Cerita dewasa: Petualangan seks suami pengangguran yang suka cari calon istri baru

Author:

aku adalah seorang suami yang tidak bekerja. selama hampir 5 bulan aku hanya makan dari hasil keringat istriku yang bekerja di sebuah pasar swalayan sebagai spg alat-alat kecantikan wanita.

Beruntung aku belum punya anak, dan istriku juga tidak terlalu banyak menuntut dariku. Yang penting aku bisa membahagiakannya di ranjang, ia sudah sangat senang karena istriku tipenya adalah tipe wanita yang berwajah sensual.

Bukan cantik ya, tetapi melihat wajahnya saja orang bisa menebak kalau istriku itu orangnya asyik kalau diajak ke ranjang.

Dalam kegalauanku tiba-tiba datang berita baik dari suami kakak iparku, yaitu temannya mencari sopir untuk membawa mobil antar jemput anak sekolah.

Daripada aku tidak punya pekerjaan, akupun menyanggupi tawarannya.

Terdapat 5 orang anak yang menjadi tanggungjawabku, yaitu 2 anak SMP dan 3 anak SD.

Mereka adalah Faseline, perempuan, kelas 9 SMP, Tayo, laki-laki, kelas 8 SMP, Athur, laki-laki, kelas 5 SD, Kemal, laki-laki, kelas 6 SD dan Dhea, perempuan, kelas 6 SD.

Pekerjaanku cukup mudah. Karena sekolah mereka masih dalam satu lingkungan, sehingga pagi-pagi aku tinggal menjemput mereka, lalu mendrop mereka di sekolah.

Setelah itu waktuku bebas. Siang baru aku kembali ke sekolah menjemput. Sabtu dan Minggu aku libur.

Kadang-kadang nenek dari Dhea ikut mobilku ke pasar. Umur dari nenek Dhea mungkin sudah sekitar 60 tahun, tetapi pakaian yang dikenakannya seringkali mengundang aku menelan ludah melihatnya.

Kaosnya yang dikenakannya selalu yang modis dan ketat-ketat, kadang tipis sehingga BH-nya terkadang menjiplak jelas kelihatan di kaosnya, atau segitiga celana dalamnya kalau ia memakai celana legging.

Wajahnya juga cukup cantik belum banyak tampak keriputan, kecuali payudaranya yang sudah menggantung.

Aku memanggilnya tante. Entah darimana ia tau aku belum punya istri. Mungkin usiaku baru 27 tahun. Maka itu aku berusaha menutup rahasia ini rapat-rapat jangan sampai ia tau aku punya istri, sehingga ia sering mengajak aku ngobrol kalau ia naik

mobilku karena ia selalu duduk di depan.

Turun dari mobil ia suka memberikan aku tips entah 50 ribu atau 100 ribu rupiah, aku terima saja. Uang tersebut kadang aku belikan martabak, donat atau bakso untuk kubawa pulang ke rumah kakak iparku karena selesai ngedrop anak sekolah, aku tidak pulang ke rumahku, aku istirahat di rumah kakak iparku sekalian makan siang gratis di sana. He.. he..

Kakak iparku adalah kakak dari istriku. Suaminyalah yang menawari aku pekerjaan membawa mobil antar jemput anak sekolah. Usianya 29 tahun. Aku tidak pernah memanggilnya Kak atau Mbak, tetapi tetap namanya, sedangkan suaminya aku panggil Abang, usianya 30 tahun.

Mereka mempunyai 2 orang anak. Anak pertama berusia 3 tahun, anak kedua berumur 1 tahun.

Siang itu aku terakhir mengantar Dhea pulang. Mobilku sesampai di depan rumah, Dhea turun dari mobil membawa tas sekolahnya, Tante Suci keluar dari rumah. Aku menurunkan kaca jendela mobil.

Tante Suci menghampiri mobilku. “Ben, mampir dulu yuk…” ajaknya.

“Sudah sore, Tante.” jawabku.

“Sore apa, belum punya istri ini…?” balasnya. “Apa ada yang menunggu di rumah…? Ayo, mampir… Tante bikin kue, tolong dicicipin enak gak kue bikinan Tante…”

Aku terpaksa turun dari mobil dan disambut oleh beberapa pot tanaman hias yang diletakkan di halaman rumah tanpa pagar itu, karena rumah Dhea terletak di dalam perumahan cluster.

