Ibu Endang mendekati saya yang sedang membersihkan got di depan rumah. “Jun, Ibu minta maaf nih!”
“Iya, ada apa Bu Endang?” tanya saya.
“Ibu mau minta tolong sama kamu, tapi sebelumnya Ibu minta maaf, ya.”
Ternyata Ibu Endang mau minta saya membersihkan rumput di halaman rumah ibunya yang terletak sekitar 7 atau 8 rumah dari rumah saya. Nek Niar, begitu biasanya kami memanggil ibunya dari Ibu Endang ini. Umurnya sudah 70 tahun, tapi badannya masih kelihatan sehat dan segar. Ia tinggal sendirian saja di rumahnya, tapi cucu-cucu dan anak-anaknya suka datang berkunjung pada hari Sabtu dan Minggu.
Saya menyanggupi permintaan Ibu Endang. Saya memang sering kerja serabutan sejak saya lulus dari SMA. Saya dilahirkan bukan dari rahim seorang ibu yang kaya raya. Ibu saya adalah seorang tukang cuci pakaian. Bapak saya narik angkot dulunya ketika angkot masih jaya. Sekarang, Bapak saya narik ojek online. Adik saya 2 orang. Satu yang cewek berumur 15 tahun dan yang bungsu laki-laki berumur 12 tahun, sedangkan saya berumur 19 tahun.
Saya lulus dari SMA tidak melanjutkan sekolah lagi seperti teman-teman saya. Saya bekerja apa saja yang bisa saya kerjakan, asalkan dapat menghasilkan duit, seperti misalnya permintaan Ibu Endang yang menyuruh saya membersihkan rumput di halaman rumah ibunya.
Saya sudah 2 kali membersihkan rumput di halaman rumah Nek Niar, sehingga hari-hari selanjutnya saya menjadi akrab dengan Nek Niar. Selesai membersihkan halaman rumahnya pasti segelas kopi disediakan oleh Nek Niar untuk saya. Jika tersedia makanan di dapurnya, seperti misalnya kue atau biskuit, Nek Niar pasti juga akan menghidangkannya untuk saya bersama kopi.
Rumah Nek Niar yang sehari-harinya sepi – kecuali pada hari Sabtu dan Minggu ketika cucu-cucu dan anak-anaknya datang berkunjung – sekarang menjadi ramai jika saya ngobrol dengan Nek Niar. Pada saat itu Nek Niar juga sudah berani meminta saya memijit punggungnya yang suka ngilu, atau memijit kakinya yang sering kesemutan.
Di samping rumah Nek Niar terdapat sebuah garasi kosong. Biasanya selesai membersihkan rumput di halaman rumahnya saya menaruh ember, cangkul, parang dan lain-lainnya di situ.
Pagi itu ada yang tidak biasa. Jendela kamar tidur Nek Niar sepanjang yang saya tahu, tidak pernah dibuka. Mungkin Nek Niar membersihkan tempat tidurnya, jadi jendela kamar tidurnya dibuka karena saat itu saya mendengar Nek Niar sedang membersihkan tempat tidurnya dengan sapu lidi.
Lalu saya mencoba mengintip dari kain jendela yang tergeser sedikit dari tempatnya. O… astagaaaa… benar sih Nek Niar sedang menepuk-nepuk dan menyapu tempat tidurnya dengan sapu lidih, tapi Nek Niar telanjang bulat!
Teteknya yang bergelatungan di dadanya kelihatan bergoyang-goyang. Pantatnya sih sudah keriput dan perutnya agak besar sudah kedodoran. Namun karena saya belum pernah melihat wanita telanjang, jadi saya tertarik melihat Nek Niar yang telanjang.
Rambutnya yang sudah beruban itu di konde. Rupanya Nek Niar baru selesai mandi, sebab setelah selesai membersihkan tempat tidurnya, ssya melihat Nek Niar mengusapkan body lotion ke tangannya dan ke seluruh kakinya. Wah, saat itu penis saya benar-benar tegang dan sekeras batang kayu pacul.
Selama Nek Niar belum memakai pakaiannya, saya terus mengintip dengan jantung yang berdebar-debar kencang. Dan dengan sebuah cermin kecil berbentuk bulat, Nek Niar membuka lebar kedua pahanya. Nek Niar melihat memeknya di cermin.
