Cerita dewasa: Pulang ke rumah, aku kaget melihat istriku ngentot dengan dua pria lain (part 4)

Author:

(Lanjutan dari part 3)

Pov Nisa

Sepulangnya mas Agus, ak masih sesenggukan karena merasa akan kehilangan orang yg ak idamkan. Ak duduk di kasurku sementara ibuku masih mencoba menenangkanku. Mungkin ini akhir bagiku, akhir dari sebuah rasa yg tak pernah sampai. Bapakku yg baru saja habis dari sholat magrib di masjid ikut duduk di sampingku.

“Apa yg kau tau tentang rumah tangga bosmu itu sayang?” tanya bapaku. Ak menatap kosong kedepan dan tak lama ak buka suara.

— 1 minggu setelah acara pertunangan kakakku

“Nis, ak keluar dulu ya ketemu klien. Sekalian nanti ak langsung pulang” ucap pak Agus sembari tersenyum. Senyum yg bisa kuartikan lain karena antara ak dan Pak Agus ada sebuah ikatan tak resmi dan tentunya terlarang. Ak tidak melarang kehadirannya begitu juga denganya yg tidak melarang ak hadir dalam kehidupannya.

“Baik Pak, hati-hati salam buat keluarga di rumah” balasku dengan senyum termanisku. Setelah kepergiannya ak sejenak bersantai dari segala rutinitas yg melelahkan. Ak kembali mengamati foto selfiku dengan Pak Agus beberapa hari yg lalu. Meski sekedar foto namun bisa membuatku berbunga-bunga. Entah apa yg kurasa, yg jelas ak bahagia ketika berada di dekatnya.

Tak berselang lama setelah kepergian Pak Agus, ponselku tiba-tiba bergetar menandakan ada pesan masuk. Kulihat ternyata pesan dari Pak Agus yg memintaku mengirim sebuah file di komputernya. Ak lalu melaksanakan tugasnya dengan sekejap. Ketika ak hendak keluar ruangannya ak melihat masih ada sebuah situs yg belum ditutup. Ak yg berniat menutup situs tsb malah tak sengaja membukanya. Kulihat di layar komputer terdapat rekaman cctv di kediaman Pak Agus. Awalnya ak tidak kepo tentang keadaan rumahnya. Namun ada 1 rekaman yg memperlihatkan bu mila sedang di gendong oleh seseorang. Kupikir itu Pak Agus, tapi setelah kuamati ternyata itu bukanlah Pak Agus. Terlihat dari postur tubuhnya yg lebih tinggi dari Pak Agus. Lalu seketika

kilatan petir menyambar bola mataku. Ak sampai menutup mulut ketika ada seseorang lagi dengan kondisi telanjang. Pria yg baru saja terlihat itu nampak dengan santai mengambil alih bu mila. Ia lalu membawa bu mila ke sofa dan kembali kilatan petir menyambar bola mataku. Dengan bernafsu pria itu menyetubuhi bu Mila.
Sementara bu Mila nampak tidak terpaksa dan malah merangkul pundak pria yg sedang menyetubuhinya. Hal yg membuatku kembali melongo adalah saat dimana bu Mila dengan rakus mengulum penis pria yg tadi menggendongnya.

Tubuhku seketika kaku tak kusangka bu Mila sampai berbuat jahat pada Mas Agus. Ingatanku kembali pada seminggu yg lalu dimana Pak Agus kembali ke kantor dengan wajah kusut dan mata sembab. Ak lalu mengecek tanggal tsb namun tidak ditemukan rekaman cctv di rumahnya. Barulah di 2 hari berikutnya ada file rekaman cctv di rumah pak agus namun hanya menampilkan kondisi bu Mila yg baru saja keluar kamar mandi dengan kondisi telanjang dan memegang ponselnya. Nampak sepertinya ia sedang video call dengan seseorang. Akupun kalap, ak segera membuka rekaman cctv di rumah pak Agus dari hari ke hari. Dan betapa terkejutnya ak yg melihat di layar komputer setiap 2 hari bu Mila membawa pria lain ke rumahnya. Mereka tanpa dosa bersetubuh tanpa memikirkan perasaan Pak Agus.

“Pantas saja jika Pak Agus terlihat kusut dengan mata sembab. Ternyata kelakuan istrinya yg membuat pak Agus merespon perasaanku.” batinku saat ak menutup komputernya lalu meninggalkan ruangan. Ak duduk memikirkan perasaan Pak Agus. Sekuat itukah hati pria idamanku itu atau memang dirinya yg takut mengambil keputusan? Jika melihat dari tanggal file rekaman cctv di rumahnya ak menyimpulkan jika kemungkinan pak Agus memang sengaja mengumpulkan rekaman cctv itu untuk bukti. Entah bukti apalagi yg ingin Pak Agus cari namun firasatku mengatakan jika masih ada sebuah rahasia besar yg disembunyikan bu Mila dari Pak

Agus.