Rumah mungil itu lumayan mewah dilihat dari perabot yang dipajang di ruang tamu. Di dinding tergantung foto pengantin kedua orangtua Dhea yang dibingkai dengan pigura berwarna putih.

Inilah pertama kali aku melihat wajah kedua orangtua Dhea meski hanya dalam bentuk foto pengantin.

“Dhea anak yang ke berapa, Tante?” tanyaku pada Tante Suci sambil kedua kaki telanjangku menapaki lantai granit ruang tamu mengikuti Tante Suci masuk ke dalam rumah yang juga bertelanjang kaki.

Tua-tua begitu kuku kaki Tante Suci masih disemir dengan kuteks berwarna merah dan kelihatan sangat

terawat kedua kakinya karena sangat mulus, tumitnya tidak retak-retak, dan kuku kakinya juga tidak ada yang gundul.

“Hanya satu…” jawab Tante Suci. “Papi Maminya lagi ke Malaysia bersama suami Tante…”

“Kok Tante gak ikut…?”

“Kalo Tante ikut, siapa yang jaga Dhea… lagi pula Tante sudah pernah. Nggak maulah kesitu terus, bosen…! Nanti tahun depan mereka ke Bangkok, Tante baru ikut.” jawabnya. “Yuk, kita ke atas…”

Tante Suci mengajak aku naik tangga menuju ke lantai dua. Setelah aku duduk di sofa kulit berwarna putih nan empuk dan di hadapanku memajang sebuah smart TV besar berukuran 55 inci, Tante Suci pergi turun ke bawah.

Di sebelah kiri aku duduk terdapat sebuah pintu yang terbuka lebar. Sewaktu aku keluar dan berdiri di depan pagar dari stainless itu, terhampar sebuah taman hijau yang teduh dan di sana terdapat beberapa ibu-ibu yang lagi duduk menemani anak mereka bermain sepeda.

Kembali ke tempat duduk, Tante Suci membawa nampan berisi 2 gelas teh dan sepiring kue bolu iris.

“Tante rajin, ya…” kataku tersenyum.

Tante Suci juga tersenyum sambil meletakkan nampan di atas meja, “Kalau lagi mood…” jawabnya. Setelah itu ia duduk di sampingku. “Di makan, jangan dilihat saja…”

“Ya Tante, Dhea…?” tanyaku.

“Tidur siang…”

Mendengar jawaban Tante Suci membuat aku berpikir sejenak sambil meneguk teh hangat yang disajikan Tante Suci untuk membasahi tenggorokanku yang kering.

Kenapa Tante Suci mengajak aku masuk ke rumah disaat tuan rumah lagi pergi dan Dhea sedang tidur? Pasti ada maksudnya. Sedangkan aku?

Bukankah aku sering menelan ludah setiap kali Tante Suci duduk di sampingku di dalam mobil?

Di dalam mobil masih ada pembatas, sekarang disini duduknya di sampingku di sofa empuk ini tanpa pembatas.

Pas waktunya…

“Kalo boleh tau, Tante sudah umur berapa, badan Tante masih seger begitu, masih bikin kue dan masih bisa ke luar negeri…?” tanyaku dengan jantung berdebar.

“He..

he..” Tante Suci tertawa senang. “61 dua bulan lagi…”

“Waw… 61 tahun, Tante?!” kataku kuraih tangan Tante Suci dan kugenggam tanpa ditolaknya.

Hmmm…

“Nggak sangka…” kataku.

“Tante sudah tua, ya..?”

“Ya, nggaklah… Tante masih menggairahkan gitu…” kataku menaikkan tangan kananku memegang pipinya yang mulus masih kencang tanpa kerutan. “BOLEH KUCIUM, TANTE…?”

Kupandang bibir Tante Suci lekat-lekat, sementara penisku di balik celana jeansku menggelegak kencang.

“Ciumlah…” jawabnya dengan napas yang kedengaran sudah tidak teratur.

Apa kukata?

Tidak kusangka pulang antar anak sekolah aku dikasih rejeki meskipun sudah lansia.

