“Dekk… Dekkk… Dek…” terdengar suara wanita memanggilku di depan pagar.
Aku segera membuka pintu rumah. “Oo… Ibu…!” kataku kaget melihat mertua Pak Tono berdiri di depan pintu pagar.
“Ini Ibu buat kue, coba dicicipi…”
“O… ya… ya, Bu…” saya menjulurkan tangan mengambil piring dari tangan mertua Pak Tono. Jari-jari tangannya begitu cantik dan kukunya dicat warna merah. “Terima kasih, Bu?”
“Sendirian aja di rumah? Hari Minggu nggak pergi kemana-mana?” tanya mertua Pak Tono padaku.
“Enggak Bu, badan saya lagi kurang sehat,” jawabku.
“Mau Ibu kerokin?” ia menawarkan jasanya.
“Terima kasih Bu, saya nggak biasa kerokan.”
“Kalau gitu diurut saja, masuk angin nggak boleh didiamkan lho, bisa berbahaya, bisa jadi angin duduk. Nanti setelah diurut, Ibu bikinkan minuman jahe.”
Waduhh, bagaimana aku sanggup menolak kebaikan mertua Pak Tono?
“Tunggu sebentar, Ibu ambil minyak dulu di rumah. Apa mau ngurut di rumah saja? Nggak pa-pa, ayo ke rumah…” ajaknya.
“Ngg… ngg… saa… saya kunci pintu dulu, Bu.” Jawabku menerima tawaran mertua Pak Tono.
Setelah mengunci pintu, aku pergi ke rumah Pak Tono. Di ruang tamu, Didit anak Pak Tono yang berumur 10 tahun sedang duduk di sofa main game di hape dengan seorang temannya. Di rumah Pak Tono disediakan wifi.
“Mari masuk, Dek!” ajak mertua Pak Tono sambil memegang piring kecil berisi minyak.
Aku masuk ke dalam rumah Pak Tono bertelanjang kaki. Mbak Marsini tidak kelihatan. “Situ di kamar saja Dek. Kaosnya dilepas,” suruh mertua Pak Tono menunjukkan aku kamar.
Aku masuk ke kamar yang ditunjuk mertua Pak Tono, lalu melepas T-shirtku, dan dengan hanya mengenakan celana training, aku telungkup di kasur.
“Celananya diganti sarung saja ya Dek, biar gampang ngurut kakinya..!” kata mertua Pak Tono menyerahkan sarung untukku.
Kuganti trainingku dengan sarung lalu telungkup lagi di tempat tidur. Mertua Pak Tono mulai mengurut kakiku, pijatannya sangat keras, sehingga kadang aku sampai meringis karena menahan kesakitan.
Dalam mengurut bagian ini, mertua Pak Tono menumpangkan kakiku di atas pahanya, sehingga gesekan kakiku dengan paha mertua Pak Tono yang tertutup oleh daster menimbulkan kenyamanan tersendiri. Bahkan ujung jari kakiku menyentuh perutnya, aku tidak berani bereaksi, karena dianggap kurang ajar.
Selesai di bagian kaki, dia mulai mengurut pahaku, disingkapkannya sarungku ke atas sehingga separuh pantatku terbuka, aku diam saja. Pada mulanya mertua Pak Tono mengurut dari paha bawah, kemudian mengarah ke paha samping atas, tetapi kemudian paha bagian dalam mulai diurutnya. Sampai disitu jantungku mulai berdegup, karena kadang-kadang tanpa sengaja ujung jari mertua Pak Tono menyenggol biji kemaluanku.
Kemudian aku kembali tenang ketika dia memijit punggungku, dan posisi duduknya pun berubah dari duduk di sampingku, sekarang dia duduk atau setengah berjongkok di atas pahaku. Dari posisiku memang aku tidak dapat melihatnya, tetapi aku dapat merasakan. Bahkan ketika dia menarik dasternya yang menghalangi pahaku dengan pahanya pun aku tahu.
Pahaku dan kulit pahanya bergesekan, dan aku lebih menikmati gesekan paha dari pada pijatannya. Tak ayal lagi membuat aku terangsang, dan kemaluanku jadi keras berdiri, sehingga aku terpaksa membetulkan letak kemaluanku dengan mengangkat pinggulku dan meluruskannya dengan tanganku.
