Pada suatu hari, tetanggaku kedatangan seorang tamu. Tamu itu adalah seorang wanita paruh baya, umurnya kutaksir sekitar 50 tahun, kulitnya putih, tubuhnya sudah tidak langsing, tapi kecantikan masa lalunya masih terlihat.
Dia tersenyum padaku ketika pandangan mata kami bertemu di depan teras. Ini adalah tanda awal yang baik untuk berkenalan dengannya.
“Itu tadi siapa sih, Mbak?” tanyaku pada pembantu Pak Tono yang keluar dari rumah membuang sampah.
“O… wanita yang cantik itu? Mertuanya Pak Tono datang dari Surabaya. Pengen kenalan ya, Mas?” jawab pembantu Pak Tono genit ke aku.
“Saya maunya sama kamu, sayang. Kencan yuk, kapan?” kataku pada pembantu Pak Tono.
“Pinjam henponnya boleh nggak, Mas? Mau nelpon pulang ke kampung sama anak, pulsa aku habis.”
“Boleh aja, tapi nelponnya di sini ya, nggak boleh dibawa pergi kemana-mana?” jawabku menyusun rencana.
Mbak Marsini, pembantu Pak Tono lalu menaruh keranjang sampah kosong di depan teras rumah Pak Tono, kemudian melangkah ke rumahku bertelanjang kaki. Aku masuk ke rumah mengambil henpon.
“Mbak, teleponnya di sini.” panggilku di ruang tamu.
Mbak Marsini masuk ke rumahku. Aku menyodorkan henponku padanya. Mbak Marsini tidak canggung, karena dia sudah sering masuk ke rumahku ngobrol dengan Mama. Jari telunjuknya dengan cepat mengetik nomor telepon di layar henponku. Aku memandang teteknya yang montok sedikit menggantung di balik kaosnya.
Kemudian dia telepon dalam bahasa Jawa. Aku tidak menunggu Mbak Marsini telepon. Segera kumajukan tanganku ke dadanya dan kuremas teteknya yang terbalut BH dan kaos. Mbak Marsini tidak mencegah tanganku yang nakal, tapi dia cekakak cekikik entah ngobrol dengan siapa di seberang sana.
Aku tidak peduli Mbak Marsini ngobrol dengan siapa. Aku naikkan kaos Mbak Marsini. Eh, malah tangan Mbak Marsini mengeluarkan teteknya dari dalam BH-nya untukku. Putingnya yang besar berwarna coklat itu segera kuserobot dengan mulutku. Sambil menikmati tetek Mbak Marsini, tanganku merayap masuk ke dalam celana selututnya.
Aku raba-raba gundukan memeknya yang terbungkus celana dalam yang terasa lembab dan hangat. Dia belum selesai telepon juga. Untung semalam aku baru isi pulsa. Kini tanganku menyibak celana dalamnya. Jembut Mbak Marsini sangat lebat, tapi dengan mudah aku menemukan celah memeknya. Jariku menjurus ke lubang nikmatnya.
Paha Mbak Marsini menjepit tanganku kuat-kuat saat jariku mencongkel lubang nikmatnya yang basah. Tapi jariku berhasil masuk ke dalam lubang surga Mbak Marsini. Namun hanya sebentar saja. Segera kukeluarkan jariku karena Mbak Marsini sudah selesai telepon.
“Hee… hee… maap ya, telponnya lama… ” kata Mbak Marsini ketawa cengengesan ke aku.
“Nggak pa-pa, kita ngentot yuk, mumpung rumah sepi.” kataku.
“Tapi henponnya buat aku ya, Mas?”
“Kemahalan, ngentot sama kamu ditukar sama henpon!” jawabku.
“Habis, kalo ketahuan Ibu, aku kan bisa diusir dari rumah?”
“Sudah deh pulang sana kalo takut sama Bu Tono!” kataku.
“Ya sudah di mana ngentotnya? Tapi cepetan, ya?” Mbak Marsini menerima tawaranku.
Aku menarik Mbak Marsini ke kamarku. Di dalam kamarku, dia melepaskan celana selututnya dan celana dalamnya. Aku juga hanya melepaskan celana pendekku. Kemudian aku menyuruh Mbak Marsini menghisap kontolku. Dia mau melakukannya untukku.
Setelah kontolku dihisapnya sampai cukup tegang, aku membaringkan Mbak Marsini ke kasur dengan kedua kaki menjuntai. Pahanya aku kangkang lebar dengan mendirikan kakinya di tepi kasur. Setelah itu kuhadapkan kepala kontolku ke lubang memek Mbak Marsini yang berwarna kemerah-merahan basah dan terbuka.
Sluuuppp… batang kontolku yang panjangnya kira-kira 14 senti berdiameter 3,5 senti itu terjerumus ke dalam lubang nikmat Mbak Marsini. Kudiamkan sejenak untuk menikmati remasan-remasan dari dinding memek Mbak Marsini yang bisa berkedut-kedut itu. Kemudian kusodok dengan irama yang pelan dulu.
Mata Mbak Marsini terpejam, tapi mulutnya terbuka mengeluarkan suara, “Aaahhh… aaaahhh… aaahhh…” sembari pantatnya bergerak mengimbangi sodokanku. Tapi semakin disodok, lubang memek Mbak Marsini malah semakin basah sehingga terasa longgar.
Aku tidak lantas kecewa dengan lubang memek Mbak Marsini yang becek kayak kubangan kerbau itu. Kupompa dan kugenjot terus. Sekali-sekali kucium bibir Mbak Marsini. Beberapa saat kemudian, datanglah rasa nikmat menjalar di sekitar kontolku. Tak ayal lagi kusodok lubang memek Mbak Marsini semakin cepat.
“Aaaahhhh…. Mbakkkk…” erangku seraya kulepaskan air maniku di rahim Mbak Marsini crroott… crooott… crroottt… dan bersamaan dengan itu, kedua kaki Mbak Marsini merangkul pantatku kuat-kuat.
Kemudian rangkulan kaki Mbak Marsini melemah perlahan-lahan seiring dengan air maniku berhenti memancar dari kontolku.
Aku memberikan tissu pada Mbak Marsini untuk membersihkan memeknya. Setelah itu kami berpelukan dan berciuman. “Kapan bisa begini lagi, Mbak?” tanyaku.
“Nggak…” jawabnya malu-malu.
“Nggak mau jadi istriku?” ledekku.
Iihhh…. Mbak Marsini mencubit pinggangku.