fantasiku.com – Cerita Dewasa Wanita Mafia Jenny Nama saya, sebut saja Ivon, saya tinggal dan bekerja di London, Inggris, di bagian administrasi sebuah perusahaan trading. Waktu itu, saya berusia 28 tahun, tinggi/berat 164 cm/41 kg, dan bentuk badan saya biasa saja, cenderung agak langsing dan tidak bertonjolan di dada dan pinggul.
Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan sisasisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim panas selama kurang lebih 2 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan senyum manis dan jawaban pendek You too! di selasela kesibukan saya menghadap ke layar monitor.
Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut saja namanya Pak Smith. Agak lama kemudian, saya mendengar ributribut di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak lagi.
Saya merasa agak takut dan mengintip dari jendela ke arah jalanan di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih uang keamanan.
Benarbenar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu adalah mereka sendiri. Tapi jika kantorkantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan halhal yang diluar perikemanusiaan. Agen Bola Terpercaya
Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Smith sedang menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak dua orang pria bertubuh tinggi besar.
Yang satu berkulit hitam legam dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas Italia, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya.
Cerita Dewasa Wanita Mafia Jenny
Namun ada seseorang lagi bersama dua orang centeng itu.
Seorang wanita berkebangsaan Asia yang kurus tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia cantik di balik kaca mata biru yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Smith sambil berkacak pinggang itu benarbenar menyebalkan dan menakutkan.
Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruanganmu! tibatiba Pak Smith memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopohgopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
Berikan langsung pada mereka! ujar Pak Smith yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, dan si wanita Asia langsung menyambarnya dari tangan saya.
Entah kenapa, tapi wanita itu tidak segera mengalihkan pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya. Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur perlahan.
Jangan mundur! bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
Lihat ke arah saya! bentaknya lagi, masih dengan bahasa Inggris beraksen British yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk nametag di dada saya dan berkata, Ivon. Hmm, Indonesian name, isnt it? tanyanya lagi, dengan nada datar.
YYes, It is. jawab saya agak terbatabata, khawatir kalaukalau ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tak kuasa melakukan apaapa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
Kalau gitu, diskon sepuluh pound deh! ujar wanita Asia itu, benarbenar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.
Wanita itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, Maaf Ivon, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri.
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak pergi. Pak Smith dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Sejenak sebelum menutup pintu, si wanita sempat melirik ke arah saya dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang saya tidak pernah mengerti.
Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya berjalan biasabiasa saja. Saya pergi ke Paris bersama keluarga saya selama seminggu, lalu kembali ke London untuk menghabiskan sisa liburan di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Indonesia mengunjungi museum Madame Tussaud. Usai melihatlihat patung lilin di museum itu, tante dan om saya naik kereta kembali ke hotel mereka, sementara saya masih berjalanjalan di Bakerstreet (tempat museum tadi berada), karena banyak teman asal Indoneisa yang menginap di apartemenapartemen sekitar situ.
Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar, saya merasa ada yang berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tibatiba ia mencolek bahu saya, Hi Ivon, lupa sama saya ya? sapanya dengan bahasa Indonesia.
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Wanita Asia yang kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi lengan saya.
Hey, jangan kabur dong! ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe pinggir jalan.
Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalaukalau dia ditemani dua orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil tertawatawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.
Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan. Maklum, di negeri orang, siapapun yang sebangsa dengan kita akan menjadi sahabat yang sangat baik, siapapun dia.
Namanya, sebut saja Jenny. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke Inggris untuk menyelesaikan S2nya, juga tentang keterlibatannya dengan para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Inggris. Ia bercitacita untuk pulang ke Indonesia, dan bekerja memanfaatkan gelar MBAnya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal pengalaman dan manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang begitu hitam dan berbahaya itu.
Kamu nggak punya boyfriend kan? tebak Jenny di sela obrolan.
Kok kamu tahu? tanya saya balik.
Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar? katanya sambil tertawa kecil.
Saya tersipu malu, menyadari bahwa tongkrongan saya memang terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda dengan Jenny yang tampaknya ceplasceplos dan tidak kenal takut atau malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dengan sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja dikenalnya. Diamdiam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang putri mafia (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.
Tanpa terasa hari mulai malam, dan Jenny mengajak saya meninggalkan kafe. Karena apartemen saya agak jauh, ia menyarankan saya untuk tinggal di apartemennya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalanjalan yang saya belum pernah lewati, daerahdaerah lampu merah, daerah kumuh, dan daerah pusat hiburan malam. Benarbenar sisi lain dari London yang tidak pernah saya lihat, meski saya sudah menetap disini selama 3 tahun.