Dengan istri, aku sudah dipuaskan setiap malam dengan berbagai gaya ngeseks. Sekali-sekali mencoba ‘seks lansia’.

Aku bukan memaksa. Kita melakukannya karena suka sama suka.

Aku segera melumat bibir Tante Suci yang sudah kering dan pucat itu. Tante Suci tidak mau kalah. Ia menjulurkan lidahnya, sehingga akupun berani menurunkan tanganku memegang payudaranya yang masih berbalut kaos putih longgar dan BH sambil lidahku menjilat lidahnya.

Tante Suci menarik bibirnya. Wajahnya kulihat berubah memerah dan matanya sayu.

“Tante masih kotor. Tante mandi dulu, ya…?” katanya.

“NGGAK PAPA… AKU SUDAH GAK TAHAN, TANTE…” jawabku tidak perlu tedeng aling-aling lagi.

Kujulurkan kedua tanganku menaikkan kaosnya. Kemudian Tante Suci melepaskan kaosnya sendiri.

Melihatnya akupun melepaskan kaosku, celana jeansku dan celana panjangku, sedangkan Tante Suci duduk di sofa sudah telanjang bulat. Lalu dengan berdiri kuhadapkan penisku yang tegang ke mulut Tante Suci.

Aku sudah lupa diri kalau penisku kotor, tetapi mulut Tante Suci melahapnya juga sambil tangan kirinya meremas-remas kantong buah zakarku, lidahnya melilit-lilit melingkari ‘palkonku. Kadang-kadang ‘gland penis‘ ku digigitnya.

“Aduhh… nikmat sekali, Tante…” kataku menurunkan tanganku meremas payudaranya yang menggantung tapi masih berisi dan kenyal. Pentilnya kupuntir-puntir, sehingga membuat mulut Tante Suci melahap penisku lebih dalam, tangannya meremas buah zakarku lebih kuat.

Kemudian aku memaju-mundurkan penisku di mulut Tante Suci sewaktu kurasa penisku sudah

mulai geli-geli nikmat.

Sebentar kemudian, kutahan bagian belakang kepala Tante Suci dengan tangan, selanjutnya kulepaskan pejuku ke dalam mulutnya…

Crrooottt… crroottt… crroottt….

“Uugghhh…” erangku nikmat. Air maniku masih terus menyembur di dalam mulut Tante Suci.

Crrootttt… crroottt… crroottt….

“Ohhhh…” desahku lemas menarik keluar penisku yang masih tegang dari mulut Tante Suci.

Tante Suci menelan air maniku. Setelah itu ia mengangkat gelas meminum teh seteguk.

Disangkanya mani perjaka, tidak taunya…

Aku merebahkan tubuh telanjang Tante Suci di sofa. Kepalanya diletakkannya di ujung sofa yang berbentuk seperti bantal kepala, lalu kubuka lebar pahanya.

Bulu kemaluannya hanya sedikit dan tumbuh hanya di sekitar ‘bukit segitiga bermuda’ nya saja. Kucium vaginanya yang tertutup rapat oleh bibir vaginanya yang sudah layu dan keriput. Baunya pesing amis bercampur bau asem keringat.

“SUKA DIJILAT, TANTE…?” tanyaku.

“Nggak, kalau kamu mau jilat, silahkan. Tapi kotor. Tante bersihkan dulu, ya…?”

“Nggak usah…”

Tante Suci berbaring diam saat kujilat vaginanya. Lidahku naik-turun menyapu-nyapu bagian ternikmat dari tubuh seorang wanita itu.

Tidak hanya di bagian luar, kemudian lidahku merangsek masuk ke dalam lubang sanggama Tante Suci sewaktu lubang itu sudah tegang terbuka menganga berisi darah.

Lidahku menyusup sampai ke ujung lubang yang sudah kering itu dan menyentuh rahimnya dengan ujung lidahku yang runcing.

Tak lama lidahku di dalam lubang. Anusnya kemudian kujilat. Sayang kalau dilewati. Mungkin hanya sekali ini aku ngentot dengan Tante Suci, kenapa aku tidak mau menikmati seluruh tubuhnya, termasuk anusnya meskipun berbau tak segar?