“Kenapa Dek..?” tanya mertua Pak Tono.
“Enggak apa-apa Bu,” jawabku penuh malu.
“Hee… hee.., Ibu ngerti, tegang ya? Nah, sekarang balik,” suruhnya.
Aku mengikuti perintahnya dan mertua Pak Tono melepaskan sarungku ke bawah. “Nggak usah malu Dek, di rumah hanya ada Didit saja.”
“Mbak Marsini…?” tanyaku menyelidik.
“Pulang kampung, anaknya sakit.”
“Oo…”
Mertua Pak Tono berlutut di sampingku dan tanganku diletakkan di pahanya saat dia mengurut dadaku. Perutku juga diurut. Setelah itu, “Bagaimana rasanya badan Adek? Apa lebih nyaman?”
“Iya, Bu.”
“Mana lagi yang mau diurut? Kalau nggak ada lagi, Ibu ngurutnya sampai di sini saja.”
“Terima kasih, Bu.”
“Ya, sama-sama…” jawab mertua Pak Tono bergerak turun dari tempat tidur dan saat itu, aku melihat telapak kakinya yang putih mulus menghadap ke arahku.
Tanganku lalu maju menangkap pergelangan kaki mertua Pak Tono yang dilingkari kalung emas. “Ahh, Adek…!” serunya tersenyum saat kucium telapak kakinya.
“Maaf Bu, izinkan aku mencium kaki Ibu yang mulus dan indah ini,” kataku.
“Malu akh, Dek!” jawab mertua Pak Tono.
Tapi tidak kuhiraukan, karena kuyakini dia juga senang. Biasanya wanita begitu, kata-katanya berbeda dengan hatinya. Aku mencium jari jemari kakinya yang tampak terawat baik.
“Hmmmm… Dekk…” desah mertua Pak Tono memejamkan mata.
Lalu kujilat-jilat telapak kakinya. “Huzzzhhh… aahhh… Dekkk… ooohh…”
Aku melihat Didit anak Pak Tono mengintip di samping pintu kamar. Aku pura-pura tidak tahu. Aku masukkan jari jempol mertua Pak Tono ke dalam mulutku, lalu kuhisap-hisap. “Adeekkk… hhhmmm… aaahhh…”
Napas serta gerakan mertua Pak Tono mulai tidak teratur. Sambil kuhisap-hisap terus jempol kakinya, kususupkan tanganku ke dalam dasternya mengelus betisnya. Mertua Pak Tono menarik dasternya ke atas hingga nampak kedua pahanya yang putih.
Aku melihat kepala Didit sebentar ada sebentar tiada di samping pintu. Kuberanikan diri untuk mengelus paha mertua Pak Tono. Paha mulus dan masih kencang itu membuat aku makin terasang.
Aku tidak segan-segan lagi mencium paha mertua Pak Tono. “Ahk.., Adek nakal ya, Ibu kan sudah tua, nggak pantas kalau sama anak muda.” katanya.
“Ibu masih cantik, pahanya masih kenceng dan mulus sekali, aku sudah sangat terangsang sekali Bu,” desahku.
Mertua Pak Tono menatapku sekilas tanpa ekspresi. Ciumanku kuteruskan ke arah pangkal pahanya. Celana dalamnya yang berwarna merah muda dan di daerah selangkangannya tampak sudah dekil itu berbau sesuatu.
Kujilat-jilat paha mertua Pak Tono membuat dia menggelinjang. “Heesstt… oooggg… aaaggg…” desahnya.
Kuteruskan mencium celana dalamnya. Kusedot-sedot baunya yang merangsang itu. Kini mertua Pak Tono terbaring di tempat tidur dengan pasrah.
Kulepaskan sarungku dan celana dalamku. Kemudian kulepaskan daster mertua Pak Tono. Buah dadanya yang mulus dan padat kuremas-remas.
Kulumat bibirnya, sambil badanku naik menindih badannya yang gempal. Nafsuku sudah tinggi, begitu pula dia. Aku melepaskan celana dalamnya. Sebenarnya aku ingin menjilat kemaluannya, tapi dia mencegahku.
