah rusak karena penghuni sebelum kami, sangat jorok.
Rumah yang ditinggalinya tidak dipelihara. Pikirnya, sewa kali ya? Ngapain rumah sewa dipelihara? Sekarang rumah ini sudah menjadi milik kami. Kami bukan menyewa.
Pada saat saya sedang memasang lampu, datanglah kakak ipar saya ke kamar mandi membawa perlengkapan mandinya. Saya terlambat mencegah ia masuk ke kamar mandi. Ia tidak peduli dengan pintu kamar mandi yang berlubang. Ctek… dikuncinya pintu kamar mandi dari dalam!
Saya tidak bermaksud mengintip kakak ipar saya mandi, meskipun tubuh kakak ipar saya yang berumur 40 tahun itu masih layak untuk dinikmati.
Terdengar bunyi siraman air tidak lama kemudian, bercampur dengan bau dapur istri saya sedang memasak makanan untuk santap malam.
Saya melipat tangga dan mengembalikan ke tempatnya di samping kamar mandi.
Ketika saya mau melangkah pergi dari tempat saya meletakkan tangga, samar-samar saya mendengar suara desahan, “…aahhh… aahhh…” dari arah kamar mandi.
Saya berani memastikan bahwa suara tersebut bukan suara setan, atau suara jin, tapi benar-benar suara desahan dari seorang wanita.
Langkah kaki saya untuk pergi dari tempat saya meletakkan tangga, tidak saya lakukan. Dengan berjalan berjinjit pelan saya pergi ke depan pintu kamar mandi meletakkan sebelah mata saya di lubang.
Oo…
Pantesan terdengar suara desahan, ““…aahhh… aahhh”, ternyata dua jari tangan kakak ipar saya tertancap di lubang vaginanya dan sedang melakukan gerakan mengocok keluar-masuk.
Tubuh telanjangnya yang berdiri dengan posisi menungging hanya terlihat dari belakang. “Sssttt… ooo… mmmhh…” desahnya pelan sekali.
Setelah beberapa kali mengocok, mungkin takut kelamaan di kamar mandi, tidak sampai orgasme kakak ipar saya menyiram kembali tubuh telanjangnya yang masih bahenol dan pantat yang masih montok menantang itu dengan air.
Saya tidak mengintip sampai ia selesai mandi. Dengan jantung berdebar kencang dan penis yang sangat tegang, saya pergi ke ruang tamu duduk menyalakan televisi.
Sekitar 10 menit saya nonton televisi, Mbak Ayuning mendekati saya berbalut handuk. “Ri, sore ini kamu pergi, nggak?” Mbak Ayuning bertanya pada saya.
“O, mau ke dokter ya, Mbak?” sambut saya cepat.
“Iya, bisa antar saya?”
“Bisa… bisa… bisa…” jawab saya cepat.
Apakah ia tahu saya sedang duduk gelisah dan dada saya sedang berkecamuk membayangkan kedua jarinya yang tadi mengorek-orek lubang vaginanya, saya tidak tahu.
Saya segera beranjak bangun dari tempat duduk saya pergi ke kamar mandi.
Saya mandi kilat.
Setelah itu saya memberitahukan pada Angi di dapur yang sedang memasak bahwa saya akan mengantar kakaknya ke dokter. Makannya nanti saja pulang dari dokter. Angi mengiyakan saya.
Saya pergi ke ruang tamu dan dengan hanya memakai handuk, saya membuka pintu kamar tidur hendak mengambil pakaian saya yang bersih. Cetrek… ooo… astaga, ternyata Kak Ayun masih telanjang bulat sedang mengeluarkan pakaiannya dari tas.
Saya kaget, ia juga kaget. “Jangan masuk dulu!” katanya menghadap bagian depan tubuhnya ke dinding kamar.
Saya tidak menghiraukannya karena saya tahu bahwa Angi tidak mungkin akan meninggalkan dapurnya yang masih berantakan untuk hanya sekedar ngomong dengan kami.
Saya masuk ke kamar. “Agusss…!!!” teriak kakak ipar saya.
Saya tidak takut dengan teriakan Mbak Ayuning akan kedengaran oleh Angi.
Saya melepaskan handuk saya, lalu memeluk tubuh telanjang Mbak Ayuning dari belakang.
Mbak Ayuning jelas memberontak. “Agus, berani kurang ajar ya kamu dengan saya, kakak iparmu…!” marahnya.
“Tadi di kamar mandi ngapain jari dimasukin ke memek?” tanya saya. Penis saya yang mengacung tegang sengaja saya selipkan di sela pantatnya.
Rontaan Mbak Ayuning langsung berhenti. “Jangan sekarang Gus, nanti ketahuan sama Angi. Nggak mau kan kamu, gara-gara saya… keluargamu berantakan?” katanya.
