Cerita dewasa: Ketika aku menjenguk tetanggaku hanya pakai tank top, suaminya terangsang

Author:

Pagi weekend ini. aku merasa weekend ini akan sangat biasa saja. Tak ada rencana apapun untuk mengisinya. Suamiku sudah lama tidak mengajak kami sekeluarga untuk memiliki acara weekend. Hingga seperti sudah terbiasa melalui weekend yang benar-benar disebut libur.
Tak seperti ibu-ibu wanita karier yang suka menghabiskan liburan dengan beres-beres rumah. Aku tak perlu melakukan hal itu. Kami sekeluarga sudah terbiasa rapi secara pribadi. Bahkan anak tunggalku yang kini sudah kelas 5 SD sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri walaupun dia laki-laki. Apalagi setiap sore ada Mbak Sal merapikan rumah kami yang selalu suka cita kuhadiahi beberapa lembaran merah untuk sedikit kesibukan tersebut.
“Pa…, Mama ke rumah Tatang ya,” pamitku pada suamiku yang tengah malas-malasan menggonta-ganti channel olahraga di TV.
“Oh… Ya,” izinnya tanpa beranjak.
“Istrinya masih sakit ya? Papa belum sempat jenguk deh.”
“Hayo dah sekarang,” ajakku.
“Heee…,” tanggapnya ragu. “Tapi pertandingannya sebentar lagi mulai. Udah lama Papa nungguin nih.”
Aku hanya tersenyum mencibir. Aku sudah menduga dia tak pernah punya niat untuk menjenguk. Apalagi Tatang hanya teman sekerja kantorku. Suamiku tak mengenalnya sama sekali selain sebagai tetangga yang terpisah dua blok dari rumah kami.
“Ma…, aku izin nanti pergi main ke rumah Denis.”
Putraku muncul bersarung handuk keluar dari kamarnya. Tampak bersiap hendak mandi. Aku sudah faham tujuannya minta izin dan mengeluarkan dompet dari saku celanaku.
“Kalo kurang, minta tambahan ke Papa,” ujarku.
Matahari pagi menyambut langkah ringanku menuju rumah Tatang. Celana denim tiga perempat yang membalut ketat kedua kakiku tak menghambat langkahku sama sekali. Tang top putih yang kugunakan terlindungi dengan aman oleh sebuah outer tipis penangkal sinar ultraviolet. Pagi yang hangat, pikirku.
Suasana kelabu menyambutku di rumah Tatang. Kondisi nyonya rumah yang sedang sakit tampak kentara dari halaman yang dipenuhi daun-daun kering yang jatuh dari pohon

peneduh jalanan. Aku hanya mendesah maklum saat menapaki teras yang berdebu dan mengetuk pintu.
“Masuk saja, Resty. Nggak dikunci kok.”
Tatang tahu-tahu sudah di belakangku. Melangkah ke rumah menenteng plastik transparan berisi mi instan dan telur. Dia tampak kusut hanya bersarung dan kaos oblong dari warung.
“Ke warung kok nggak kunci pintu?”
Kuungkapkan heranku sambil dengan akrab membuka sendiri pintu dan memasuki rumahnya bersama-sama.
“Komplek ini aman kok. Aku pernah beberapa kali lupa kunci rumah pas berangkat kerja. Nggak pernah kenapa-kenapa,” jelasnya yakin.
Aku hanya mengangguk membenarkannya. Hanya saja aku dan keluargaku tak pernah selalai itu.
“Dona baru minum obat setelah aku suapin sarapan tadi. Biasanya abis itu dia tidur. Coba tengokin deh. Kalo dia tidur, aku di dapur ya, siapin sarapanku.”
Tatang meninggalkaku di ruang tengah rumahnya menuju dapur setelah menjelaskan semuanya. Aku berbelok ke arah kamar tidurnya. Pelan kubuka pintu. Kutemukan istrinya ternyata belum tidur.
“Hai, Dona,” sapaku sambil memasuki kamarnya.
Dona tersenyum lemah menyambutku saat aku duduk di kursi di samping tempat tidurnya.
“Lagi liburan ya sekarang. Aku kadang sampai lupa hari.” Dona dengan lembah bicara.
“Iya. Sengaja ke sini mau nengokin kamu. Biar cepet sembuh.” Aku mencoba memompa semangatnya.
“Iya… Kata dokter kemarin tinggal dua kali kemo biar selnya benar-benar habis.”
“Tinggal dua langkah lagi dong untuk sembuh,” ujarku optimis.
“Yaaah… harus kuat. Padahal tiap kemo ampun dah setengah mati.”
Dona mengungkapkan keluhnya dengan nada yang benar-benar menggambarkan lelahnya. Aku hanya menggenggam tangannya mencoba mengalirkan semangat.