Sambil memegang cermin dengan tangan kirinya, Nek Niar lalu menggosok-gosokkan telapak tangan kanannya di selangkangannya. Entah apa yang diperbuat oleh Nek Niar, saat itu saya belum mengerti yang namanya masturbasi wanita. Nek Niar kemudian memberikan body lotion di jari telunjuknya, lalu ia berbaring di tempat tidur tanpa bercermin lagi, tapi kelihatannya jarinya masuk ke dalam memeknya.
Tangannya kemudian terlihat bergerak maju-mundur di selangkangannya. “Ahhh… aaahhh…. aaahhh….” rintihnya sembari menggelinjang dan tangan kirinya meremasi teteknya.
Beberapa saat kemudian Nek Niar terkulai lemas di tempat tidur. Setelah berbaring sebentar, ia bangun dari tempat tidur mengambil tissu membersihkan selangkangannya.
Saya mengundurkan diri dari jendela kamar tidur Nek Niar dengan seribu satu pertanyaan berkecamuk di kepala saya.
Lewat beberapa hari kemudian…
Sewaktu Ibu saya melewati depan rumah Nek Niar, Nek Niar berpesan pada Ibu saya supaya saya datang ke rumahnya. Berhubung dari pagi sampai siang saya nggak sempat, baru sore harinya saya ke rumah Nek Niar.
“Badan Nenek pegel-pegel semua nih Jun, mau minta tolong kamu pijitin.” kata Nek Niar.
“Kenapa Nenek, kerjain apa sampai badan pegel-pegel semua?” tanya saya menarik kasur busa keluar dari kamar.
“Ya… biasalah Jun, badan sudah tua, banyak yang sudah gak berfungsi… nggak seperti badan kalian yang masih muda-muda, tapi suatu saat kalian juga akan seperti Nenek… sana pegel, sini pegel…” jawab Nek Niar duduk di kasur yang saya letakkan di depan televisi.
Lalu saya ambilkan bantal kepala untuk Nek Niar di kamar. Nek Niar mempunyai sebuah kamar yang khusus menyimpan barang-barang yang tidak dipakainya setiap hari, seperti gudanglah begitu kira-kira. “Punggung Nenek digebukin ya Jun, sampai ke kaki,” kata Nek Niar.
Bukan digebuk keras-keras dengan menggunakan tinju, tapi digebuk pelan-pelan. “Oke, Nek!” jawab saya.
Lalu….
Sungguh saya tidak menyangka, jika kemudian Nek Niar mengangkat ke atas dasternya dengan kedua tangannya, lalu daster dari bahan batik itu dilepaskannya dari tubuhnya, sehingga Nek Niar hanya memakai celana dalam saja, lalu ia berbaring tengkurap di kasur busa.
Bagaimana keadaan saya melihat Nek Niar? Sungguh membuat jantung saya berdetak tidak karuan-karuan. Saya langsung membayangkan tubuh Nek Niar yang telanjang yang pernah saya lihat beberapa hari yang lalu melalui jendela kamar tidurnya, sehingga ketika saya memukul punggung Nek Niar dengan tinju saya, pukulannya jadi nggak teratur lagi.
“Ughhh… enak, Jun…” kata Nek Niar.
Dari punggung saya gebuk sampai ke pinggangnya, lalu ke pantatnya yang tertutup celana dalam besar berwarna merah muda. Lalu Nek Niar menyuruh saya meminjit pantatnya. Saat itu penis saya benar-benar tegang. Sesudah memijit pantatnya, kemudian saya memijit dan menggebuk kedua kakinya sampai telapak kaki.
“Bagaimana, sudah terasa enak, Nek?” tanya saya.
“Lumayanlah…” jawab Nek Niar.
“Lalu, mana lagi yang mau digebuk dan dipijit?” tanya saya.
“Sudah…” jawab Nek Niar beranjak bangun dari baringnya. “Tuh di dapur ada bubur kacang ijo. Diambil… dimakan…” suruhnya duduk di kasur dengan telanjang dada dan mengambil dasternya.