Tetapi sejenak saya meraih wajahnya dan mencium bibirnya, ia membalas ciuman saya. “Habis bagaimana Gus, saya butuh!” katanya selesai kami berciuman.
Kami menjadi dekat. Ketika saya mengantarnya ke dokter dengan sepeda motor, selepas dari gang rumah saya, Mbak Ayuning langsung merapatkan tubuhnya ke tubuh saya dengan kedua tangannya merangkul ke perut saya dan memeluk saya dengan erat.
Letak rumah sakit yang jauh, rasanya menjadi dekat.
Ternyata Mbak Ayuning hanya minta resep obat dengan dokter. Keluar dari ruangan dokter, saya mengajak Mbak Ayuning mampir ke cafe rumah sakit minum kopi.
Sambil minum kopi, Mbak Ayuning bercerita pada saya, ketika suaminya kena stroke 2 tahun yang lalu ternyata alat kelaminnya juga ikut loyo.
Sejak saat itu, Mbak Ayuning sudah tidak pernah melakukan hubungan intim.
Biasanya seminggu sekali mereka menikmati seks, sekarang ia harus puasa dan katanya ia hampir menjadi lesbi dengan salah seorang tetangganya, untung ia sadar.
Mbak Ayun frutasi. Lalu ia mulai belajar masturbasi untuk memenuhi hasrat sexualnya.
Pulang ke rumah, kami makan malam dengan masakan Angi. Selesai makan kedua kakak adik itu ngobrol.
Angi, istri saya termasuk anak bungsu. Mbak Ayuning adalah anak pertama dan di bawah Mbak Ayuning, Angi mempunyai 2 kakak lagi.
“Mbak tidur di tengah aja, ya.” kata Angi pada kakaknya ketika sudah mau tidur. “Besok saya bangun pagi mau kerja…”
Saya tidak mau ikut bersuara, biar Angi yang mengatur. Saya nonton televisi sengaja sampai jam 12 tengah malam baru saya masuk ke kamar tidur.
Lampu kamar tidur dimatikan oleh Angi, tapi kamar tidur masih mendapat cahaya dari ruang tamu karena lampunya tidak saya matikan.
Mbak Ayuning terlihat berbaring miring di tempat tidur menghadap belakang Angi yang juga berbaring miring. Tetapi Angi memeluk bantal guling, sedangkan Mbak Ayuning tidak.
Saat saya merebahkan tubuh saya yang hanya terbalut celana pendek dan kaos singlet, ternyata Mbak Ayun belum tidur, ia menengok saya. Saya mencium pipinya, kemudian kami berciuman bibir pelan-pelan.
Bagian bawah dasternya saya singkapkan, ternyata Mbak Ayuning tidak memakai celana dalam.
Tidak mau menunggu lama lagi, dari arah sela pantatnya, saya cucukkan jari saya 2 buah ke lubang vagina Mbak Ayuning yang telah basah kuyup, saya kocok cepat.
Sayup-sayup terdengar suara ceplokk… ceplokk… ceplokk… saya tidak khawatir kedengaran Angi, karena saya tahu sifat tidur Angi.
Kalau sudah tidur, mau bom meledak sekalipun di depan telinganya, ia tidak akan terbangun kalau tubuhnya tidak saya guncang-guncang, atau memeknya tidak saya jilat-jilat sampai keluar ingusnya yang kental.
Setelah lubang vagina Mbak Ayuning merekah, kami ganti posisi melakukan pemanasan sebelum penis saya melakukan penetrasi ke lubang nikmatnya.
Saya hanya melepaskan celana pendek saya, sedangkan Mbak Ayuning tidak melepaskan dasternya, hanya disingsingkan saja bagian bawahnya.
Kemudian saya meletakkan miring kepala saya disalah satu paha Mbak Ayuning untuk menjilat vaginanya.
Saat saya menjilat vagina Kak Ayun, Kak Ayun menghisap penis saya. Vagina yang pernah melahirkan 3 anak itu tentu saja berbeda dengan vagina Angi, apalagi tadi telah saya kocok dengan jari, sehingga seluruh lidah saya dengan mudah saya masukkan, lalu saya menggerakkan untuk menjilat dinding vaginanya.
Paha Mbak Ayuninng menjepit kepala saya dengan erat dan penis saya disedotnya kuat-kuat.
Tentu saja Mbk Ayuning tidak berani mendesah atau merintih seperti tadi di kamar mandi. Dari lubang vaginanya, mulut saya pindah menghisap biji kelentitnya yang keras menonjol.
Saat itulah keluar erangannya yang tertahan sejak tadi. Tubuhnya ikut mengejang dan pahanya kaku menjepit kepala saya.
