Pada suatu hari, Mama menyuruh aku untuk tidak pergi ke rumah temanku karena Mama meminta aku menemaninya kondangan, karena Papa tidak keburu pulang dari kantor. Aku tidak bisa menghindar, kuturuti saja ajakan Mama.
Sorenya, selesai aku rapi-rapi, memakai kemeja batik lengan panjang dan celana panjang formal, bukan jins, aku menunggu Mama keluar dari kamar sambil duduk melihat adikku dengan satu temannya main PS di depan televisi.
Begitu Mama keluar dari kamar, sepasang mataku seolah-olah dibuatnya jadi kaku, tak bisa dikerdipkan.
Luar biasa!!!
Mama yang memakai kebaya dari bahan brokat berwarna merah marun itu, payudaranya yang putih mulus hampir separuh terburai keluar dari bagian atas baju kebayanya. Pantatnya yang terbungkus kain ketat nampak nonggeng, sangat semok dan bergoyang ke kian kemari saat Mama berjalan memakai sandal hak tinggi. Memeknya pasti tergesek habis oleh goyangan pantatnya itu.
Ufff… rasanya aku sampai susah mengatur napasku. Citra yang masih bertubuh segar saja tidak membuat aku sampai begitu, tetapi wanita yang hampir berusia 50 tahun ini sungguh menggairahkan darah mudaku. Rasanya aku ingin memeluknya dan membuat cupang di payudaranya yang keluar dari bagian atas baju kebayanya itu.
“Bengong aja…” kata Mama.
“Mama seksi, sih…uff…”
“Nanti Mama tutup dengan selendang…” ujar Mama tersenyum dengan bibirnya yang tipis dipoles lipstik berwarna merah.
Rambutnya disasak tinggi. Entah berapa botol hairspray telah dihabiskannya. Tidak rugi, karena Mama begitu cantiknya sore ini. Mama menjelma seperti seorang wanita berusia 30-an, bukan lagi seorang wanita yang mau menopause dengan payudara yang sudah layu dan kendor.
Kami sampai di tempat parkir mobil hampir jam 7 malam. Turun dari mobil, Mama mau menyelempangkan selendang ke bahunya, aku melarang Mama. “Nanti kamu malu,” kata Mama.
“Kenapa aku malu punya seorang Mama yang cantik dan seksi?” jawabku.
Mama menggandeng tangan kananku berjalan ke lobby. Di lobby, kami di sambut oleh 3 pasang suami-istri. Si suami memakai jas lengkap, sedangkan istri mereka memakai gaun pesta panjang dengan warna dan model yang seragam.
Mama menyuruh aku menyerahkan amplop merah dan menulis buku tamu, lalu kami diberi sovenir sebuah kipas. Setelah itu kami diarahkan ke sebuah lapangan terbuka. Luasnya mungkin ¾ lapangan sepak bola dan tamu undangan sudah banyak.
Aku melihat meja makanan bertebaran di setiap sudut lapangan. Tapi kami tidak boleh langsung mengambil makanan, karena acara belum dimulai. Mama bersalaman dengan orang-orang yang dikenalnya, aku ikut bersalaman, dan sampai-sampai ada yang bertanya pada Mama. “Ini suami?” Mungkin orang itu belum kenal dengan Papa.
Tapi aku bangga juga dibilang suami Mama. Mama mengajak aku berdiri di bawah sebatang pohon yang rindang. Disitu agak gelap, tapi bukan hanya di tempat kami berdiri saja, melainkan hampir seluruh lapangan gelap, kecuali pelaminan untuk kedua mempelai dan kedua orang tua mereka. Di situ terang benderang disorot pakai lampu sorot.
Mama tidak berdiri sendirian, tapi Mama menggandeng terus tanganku. Rasanya semakin rapat saja, lenganku bisa merasakan tonjolan payudaranya. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh sepasang tamu yang usia mereka kira-kira seperti Mama dan berdiri pas di depan Mama dan aku.
Mereka berciuman bibir, saling melumat dan aku melihat tangan si pria sampai meremas payudara si wanita. Mereka nggak takut dan segan-segan di tempat ramai begitu bercumbu.
Aku buru-buru menarik Mama menjauh dari kedua orang itu. “Tadi melihat, Ma?” tanyaku.
“Iya, kamu mau begitu juga?” tanya Mama. “Kasihan anak Mama. Cium nih bibir Mama.” kata Mama.
Entah Mama bercanda atau beneran. Meskipun Mama hanya bercanda, aku semakin bergairah dengan Mama. Aku tidak pernah ingat lagi permainan seks aku dengan Citra kemarin siang. Kukecup bibir Mama.
Kami sekitar 1 jam di tempat pesta. Di dalam mobil, setelah kuhidupkan mesin, aku memeluk pundak Mama. Mama dengan manjanya bersandar di bahuku.
Aku mencium pipinya, lalu dengan berani aku berbisik ke telinganya. “Ma, anak Mama terangsang sama Mama!”
Mama tersenyum, lalu tangannya mengelus selangkanganku. “Hmm…” desahnya.
Aku kaget juga, tapi melihat sekeliling mobil kami sepi, tanpa banyak mikir lagi, langsung aku menunduk mengisap payudara Mama yang keluar dari bagian atas baju kebayanya.
“Oohh… sayang, di sini nanti kelihatan orang, nanti di rumah saja!” bisik Mama dengan suara parau.
Aku membisu dengan Mama sepanjang perjalanan pulang. Sungguh aku nggak nyangka, Mama mau meladeni aku.