Rasa iba, kasihan, emosi, dan sayangku pada pak Agus membuatku buta. Ak tak malu lagi mencium punggung tangannya ataupun mencium pipinya. Ak bahkan memberikan ciuman bibir pertama dalam hidupku pada Pak Agus. Tujuanku jelas agar Pak Agus bisa mengalihkan pikirannya, tapi tujuanku yg lain membuatku tak bisa menahan diri hingga ak masuk terlalu dalam di kehidupannya. Ak lalu menjadi wanita egois yg hanya memikirkan tujuanku. Kukesampingkan bom waktu yg bakal meledak setiap saat. Hingga tiba saatnya bom waktu itu meledak. Meledak saat ak sedang berada diatas angin karena lebih dari 2 bulan ak menjalin kasih terlarang dengan bosku, pria idamanku.

Setelah mendengar ceritaku, ibuku segera memelukku lebih erat. Ak merasa sangat berdosa karena telah mencoreng nama baik keluargaku. Ak membalas pelukan ibuku dan berkali-kali ak meminta maaf. Ak juga tak lupa meminta maaf pada Bapakku karena tidak menceritakan semuanya lebih awal. Jika saja ak menceritakannya lebih awal ak mungkin tidak perlu terjebak dalam jalinan asmara terlarang meski hatiku teriris melihat Pak Agus dengan wajah kusut dan mata sembab.

“Sekarang bapak kembalikan semuanya pada Nisa. Nisa sudah dewasa dan tau apa itu hukum sebab akibat. Bisa saja Agus menceraikan istrinya dan meminangmu atau bisa saja ia memaafkan istrinya dan mulai menata ulang kehidupan rumah tangganya. Apapun itu kamu harus siap dengan semuanya” ucap bapakku dengan mata berkaca-kaca.

Akupun menyadarinya, semua yg kulakukan memiliki resikonya sendiri. Ak lalu mencium pipi kedua orang tuaku dan mulai membenahi hidupku. Ak siap jika Pak Agus meninggalkanku, karena bagaimanapun ia sudah berkeluarga. Setelah kondisiku stabil ak lalu bersih-bersih dan sholat magrib. Beres sholat magrib ak lalu meraih ponselku yg sejak tadi berdering. Ak lalu membukanya dan terlihat banyak sekali telpon masuk yg tidak terjawab. Tak berselang lama, Pak Surya manajer divisi akunting menelponku setelah tadi 4x panggilan tidak terjawab.

“Halo Assalamualaikum” ucapku saat telpon

tersambung.
“Halo Nisa, kemana aja kamu? Kamu gak liat grup kantor?” tanya Pak Surya dengan nada naik 1 oktaf.
“Maaf Pak, tadi hpku dicharge jadi gak tau apa-apa. Emang ada apa pak?”
“Astagfirullah Nisa. Kamu ini bener-bener ya” balas pak Surya membuatku bingung dengan apa yg terjadi.
“Pak Agus kecelakaan, mobilnya sampai terguling karena menabrak pembatas jalan. Kondisi Pak Agus kritis sekarang lagi dibawa ke rumah sakit… Halo.. Halooo Nisa…. Ah sudahlah yg penting ak sudah kasih kabar. Ak lanjut kabari direksi” sambung pak surya. Ak yg mendengar kabar tak baik ini seketika shock berat. Tak dapat kutahan air mataku hingga menetes membasahi pipi.

“Hhhuuuuwwaaaaa mas Agus” jeritku tak dapat ak tahan lagi. Ibuku yg mendengar jeritanku lari ke kamarku. Ia segera meraih pundakku dan menanyakan apa yg terjadi. Begitu juga dengan bapak yg baru selesai memakai baju koko karena hendak berangkat ke masjid.

“Kenapa Nisa? Kenapa Agus?” tanya ibuku saat ak semakin terisak.
“Mas Agus bu. Mas Agus…. Mas Agus kecelakaan. Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit kondisinya kritis” tangisku semakin pecah saat ak mengatakannya.

“Astagfirullah” ucap ibu dan bapakku bersamaan.

Ak terduduk lesu, tak kusangka hal tak baik ini kembali menimpaku. Kondisiku yg baru saja stabil tiba-tiba drop. Ak lalu tak sadarkan diri.

Ak tersadar ketika hampir tengah malam, disampingku ibuku tidur dengan wajah layu. Mengingat sejak beberapa hari ini beliau sudah terlalu banyak mengelus dada akibat ulahku. Ak lalu bangkit menuju kamar mandi, kubasuh mukaku hingga terasa lebih segar. Meski pikiran dan hatiku masih berkecamuk.

Ak lalu merebahkan tubuhku kembali di ranjang. ku buka ponselku untyk mengecek pesan grup kantor dan kulihat kondisi mas Agus yg terbaring di ranjang dengan banyak perban di tubuhnya. Hatiku teriris melihat dirinya yg tak berdaya, ulahku lah yg membuatnya jadi begini. Andai saja ak tidak mengundangnya

kerumah mungkin hal ini tak pernah terjadi. Ak hanya bisa memanjatkan doa agar mas Agus segera pulih dan bisa kembali beraktifitas seperti sediakala.