Nggak usah takut, Von. katanya sambil melangkah cepat, Kita aman di daerah sini.
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat priapria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba. Wanitawanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak tahu namanya itu. Namun Jenny berjalan dengan cuek, sambil sesekali menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang macam apa sebenarnya teman saya ini.
Akhirnya kami sampai di apartemennya. Sebuah apartemen yang dari luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya, semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga ponsel (yang pada tahun itu belum begitu populer). Satu hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping ponselnya.
Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Jenny menanggalkan celana panjang dan raincoatnya.
Sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ. Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolaholah sudah sangat akrab dengan saya. Diamdiam saya iri melihat tubuhnya yang ramping dan cukup jangkung untuk ukuran Indo, sangat menarik. Saya kira tidak akan ada pria ataupun wanita yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat berada di tempat umum.
Ngeliatin apa, Von? tanyanya membuat saya tersipu.
Ngeliatin badan kamu. jawab saya mencoba untuk tidak malu, Bagus banget.
Hihihi. ia tertawa kecil, Kamu juga sexy kok.
Terus terang, saya kegeeran juga mendengar pujiannya.Apalagi setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalamdalam sambil menyunggingkan senyum aneh.
Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Dengan waswas saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di situ. Tibatiba dia sudah ada di hadapan saya.
Mana gelasnya? bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
Kamu manis sekali, Von. bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus tujuh.
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.
Mulamula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Jenny adalah seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk sesama wanita. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, Jangan takut, Von. Nikmati saja.
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.
Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya yang terletak di bagian belakang, sampai punggung saya benarbenar terbuka di hadapannya. Dengan lembut juga ia melepaskan kaitan BH di punggung saya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung saya. Hangat dan lembut.
Punggung kamu halus sekali, Von. bisiknya, Pasti kamu rawat dengan baik, ya? Hmm?
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus dan panjang sebahu, disibakkannya ke samping, lalu lagilagi ia memuji saya, Tengkuk kamu bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah sekalipun berpacaran.
Ciumannya menjalar kemanamana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai merabaraba ke balik baju saya, mengeluselus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan katakata indah memuji keindahan tubuh saya. Katakatanya membuat perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder dengan tubuh saya yang kurus.
Lidahnya menjilatjilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya. Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu membuat Jenny makin bersemangat. Ia melucuti baju dan BH saya hingga tubuh bagian atas saya benarbenar telanjang. Ia menyuruh saya berdiri dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.
Di bawah sinar lampu yang terang benderang, saya berdiri setengah telanjang di hadapan seorang wanita yang baru saja saya kenal tadi siang. Wanita mafia pula! Namun entah kenapa, saya menikmati permainannya, saya menikmati tatapannya yang lekat ke sekujur tubuh saya.
Bola matanya tampak tajam menatap dua buah dada saya. Seharusnya saya merasa malu, namun saya malah menegakkan tubuh, membusungkan dada, hingga Jenny bebas menikmati keindahan dua susu saya yang berwarna lebih terang dibandingkan tubuh saya yang sawomatang, lengkap dengan dua putingnya yang coklat tua.
Jenny terbaring miring di ranjangnya dengan pose yang amat merangsang. Garis pinggulnya tampak begitu indah, pahanya yang mulus dan putih bersih begitu panjang dan menggoda. Kaosnya oblongnya agak tersingkap ke atas, membuat perutnya yang indah mengintip nakal. Celana dalam yang dipakainya pun hitam transparan menunjukkan rambutrambut halus di selangkangannya. Matanya meredup dan bibir basahnya berbisik agar saya kembali naik ke ranjang.
Kamu cantik sekali Von. bisiknya lagi saat saya menelentangkan diri di ranjang.
Kamu juga, Jen. saya sudah mulai berani menjawab.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, lalu mulutmulut kami berciuman dengan mesra. Saat itulah saya pertama kali berciuman, merasakan lidahnya masuk ke mulut saya, menjilat dan menghisaphisap bibir bawah saya, mm, nyaman sekali.
Bibirnya lalu melepaskan bibir saya dan beranjak menuruni rahang dan leher saya. Lidahnya yang hangat berputarputar di pangkal susu saya, membuat saya kegelian. Tangan saya membelaibelai rambutnya yang lurus dan pendek seleher.
Entah kenapa, tapi saya merasakan hal yang berbeda. Saya merasa dikagumi, diperhatikan, dan dicintai. Sebuah perasaan yang tidak pernah saya dapatkan dari siapapun kecuali orang tua saya. Namun kali ini rasanya benarbenar lain.