“Tatang gimana di kantor dengan kondisi aku kayak gini?” Dona menatap sayu namun tampak ingin tahu.
“Tabah sih dia, Dona. Nggak ada yang terlalu menyinggung kondisi kamu di kantor karena dia nggak pernah ngeluh. Kinerja dia tetap bagus loh. Jangan kuatir karirnya
terganggu,” jelasku.
“Bukan yang itu yang aku tanyain, Resty.”
Dona mengucapkannya dengan lemah. Namun sebagai wanita aku langsung faham raut ingin tahu di matanya itu.
“Tatang setia kok, Dona. Dia tak pernah ke mana-mana setelah kantor selain pulang. Aku bisa jamin kok. Kan kami pulang searah.”
“Untung selain kamu ada yang bilang hal yang sama, Resty.” Senyum lemah Dona tampak menyinggung misteri.
“Yaah. Emang harus di recheck sih biar valid. Bagus loh kalo ada yang menguatkan kesaksian aku, hehe.” Entah mengapa aku merasakan sensasi ‘ngeles’ saat mencoba terkekeh dengan palsu.
“Tapi kalo sama kamu nggak apa-apa kok, Resty.”
Tatapan Dona terasa mendominasiku saat berucap. Kenyataan kalau dialah yang sedang sakit malah berbanding terbalik dengan dengan rasa kalah yang kurasakan.
“Aku… Aku nggak ngerti arah pembicaraan kamu, Dona.” Aku tak bisa menahan gagap yang entah mengapa terjadi.
“Tak ada yang begitu peduli untuk sesering kamu menjengukku, Resty.” Ucapan Dona menusuk seperti sebuah tuduhan.
“Tatang… Eh… Tatang lebih seperti tetangga dekat daripada rekan kerja, Dona. Su… Sudah jadi kewajiban sesama warga untuk saling peduli…”
Dona seperti mengabaikan semua yang kuucapkan. Dia malah menguap. Aku yakin itu adalah pengaruh obat-obatan yang ia minum. Dia menatapku dengan tatapan mengantuk. Namun terasa menelanjangi rahasiaku.
“Tatang menceritakan hubungan kalian tepat di hari pertama kami kencan, Resty. Tak ada bola mata gairah yang paling berkobar selain saat ia menyebut namamu waktu itu, Resty. Tak pernah ada setelah itu di mata Tatang.”
“Kami… Kami…” Genggaman tanganku terlepas dari tangannya, “… Kami tak pernah pacaran, Dona. Kami hanya teman…”
Entah mengapa dudukku gelisah.
“Oke… Oke… Kami pernah tahap pendekatan, penjajakan… Tapi… Tapi aku akhirnya memilih Yushan.”
Sebagai sebuah penutup penjelasan, kusebut nama suamiku. Namun aku tak bisa menghilangkan perasaan sedang berkilah.
Dan
Dona tersenyum dalam kantukya. Memejamkan mata tampak ingin beristirahat tidur.
“Pacaran tidak sama dengan cinta, Resty. Dan aku sedang tidak membicarakan cinta. Aku hanya gelisah tak mampu melayani seksualitas suamiku.”
Dona berucap dalam pejam. Kuulurkan tangan menyentuh tangannya.
“Go catch your fuck, Bitch,” tepisnya lemah dan mendengkur lembut.
Aku gamang dengan perasaan seperti orang yang terpergok sedang dalam keadaan telanjang. Di bawah tatapan imaji pada auratku, aku terpojok pada pilihan segera menutup kemaluanku untuk menangis meratapi aib, atau malah mengangkang erotis menikmati aura mesum.
Perlahan aku bangkit, melangkah ke arah dapur meninggalkan kamar tidur pasangan Tatang dan Dona. Kutemukan Tatang tengah mencuci piring dengan tekun.
“Kirain pas kamu masuk kamar tadi Dona udah tidur. Sempat ketemu jadinya?” Tatang tersenyum saat aku berdiri di sampingnya.
“Yaah… Sempat ngobrol dikit sebelum dia istirahat.” Aku mengambil piring basah yang sudah bersih untuk kukeringkan dengan lap sementara Tatang masih sibuk mencuci piring lainnya.
“Suka ngambek ya sama istrinya? Suka ngeluh-ngeluh?” tuduhku dengan nada bercanda mengingat percakapanku dengan Dona.
“Apaan sih. Aku tuh fokus sama kesembuhan Dona. Nggak pernah ngomong macem-macem lah. Topiknya full orientasi kesembuhan Dona. Aku juga ngerti lah psikologi Dona. Nggak pernah ngerasa perlu nunjukin apa-apa sama dia. Emang dia bilang apa?” Raut Tatang tampak khawatir
“Cuman obrolan cewek kok. Nggak usah kepikiran jauh-jauh deh,” hiburku menghilangkan khawatirnya.