Setelah memanjatkan doa, ponselku kembali berdering. Kali ini bukan dari grup kantor atau rekan-rekan kantor, melainkan dari Bu Mila. Ku teguhkan hati untuk menerima apapun yg ia ucapkan. Dan juga mempersiapkan diri jika ak terpaksa memakai kartu AS.

“Jika bukan karena pelakor sepertimu suamiku gak bakal seperti ini. Apa yg kau harapkan dari suamiku? Ingat Nisa dia sudah beristri dan kamu seenaknya mau ngambil kebahagiaan keluarganya. Harusnya kamu malu, percuma pakai jilbab tapi pelakor” isi pesan bu Mila yg membuatku meradang. Ak kuatkan mental dan hatiku menghadapi wanita binal 1 ini.

“Heh wanita binal, bisa ngaca gak? Mas Agus kayak gitu juga karenamu, gak nyadar ya tiap 2 hari kamu ajak lelaki lain untuk menikmati tubuh indahmu itu? Gak cuma 1 tapi 2. Anda juga belum pikun kan? Ak bekerja dibawahnya sudah hampir 3-4 tahun dan ak tau betul sifat dan karakternya seperti apa. Terlebih akhir-akhir inu, jika ia mengingatmu ia selalu tampak kusut. Memang benar mas Agus adalah pria idamanku, ak sampai berjuang di titik ini agar selalu bisa bekerja di bawahnya. Awalnya ak kasihan dan iba melihatnya balik kantor dengan wajah kusut dan mata sembab. Kukira karena apa ia sampai seperti itu, ternyata oh ternyata gara-gara kamu sendiri. 2 bulan ini ia mencurahkan kekesalannya padaku. Meski Mas Agus tidak cerita tpi ak sadar ada hal lain yg mengganggu pikirannya” balasku berapi-api. Ak tak mau dianggap lemah olehnya. Bagiku harga diri Mas Agus yg utama, ak tak peduli lagi jika bu Mila sampai diceraikan. Karena bagiku kebahagiaan mas Agus lebih penting dari apapun. Bahkan jika ia bercerai dan tidak memilihku akupun tidak mempermasalahkan karena setidaknya mas Agus terbebas dari perasaan yg bertepuk sebelah tangan.

Pov Mila

2 jam sebelum Agus kecelakaan

Ak mematut diriku didepan cermin meja rias dengan senyum mengembang karena 2 hal. 1 karena ak telah melabrak Nisa, 2 karena dari pagi sampai sore ak benar-benar diratukan oleh mas Be dan mas Jo. 3 ronde terjadi berturut-turut membuatku merasa lemas namun juga terpuaskan. Ak bahkan meminta mas Jo atau mas Be untuk lebih kencang dan keras menggenjot tubuhku. Bayangan perselingkuhan suamiku membuatku semakin bernafsu hingga ak sampai terlambat menjemput rangga. Setelah ak puas memandang diriku di cermin ak segera menuju dapur membuat masakan spesial untuk Mas Agus. Kubayangkan wajah suamiku yg memanjakanku tanpa memikirkan seorang Nisa. Toh nanti ak tidak akan membahas kelakuannya di belakangku karena ak sendiri juga melakukan hal yg sama dan bahkan lebih liar. Dengan gesit ak memasak masakan untuk suamiku, setelah beres masak. Ak bermain dan bercanda dengan putraku rangga. Hingga tak terasa sudah hampir magrib namun suamiku belum juga pulang. Rangga yg lelah bermain bergelayut manja di tubuhku yg rebahan di sofa.

“Papah pulang jam berapa mah? Kok lama sekali?” tanya rangga padaku. Ak lalu memangku tubuh kecilnya dan meraih ponselku. Kukirim foto selfiku dengan rangga ke suamiku, namun hanya centang 1. Setelah 10 menit menunggu ak memutuskan untuk menelponnya. 5x panggilanku tidak terjawab, ak lalu beralih ke panggilan seluler namun sama saja hasilnya. Ak segera menenangkan rangga yg sedikit gelisah menunggu kepulangan papahnya. Ak selalu merasa bersalah ketika mengingat rangga bukanlah anak biologis dari suamiku sendiri. Mas Be lah ayah biologisnya, ak mengetahuinya ketika rangga dan Mas Be melakukan tes DNA secara terpisah dan hasilnya rangga positif adalah anak biologis darinya. Sedih namun juga senang menjadi 1 namun seketika buta akan dosa yg telah kulakukan.

Setengah jam menunggu pintu rumah diketuk. Rangga tentu langsung berlari membuka pintu, namun ketika pintu terbuka bukan suamiku yg datang melainkan Pak Indra

salah satu manajer di tempat suamiku bekerja. Ia juga mengajak seorang karyawati yg kutahu bernama Cindi.

“Halo jagoan, gimana kabarmu?” tanya Pak Indra sembari mensejajarkan tubuhnya dengan Rangga.

“Baik om, kok om yg datang bukan papah?” Pak Indra melirik ke arah cindi.