Von, susu kamu indah sekali. bisiknya dengan suara setengah merintih.
Ciumin dong Jen. pinta saya tidak sabar.
Haa, kamu udah pengen ya? godanya.
Kok tau sih? jawab saya kembali menggoda.
Pentil kamu udah tegang gini. jawabnya cuek sambil menatap ke dua puting susu saya.
Saya mengangkat kepala untuk melihat ke susu saya, dan benar, kedua puting ini tampak berdiri meruncing. Saya tersipu malu. Namun Jenny segera menangkap puting susu saya dengan mulutnya.
Engghh.. saya langsung mengerang sambil menggelinjang ketika puting susu saya dihisapnya.
Saya mendongakkan kepala, merem melek dan mengerangngerang. Aduhh, puting susu saya rasanya begitu nikmat. Saya tidak tahu apa yang Jenny lakukan, namun kedua puting saya tidak henti merasakan belaian lembut dan hisapanhisapan halus.
Rasa nikmatnya mengalir ke seluruh badan sampai rasanya seperti lemas dan pasrah padanya. Ohh, benarbenar mabuk kepayang. Betapa tidak, rasanya nikmaat sekali. (Mengetikkan cerita ini saja membuat dua puting susu saya terangsang lagi mengingat rasanya).
Entah berapa lama Jenny memainkan susu saya, tapi rasanya seperti bertahuntahun terperangkap dalam rasa nikmat. Sampaisampai vagina saya terasa gatal dan mengeluarkan cairannya. Padahal hanya susu saya saja yang dimainkannya. Aduhh, Jenny benarbenar mengerti bagaimana menaklukkan seorang wanita innocent seperti saya ini.
Ia terus mengulum, menjilat, dan menghisap, dan entah ngapain lagi di kedua puting saya ini, yang jelas saya begitu menikmatinya. Sampai saya mencengkeram tengkuknya agar mulutnya tidak lari dari puting saya. Mata saya kiarkier menahan nikmat, mulut saya terus mengerangngerang keenakan.
Uhh, Ohh.. Ahh.. Jennyy.. Aduhh.. enaknyaa.. Ohh..
Jenny seperti tidak perduli, ia terus saja membuat kedua puting ini merasakan rangsangan luar biasa. Badan saya menggelinjanggelinjang hebat, punggung saya terangkatangkat dari ranjang karena tidak kuat menahan enaknya permainan ini. Tibatiba Jenny berhenti. Saya terengahengah lemas, dua susu saya terasa menyesak dan berat.
Von.. Oi, buka mata kamu, Von..! ujar Jenny sambil masih memilinmilin puting saya.
Saya membuka mata dan susah payah mengangkat kepala melihat ke arah dada saya. Astaga! Putingputing saya yang selama ini coklat tua, kini jadi berwarna merah daging, dan begitu besar. Tidak pernah saya melihat puting saya sendiri berdiri begitu tingginya. Dua susu saya pun terasa agak membengkak.
Ohh, Jenny.. kamu apain susuku..? desah saya naif.
Belum pernah ya? bisiknya menggoda, Tapi enak kan?
Saya mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum. Tangan saya meraih susunya dari balik kaos, tapi ia menepiskannya.
Eits, mau balas dendam ya? Nggak boleh! godanya nakal.
God, saya merasa jatuh cinta padanya, pada kenakalannya, pada kedewasaannya.
Tanpa banyak bicara, Jenny lalu melucuti celana dan celana dalam saya. Sudah tidak ada lagi rasa takut, malu, atau risih di hadapannya, malah saya merasa tidak sabar menanti permainan berikutnya. Dilemparkannya celana panjang saya jauhjauh. Lalu ia menciumi paha saya.
Wow, paha kamu halus banget! Aku jadi iri! ujarnya sambil menciumi.
Saya agak malu, karena paha dan kakinya jelasjelas lebih panjang dan lebih indah.
Kangkangin dong, aku pengen lihat lebih jauh! katanya lagi.
Saya mengangkangkan paha saya lebarlebar, membiarkannya melihat jelasjelas kemaluan saya. Saya agak heran melihatnya menggelenggelengkan wajah cantiknya sambil menatap kemaluan saya.
Kenapa, Jen? tanya saya ragu.
Aghh.. saya terhenyak sedikit ketika ia mencolek kemaluan saya.