Aku ingat anus istriku yang sudah sering ku ‘anal’. Ia akan nungging membiarkan aku menjilatnya sampai puas, setelah itu ku ‘anal’.

Masih kujilat-jilat anus Tante Suci, kemudian lidahku masuk ke dalam lubang. Saat kukeluar lidahku dari lubang itu keluar angin, piutt…

Malah aku menikmatinya. Setelah itu baru kujilat biji klitorisnya yang sudah membengkak keras.

Tante Suci mulai gelisah. Lama-lama kujilat biji kecil

itu, dari mulut Tante Suci pun keluar suara lenguhan, “Ohhhhooh… ooohhh..oohh…. ooohhhoohh… Ben… Beni… sud… sudaahhh… sudaaahh…”

Kulihat jam yang tergantung di dinding jarum jamnya sudah menunjukkan hampir jam 4 sore.

Televisi yang berdiri gagah di atas rak menjadi saksi. Pintu dibiarkan terbuka, sehingga aku bisa mendengar suara ramai di taman saat kutusuk lubang vagina Tante Suci dengan batang penisku yang berukuran 15 senti dan berdiameter 3 senti itu.

Pelan-pelan kepala penisku tenggelam ke dalam lubang seret dan kering itu sampai tertekan habis penisku ke dalan lubang baru kutindih tubuh telanjang Tante Suci dan kucium bibirnya sembari tanganku menggenggam gundukan payudaranya.

“Tante pernah sewa gigolo…?” tanyaku.

Pertanyaanku membuat Tante Suci kaget. “Maaf, kalau pertanyaanku menyinggung Tante…” kataku cepat.

“Iya… Tante tidak memberikan pada siapapun, hanya suami… kamu, baru sekarang… nggak, nggak kok, Tante gak pernah dengan gigolo…”

“Ya sudah, berarti aku gigolonya Tante, ya…?”

Tante Suci memeluk aku erat-erat. “Sayang…” bisiknya. “Puaskan Tante… Tante pengen, maka itu mumpung rumah sepi, Tante ngajak kamu… maafkan Tante, ya…”

Kutatap wajahnya. Kami berciuman mesra sembari kumaju-mundurkan penisku di lubang nikmat Tante Suci. Keringat di leher dan ketiaknya kujilat. Sekali-sekali lehernya kuhisap.

Penisku masih berayun-ayun di lubang vagina Tante Suci sampai terasa geli, baru kugenzot lebih cepat… plok… plok… plok… lebih cepat… plok.. plok…

“AHHH… TANTEEEE… AKU KELUAR…” erangku.

Crrooooooottttt… ccrrooooottt… semprotan air maniku kuat dan banyak… crrooootttt… crrooottt…. lagii… crrooottt… crrooott…

“AHHHHHH… NIKMAT SEKALI, TANTE…”

Setelah itu aku ambruk di atas tubu Tante Suci yang telanjang tanpa mencabut penisku.

Tante Suci mengusap-usap punggungku. “JANGAN cerita KE SIAPA-SIAPA, YA…”

“YA, TANTE…”

“KAMU ENAK… KALAU TANTE MAU LAGI, TANTE BISA PANGGIL KAMU KEMARI KAN…?”

Entah berapa lembar uang seratus ribuan dimasukkan Tante Suci ke kantong celanaku saat aku ingin meninggalkan rumahnya… Dhea belum bangun tidur.

Benar aku tidak sangka, aku yang kece… eh, yang

kere ini masih disukai wanita… atau, diperalat wanita…???

Mobilku sesampai di depan pagar rumahku, kulihat sebuah sepeda motor terparkir di halaman.

Ada Indah….

“Dah, Mbakmu sudah pulang…?” tanyaku pada Indah yang sedang duduk di ruang tamu memainkan hapenya.

Indah adalah adik iparku.

“Sudah, Mas. Tapi pergi lagi… katanya mau beli kado…” jawab Indah.

Indah anak bungsu dari keluarga istriku. Umurnya 20 tahun. Ia kuliah di sebuah universitas swasta, mengambil jurusan Sastra Inggris.

“Kamu nginep…?”

