Pundakku terasa pegal-pegal saat aku bangun tidur siang. Kalau ada yang bantu mijitin, enak nih, kataku dalam hati sambil duduk nonton televisi ditemani dengan segelas kopi hitam. Tidak ada istriku di rumah dengan kedua anakku. Istriku pulang ke rumah orangtuanya karena besok lusa di rumah mertuaku ada hajatan adik iparku yang akan menikah.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara seorang wanita memanggil istriku di depan pintu pagar. “Mama Dio… Mama Dio…”
“Iya Mbah,” jawabku segera bangun dari tempat dudukku karena aku mengenal suara wanita yang memanggil istriku.
“Papa Dio, ini ada singkong goreng.” kata Mbah Ana yang tinggal di sebelah rumahku.
“O ya, Mbah.” balasku melangkah ke pagar membuka pintu. “Mari masuk, Mbah.”
Mbah Ana melangkah masuk ke halaman rumahku. Aku menerima singkong goreng dari tangan Mbah Ana yang ditaruh oleh Mbah Ana dalam sebuah piring makan. “Terima kasih ya, Mbah. Mbah duduk dulu. Saya pindahkan singkong gorengnya biar piring bisa segera saya kembalikan pada Mbah.” kataku.
“Iya… ya, piringnya nggak usah dicuci, Papa Dio.” jawab Mbah Ana yang mengikuti langkah kakiku di belakang.
Kami bertetangga baik dengan Mbah Ana. Kalau istriku ada makanan, istriku juga sering membawa ke rumah Mbah Ana. Kami memanggil Mbah Ana dengan panggilan Mbah, yaitu mengikuti panggilan kedua anak kami. Mbah Ana berumur sekitar 60 tahunan. Sedangkan suami Mbah Ana kami panggil dengan panggilan Engkong.
Mbah Ana dan Engkong Rono mempunyai anak 5 orang. Semua anaknya sudah besar dan sebagian sudah menikah. Hanya anak bungsunya yang tinggal dengan Engkong Rono dan Mbah Ana.
“Papa Dio, Dio nggak ada di rumah, ya?” tanya Mbah Ana di ruang tamu saat aku memindahkan singkong goreng ke piring kami di dapur.
“Nggak ada Mbah, ikut mamanya pergi ke rumah neneknya. Besok lusa adik ipar saya mau menikah, Mbah.” jawabku membawa piring kosong ke ruang tamu.
“Kenapa Papa Dio nggak ikut?” tanya Mbah Ana sewaktu aku mengembalikan piring kosong padanya.
“Rencananya mau berangkat sore ini Mbah, tapi pundak saya lagi pegal-pegal, besok pagi saja saya baru berangkat.” jawabku.
“Masuk angin kali. Apa Papa Dio mau kerik, nanti Mbah kerikin.” balas Mbah Ana.
“Terima kasih Mbah, apa nggak ngerepotin Mbah?”
“Nggak. Engkong juga nggak ada di rumah, lagi pergi ke lapangan nonton bola. Mbah pulang sebentar ngambil minyak sekalian nutup pintu ya?”
“Nanti kalau Engkong atau Burhan pulang bagaimana?”
“Mereka sudah tau Mbah taruh kunci rumah di mana,” jawab Mbah Ana melangkah keluar dari rumahku membawa piring kosong sambil ditemani oleh aku.
Sebentar kemudian Mbah Ana sudah kembali ke rumahku. Aku mengeluarkan kasur busa dari kamar, lalu menggelarnya di depan televisi.
Sambil duduk di kasur, aku melepaskan kaosku setelah minta maaf dengan Mbah Ana, sedangkan Mbah Ana berlutut di tepi kasur. Kemudian Mbah Ana memegang pundakku yang telanjang dengan tangannya yang hangat. “Ya benar masuk angin, Papa Dio.” kata Mbah Ana. “Mbah ngurut saja ya, nggak usah dikerik.” lanjutnya.
“O ya, Mbah.” jawabku.
Mbah Ana menyuruh aku berbaring tengkurap, lalu mulai mengurut kakiku satu persatu dengan minyak. “Papa Dio kalau mau tidur, tidur saja,” suruh Mbah Ana. “Nanti kalau mau balik, Mbah bangunin.”
“Ya, Mbah.” jawabku.
Mbah Ana mengurut kedua kakiku sampai di bagian bawah bokongku. Setelah selesai mengurut kedua kakiku, tangannya naik mengurut punggungku. Enak juga Mbah Ana mengurut. Aku hampir mau ketiduran kalau tidak merasa Mbah Ana memegang tanganku.
Kemudian Mbah Ana mengurut lenganku sambil tangan kirinya memegang pergelangan tanganku. Akan tetapi pada saat yang sama aku merasa ujung-ujung jariku menyentuh sesuatu. Aku mengetahui apa yang tersentuh ujung-ujung jariku, yaitu bagian bawah perut Mbah Ana.
Aku mencoba membalik kepalaku melihat ke arah Mbah Ana. “Papa Dio, sakit ya?” tanya Mbah Ana.