Setelah itu, tak kupedulikan basa-basi segannya yang mencegahku membantunya membereskan dapur. Toh pada akhirnya kami bekerja sama membereskan hampir seluruh rumahnya. Tatang tetaplah Tatang. Cekatan saat bekerja. Kondisi rumahnya hanya butuh sedikit motivasi kewanitaan untuk ia bereskan sendiri. Aku tak merasa banyak membantu ketika tiba-tiba saja saat tengah hari kami sudah bermandi peluh. Entah mengapa bekerja dengan Tatang selalu terasa ringan. Aku tak ingat berapa kali tertawa saat membereskan rumahnya, tawa yang tak
pernah keluar saat aku membereskan rumahku sendiri bersama… Yushan.
“Sepertinya aku harus pulang, Tatang,” pamitku menyembunyikan rasa enggan pergi.
“Tunggu sebentar. Tubuhmu penuh keringat. Ngadem dulu sebelum pulang.”
Ya… Ulurlah waktu, Tatang. Dan jantungku menabuhkan genderang gembira saat Tatang mengambil tisu mengusap wajahku yang berkeringat. Semakin pelan Tatang melakukannya, semakin lama ingin kuulurkan waktu.
“Ya… Gerah banget abis beres-beres,” ucapku sambil meloloskan outer penangkal ultraviolet, memperlihatkan tang top yang lepek keringat di baliknya.
“Ayo… Kita duduk di sofa menyalakan kipas angin agar keringat kita segera kering.”
Tatang menarik tanganku dan kami duduk bersebelahan di sofa panjang ruang tamu. Tatang menjangkau tombol kipas angin dan menyalakan level terendah, padahal kami butuh level maksimal untuk mengeringkan keringat kami.
“Tak ada yang lebih nyaman daripada angin sepoi-sepoi saat bertelanjang dada dalam kondisi seperti ini bukan?”
Aku tak ingin mengakui jika aku sepenuhnya terfokus pada dada bidang Tatang saat mengangguk melihat ia meloloskan kaos oblongnya, walaupun apa yang ia ucapkan ada benarnya.
Bersandar di sofa dihembus angin lembut, justru hangat tubuh Tatang di sampingku yang terasa. Tanpa sadar aku mengibas-ngibaskan tang top ku mencari kesejukan.
Aku tak begitu sadar bagaimana aku mengibas-ngibaskan tang top ku, sampai aku tersadar Tatang tengah menatap perutku yang terbuka antara kibasan dengan kancing celanaku. Kuhentikan apa yang kulakukan dan mengalihkan pandangan dari mata Tatang, hanya untuk menemukan gundukan di sarungnya. Sekuat apa gairah Tatang hingga secepat itu ereksi hanya melihat perutku, yang sejujurnya tak pernah rata lagi sejak aku hamil, walaupun tidak juga dibilang gendut.
Aku sedang mengumpulkan alasan terkuat untuk keluar dari situasi yang mulai menjurus ini. Membuang muka dari gundukan sarung Tatang, aku malah terngiang-ngiang percakapanku sebelumnya dengan Dona.
“Tapi kalo sama kamu nggak apa-apa kok, Resty.”
“Go catch your fuck, Bitch”
Kata-kata
Dona tersebut sedang menggema benakku ketika tiba-tiba saja Tatang memelukku dari samping.
“Ah… Tatang!” seruku menahan tubuhnya dengan mencoba mendorong dadanya.
Ingin rasanya mengakui bahwa aku mendorong Tatang sebagai penolakan. Namun sebuah tuduhan dengan tepat tak bisa kutolak bahwa aku hanya terkejut, dan sikap menahan tubuh Tatang hanyalah reaksi adaptasi tubuhku yang menyiapkan diri untuk pelukan yang lebih dekat lagi.
Benar saja. Tubuhku sudah mengantisipasi sepenuhnya ketika Tatang beringsut mengangkangi tubuhku di sofa, merengkuh kepalaku dengan jantan dan melabuhkan ciuman di bibirku.
Aku berdalih bahwa ciuman Tatang bisa terjadi kuterima karena serangan yang tak terduga. Kuabaikan bukti kuat menunjukkan kepasrahanku yang malahan meladeni belitan bibir dan lidah Tatang. Bahkan tanganku memeluk punggung punggung Tatang, menggelantung, mengokohkan posisi ciuman agar tak terlepas.
Kami berciuman sangat intens beberapa lama sampai tiba-tiba Tatang membeku melepaskan ciuman.
“Ya ampun! Apa yang kulakukan. Dona akan benar-benar sakit,” ucapnya lirih dengan nada terkejut.
“Hssh… hssh…” Aku berusaha menenangkan.