Pahanya dibuka dengan lebar, kemudian kuarahkan batang kemaluanku ke bibir kemaluannya. Mertua Pak Tono memejamkan matanya, wajahnya sayu menahan gejolak birahinya. Tangannya terkulai di samping badannya.
Kumasukkan pelan-pelan kemaluanku ke liang kemaluannya, langsung menusuk sampai dasar, kuputar pinggulku tanpa mengangkat pantat. Ini adalah teknik yang kusukai, karena aku dapat memberikan rangsangan gesekan pada klitoris wanita yang kusetubuhi tanpa menimbulkan banyak gesekan pada penisku. Sehingga dengan begini aku dapat tahan cukup lama.
Otot vagina mertua Pak Tono menjepit-jepit kemaluanku, sehingga kenikmatan menjalar di kemaluanku. Cukup lama aku melakukan putaran ke kiri dan ke kanan sambil menekan dalam-dalam kemaluanku ke liang vaginanya yang menyedot-nyedot kemaluanku itu.
Lama-lama mertua Pak Tono makin sering mengeluarkan lidah, dan mendesis-desis. “Sstttt… aaaaggghh… aaaghhhh… “
Kini kuangkat pinggulku tinggi-tinggi, dan aku mulai mengocoknya. Aku masih bertumpu pada tanganku, sehingga hanya kelamin kami yang menempel. Pada saat itulah tangan mertua Pak Tono mulai memegang pantatku, mengelus, menekan, meremas bahkan sering kali jari tangannya mengelus-elus anusku, dan ini menimbulkan rangsangan tersendiri bagiku.
Aku terus menggenjot lubang nikmatnya. Tiap kali tarikan keluar, selalu diikuti dengan jepitan liangnya sambil pingulnya diputar, sehingga menimbulkan kenikmatan yang luar biasa ke seluruh batang penisku.
Desisnya makin mengeras, dan kepalanya sering mendongak ke atas walaupun masih tetap memejamkan matanya. Bila aku mempercepat kocokanku, dia selalu menggigit bibir bawahnya serta membuka matanya, dan memandangku mungkin menahan kenikmatan yang amat sangat.
Melihat tingkahnya itu, aku menjadi makin terangsang. Segera kukocokan kemaluaku dengan cepat dan lama. Seperti biasa, dia memandangku dengan sayu. Desis berubah menjadi rintihan, dan ketika aku tetap tidak mengendorkan kocokanku, mertua Pak Tono mencengkeram bokongku dengan keras, kedua kakinya dilibatkan ke pinggangku dengan rapat dan dahi mengkerut.
“Stop..! Berhenti Dek.., Ibu nggak tahan.., sshh..!” katanya.
Kuhentikan gerakanku, dengan jepitan kaki di pinggangku, aku pun hampir saja menumpahkan air mani. Aku pun masih ingin lebih lama bermain dengannya, walaupun sekarang sebenarnya sudah cukup lama kami menikmati gesekan kelamin kami. Kuhentikan gerakanku, walaupun kakinya masih melingkar di pinggulku.
“Ibu hebat sekali, jepitannya masih enak,” aku memujinya lalu kucium bibirnya dan kupandangi wajahnya.
“Wanita ini.., masih cantik dan lembut..” pikirku.
Tiba-tiba Didit masuk ke kamar. “Nekk… laper, pengen makan…” rengeknya.
“Sana, keluar dulu… Nenek masih sibuk!” usir mertua Pak Tono ke cucunya, Didit.
Didit menurut. Tapi bagaimanapun Didit melihat neneknya dan aku saling menindih dengan tubuh telanjang. Aku suka sekali, apalagi Didit bercerita pada mamanya, Bu Indri atau pada Pak Tono.
Kembali kukocokkan kemaluanku pelan-pelan di lubang memek mertua Pak Tono. Kali ini mertua Pak Tono sangat aktif, di tengah kocokanku, pinggulnya memutar-mutar. Aku merasakan kenikmatan yang lebih.
“Aduhhh.., nikmat sekali Buuu, aku sudah hampir keluar.., oh..!” desahku.