“O nggak, Mbah!” jawabku melihat sekilas ke arah Mbah Ana ingin mengetahui posisinya.
Mbah Ana duduk di lantai dengan kedua paha terbuka lebar. Sedangkan dasternya tertarik ke atas sehingga kelihatan celana dalamnya samar-samar.
Wahh…
Aku membalik kepalaku kembali ke posisi semula sambil berpikir nakal, bagaimana kalau aku mengusik birahi Mbah Ana, dan saat itu tidak terpikirkan lagi olehku bahwa Mbah Ana sudah tua, sudah nenek-nenek. Apalagi kemudian aku merasa jari-jari tanganku masuk ke balik dasternya. Aku yakin bukan disengaja oleh Mbah Ana. Tapi dengan nakal, aku mendorong sedikit tubuhku ke pinggir kasur, hingga ujung-ujung jariku terasa menyentuh selangkangan Mbah Ana yang tertutup celana dalam yang hangat dan lembab.
Mbah Ana terus saja mengurut tanganku membiarkan ujung-ujung jariku menari-nari di bagian luar celana dalamnya. Kemudian Mbah Ana menyuruh aku membalik berbaring terlentang, lalu tangannya memegang tangan kananku.
Tapi tanganku belum diurut, ujung-ujung jariku sudah masuk ke balik daster Mbah Ana lagi, sehingga saat ia mengurut lenganku, sengaja punggung tanganku kusentuhkan ke pahanya dan ujung-ujung jariku kuusahakan menyentuh celana dalamnya.
Akibatnya, aku sudah tidak bisa menikmati enaknya Mbah Ana mengurut tanganku lagi, karena yang terbayang olehku adalah barang yang tersembunyi dibalik celana dalamnya.
“Papa Dio, istri nggak ada di rumah, tangannya jadi nakal ya?” kata Mbah Ana.
“Mbah juga sih, kenapa dibuka lebar-lebar.” jawabku. “Ya, saya jadi kepengenlah, Mbah?”
Aku bangun memegang tangan Mbah Ana. “Mbah malu, Papa Dio. Mbah di rumah sudah nggak, masa di sini sama Papa Dio sih? Bagaimana kalau Mbah besok ketemu dengan Mama Dio?”
“Saya nggak memaksa Mbah. Saya tadi melihat Mbah membuka paha lebar-lebar, saya nyangka Mbah pengen. Maaf ya, Mbah.”
“Ya, tapi nanti Papa Dio kepikiran terus…”
“Jadi…?”
,Mbah Ana tersenyum. Tanpa menunggu lagi, aku menarik Mbah Ana ke kasur. Setelah itu aku memeluk Mbah Ana, lalu mencium bibirnya yang kering dan pucat. Mbah Ana memejamkan matanya. Aku memasukkan lidahku ke dalam mulutnya memainkan lidahnya sembari tanganku meremas teteknya yang kendor di balik dasternya.
Lama-lama tangan Mbah Ana pun mulai meraba-raba selangkanganku yang tertutup celana pendek. Aku melepaskan celana pendekku. Mbah Ana melepaskan dasternya. Mbah Ana tidak memakai BH. Teteknya menggelantung lonjong.
Aku mengisap putingnya sekaligus melepaskan celana dalamnya, kemudian tanganku meraba selangkangannya. Bulu kemaluan Mbah Ana hanya sedikit dan memeknya juga kering tidak ada lendirnya. Makanya ketika aku menindih Mbah Ana, Mbah Ana mengusap minyak ke penisku yang keras.
Mbah Ana meringis saat batang penisku menyodok lubang memeknya. “Oohhh… mmm… “ desahnya pelan.
“Sakit ya, Mbah?”
“Nggak, Papa Dio. Nggak!Sudah lama Mbah nggak merasakan yang keras begini.”
Aku menekan penisku semakin mendalam ke lubang memek Mbah Ana. Sambil kuisap puting teteknya, aku genjot penisku keluar-masuk.
“Oohhh… Papa Diooo… enak sekaliii…” rintih Mbah Ana.
“Ya Mbah, memek Mbah juga enak,” balasku terus memompa penisku keluar-masuk.
Setelah itu, kulepaskan air maniku. Croott… crroott… crroott…
Mbah Ana menggelinjang. “Oogghhh…” erangnya.
Kucabut penisku yang basah dari lubang memek Mbah Ana. “Puas nggak, Mbah? Mau sekali lagi?”
“Besok aja ya, Papa Dio. Pagi-pagi Mbah ke sini,” jawab Mbah Ana bangun membersihkan selangkangannya dengan celana dalamnya.
“Iya.. ya, terima kasih, Mbah.”
Mbah Ana memakai kembali dasternya. Keesokan paginya, Mbah Ana benar-benar datang ke rumahku sambil membawa sarapan untukku. Kututup pintu rumahku. Kucumbui Mbah Ana yang tubuhnya wangi sabun mandi, dan mendaki kenikmatan dengannya.