“Kamu tidak sedang melakukan apa-apa, Tatang. Dona tak akan disakiti oleh apa yang tidak ia tahu. Belajarlah untuk menyimpan hal-hal yang tak perlu diungkapkan. Oke.”
Tatang menatapku yang tengah menyungging senyumsenyum manis padanya.
“Hal-hal seperti hubungan kita saat penjajakan cukup menjadi rahasia saja, Tatang. Hal-hal seperti ciuman saat ini…” Aku tak bisa melanjutkan ucapanku saat Tatang lagi-lagi menciumku dengan mendadak.
Aku begitu terbuai dalam ciuman ketika Tatang menggelosor di depanku hingga berdiri dengan lututnya di lantai. Saat tersadar, entah sejak kapan, kancing celana denimku sudah terkuak, dan Tatang sedang mencoba meloloskannya ke bawah.
Celana itu sebenarnya cukup ketat. Tak semudah itu terlepas jika saja aku cukup kuat menahan kelanjutan peristiwa ini. Namun aku lebih suka mengingat bahwa bahan denim celana ini sangat elastis untuk dengan mudah ditarik dan dilorotkan Tatang sampai selututku.
Saat Tatang menggiringku
untuk terbaring di sofa. Aku sadar sepenuhnya bahwa kondisi kami sudah setengah telanjang. Ada rasa khawatir semua ini akan berlanjut menjadi sebuah persetubuhan, sebuah perselingkuhan, rasa khawatir yang terkikis oleh nikmatnya geli saat lidah Tatang menelusuri lembut telinga dan leherku, rasa khawatir yang menguap saat tangan kanan Tatang menyingkap tang top dan BHku untuk memelintir puting susuku yang mencuat terangsang, rasa khawatir yang menghilang saat tangan kiri Tatang menelusup celana dalamku hanya untuk menemukan clitoris yang tegang sempurna, lengkap dengan pelumas licin, yang dengan nikmat sempurna mendapatkan elusan lembut jemari Tatang.
Aku tak tahu berapa lama rangsangan seperti itu dilakukan Tatang padaku. Hanya saja waktu yang telah terjadi sudah cukup untuk untuk membuat jemari Tatang terasa mudah menerobos liang senggamaku tanpa hambatan saking licinnya. Menggasak lipatan sensitif itu dengan tarian jemari yang sangat nikmat.
“Hmmhh… “
Aku sedang membungkam mulutku sendiri dengan kedua tanganku untuk menahan desah ketika mulut Tatang berpindah dari telinga dan leherku, mendarat di puting susuku, bergilir kiri kanan memberikan kuluman nikmat dan jilatan-jilatan yang semakin membuat tegang puting susuku.
“Hmmhh…”
Tak kuat dengan desah yang terbungkam, aku menggelinjang menahan nikmat di pusat-pusat area sensitif tubuhku. Rasa geli yang berlipat-lipat membuat aku menyerah pada rangsangan seksual, memasrahkan apa saja yang hendak dilakukan Tatang padaku.
Maka ketika Tatang beringsut makin ke bawah, aku pasrah. Dan ketika celana dalamku dilorotkan, aku begitu saja sudah mengantisipasi hunjaman sebatang penis di vaginaku untuk sebuah persetubuhan.
Namun aku hanya bisa menahan malu pada ekspektasi sendiri saat wajah Tatang mendekati kemaluanku yang berbulu lebat, mengusap untuk menyibak, menemukan clitoris mencuat di belahan vaginaku.
Tubuhku menggelepar tertahan kedua tangan Tatang yang mencengkeram pinggangku, cukup kuat agar tak bergerak liar, namun cukup lembut untuk tak menyakitiku.
Sebetulnya, rangsangan Tatang sebelum sampai tahap ini sudah cukup banyak
untuk mendesak gelombang orgasme. Permainan oral Tatang saat sejatinya sudah di ujung gairahku, sebuah pertahanan terakhir sebelum akhirnya aku terkejang melepaskan klimaks. Tatang dengan tepat mengikuti ritme kejat orgasmeku dengan kecupan-kecupan tepat yang meluluhlantakkan persendianku.
Aku terengah-engah dalam lega pasca orgasme saat Tatang mengangkat wajahnya, membuat wajahku menghangat melihat kuyup di bibir dan dagunya.
Setelah orgasme, pikiranku agak lega hingga bisa menyadari bahwa semua sudah terlalu jauh. Bahkan beberapa saat lalu aku sempat pasrah untuk menjalani persetubuhan seutuhnya dengan Tatang. Persetubuhan yang seharusnya kusukuri urung terjadi karena pilihan Tatang memuaskan aku dengan cara oral, tapi malah diam-diam kusesali.
Sisa kewarasanku mengantarkan sebuah ide. Entah bagaimana aku terpikir bahwa cara mencegah semua ini agar tak berlanjut ke arah penetrasi adalah dengan menghilangkan kemampuan penetrasi penis Tatang.