“Ya Mas…”

“Mas mandi dulu, ya… nanti baru kita ngobrol…” kataku buru-buru ke kamar mandi takut bau tubuhku yang habis berburu napsu dengan Tante Suci tercium oleh Indah.

Inilah akibat selingkuh, jadi ketakutan sendiri kan?

Di dalam kamar mandi sewaktu kumau tutup pintu, kutemukan pakaian kotor Indah berupa blouse, BH dan celana dalamnya tergantung di belakang pintu kamar mandi, dan pada waktu yang sama kuingat, di kantong celana jeansku ada duit dari Tante Suci.

Aku melepaskan celana jeansku dulu, lalu kukeluarkan lipatan duit dari kantong celana jeansku. Langsung kuhitung. Ternyata nilainya… 1 juta rupiah…!!!

Bagiku, uang 1 juta itu lumayan banyak.

Mau aku nraktir Indah makan malam inikah? Ini duit haram!

Mau aku berikan pada istriku? Apalagi… duit ini hasil aku menjual air mani pada Tante Suci.

Coba saja kalau aku bisa menggelontorkan air maniku sebulan 4 kali ke lubang vagina Tante Suci, aku bisa mengantongi 4 juta rupiah sebulan… kenikmatan dapat, duit dapat…

Buat apa duit sebanyak ini nanti saja baru kupikirkan.

Lalu kuperhatikan pakaian Indah. Sebelumnya, tidak pernah aku horny dengan pakaian kotor Indah, tetapi setelah aku selingkuh aku jadi haus lendir. Lalu aku masturbasi.

Selesai masturbasi, aku segera mandi. Selesai mandi, baru aku ingat, aku lupa membawa handukku ke dalam kamar mandi.

“DAH…!!!” teriakku.

“Ya Mas…” jawab Indah.

“TOLONG HANDUK MAS…”

Sebentar kemudian Indah sudah mengetuk pintu kamar mandi. Kubuka

sedikit pintu kamar mandi, lalu kujulurkan tanganku keluar.

Setelah kudapatkan handuk dari Indah, segera kukeringkan tubuh telanjangku yang basah. Lalu aku melilitkan handuk ke pinggangku ke luar dari kamar mandi.

Sesampai aku di ruang tengah, Indah bangun dari duduknya di ruang tamu. “Mas… mmm… mmm… Indah mau tanya, tapi Mas jangan marah sama Indah yang bodoh ini, ya…?”

“Iyaa…” jawabku tidak curiga.

“Mmm… punya laki-laki memang panjang gitu ya, Mas…?”

Aku kaget dengan pertanyaan Indah yang polos! Apakah tadi ia sempat melihat penisku? Aku berusaha tenang.

“Kok kamu tanya gitu sama Mas, Dah… apa kamu belum tau…”

Indah menggeleng. “Tadi Indah sempat melihat punya Mas, Indah baru tau…” jawab Indah sepolos-polosnya.

Apakah aku akan memanfaatkan kepolosan Indah?

Setelah kupikir-pikir, aku bertanya pada Indah, “Apakah tadi kamu melihatnya dengan jelas?”

“Hanya sekilas…” jawabnya. “Kan Mas hanya buka pintu sedikit?”

“Apa sekarang kamu mau lihat? Mas akan buka buat kamu, biar kamu nggak penasaran, sekaligus pelajaran buat kamu nanti kalau kamu punya pacar, bagaimana…?” tanyaku.

Aku mendekati Indah. “Ayo, kita di kamar saja…” ujarku. “Kunci pintu rumah, lampu dinyalain…” suruhku karena hari mulai gelap.

Indah menurut.

Aku menunggu Indah di kamar depan sambil menyusun rencana, apa yang akan aku lakukan terhadap Indah nanti. Apakah semuda seperti aku menundukkan Tante Suci?

Indah masuk ke kamar. “Kamu jangan cerita atau tanya sama Mbakmu, ya… ini rahasia kita berdua…” kataku.

“Ya Mas, nggak… Indah akan jaga rahasia…” jawab Indah duduk di sebelahku.

Lalu… kubuka handukku. Indah tidak tampak kaget melihat penisku yang telanjang di depannya, mungkin belum tegang, pahahal ‘barang‘ ku ini bisa jadi akan mengancam keselamatannya.