Bagaimana dengan kedua tetek Nek Niar yang masih telanjang itu? Saya pandangi! Nek Niar tersenyum melihat saya memandangi teteknya. Jantung saya berdetak-detak kencang seperti dada saya mau pecah saja saat itu.
“Belum pernah lihat, ya?” Nek Niar bertanya pada saya.
Saya menggeleng.
“Tetek Ibu kamu bagus, besar… montok…” kata Nek Niar.
“Nggak tau Nek, saya belum pernah melihat yang aslinya seperti ini punya Nenek…” jawab saya.
“Ini sih sudah kerempeng…. dulu waktu Nenek masih muda sih montok…”
“Kalo… ngentot, apa sih itu, Nek?”
“Haa.. haa… haa…” Nek Niar tertawa ngakak. “Kamu pengen, ya?”
.
“Nggak tau, Nek?”
“Lho kok kamu tanya Nenek? Dapat dari mana kamu kata itu?” tanya Nek Niar.
“Dulu waktu masih sekolah, teman-teman saya suka bilang gitu, Nek… ngentot, lu…”
“Ngentot itu, sama dengan bersetubuh… ini lho, burung kamu dimasukkan ke sini…” jawab Nek Niar menunjuk ke selangkangannya.
“O… boleh nggak Nek, saya masukin burung saya ke memek Nenek?”
“Haa… haa…” Nek Niar tertawa. “Ambil gembok sana, pintu pagar dikunci….” suruhnya. “Pintu rumah nggak apa-apa dibiarin terbuka, yang penting pintu pagarnya sudah dikunci…”
Sambil berjalan menuju ke halaman rumah untuk menggembok pintu pagar, saya berpikir-pikir, kenapa saya berani banget ya dengan Nek Niar? Bagaimana kalau ia melapor pada Ibu Endang, atau bercerita pada orang lain?
Selesai saya mengunci pintu pagar, Nek Niar masih duduk di kasur belum memakai daster. Ia balik menghadap saya yang berdiri di pinggir kasur, lalu ia menjulurkan kedua tangannya membuka celana pendek saya. Saya benar-benar tidak malu saat saya melepaskan celana pendek saya dan celana dalam saya, lalu Nek Niar mencium penis saya yang tegang.
“Besar juga barangmu, Jun…” desah Nek Niar, lalu ia melepaskan celana dalamnya.
Sekarang tubuh Nek Niar telanjang bulat di depan saya. Hilanglah segala rasa takut saya ketika Nek Niar berbaring di kasur dan membuka lebar-lebar pahanya. Bulu kemaluannya hanya tinggal sedikit dan berwarna kecoklatan.
Saya segera menindih tubuh Nek Niar yang telanjang itu. Nek Niar memegang penis saya, lalu ditusukkannya ke memeknya. “Ayo, masukin…” suruhnya sembari memegang batang penis saya.
Saya mendorong penis saya ke memek Nek Niar yang terasa sempit itu dan setelah penis saya masuk semua, Nek Niar menjauhkan tangannya dari selangkangannya. “Jangan hanya diam saja, gak enak. Ayo, goyang maju-mundur…” suruhnya.
Saya pun menarik dan mendorong penis saya ke lubang memek Nek Niar berulang-ulang. Nek Niar kemudian menyodorkan teteknya untuk saya hisap. “Enak kontolmu, Jun…. besar… ayo, goyang trusss…” suruh Nek Niar.
Karena nikmat ketika penis saya tergesek memek Nek Niar, maka saya menggoyang penis saya semakin cepat dan semakin cepat. Kenikmatan semakin menjadi-jadi di dalam tubuh saya.
Akhirnya tubuh saya mengejang. “Saya keluar, Nek… saya keluar…” teriak saya.
Nek Niar menekan memeknya kuat-kuat ke penis saya saat penis saya mengeluarkan air mani. Crooott… creeettt…. crretttt…. uuughhh…. nikmatnyaaaa…. desah saya dalam hati.
Ini to yang namanya ngentot?
Peristiwa itu tidak bisa hilang dalam sekejap dari pikiran saya. Kalau ada kesempatan saya mencoba mengajak Nek Niar ngentot lagi. Nek Niar tidak pernah menolak saya.
Sampai hari ini, sudah entah berapa kali penis saya masuk ke lubang memek Nek Niar, nggak bisa dihitung.