“Papah lagi ada urusan bentar ya sayang, papah tadi beli mainan buat rangga trus papah minta tolong tante sama om nganter” sambung Cindi sembari mengeluarkan sebuah paperbag berisi mobil remot kontrol yg memang Rangga inginkan.

“Dah yuk, rangga main sama om dulu ya” ucap Pak Indra sembari menggendong Rangga ke halaman belakang. Sementara Cindi menarik tanganku agar ak duduk di sofa.

“Bu, yang sabar ya. Apapun yg terjadi semua karena kehendak yg diatas. Dan cindi berharap ibu tabah menjalani” ucap Cindi yg membuatku bingung.

“Ada apa Cin? Langsung to the point aja” balasku tak sabar.

“Maaf bu jika apa yg Cindi ucapkan membuat ibu shock” lanjut Cindi. Ia lalu mengambil nafas dalam-dalam lalu melanjutkan perkataannya

“Pak Agus kecelakaan bu. Tadi sore sekitar jam 5. Mobil yg bapak kendarai terguling karena membentur pembatas jalan. Sekarang bapak sedang dibawa ke rumah sakit karena kondisinya kritis. Beruntung bapak bisa segera ditarik keluar, jika terlambat semenit aja bapak pasti tidak selamat. Mobil yg bapak kendarai meledak setelah bapak ditarik keluar” ucap Cindi sambil terisak. Ucapan Cindi tentu membuatku sangat shock. Lidahku kelu, tubuhku kaku dan seketika jantungku seakan berhenti berdetak. Nafasku menjadi tak beraturan ketika mengetahui kabar suamiku. Ak tak kuasa menahannya lagi air mataku menetes membasahi pipi. Tak berapa lama tangisanku pecah. Ak tak percaya dengan apa yg kudengar. Ak berharap ini hanyalah mimpi. Namun kenyataan ini bukanlah mimpi. Kenyataan yg cukup pahit kuterima hingga ak semakin histeris. Cindi segera memelukku mencoba memberiku kekuatan.

“Dimana suamiku Cin?” tanyaku sesenggukan.

“Rumah sakit merah putih Bu. Sebaiknya ibu kesana sekarang biar dianter Pak

Marto. Nanti Rangga bisa bareng Cindi dan Pak Indra” ucap Cindi sembari beranjak memanggil Pak Marto, sopir suamiku ketika di kantor. Ak yg tak mampu berpikir hanya bisa mengikuti instruksi dari Cindi. Ak segera bergegas berganti pakaian, mengambil apa yg kuperlukan lalu segera menuju Rumah Sakit.

Selama perjalanan ak merenungi kehidupanku. Ak seharusnya beruntung memiliki suami sebaik Mas Agus. Tak seharusnya juga ak mengkhiatinya selama 4 tahun ini. Rasa sesal dalam hatiku kembali muncul, kali ini nuraniku tak ingin memperdebatkan kekurangan yg dimiliki suamiku. Ak menatap jalanan kota dengan pandangan kosong, dengan hati yg bimbang ak memikirkan kapan dan dimana ak membongkar semua kelakuan liarku pada suamiku. Apapun hasilnya nanti biarlah yg Diatas yg mengatur. Selama perjalanan tak henti-hentinya air mataku menetes. Ada rasa sesak di dada ketika ak menyesali perbuatanku. Disaat seperti inilah sosok suamiku terus terngiang di kepalaku. Suami yg baik, penyayang dan juga pengertian. Tak sekalipun ia membentakku atau berbuat kasar padaku. Ak hanya bisa memanjatkan doa agar suamiku bisa melewati masa kritisnya dan kembali seperti sedia kala.

“Bapak orang baik bu. Saya yakin bapak bisa melewati masa kritisnya. Teman-teman kantor semuanya mendoakan” ucap Pak Marto membuyarkan lamunanku

“Sebaik apa suami saya di kantor pak?” tanyaku penasaran.

“Sebaik kasih sayangnya pada keluarga Bu. Pemimpin yg selalu dihormati bawahannya. Beliau sangat berjasa bagi perusahaan, dan juga selalu memotivasi orang yg bekerja di bawahnya tak heran Pak Gun langsung menunjuk Bapak buat gantiin posisinya” sambung Pak Marto membuatku sangat bangga atas apa yg telah suamiku lakukan untuk perusahaan.

Setibanya ak di rumah sakit, ak disambut Pak Surya yg menunggu di depan ruang igd. Ia lalu membimbingku masuk keruang igd dan bertemu seorang dokter.

“Kondisinya sangat kritis, tubuhnya sangat lemas karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Semoga tidak koma mengingat bekas benturan di kepalanya. Ditambah ada patah tulang di beberapa bagian

tubuhnya. Kamu usahakan semampu kami, semoga suami ibu bisa melewati masa kritisnya dan operasinya bisa berjalan lancar. Beruntung suami ibu bisa langsung dikeluarkan dari mobil saat kecelakaan, karena 1 detik saja terlambat mungkin suami ibu tidak selamat” ucap seorang dokter yg menangani suamiku. Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Tangisanku semakin pecah saat melihat kondisi suamiku yg terbaring di ranjang dengan tubuh penuh luka. Ak duduk di samping ranjangnya dengan tangis tiada henti. Pak Surya mencoba menenangkanku, memberiku dorongan kekuatan agar ak bisa tabah menjalani cobaan yg menimpaku.