Kukocokkan batang penis makin cepat dan makin cepat, karena aku sudah tidak tahan lagi. Sementara itu pinggul mertua Pak Tono diangkat ke atas, dan wajahnya mendongak ke atas, dan kemaluanku menghujam jauh sekali ke dalam sambil kuputar dan kutekan.
Satu detik kemudian, aku pun menyemburkan spermaku beberapa kali. Crroott…. crroott… crroottt… oohhh nikmat sekali, kenikmatan menyelusuri seluruh tulang belakangku.
Sebuah puncak kenikmatan dahsyat telah lewat beberapa detik yang lalu, tubuhku masih menindih tubuhnya. Kucium bibirnya dengan lembut, kuusap-usap wajah dan rambutnya, sementara aku tidak mencabut kemaluanku yang masih berdiri dari liang vaginanya. Masih kunikmati sisa-sisa kedutan nyaman dari vaginanya di pori-pori kulit kelaminku.
Setelah itu aķu ketakutan sendiri. Aku seperti bermimpi saja. Mana mungkin aku mencabuli sampai 2 wanita, ibu mertua Pak Tono dan pembantunya?
Aku sih tidak percaya, sungguh!
Tetapi bagaimanapun juga aku takut sampai berhari-hati. Bukan takut ibu mertua Pak Tono membuka aibnya sendiri pada keluarganya, tetapi yang aku takutkan adalah ‘mulut ember‘ nya Mbak Marsini.
Aku makan sampai tidak napsu, tidur tidak nyenyak, kadang tengah malam aku terbangun karena kaget seperti sedang dikejar polisi… aku juga berharap untuk beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan ibu mertua Pak Tono.
Tetapi beberapa hari kemudian, aku harus bertemu dengan Pak Tono, karena aku disuruh oleh Pak RT untuk mengantar surat pemberitahuan pada Pak Tono bahwa di RT kami dan sekitarnya pada hari Minggu akan diadakan ‘fogging‘ (pengasapan untuk membunuh nyamuk).
Sambil berjalan pulang aku membawa surat itu dan sesampai di depan rumah Pak Tono, “Assalamualaikum…” aku mengetok pintu rumah Pak Tono, tok…tok… tok… mengharapkan Pak Tono yang membukakan pintu atau bini Pak Tono, tetapi ternyata yang membuka pintu adalah…. ibu mertua Pak Tono.
Aku berusaha untuk tenang dan bersikap biasa-biasa saja di depan ibu mertua Pak Tono.
“Eh… Dek Eko, kemana aja baru keliatan hari ini…?” sambut ibu mertua Pak Tono.
“Ada di rumah, Bu. Aku dititipin surat oleh Pak RT untuk Pak Tono…”
“Masuk… masuk… masuk, jangan berdiri di luar gitu, masuk…!” suruhnya.
Sebenarnya aku tidak ingin masuk ke rumah Pak Tono, tetapi Ibu mertua Pak Tomo melangkah duluan, sehingga terpaksa aku mencopot sandalku di depan pintu, lalu ikut masuk ke rumah Pak Tono.
“Kok sepi sih Bu, pada pergi kemana semua…?” tanyaku sambil meletakkan surat dari Pak RT di atas meja ruang tamu.
“Marsi pulang, suaminya sakit. Yang lain nginep di pantai, acara dari kantornya Tono.”
“Ibu kok nggak ikut…?”
“Ibu kan tau kamu mau datang, kenapa Ibu pergi…? Kamu mau minum apa, Ibu bikinin…” katanya sambil melangkah ke dapur.
Saat ia melangkah ke dapur, kulihat pahanya saling bergesekan di dalam dasternya yang tembus pandang tersorot sinar matahari siang.
Kontolku menggeliat dibalik celana jeansķu melihatnya. Rumah sepi. Rumah di kiri kanan rumah Pak Tono juga sepi.
Segera kupeluk ibu mertua Pak Tono yang sedang berdiri mengaduk-aduk kopi di gelas dengan air panas dan kucium lehernya yang basah berkeringat. “Kopi hitam dicampur susu Ibu, nikmat kali, Bu…” kataku.