“Pegang…” suruhku menarik tangan Indah ke penisku. “Biar kamu tau… malam ini nggak ada Mbakmu kita bebas…”

Indah berani memegang penisku. “Ini bekas sunat ya, Mas…?” tanya indah menunjuk ‘gland penis’ ku yang tadi sempat digigit

oleh gigi Tante Suci.

“Iya…” jawabku dengan jantung berdebar dan tak sabar, karena kalau aku mau memperkosa Indah bisa saat itu juga kuperkosa saking ia polosnya.

“Lubang itu buat kencing sama keluar sperma ya, Mas…? Bagaimana sih bentuk sperma itu, Mas?”

“Kalau kamu mau tau sperma…” kataku. “Mas harus minjam vaginamu untuk dikeluarkan…”

“Masa kita boleh setubuh sih Mas, kan kita saudara…”

“Iya… tapi kan kita nggak sedarah… jadi, boleh aja kita setubuh… begini aja…” jawabku. “Mas keluarkan pakai tangan, kamu bantu Mas, ya… ini pelajaran buat kamu juga…” kataku. Lalu kukocok penisku. Indah memperhatikan.

Sampai penisku tegang membesar indah masih tetap bertanya polos. “Besar gitu, masuk ke vagina sakit nggak sih, Mas…?”

“Ya sakit, tapi hanya sebentar.. namanya juga pertama kali lubang sekecil itu diterobos.” jawabku jujur. “Mau Mas masukin ke vaginamu…?”

“Nggak ah, takut hamil…”

“Mbakmu…?” jawabku memberi contoh Indah. “Sudah berapa lama Mas nikah sama Mbakmu… Mbakmu nggak hamil-hamil juga, padahal setiap malam kami bersetubuh, kecuali Mbakmu haid, baru nggak…”

Indah duduk terdiam, berpikir mungkin…

“Masukkan ke mulutmu…” suruhku.

“IHH…” jawab Indah dengan wajah meringis.

“IHH… APA, BELAJAR…!!” kataku. “Nanti kalau kamu diminta pacarmu atau suamimu, kamu bisa… sehingga pacar atau suami kamu akan semakin sayang sama kamu…”

“Bagaimana…?”

“Tunduk sini…”

Indah menunduk ke penisku yang berdiri tegang. ketikapalkon‘ ku sudah menyentuh bibirnya, batang penisku segera kusumpel ke mulutnya.

Indah sampai mau muntah. Indah keluarkan penisku dari mulutnya.

Tetapi untuk yang kedua kalinya, Indah mulai lancar mengulum penisku.

Sambil mengulum, kubuka pengait BH Indah dari luar kaosnya.

“Indah nggak punya tetek, Mas…” kata Indah. “Malu, perempuan nggak punya tetek. Maka itu Indah nggak berani pacaran Mas, padahal di kampus ada laki-laki yang suka sama Indah, Indah gak berani deket… teman-teman Indah teteknya besar-besar… montok… sedangkan Indah, tetek Indah kecil sekali… Indah gak berani buka BH di

depan teman-teman, takut diketawain…”

Aku kasihan mendengarnya. Aku memeluk Indah. Indah menangis. Aku mencium rambutnya… aku mengeringkan air matanya…

Indah kemudian mulai mengangkat kaosnya. Aku berharap istriku jangan cepat pulang.

Sekarang sudah pukul 06:40 kulihat angka digital yang tertera di hape Indah.

Kuambil kaos indah yang telah dilepaskannya, sedangkan Indah menahan BH-nya dengan tangan, lalu kuletakkan kaos Indah di bangku.

Setelah itu kupeluk Indah. “Mas sayang sama kamu.” kataku merayunya. “Kamu cantik. Jangan persoalkan tetek kamu. Mas buka BH-mu, ya…”

“Ya Mas,” jawab Indah. Segera kusingkirkan BH berwarna merah itu dari dada Indah.

Indah bukan tidak ada tetek. Hanya kecil, kira-kira sebesar bola tenis dibelah 2. Pentilnya juga kecil, bahkan hampir rata dengan lingkaran bagian dasar pentilnya yang berwarna coklat.