Semalam suntuk ak menunggu suamiku yg terbaring lemah di ruang igd. Setelah menandatangani surat persetujuan dari rumah sakit suamiku dipindah ke kamar. Untuk selanjutnya akan menjalani operasi patah tulang besok. Ak memandangi suamiku dengan perasaan berkecamuk. Jawaban dari Nisa semalam membuatku semakin merasa bersalah karena telah mengkhianati suamiku selama 4 tahun ini. Kedatangan rangga semakin mengiris hatiku, mengingat rangga bukanlah anak biologis dari mas Agus. Rangga sempat menangis beberala kali setelah melihat kondisi papahnya. Beruntung Cindi menemaniku sehingga sedikit membantuku menenangkan rangga.

Siangnya saat jam jenguk Pak Gun menjenguk suamiku, beliau ditemani Pak Surya dan beberapa direksi lainnya.

“Untuk sementara biar sy yg menggantikan posisi Pak Agus. Bu Mila cukup merawat Pak Agus sampai nanti benar-benar pulih. Untuk bulanan direksi setuju untuk tetap memberikan gaji dan tunjangan tanpa ada potongan mengingat jasa Pak Agus selama mengabdi di perusahaan. Cindi nanti dapat tugas tambahan buat bantu-bantu bu Mila” ucap Pak Gun sesaat setelah melihat kondisi suamiku. Beruntung bagiku bukan Nisa yg ditugaskan. Mereka lalu pamit setelah jam jenguk habis.

“Ibu makan dulu ya, dari semalam ibu belum makan” ucap Cindi sembari menyodorkan sepiring nasi beserta lauk. Ak yg kehilangan nafsu makan meminta cindi untuk makan dulu. Namun cindi menolaknya dan beralasan dia sudah makan.

“Ibu harus tetap makan ya. Ibu juga harus kuat. Jaga

kondisi ibu biar gak drop. Kasihan rangga kalo sampe ibu ikutan drop” jelas Cindi padaku. Ak lalu menyuap makanan yg Cindi berikan dengan rasa getir dan hambar.

Sore harinya saat jam jenguk, beberapa karyawan menjenguk suamiku. Mereka tak henti mendoakan suamiku agar diperlancar semuanya. Akupun berterima kasih karena mereka telah peduli dengan suamiku. Setelah mereka pamit, datang 3 orang yg beberapa hari kemarin kusambangi rumahnya. Seorang gadis yg langsung menangis setelah melihat kondisi suamiku.

Ia lalu berjalan menghampiri Cindi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Sementara 2 orang lagi sepasang suami istri menghibur rangga dengan beberapa mainan dan jajanan yg mereka bawakan.

“Kamu istirahat dulu Cin, sementara biar ak yg bantu Bu Mila” ucap gadis itu membuatku meradang.

“Gapapa ini mbak? Tadi siang ak disuruh Pak Gun buat bantu bu Mila” tanya Cindi sedikit terkejut

“Iya gapapa, ak udah bilang ke Pak Gun juga kok. Kamu juga perlu istirahat” terang gadis itu kembali.

Sesaat kemudian Cindi pamit untuk istirahat, sementara 2 orang lagi yg kutahu adalah orang tua Nisa mengajak rangga untuk jajan di luar. Suasana hening antara ak dan gadis itu. Ia duduk di sebelah ranjang suamiku dan kembali terisak.

“Gak perlu segitunya Nis, ingat ak masih istrinya” ucapku sedikit ketus

“Saya cuma sedih liat Pak Agus gak berdaya seperti ini” balas Nisa tanpa menoleh ke arahku.

Selama 1 jam ini ak dan Nisa saling diam tanpa berbicara. Semuanya menatap kondisi suamiku dan berdoa demi kepulihannya.

Pov Nisa dulu ya

Ketika Cindi kembali masuk ke ruang rawat ak segera membenahi penampilanku dan juga mengajak berbicara wanita berbisa di depanku. Ak terpaksa melakukannya agar Cindi tidak curiga. Setelah kami bertiga ngobrol bentar Rangga dan kedua orang tuaku kembali masuk ke kamar inap. Ak lalu memeluk rangga yg sudah sedikit ceria dari sebelumnya. Ak sudah mengenal rangga sejak ia lahir

karena ak dulu seringkali dimintai tolong bu Mila untuk membantunya. Meski kini ak dan Bu Mila sedang perang batin.

Bu Mila lalu mengajakku keluar kamar inap, akupun tersenyum melihat ekspresinya yg bisa menyembunyikan gelagat amarahnya.

“Ke kantin rs aja Nis” ucap bu Mila saat kami keluar kamar inap. Ak lalu mengikutinya dan mempersiapkan mentalku. Setibanya di kantin, ak memesan minum dan bu Mila juga memesan hal yg sama.