Berbekal ide itu, aku bangkit duduk di sofa setelah orgasmeku reda. Kutarik tubuh Tatang agar berdiri di hadapanku hingga wajahku tepat di depan selangkangannya. Kusingkap sarung Tatang dan menemukan bahwa gundukan sebesar tadi terjadi ternyata masih dilapisi secarik celana kolor lagi di bawah sarungnya. Kujegal alasanku buru-buru melorotkan kolor karena penasaran sebesar apa penis Tatang tanpa tertutup dua kain tadi. Kutegaskan bahwa aku buru-buru karena kemampuan penetrasi Tatang harus segera dihilangkan.
“Ya… Bagus,” ucapku lirih.
Ucapan yang kusamarkan bertujuan untuk memuji inisiatif Tatang memegang sarungnya agar tak luruh menutup tubuhnya, yang tujuan sejatinya adalah pujian pada ukuran penis melebihi milik suamiku.
Kuraih batang penisnya dengan genggaman tangan kanan, menahan agar tak bergeser saat aku mulai menjilati belahan di bawah leher penis.
“Wow… Uuuuh,” desah Tatang.
Kusambut dengan tarian ujung lidahku yang bertarung dengan ujung penisnya. Saat Tatang terpejam-pejam, kucaplok ujung penis itu dengan lingkar bibirku, hingga Tatang jadi terbelalak saat penisnya menelusup mulutku karena sedotan lembutku.
Penis itu masuk sebagian di mulutku saat lidahku kembali
menari membelit bagian bawah batang penis, membuat pemilik penis tergetar. Dan saat si pemilik penis menjambak rambutku, aku sudah mengantisipasi menahan sedak.
Kutahan mual saat Tatang mendorong pinggul menjejal batang penisnya di kerongkonganku. Tatang cukup tahu seberapa kuat ia bisa mengocok penisnya di mulutku. Aku dengan senang hati menjaga gigiku agar tak mengenai batang sensitif itu selama kocokan. Aku terus mengejar memberikan kenikmatan dengan melanjutkan kocokan licin menggunakan tangan saat Tatang terlihat tak kuat dan menarik penisnya dari mulutku. Kenikmatan yang kuusahakan lebih baik dengan memberikan kecupan di pangkal penis tepat di atas scortumnya. Hasilnya, Tatang mendesah-desah nikmat tiap kocokanku.
“Oh, Resty… “
Aku sudah menduga Tatang tak akan tahan saat ia mencengkeram kedua pundakku. Yang tak kuduga adalah dorongan yang menghempaskan aku ke sandaran sofa. Tatang cukup cepat jongkok di lantai mencoba meloloskan celana sekaligus celana dalamku. Namun hadiah orgasme sebelumnya cukup memberikan kekuatan padaku untuk mencegah tangannya. Aku menggeleng di bawah tatapan memohon Tatang.
“Jangan, Tatang. Jangan lebih jauh lagi. Saling memuaskan dengan oral saja sudah lebih dari seharusnya.”
“Hah?” tatap Tatang dengan raut tak mengerti.
“Kukira… Kukira saat menguatkan aku tadi, kamu juga menginginkannya.”
“Bu… Bukan begitu…,” ujarku, berharap Tatang tak menyadari sesaat tadi aku sempat pasrah jika saja Tatang menyetubuhiku.
“Hanya saja… Jika dipikir lagi… Kita… Kita tak harus bersetubuh.” Padahal, seandainya belum orgasme, belum tentu aku bisa berpikir begitu.
“Tapi, Resty. Ini adalah pelampiasan yang telah kutahan berbulan-bulan.” Tatang berbisik menghiba.
“Ya… Aku mengerti. Itulah sebabnya aku memberikan toleransi untuk sepongin kamu,” jelasku.
Tatang terdiam. Tampak memikirkan sesuatu. Aku hanya berharap ia menyetujui tawaranku. Sebuah tawaran seimbang oral dibayar oral, sebuah pertahanan agar tak selingkuh, walaupun dengan selingkuh yang lebih ringan.
“Tapi… Tapi aku ingin memelukmu. Aku tak bisa memeluk orang yang sedang
mengoralku.”
Entah dengan cara berpikir bagaimana, aku membenarkan ucapan Tatang.
“Mau pelukin aku sambil aku kocokin,” tawarku dengan sebuah senyum manis.
Tatang tak menjawab. Ia berdiri dan menarik tanganku agar berdiri juga di hadapannya. Aku masih menerka-nerka apa yang dia inginkan saat ia kemudian memeluk aku. Kubalas pelukannya.