Saya membuat Mbak Ayuning ORGASME!
Setelah tubuhnya merenggang, saya baru naik menindih Mbak Ayuning. Saya masukkan penis saya ke lubang vaginanya.
Lubang vagina Kak Ayun terasa longgar, tetapi setelah saya tusuk lebih dalam lagi, ternyata di ujung vagina Mbak Ayuning seperti ada magnit yang bisa menghisap penis saya.
Ketika saya menggerakkan penis saya keluar-masuk rasanya sangat nikmat dan Mbak Ayuning ikut mengencangkan otot pinggulnya untuk menggoyang penis saya.
Sehingga tidak sampai 10 menit penis saya menggenjot lubang kenikmatan Mbak Ayuning, rasanya air mani saya sudah mau keluar.
Kami berciuman dan Mbak Ayuning membiarkan saya mengeluarkan air mani di dalam vaginanya.
Setelah itu Mbak Ayuning menyuruh saya tidur, besok baru dilanjutkan lagi.
Pagi jam 5 Angi meninggalkan tempat tidur, saya membangunkan Mbak Ayuning, lalu saya dan Mbak Ayuning kembali bercumbu.
Saya minta penis saya dimasukkan ke duburnya, ia menolak. Saya tidak memaksa. Dengan lidah saya menjilat dubur Mbak Ayuning sampai ia terangsang.
Akhirnya saya berhasil menyemburkan air mani saya di dubur Mbak Ayuning. Mbak Ayuning bilang geli-geli nikmat dan pagi itu ia buang air besar jadi lancar, sebelumnya tidak.
“Mbak Yun jadi pulang nanti sore?” tanya Angi sebelum berangkat kerja.
“Besok sore aja…” jawab Mbak Ayuning.
“Nah, begitu dong. Ngapain buru-buru pulang?” kata Angi.
“Bukannya nggak pengen lama di sini, Ngi… kakak iparmu nggak mau orang lain yang ngurus kencing beraknya…”
Duh… setelah Angi berangkat kerja, kembali saya menggenjot dubur Mbak Ayuning. Hitung-hitung sampai jam 12 siang, air mani saya memancut 4 kali.
— HHHHHH —
Tengah malam, saya kembali menggenjot vagina Mbak Ayuning. Mungkin karena saking hotnya saya menggenjot, Angi terbangun melihat saya menindih tubuh kakaknya, ia berteriak. “Papiiii… lebih baik saya mati saja… Papiiiiii… Papiiiii…..” teriaknya.
Saya kewalahan, Mbak Ayuning apalagi. “Maafkan saya, Ngi… saya yang salah, bukan Agus…” kata Mbak Ayuning.
“Pantesan pulangnya besok, ternyata pengen ngentot dengan suami saya…” Angi menangis.
“Saya kasihan dengan Mbak Ayuning, Ngi. Sejak dua tahun yang lalu kakak iparmu sakit, Mbak Ayun nggak pernah ngentot. Apa salahnya Mbak Ayuning merasakan kontol saya, Ngi. Besok Mbak Ayuning pulang, tidak bawa kontol Papi, kan?”
Angi mencubit paha saya. “Aku pengen…”
Saya mengerdipkan mata saya pada Mbak Ayuning. Mbak Ayuning mendekati Angi, lalu melepaskan daster Angi.
Angi tidak menolak.
Selesai melepaskan daster Angi, Mbak Ayuning juga melepaskan celana dalam Angi. Angi yang sudah telanjang bulat dibaringkan Mbak Ayuning di tempat tidur, lalu membuka lebar pahanya.
Mbak Ayuning menjilat vagina Angi. Kami threesome. Saya mengocok penis saya di lubang dubur Mbak Ayuning yang tadi tertunda.
Angi sangat menikmati rupanya, sehingga ia menyuruh saya melepaskan penis dari dubur Mbak Ayuning. Mbak Ayuning lalu membalik tubuhnya menyerahkan vaginanya untuk dijilat Angi.
Saya membiarkan kakak beradik itu saling menindih dan memuaskan. Lalu saya keluar ke ruang tamu nonton televisi.
Malam yang sudah sepi, sehingga terdengar dengan jelas suara desahan dan lenguhan Angi dan Mbak Ayuning.
Akhirnya saya tertidur di bangku. “Agus, bangun!”
Saya kaget mendengar teriakan Bunda. Saya membuka mata. “Kenapa tuh celanamu basah? Mimpi, ya?”
“Iya, Bun…” jawab saya malu.
“Makanya jangan kebanyakan tidur! Libur bukannya cari kerjaan, malahan tidur…” omel Bunda. “Nih, celana… ganti!” Bunda melemparkan celana pendek pada saya. “Air manimu sudah bau basi!”