“Gak makan bu?” tanyaku pura-pura ramah. Tentu hanya pura-pura karena ak belum mau memulai keributan. Biar dia aja yg memulai hihihi.

Pertanyaanku jelas tidak ia respon. Ia menatapku tajam seakan ingin menerjangku. Sementara ak bersikap biasa saja seakan tanpa beban, padahal aslinya daritadi dadaku bergemuruh. Terlebih duduk berhadap-hadapan dengan wanita yg telah melukai pria idamanku.

“Apa maumu?” tanya bu Mila membuatku tersedak.

“Gak mau apa-apa kok. Cuma jenguk Mas Agus aja. Lagian ak juga masih bekerja di bawahnya sebagai sekretaris. Jadi ya wajar kalo ak jenguk beliau” balasku santai.

“Panggil dia Pak, dia atasanmu di kantor.”

Ak toleh kanan kiri dan dengan santai ak jawab jika ini bukan di kantor melainkan di rumah sakit. Bu Mila tampak geram, namun masih bisa menahan amarahnya.

“tau apa kamu soal rumah tanggaku? Sampai kamu bisa memfitnahku telah berselingkuh?” ucapan Bu Mila membuatku melotot. Ak tak percaya dengan ucapannya padahal jelas-jelas ia menyambut kedatangan 2 pria di rumahnya. Bahkan ia menyambutnya dengan pakaian minim bahan dan kecupan bibir. Memang wanita 1 ini wanita ular, terlalu berbisa. Ak lalu mengambil sebuah amplop di tasku dan kuserahkan padanya.

“Apa ini?” tanya Bu Mila ketus, ketus banget malah

“Buka sendiri aja. Jijik ak liatnya” balasku sedikit membalas

Bu Mila segera membuka amplop yg ak berikan. Ia ambil sebuah foto didalam amplop dan BBBLLLLAAAARRRR. Petir menyambar tepat di depan matanya yg lentik. Tubuhnya kaku tak bergerak sedikitpun, keringat membasahi dahinya

dan ak yakin ia sangat shock. Memang tujuanku untuk meruntuhkan sifat buruknya. Dengan bergetar ia mengamati foto demi foto yg kuberikan padanya. Terkesan jahat? Memang, disaat suaminya terbaring lemah di rumah sakit harusnya ak berempati dan bersimpati namun ak lebih memilih meruntuhkan mentalnya. Ak sudah muak karena ia terlalu lama menyakiti perasaan pria yg kuidamkan.

“Darimana kamu mendapatkannya?” tanya bu Mila lirih. Ak tersenyum melihatnya kehilangan daya.

“Gak perlu tau ak dapat dari mana. Tapi sekarang jelas siapa yg harus menjauhi mas Agus. Sekarang jangan halangi ak lagi, biarkan ak membantu merawat mas Agus” balasku serasa di atas angin. Ak lalu bangkit dari kursi dan meninggalkan dirinya yg merenungi kesalahannya. Bangkai yg ia simpan akhirnya tercium juga baunya.

Pov Mila

Ak terkejut setengah mati melihat isi amplop yg Nksa berikan. Bagaimana dia bisa mengetahui aksi bejatku. Kuamati lagi fotonya dan kuambil kesimpulan jika foto itu diambil dari sudut rumahku. Setahuku tidak ada cctv di rumahku, atau jangan-jangan? Tubuhku semakin lemas, ak yakin suamiku tidak pernah memasang cctv, tapi foto yg diberikan Nisa jelas itu adalah capture dari rekaman cctv. Akupun panik, terlintas di kepalaku kondisi suamiku yg terbaring di ranjang kamar inap. Kecelakaan itu??? Tak sempat berpikir ak kembali terisak menyimpulkan penyebab kecelakaan yg menimpa suamiku.

Setelah cukup lama, ak lalu meninggalkan kantin dan kembali ke kamar inap. Kulihat masih ada Nisa dan kedua orang tuanya. Ak mencoba duduk tenang dan bersikap seperti biasa. Kupandangi wajah teduh suamiku dan kembali ak tak dapat menahan air mataku.

Keesokan paginya ak terbangun dengan wajah lebih berantakan dari sebelumnya. Ak lalu mencuci muka dan membangunkan Cindi dan juga Rangga. Tak lama seorang suster masuk menyerahkan sarapan serta memberitahuku jika jam 10 nanti mas Agus akan menjalani operasi.

Jam 10 ak dan Rangga mengikuti langkah suster yg mendorong ranjang suamiku. Cindi juga ikut mengantar

suamiku ke ruang operasi. Sebetulnya jadwal operasi adalah kemarin, namun kondisi suamiku terlalu lemah membuat dokter mengambil keputusan untuk menundanya sehari. Kini ak berada di ruang tunggu bersama Cindi sementara Rangga ak pangku. Cindi dengan penuh perhatian menyemangatiku dan mendoakan suamiku agar semuanya berjalan lancar. Setelah 2 jam, suster keluar ruang operasi sembari menarik ranjang suamiku. Proses operasi berjalan lancar, kami lalu kembali ke kamar inap dan tinggal menunggu kesadaran suamiku.