Segera kutunduk mengulum tetek Indah. “Sesstth… oh, jangan Mas, gelik Mas…” kata Indah memohon.

“Diam…!” bentakku kalap. “Nikmati saja, nanti juga akan menjadi enak… ayo, tidur…”

Indah menurut. Ia sudah tidak bersuara lagi saat kukulum dan kuremas teteknya di tempat tidur, sehingga akupun berani menarik lepas celana pendeknya dan celana dalamnya.

Ketika indah sudah bertelanjang bulat, aku menindih Indah dan kucium bibirnya, sedangkan satu tanganku memegang penisku, lalu kuhantarkan ke vaginanya.

“Pelan-pelan ya, Mas…” mohon Indah saat kepala penisku sudah menyumbat di depan lubang vaginanya.

“Jangan takut.” kataku. “Kalau terjadi apa-apa sama kamu, Mas akan tanggung jawab. Mas siap menikahi kamu…”

Lalu aku menghujamkan penisku dengan gerakan cepat dan terukur ke lubang vagina Indah. Indah menggigit bibir bawahku saat penisku merobek keperawannya hingga penisku ambles-bles ke dalam lubang vaginanya.

Indah sudah tidak mempunyai keperawanan lagi dan tanpa kasihan serta ingat dengan Mbaknya yang merupakan istriku, kugenjot lubang vagina Indah maju-mundur.

Ternyata Indah mulai memelukku. “Berhenti dulu, Mas.” mintanya.

“Jangan panggil Mas lagi. Kita sudah bersetubuh. Kamu sudah menjadi istriku. Panggil aku Papi, ya… biar beda dengan panggilan Mbakmu.” kataku.

“He..

he..” Indah tertawa.

“Mulai gak sakit kan…”

“Perih dikit…”

“Ayo, kita lanjutkan biar cepat selesai.” kataku.

Aku mulai menyetubuhi Indah lagi. Indah berbaring pasrah membiarkan mulutku mengenyoti teteknya kiri dan kanan, sementara di bawah sana penisku menyodok-nyodok lubang vaginanya yang sudah basah sehingga lubang itu menjadi tidak begitu ketat lagi menggencet penisku.

“Ahh… Mas…” tiba-tiba Indah merintih.

“Ada apa?”

“Seperti ada cairan yang keluar dari memek Indah, Mas… nikmat sekali…”

Aku tertawa. Indah tidak mengerti ia ORGASME.

Tak lama kemudian aku juga ikut ejakulasi. Air maniku kuledakkan di dalam vagina Indah.

Nikmat sekali saat air maniku tumpah di memek perawan Indah.

Aku membiarkan penisku di dalam vagina Indah sampai menyusut kecil, baru aku bangun dari tubuh Indah dan pada saat yang sama kuperhatikan penisku dan vagina Indah, air maniku yang meleleh keluar dari lubang vagina Indah yang sudah bolong menjadi lubang itu, terdapat cairan darah….

Indah benar-benar sudah tidak perawan.

Kubersihkan vagina Indah dengan tissu, lalu aku menariknya ke kamar mandi untuk mandi bersama.

Setelah mandi aku mengajak Indah keluar makan malam.

Istriku pulang semua bekas persetubuhanku dengan adiknya sudah bersih tak berbekas.

“Sudah makan belum, Pah…” tanya istriku masuk ke kamar.

“Sudah dari tadi…” jawabku.

Lalu istriku melepaskan pakaiannya. Sampai ia bugil, aku menariknya ke tempat tidur.

“Mmm… masih kotor juga…” rengeknya, tapi memberi aku menggeluti juga tubuhnya di tempat tidur sampai tuntas.

Malam itu Indah tidur di kamarku. Kupeluk tubuhnya setelah istriku sudah tenggelam bersama mimpi-mimpi indahnya.

Tidak kusangka aku bisa menikmati tubuh adik iparku itu sampai dua kali, dan sama tidak kusangkanya aku dengan Tante Suci….

Aku melanjutkan pekerjaanku pada pagi harinya seperti biasa… mengantar kelima anak itu ke sekolah.

Indah juga berangkat kuliah seperti biasa tidak tampak ia berjalan mencurigakan kakaknya.

Leave a Reply