Lihat nih! Jenny menunjukkan jarinya yang dibasahi oleh lendir kental bening, banyak sekali, Kamu udah terangsang banget ya, Von?
Gimana nggak terangsang? tanya saya balik, Abis kamu gituin sih.
Jenny tersenyum sekilas, lalu membenamkan wajahnya di selangkangan saya. Dan saat itulah saya merasakan hal terindah dalam hidup saya.
Ngghh.. Jennyy.. saya memekik keras menyebutkan namanya saat Jenny mulai menggerakkan lidah dan bibirnya di kemaluan saya.
Ohh, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah sana, tapi rasanya sungguh nikmat. Saya terhentakhentak merasakannya, wajah saya meringis keenakan, menggeliatgeliat untuk menahan rasa nikmat yang luar biasa ini. Saya seperti bingung, berusaha meraih dan mencengkeram apapun yang dapat saya raih, sprei, bantal, tiang ranjang, apapun. Sementara mulut Jenny di bawah sana mengeluarkan bunyi berkecipak.
Kemaluan saya terasa seperti digosok keraskeras oleh benda lunak dan lembab, enak sekali. Tiap gesekannya terasa nyetrum ke seluruh badan ini. Kepala saya terangkatangkat dari ranjang, paha saya menghimpit kepala Jenny. Tiak lama kemudian, Jenny memasukkan jarinya ke lubang kemaluan saya. Uhh, pada saat yang sama, saya mencapai klimaks kenikmatan.
Aduhh Jennyy.. Oughh.. serasa ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, begitu deras dan nikmat.
Saya sampai meremas sendiri dua susu saya untuk menambah kenikmatan, hingga semuanya sempurna. Lalu saya merasa lemas sekali.
Terkulai dan terengahengah kelelahan. Saya memejamkan mata, menikmati sisasisa orgasme pertama yang saya rasakan. Terasa Jenny meninggalkan ranjang, mengecup kening saya, lalu saya tertidur di tengah kenikmatan maha dahsyat ini.
Pagi berikutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang begitu nikmat. Badan terasa segar dan nyaman, meski kedua kaki saya terasa agak pegal. Saya bangkit duduk, dan cepatcepat menarik selimut untuk menutupi badan telanjang saya.
Betapa tidak, di ruangan itu, Jenny tidak sendiri bersama saya. Wanita itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria berwajah Italia. Bukan salah satu dari centengnya kemarin, tapi seorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang rapih.
Wah, pacarmu sudah bangun rupanya. ujar si pria Italia saat melihat saya terjaga.
Ya, dan itu berarti waktumu untuk pergi. jawab Jenny dengan dialek British yang amat sempurna.
Oke, aku pergi. jawab pria Italia itu sambil tersenyum.
Hey, suatu saat aku ingin bertukar tempat denganmu! seru pria itu sambil menatap ke arah saya dengan senyuman ramah. Kalau aku mau, nanti malam juga bisa! canda Jenny sambil menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.
Aku agak tertegun setengah marah mengetahui Jenny membiarkan orang lain masuk ruangan saat aku masih tertidur dalam kondisi telanjang bulat. Namun aku seperti tidak tega mengutarakan perasaan itu. Aku melihat Jenny membawa nampan berisi sarapan pagi ke dekat ranjang dan mempersilakanku makan. Aku menurut saja, karena memang permainan semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bersandar di dinding sambil melihatku makan.
Pagi itu ia tampak segar dan cantik. Rambutnya yang pendek seleher diikat ke belakang hingga tengkuknya yang jenjang terlihat begitu indah. Ia mengenakan kaos TShirt hijau tua dan celana pendek putih, memamerkan kakikakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan tatapan bahagia. Sejujurnya, aku amat terharu dengan sikap manisnya padaku.
Von.. ujarnya lirih.
Kenapa, Jen?
Maaf ya, semalam aku kurang ajar sama kamu. sambungnya, Maaf juga soalnya aku biarin temanku tadi masuk.
Nggak apaapa Jen. jawab saya berusaha maklum, Semalam itu.. indah sekali.
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, dan bersahabat. Namun.., hanya itu. Senyuman seorang sahabat, bukannya senyuman mesra seorang kekasih. Melihat senyumnya, saya merasa agak patah hati juga, karena sudah merasa jatuh cinta kepadanya. Saya terdiam, dan tanpa sadar air mata mengalir di pipi saya.
Aku tahu apa yang ada di hati kamu, Von. ujar Jenny membaca situasi.
Tapi aku juga ngerti, kamu nggak mungkin bisa hidup bareng aku. lanjutnya lagi.