Kami sampai di rumah hampir jam setengah 10 malam. Mama menemani aku memasukkan mobil ke garasi, sedangkan Papa yang memarkir mobilnya di tepi jalan, belum kelihatan. Mama lalu membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya. Lampu ruangan sudah digelapkan oleh adikku yang sudah tidur di kamarnya masing-masing.
Mama mengunci kembali pintu rumah. Aku melepaskan kemeja batikku. Hanya mengenakan singlet dan masih memakai celana panjang, aku menghempaskan pantatku di sofa dalam kegelapan.
Mama menyimpan sandalnya di rak. Setelah itu Mama yang belum berganti pakaian ikut duduk bersamaku. Tercium bau parfumnya yang sudah bercampur dengan bau badannya membuat aku kembali terangsang. “Tadi kamu makannya banyak nggak, sayang?” tanya Mama.
“Nggak, cuma dikit!”
“Mama makannya lumayan banyak, makanannya enak-enak. Gagal deh diet Mama. Hmm… sayangg…” Mama menyandarkan kepalanya di bahuku.
Mendengar ia mendesah hmmm… sayang, aku tidak mampu mengontrol diriku lagi. Aku segera menjulurkan tangan kiriku memeluk pundaknya, lalu menunduk mencium bibirnya yang sudah kehilangan lipstik.
Mama sama sekali tidak menolak. Mama memejamkan matanya dan ia membuka mulutnya menjulurkan sedikit lidahnya, sementara tangannya mencoba menarik turun ritsleting celana panjangku.
Aku mengisap lidahnya, sementara tangan kananku membuka biting baju kebayanya.
Mama berhasil mengeluarkan kontolku yang tegang dari balik celana dalamku yang kemarin siang sempat nyembur di memek Citra. Mama meremas dan mengocok kontolku pelan sambil bibirnya saling melumat dengan bibirku.
Biting baju kebayanya sudah kulepaskan semua, lalu kunaikkan BH-nya. Tanganku lalu meremas payudaranya yang menggelantung kendor itu. ‘Niple’nya yang kecil kupelintir pelan. Mulut Mama mengisap kuat lidahku sambil hidungnya mengeluarkan udara mendengus-dengus.
Aku terus saja memelintir ‘niple’nya. Mama lalu menarik lepas bibirnya dari bibirku.
Napas Mama terengah-engah seperti ia barusan berlari ratusan kilometer. “Ooo… oooo… lepaskan Harr.. jangan diteruskan… Mama nggak tahannn… Mama nggak tahan, Harr… Mama nggak tahann….” desahnya.
Aku memeluk Mama erat-erat membiarkan ia orgasme. Aku malu juga telah membuat Mama orgasme. “Maaf ya, Ma.” bisikku.
Mama melepaskan dirinya dari pelukanku. Ia berdiri dan dengan kedua tangan menaikkan kainnya. Mama bukan memakai celana dalam, tapi memakai korset. Ia melepaskan korsetnya.
Tiba-tiba Danu, adikku keluar dari kamar. Mama buru-buru merapikan pakaiannya. “Nggak bawa pulang kue ya, Ma…?” tanya Danu.
“Huhh… malu-maluin aja… tinggak beli napa kalo pengen makan kue…?” jawab
Mama duduk di sampingku seperti tidak terjadi apa-apa.
Danu berlalu dari depan kami pergi ke kamar mandi. Mama membawa korsetnya masuk ke kamar. Ketika keluar dari kamar, Mama berbalut kain.
“Danu sudah ke kamar kan? Ayo cepetan.” katanya, lalu kulepaskan celanaku.
Mama mengocok kontolku sebentar, kemudian melangkahkan kakinya ke pahaku sambil menaikkan kainnya.
Kontolku yang tegang dipegangnya, kemudian ia tekan ke lubang vaginanya. Setelah itu, pelan-pelan Mama menurunkan tubuhnya. Kontolku ikut pelan-pelan tenggelam ke dalam vagina Mama yang kering dan menjepit kontolku itu. Nikmat banget.
“Masih enak gak?” tanya Mama.
“Nikmat habis, kayak memek perawan.” jawabku, lalu Mama menyodorkan ‘niple’nya ke bibirku.
Saat aku mengisap ‘niple’nya, Mama mengayunkan pantatnya maju-mundur seperti ingin memeras air maniku sambil kedua tangannya melingkar di leherku. “Ooo… sshhss… ooogghh…” desahnya pelan.
Terus terang, aku tidak bisa mengatur tempo permainan itu. Mama yang memegang kendali di atas naik-turun maju-mundur pantatnya bergoyang.
Ketika aku sudah merasa mau klimaks, pantat Mama semakin mengayun cepat dan semakin cepat.
“Oooohhh…” erangku menyemburkan air mani di dalam vagina Mama.
Crroottt… crrooottt… crroottt….
Mama juga merintih, “Oooogghh….” dan pantatnya terus bergoyang maju-mundur sampai tubuhku lemas, kemudian Mama memeluk aku erat-erat.
Mama mendiamkan tubuhnya di atas pangkal pahaku beberapa saat, lalu ia bertanya padaku, “Sudah?”
“Ya Ma, thank you…” ucapku malu-malu.
Mama bangun dari pangkal pahaku. Ia mengambil beberapa lembar tissu di meja membersihkan selangkangannya. Setelah itu ia menyodorkan beberapa lembar tissu padaku, karena di kontolku yang sudah loyo itu berlumuran air mani.
Aku membersihkan kontolku, Mama melangkah ke kamar mandi. Aku juga meninggalkan sofa pergi ke kamarku.
Besoknya, kami seperti tidak terjadi apa-apa dan hanya sekali itu saja petualangan seksku dengan Mama gara-gara kebayanya yang seksi itu.