Momen pelukan ini sejenak melemparkan aku saat menjadi gebetan Tatang saat masa penjajakan. Sesekali kami berpelukan untuk saling menguatkan jika salah satu di antara kami down dengan permasalahan kerja di kantor. Dengus nafas Tatang di bahu kananku mengalirkan kehangatan. Mengingatkan aku untuk menepati janjiku memberikan kocokan pada Tatang.
Tak seperti aku yang pakaian atasanku masih tersangkut di payudara memperlihatkan kedua susuku, atau bawahanku yang masih melorot hingga lutut, kain sarung Tatang melorot saat ia berdiri.
Kutarik kain sarung Tatang menyingkap penisnya, menemukan kolornya masih melorot seperti pakaian bawahanku. Kain sarung Tatang terjepit di antara tubuh kami yang berpelukan saat kutemukan penis Tatang. Sedikit kendur ketegangannya. Mungkin gairah Tatang sedikit surut karena penolakanku.
“Hmmhhh…”
Nada desah Tatang terdengar dari nafasnya di telingaku saat tangan kiriku memulai kocokan di penisnya. Licin liur bekas oralku memudahkan gesekan tanganku yang mengocok lembut. Aku tahu cara mengocok kelamin lelaki agar segera memuntahkan sperma. Namun entah kenapa aku ingin lebih lama bermain-main dengan batang yang lebih besar dari milik suamiku ini.
Penis Tatang sudah tegang sempurna dalam kocokanku yang licin saat ia tiba-tiba merenggangkan tubuhnya.
“Bo… Boleh nyusu nggak?” tanyanya lirih penuh harap.
Aku sudah cukup tega menolak pelampiasannya setelah menghadiahkan sebuah orgasme padaku. Aku hanya mengangguk untuk meyenangkan Tatang.
Tatang kemudian merendahkan pelukannya ke dadaku. Ia mencium kenyal payudaraku saat wajahnya tepat sejajar. Ciuman-ciuman ringan di awal lama-lama menjadi jilatan dan kuluman di puting susuku memberikan rangsangan sehingga perlahan membuatnya tegang.
Karena Tatang merunduk
untuk menjangkau payudaraku, tubuhnya jadi renggang hingga sarungnya yang tadi terjepit himpitan tubuh kami luruh lagi, yang justru membuat jangkauan tanganku ke penisnya terganggu. Kocokanku melemah.
“Aahh, Tatang,” desahku akhirnya menjadi terangsang karena Tatang memainkan susuku.
Lama kelamaan nikmat geli di payudaraku akibat perbuatan Tatang membuatku terbuai, hingga kocokanku benar-benar berhenti, hanya elusan kecil yang menghalangi sarung Tatang luruh. Apalagi ketika tangan kanan Tatang melepaskan pelukannya untuk beralih mengusap selangkanganku. Tangan itu menemukan bulu lebat kemaluanku sudah lembab kembali akibat cairan birahi.
“Jangan berhenti, Resty. Aku kocokin kamu juga biar dapet,” bisik Tatang ketika jemarinya menerobos liang vaginaku.
“Aahhh, Tatang,” desahku nikmat kegelian saat tangan Tatang mengocok lembut dengan kecepatan konstan.
Bukannya menuruti keinginan Tatang untuk meneruskan kocokanku, aku justru melepaskan penisnya untuk memeluk pundaknya, butuh sebuah pegangan agar tak limbung merasakan nikmat.
Rangsangan Tatang kembali mengantarkan aku pada fase seperti sebelumnya, yaitu saat-saat aku akan sampai pada situasi kepasrahan jika saja Tatang menyetubuhiku.
Itulah sebabnya aku mengantisipasi memperlebar kedua pahaku ketika Tatang melepaskan sarungnya, memperlihatkan penis yang mengacung sempurna menghadapku. Jantungku berdebar saat kakinya menekuk menyejajarkan kelamin kami, meludahi batang penisnya menambahkan lubrikasi sebelum memposisikan penisnya di antara selangkanganku.
“Kalo petting kamu nggak keberatan kan? Aku pengen memeluk kamu pas dikocok.”
Wajahku menghangat agak malu mendapati ternyata Tatang sangat kuat menghormati penolakanku di saat aku yang justru pasrah. Aku tak berkata apa-apa saat Tatang merapatkan pahaku menjepit penisnya. Hanya bisa mengimbangi gerakan pinggul Tatang saat ia mulai petting sambil kembali memelukku.
Lubrikasi birahi di selangkanganku ditambah liur Tatang membuat petting kami nyaman. Namun petting sambil berdiri bukanlah pilihan ideal bagi wanita. Apalagi sebelumnya Tatang sempat membuai aku dengan rangsangan jemarinya yang sudah menerobos ragaku, membuatku merasakan gamang dalam gemas dengan turunnya intensitas rangsangan.
“Dari belakang, Tatang,” Pintaku lirih
mencoba merenggangkan pelukan.