“Cin, bisa minta tolong ajak rangga ke kantin? Ak mau berdua dulu dengan suamiku” pintaku pada Cindi. Cindi mengangguk dan segera mengajak Rangga ke kantin. Ak lalu duduk di samping ranjang suamiku. Ku genggam tangannya dan kembali ak menangis. Berkali-kali ak meminta maaf, dan berkali-kali pula ak mengutarakan penyesalanku. Meski suamiku tidak merespon tapi ak yakin tangisan dan penyesalanku sampai di hatinya. Dalam tangisku, ak berharap dan berdoa agar suamiku segera sadar. Dalam hati ak bertekad, untuk mengakhiri perselingkuhan yg telah kulakukan di belakang suamiku. Ak bisa dan ak yakin bisa mengakhirinya. Ditengah harapan dan doaku, pintu kamar inap diketuk, ak tidak memperhatikan siapa yg datang. Wajahku terpaku pada suamiku yg masih belum sadar.

“Alhamdulillah proses operasinya berjalan lancar. Segera pulih ya mas” ucap seseorang yg baru saja datang. Ak menoleh dan kulihat Nisa kembali datang. Ia dengan lancang ikutan menggenggam telapak tangan suamiku dan mencium punggung tangannya. Ak yg melihatnya pun meradang. Dengan amarah menggebu ak membentaknya.

“Heh, bisa sopan gak?” tanyaku penuh amarah. Nisa yg mendengar gertakanku tak merespon. Ia masih saja mencium punggung tangan suamiku.

“Sudah berani kurang ajar ya ternyata” ucapku lagi. Nisa lalu memalingkan wajahnya. Ia tatap wajahku dengan senyuman. Senyuman yg bisa diartikan mengejek diriku.

“Apa sih bu? Jangan keras-keras bicaranya” balas Nisa seakan tanpa dosa. Ia lalu duduk menghadap suamiku.

Ak yg tidak terima meminta Nisa untuk keluar kamar. Dan memintanya utk

tidak perlu lagi datang menjenguk. Namun lagi-lagi ia tersenyum merendahkan. Nisa dengan sangat percaya diri menunjukkan kartu tunggu padaku. Ia lalu tetap memanasiku dengan membelai wajah suamiku. Entah harus kuapakan gadis 1 ini, ia semakin berani dengan mengecup pipi suamiku. Ak jelas cemburu dan darahku mendidih ak segera menarik tangannya agar ia keluar. Namun saat diambang pintu terdengar suara Cindi dan Rangga yg akan memasuki kamar inap. Ak lalu melepaskan tanganku dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Saat pintu terbuka Cindi terkejut melihat Nisa yg sudah berada di dalam kamar.

“Lho mbak Nisa kapan datang? Kan udah lewat jam jenguk” tanya Cindi membuatku bingung. Seharusnya kartu tunggu sudah dipegang Nisa. Dan logikanya Nisa dan Cindi sudah bertemu sebelumnya.

“Ya sekitar 15 menitan yg lalu Cin. Kantor minta 2 kartu tunggu. Biar mudah aksesnya. Ak kesini juga disuruh Pak Gun buat ngecek kondisi Pak Agus” jawab Nisa. Ak menduga jika itu hanya alibinya saja. Namun detik berikutnya ak dibuat mati kutu.

“Nih baca grup Kantor. Kubacakan ya, Nisa sesekali ke RS buat mantau dan update kondisi pak Agus. Cindi tetap di RS membantu Bu Mila. Sementara prioritaskan kondisi Pak Agus, urusan kerjaan bisa dibantu team lain” ucap Nisa membuatku tak percaya dengan apa yg ak dengar. Suamiku yg terbaring lemah menjadi prioritas utama di kantornya. Hal yg lebih miris lagi adalah ak menyia-nyiakan pria sehebat suamiku. Ak dulu sempat berpikir jika hanya ak yg bisa 100% memahami dan menerima suamiku. Namun ternyata ak salah, disaat ak mengkhianatinya orang-orang di kantornya memandang suamiku sebagai sosok yg sangat berharga. Cindi sampai rela menemaniku dari kemarin, dimana jelas ia hanya ditugaskan sementara. Ak jelas merasa terpukul dengan rentetan fakta yg menampar wajahku. Ak hanya bisa terdiam sembari menggendong rangga dan duduk di sofa samping ranjang suamiku.

“Oohhh maaf mbak, hpku baru di charge. Jadi

gak update info” ucap Cindi sembari duduk disampingku.

“Ya sudah gapapa. Kalo gitu ak balik kantor dulu ya. Nanti sore ak kesini lagi ngirim perbekalan” terang Nisa sembari melirik ke arahku. Lirikan matanya benar-benar membuatku sedikit naik pitam. Nisa lalu keluar kamar inap. Ak sedikit bernafas lega, setidaknya ak tidak menghirup udara yg sama dengan orang yg hendak mengambil hati suamiku. Rangga yg terlelap di pangkuanku segera kurebahkan di sofa.

“Cin, kamu dah makan?” tanyaku pada Cindi yg sedang melihat ponselnya.