Ia lalu melangkah menghampiri saya dan mengangkat nampan sarapan pagi dari pangkuan saya. Setelah meletakkan nampan itu di meja, ia kembali naik ke ranjang di sisi saya.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Aku sayang sama kamu, kok! ujarnya sambil mengecup kening saya, Itu sebabnya aku nggak ingin kamu terlibat jauh di hidupku.
Saya memeluknya eraterat, tanpa tahu harus berkata apa pada seorang yang baru saja memerawani saya ini.
Kamu ngerti maksudku kan? tanyanya lagi dengan penuh harap.
Semula saya merasa sedih. Saya benarbenar ingin melewatkan hidup saya bersamanya terus. Tidak pernah ada orang yang membuat saya merasa begitu aman, tenang, nyaman, dan membuat saya merasa begitu dicintai dan dikagumi.
Hanya dia, Jenny, yang memberikan semuanya pada saya. Namun saya melihat sekeliling, lemari pakaiannya kebetulan terbuka, memamerkan gaungaunnya yang mahal dan berwarna warni, sederet sepatu yang menjadi impian tiap wanita, laptop dan ponsel yang menunjukkan tingkat kemapanan hidupnya, lalu.. ah.. pistol keperakan itu.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Bagaimana saya dapat hidup damai dan bermesraan dengan seorang yang berkeliaran di loronglorong gelap London dengan menenteng pistol kemanamana? Yang bergaul dengan premanpreman dan penjahat? Yang dengan entengnya mengobrakabrik kantor atau toko seseorang karena telat membayar tagihan? Semuanya berkecamuk dalam otak saya.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Namun, hey. Ivon sekarang sudah dewasa! Pikir saya. Sekarang saya lebih percaya diri, dan sadar bahwa hidup ini indah dan tidak menakutkan. Mungkin saya bisa setegar Jenny, atau lebih dari dia? Mungkin juga saya dapat menemukan peluang lain yang membuat hidup saya lebih berarti daripada sekedar karyawan admin di sebuah perusahaan kecil? Rasa cinta dan kagum bercampur dengan haru dan terimakasih berkecamuk di dada saya. Namun saya juga sadar, jika saya harus melanjutkan kehidupan saya tanpa Jenny.
Hey, cool dong! hiburnya, Kita bisa ketemu lagi kapankapan kalau kamu mau. Saat liburan kayak gini kan bisa juga?
Saya mencoba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan nakal juga. Isengiseng saya meraih dan meremas susunya yang kanan, sambil menjentikjentik putingnya dari balik bajunya. Jenny menatap saya. Pelanpelan matanya meredup, lalu setengah memejam. Saya melepaskan susunya dari tangan saya.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Kok berhenti? tanyanya sambil kembali membuka mata.
Emang boleh? tanya saya.
Kenapa enggak? tanya Jenny balik sambil melucuti pakaiannya sendiri.
Jenny segera telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah sekali tubuhnya, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Kakinya panjang indah, begitupula lehernya. Wajahnya amat cantik, berkesan cerdas namun dingin. Kedua buah susunya tidak besar, namun kencang dan indah.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Putingputingnya berwarna merah jambu kecoklatan, dan tampak agak terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di sisi ranjang, wajah saya tepat menghadap ke dua putingnya. Tanpa banyak basabasi, saya mendekap pinggangnya, dan mengisap puting susunya. Mmm.., puting susu hangat itu terasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisaphisap. Cerita Dewasa Wanita Mafia
Terdengar rintih erangan Jenny setiap kali lidah saya menyentuh puting itu. Terasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut saya. Kami berbagi kehangatan dengan sangat mesra pagi itu, dan kejadian itu sempat terulang beberapa kali lagi di harihari setelahnya, sampai kemudian saya mendapati apartemennya kosong dan teleponnya tidak diangkat.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Ia benarbenar telah pergi jauh dari kehidupan saya. Mungkinkah ia telah mencapai citacitanya? Mungkinkah ia sudah berada 2 meter di bawah tanah? Saya tidak tahu. Saya tetap akan mengenangnya, karena dia adalah yang pertama bagi saya.Cerita Dewasa Wanita Mafia
Kisah Seks,Cerita Sex,Cerita Panas,Cerita Bokep,Cerita Hot,Cerita Mesum,Cerita Dewasa,Cerita Ngentot,Cerita Sex Bergambar,Cerita ABG,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Pasutri,Cerita Dewasa Wanita Mafia
The post Cerita Dewasa Wanita Mafia Jenny appeared first on fantasiku.com .