“Mmmm… kemarin kamu ngisep, masih ada susunya lagi nggak… tuh pintu, ditutup dulu… setelah itu tunggu Ibu di kamar, ya…” katanya padaku.
Aku pergi menutup pintu, lalu masuk ke kamar depan. Sebentar kemudian masuk ibu mertua Pak Tono membawakan aku segelas kopi hitam diletakkannya di atas meja, kemudian ia melepaskan dasternya.
Aku langsung merobohkan tubuh ibu mertua Pak Tono yang hanya berbalut celana dalam itu di tempat tidur. Setelah itu kucium bibirnya sembari kuremas-remas kedua teteknya bergantian.
Iapun membalas pagutan bibirku dengan lincahnya. Lidahnya masuk ke dalam rongga mulutku, sementara kutarik lepas celana dalamnya dan jariku masuk ke dalam lubang memeknya.
Lubang memek yang hangat itu terasa kering, tetapi dua jariku yang masuk ke dalam, masih bisa mengocok dan merogoh rahimnya. Dan saat aku mengocok, bibir bawahku dihisap kuat-kuat oleh mulut ibu mertua Pak Tono.
Aku hanya mengocok sebentar lubang yang berbau amis itu. Setelah itu aku melepaskan pakaianku dan dengan posisi posisi 69 aku menjilat memek ibu mertua Pak Tono tanpa merasa jijik dengan bau memeknya itu, malah terasa nikmat begitu kontolku dimasukin ke dalam mulut dan dihisap oleh ibu mertua Pak Tomo.
Aku eksplor kemaluan ibu mertua Pak Tomo luar dan dalam. Itilnya yang sudah tegang sebesar kacang tanah kuhisap, kugigit kecil-kecil, dan kusedot hingga membuat lubang memek ibu mertua Pak Tono semakin mekar berbentuk sebuah lubang bolong yang siap menerima batang kemaluanku dan bersamaan dengan itu tubuh ibu mertua Pak Tono mulai mengejan dan mengejang.
Tak lama kemudian mulutnyapun keluar suara lenguhan yang tertahan, “Oooooogghhhh…… oooooooohhgggg….. oooogggghh….” sewaktu ia orgasme.
Aku membalik tubuhku memeluk ibu mertua Pak Tono yang terkapar lemas di tempat tidur dengan napas tersengal-sengal.
“Adduuhh… nikmat sekali, Dek Eko. Kamu benar-benar bikin Ibu puas.” katanya.
“Daripada kita main sembunyi-sembunyi begini…” balasku. “Kita nikah aja ya, Bu…”
Ibu mertua Pak Tono yang masih punya suami ini memeluk aku erat-erat.
Tak lama, setelah itu aku masukkan batang kemaluanku ke lubang memek ibu mertua Pak Tono.
Sleepp… sleepp…. bluuuusss…
Batangku segera memenuhi lubang dari ibu mertua Pak Tono. Kucium bibirnya dan mulai kugenzot lubang itu naik-turun keluar-masuk. Rasanya begitu nikmat disaat batang kontolku menggesek-gesek lorong gelap yang pernah melahirkan bini Pak Tono itu.
Kini lubang itu kutusuk, kuhujam dan kutikam dengan kontolku yang keras. Ibu mertua Pak Tono sangat menikmati dengan membuka pahanya lebar-lebar.
Sekitar 10 menit air manikupun muncrat. “Oooohhhh….” lenguhku. “Nikmatnya memekmuuu… Riaaa…aaa…. aaahhhh… ahhh…”
Crootttt…. croootttt…. crrooottttt… croottt… croott…
Tidak segera kucabut kontolku. Kami saling berciuman dengan tubuh basah berkeringat. Setelah itu baru kugulingkan tubuhku ke samping dengan kontol yang menciut basah.
Ibu mertua bangun melap memeknya dengan celana dalam, lalu ia keluar dengan telanjang bulat.
Sewaktu ia masuk ke kamar lagi, masih dengan telanjang bulat, ia menyuguhkan aku segelas jamu.
Pada sore harinya sesampai di rumahku, aku langsung melepaskan kaos dan celana jeansku terkapar lemas di tikar yang diletakkan di depan televisi.