“Sudah bu. Tadi Cindi makan bareng dek Rangga. Bu Mila mau keluar dulu untuk makan siang?” tanya Cindi. Ak lalu mengiyakan pertanyaannya. Kuraih ponselku dan dengan cepat ak menuju kantin rumah sakit.

Setibanya di kantin ak buka WA dan membuka kontak yg ak blokir. Sebelum ak buka blokirannya, ak sempat berpikir apakah ak akan kembali berselingkuh atau tidak. Di sisi lain ak tak ingin mengulangi kesalahanku tapi di sisi lain hanya dia yg bisa membantuku. Setelah memantapkan hati, ak lalu membuka blokiran kontak di WA.ku. Ak lalu mengiriminya pesan dan tak sampai pesanku dibalas ia sudah lebih dulu menelponku. Merasa tak punya pilihan, ak lalu menjawab panggilannya.

“Halo Mas” ucapku penuh keraguan
“Halo sayang, kamu kemana aja? Kamu baik-baik saja kan?” tanya mas Be khawatir. Ak lalu menjelaskan tentang kondisi suami dan kondisiku saat ini. Tak seperti Mas Jo yg hanya mementingkan nafsunya, mas Be justru berempati dan bersimpati terhadapku. Ak lalu mengutarakan perasaanku saat ini, iapun dengan penuh perhatian memberiku dorongan semangat dan kata-kata rayuan yg membuatku seketika kembali sedikit ceria. Ak juga menceritakan tentang Nisa yg mengetahui hubungan gelapku dan mengirimi foto-foto aksi bejatku bersama Mas Be dan Mas Jo.

“Sudah tenang aja sayang, soal Nisa bisa ak atur nanti. Yg jelas sekarang kamu fokus dulu untuk kesembuhan suamimu. Kalo ak masih bisa nahan beberapa hari.

Gak tau kalo si Jo gimana daritadi kulihat dia uring-uringan. Coba ak bujuk dia nanti biar dia paham. Nanti kita kabar-kabar lagi ya sayang” balas Mas Be sedikit membuatku tenang. Ak lalu menutup panggilan dan segera balik ke kamar inap.

Hari ini suamiku belum juga sadar, menurut dokter hal itu disebabkan dengan beban pikiran yg terlalu berat sehingga otaknya belum mau merangsang syaraf di tubuhnya. aku sedih mendengarnya terlebih lagi Rangga yg sudah bosan berada di rumah sakit. Rangga ingin sekali segera bermain dan menghabiskan waktu dengan papahnya. Nisa juga datang bersama Pak Gun dan pulang setelah jam jenguk habis. Malamnya ketika semuanya sudah tertidur, ponselku berdering. Kulihat di layar ponselku pesan dari mas Be. Ak buka pesannya dan terlihat ia sedang mengirimi foto dirinya yg sudah berada di depan rumah sakit. Hatiku ingin tetap tinggal, namun kakiku melangkah keluar dan segera menemuinya.

Saat ak bertemu dengannya, ak segera menghambur dalam pelukannya. Kucurahkan perasaanku padanya hingga ak kembali menangis. Mas Be mengerti dengan keadaanku mengelus punggungku mencoba memberiku semangat. Ak yg sudah lelah dengan semuanya hanya menurut saat ia membawaku masuk ke mobilnya. Mobil lalu melaju menuju sebuah penginapan dekat rumah sakit, mas Be membawaku ke sebuah kamar dan ak langsung memeluknya lagi. Ak tak kuasa menolak saat mas Be dengan perlahan melucuti pakainku satu persatu. Ia lalu melepas pakaiannya hingga kami sama-sama telanjang bulat.

Hati nuraniku berteriak memintaku berhenti dan segera berbenah, namun tubuhku seakan menerima ketika mas Be memagut bibirku. Ak membalas pagutannya, kucurahkan semua rasa yg kurasakan hingga ak mendorong tubuhnya. Ak lalu berlutut didepannya, wajahku yg tepat berada di depan pusakanya segera mendekat. Bibirku terbuka dengan lidah menjulur kedepan menyentuh batang penis Mas Be yg panjang besar dan berurat. Lidahku lalu dengan lihai menjilati penisnya dari bawah ke atas. Tak cukup sampai disitu ak juga beberapa

kali mengecup penisnya membuat si pemilik kelojotan. Tanpa perlu diperintah ak mulai memasukkan penisnya ke mulutku dan dengan rakus menghisapnya. Kepalaku maju mundur dengan mulutku ak memanjakan mas Be yg keenakan sembari kutatap wajahnya. Senyum kepuasan tergambar di wajahnya, ak semakin bersemangat semakin bernafsu hingga tak kuhiraukan jeritan hatiku. Ak bahkan membiarkan mas Be menahan kepalaku disaat ia semakin dalam memasukkan penisnya ke mulutku. Ak sampai tersedak karena penisku sampai di tenggorokan, namun lagi-lagi ak hanya pasrah membiarkan dirinya berbuat sesuka hati.

Bersambung ke part 5