Tatang tak menolak. Kuputar tubuhku membelakanginya. Kubuka paha cukup lebar merasakan ujung penis Tatang di belahan pantatku, memberi akses menuju liang senggamaku. Ujung penis Tatang sempat tersangkut di liang itu saat Tatang memeluk rapat dari belakang, tapi masih terpeleset. Tatang kembali merapatkan pahaku sebelum melanjutkan petting.
Kami kembali melakukan gerakan seperti bersetubuh dengan posisi dari belakang. Kenyataan bahwa intensitas petting sebelumnya memiliki kadar rangsangan lebih rendah ternyata tak sejalan dengan cairan birahiku yang ternyata tak surut. Petting kami berlangsung dengan sangat licin. Apalagi kini Tatang menambahkan rangsangan di putingku dari belakang.
Posisi petting ini lebih terasa di clitorisku yang terus-menerus mendapatkan sentilan dari ujung penis Tatang yang menonjok-nonjok dari belakang. Tanpa terasa tubuhku makin lama makin nagih dengan sentilan itu, hingga menuntut gesekan lebih dengan tubuhku yang tahu-tahu sudah merunduk doggy style dengan berpegangan sandaran sofa di depanku.
“Aahhhh…., Tatang.”
Desahanku menjadi erangan saat kulengkungkan pinggang ke belakang demi sebuah alasan agar gesekan penis Tatang tepat di clitorisku. Walaupun tak ingin kuakui ada alasan lain, yaitu agar belahan vaginaku lebih terekspose di depan Tatang. Merekahkan akses jika saja Tatang berubah pikiran dan membelokkan arah penisnya melesak kelaminku.
Kutengok ke belakang. Tampak Tatang bersungguh-sungguh hendak melampiaskan konak yang telah tertahan sekian lama. Menggenjot bertubi-tubi lipatan selangkanganku.
Plok plok plok…
Iringan tepukan paha kami beradu mengiringi geli nikmat gesekan clitorisku dengan batang penis Tatang tanpa penetrasi, ditambah remasan di kedua payudaraku bersamaan dengan jemari memelintir putingku.
Semua itu membuat aku geregetan dengan rangsangan tanggung yang sejatinya butuh lesakan penuh di rongga vaginaku. Namun Tatang begitu patuh pada penolakanku sebelumnya. Walaupun raut haus pelampiasannya kupastikan juga sangat butuh jepitan betina di penis tegangnya.
Rasa geregetan membuat aku menepis tangan Tatang dari payudaraku. Kedua pahaku meregang. Semua membuat geli kenikmatanku berkurang
seiring berkurangnya tekanan-tekanan di area sensitifku.
Saat kutengok ke belakang. Kesungguhan raut wajah Tatang kini dihinggapi geregetan juga dengan berkurangnya tekanan-tekanan sensitif itu. Namun ia masih patuh menghindari persetubuhan sesungguhnya yang tersedia pada belahan vagina merekah di depan matanya. Mengusahakan kenikmatan seksual dengan memegang batang penisnya dengan tangan kanan, mengarahkan batang itu untuk menggesek pangkal pahaku yang sejujurnya semakin licin saja. Sementara tangan kirinya menjamah belahan kelamin dan anusku, mengorek-ngorek nikmat kedua liang pribadiku itu.
“Auhhh, Tatang…”
Pinggulku meliuk-liuk menghindari perbuatan Tatang padaku. Semua karena geli tak tertahan yang kurasakan. Aku terus menghindar.
“Geli bangeeth, Tatanghhh..”
Aku menemukan wajah Tatang kini sudah berubah dari geregetan menjadi kesabaran habis yang buas. Menyadarkan aku bahwa geli tak tertahan yang kurasakan ternyata mempermainkan gairah Tatang yang patuhpatuh
Tatang mendesak maju menghimpit lututku di dudukan sofa. Terdesak dari belakang aku bertahan tumpuan tangan di sandaran sofa. Tertungging dengan pinggang melengkung penuh saat Tatang melingkari leherku dengan tangan kanannya hingga aku terdongak. Nafasnya di telinga kiriku terdengar beringas.
“Resty…! Kumohon…! Izinkanlah beberapa tusukan saja untuk masuk. Aku janji tak akan lama. Kau tak perlu menghitungnya sebagai sebuah perselingkuhan. Semuanya salahku!”
Tanpa menoleh aku rasakan tangan kiri Tatang menggapai ke bawah, mengarahkan ujung penisnya tepat di rekahan belahan licin liang vaginaku.
“Aakkh!”
Aku tak sempat mengungkapkan izinku saat pekik tertahan mengiringi penis yang lebih besar dari suamiku itu melesak amblas dalam sekali trobos saking licinnya.
Tatang kemudian menggagahiku dengan ganas. Membuktikan ledakan gairah yang sekian lama tertahan. Tangan kanannya tetap mengunci leherku terus terdongak. Tangan kirinya menekan pinggangku menguncinya tetap melengkung. Kaki kirinya menjejak dudukan sofa mengunci pantatku tetap tegak menyongsong sodokan bertubi-tubi penisnya di vaginaku.
Aku tak mampu bergerak. Tak bisa menghindar lagi. Rasa geli yang nikmat menggelora di pusat sensitif kelaminku. Aku
terkunci di bawah dominasi keganasan Tatang. Atau… Aku sebetulnya pasrah. Gereget gairah yang sekian lama dirangsang sejak tadi akhirnya mendapat labuhan. Aku tak bergerak hanya karena terpaku dalam nikmat yang kuinginkan. Tapi biarlah aku mengakui bahwa aku saat ini takluk terpaksa karena keganasan Tatang.
Tatang memang berhasil membuktikan bahwa terlalu lama ia menahan gairah saat ia menggagahi kelaminku dengan beringas. Namun ia gagal membuktikan janjinya untuk melakukan semua ini dengan cepat. Sekian lama memasuki fase persetubuhan sejati yang liar dalam posisi doggy style, ia tak kunjung selesai.
“Aaauuhh! Tataaannngghh…!”
Aku mengepit lututku ketat saat terasa gelombang orgasmeku mendekat. Andai saja Tatang tak mengunci tubuhku sedemikian rupa, rasa nikmat geli yang kurasakan seharusnya bisa kuhindari. Sayangnya aku malah berharap untuk tak menghindar. Aku ingin sekuatnya menahan posisiku yang nikmat ini. Yang dengan kondisi tertentu dikabulkan posisi dominan Tatang yang terus menggenjotku tanpa henti. Hingga di sebuah titik aku membeku kejang menyongsong orgasmeku.
“Ookhhh, Resty! Enak bangeeettt!”
Tatang memekik saat aku dalam ekstase orgasmeku berkedut-kedut di seluruh otot sensitifku, mendesak dalam satu sentakan kuat melesakkan penisnya hingga pangkalnya di liang vaginaku. Menyempurnakan orgasmeku di bawah dekapan eratnya.
Aku di awang-awang merasakan batang itu membengkak maksimal. Aku terengah-engah lega saat kurasakan batang keras itu berkedut-kedut di ketatnya liang senggamaku. Aku tengah meredakan orgasmeku saat terasa pancaran hangat sperma menyiram rahimku. Di saat itulah benih kesadaranku gamang teringat sesuatu. Dan semua itu sudah terlambat ketika tekanan rongga vaginaku terasa berkurang seiring melemahnya ketegangan penis Tatang.
“Tatang…,” panggilku lemah di bawah dekapan Tatang yang masih belum lepas dari belakangku.
“Aku… Aku sedang subur banget.”
Tatang merenggang. Licinnya bekas persetubuhan kami membuat otot vaginaku tak kuasa menahan gravitasi menarik besarnya penis Tatang. Ceceran sperma luruh menimpa celana dan celana dalamku seiring tautan kelamin kami terlepas. Kami terhempas
di sofa dalam diam. Memperlihatkan kondisi mengenaskan dua insan yang carut-marut dengan pakaian bawah masih melorot.
Kelegaan pasca bercinta membungkam kami dalam kebisuan dengan kecamuk perasaan kami masing-masing. Aku hanya tanggap membersihkan sperma dari selangkanganku dan celana sekaligus celana dalamku saat Tatang menyodorkan kaos oblongnya. Bibir Tatang bergerak hendak berbicara saat terdengar lemah Dona memanggilnya dari dalam kamar.
“Aku harus pulang, Tatang. Sudah terlalu lama di sini.” Aku merapikan tang top dan BHku, berdiri menaikkan celanaku.
“Ma… Maaf, Resty. Aku… Aku terlalu kalap tak bisa mengendalikan diriku.” Menggenggam tanganku dengan raut penuh penyesalan.
“Tatang…, sudahlah. Saatnya kamu fokus untuk kesembuhan Dona. Cepatlah temui dia.” Dengan lembut kulepaskan tangannya saat kembali terdengar panggilan lemah Dona.
Tatang melangkah ke kamarnya sambil memasang sarungnya. Sementara aku melangkah ke arah berlawanan keluar rumah.
Sejujurnya. Aku pun kalut dengan puncak persetubuhan kami tadi. Aku belum sama sekali meminum pilku sejak selesai menstruasi terakhir karena belum terbetik sedikitpun rencana bercinta dengan Yushan sampai saat ini. Dan Tatang baru saja menyiram rahim suburku. Kecurangan otakku memberikan sebuah solusi di depan apotek komplek perumahan. Tanganku meraih sebuah jamu kuat di etalase apotek. Makam minggu ini aku harus bercinta habis-habisan dengan Yushan.