Cerita mesum: Aku dipuaskan oleh ibu penyapu taman

Author:

Sebagai seorang sales, saya selalu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain. mau cuaca panas atau cuaca hujan, bagi seorang sales sudah lumrah menghadapinya.

Pada suatu siang yang panas terik setelah berkeliling ke beberapa tempat saya mampir di sebuah taman kota bermaksud ingin duduk beristirahat. Saya mencari tempat duduk.

Setelah mendapatkan tempat duduk, saya duduk lalu bersandar di sebuah bangku besi yang catnya sudah ngelotok, saya mengeluarkan roti dan sekotak minuman teh dingin yang saya beli di sebuah mini market.

Sambil saya mengunyah roti datang seorang wanita menyeret keranjang sampah. Wanita ini tukang sapu taman dilihat dari seragam yang dipakainya. Seluruh kepalanya tertutup kain hitam ditambah dengan sebuah topi anyaman yang lebar, sehingga yang terlihat hanya wajahnya saja yang kucel dan hitam sering terbakar sinar matahari.

Tubuhnya agak gemuk dan saya perkirakan umurnya sekitar 40 tahunan. Sejenak dia menatap minuman teh kotak dingin yang saya letakkan di bangku. Teh itu belum saya minum.

Seketika saya teringat di dalam ransel saya, saya membawa minuman, lalu saya mencoba menawarkan teh kotak dingin itu pada si ibu penyapu taman tadi.

“Ibu mau? Ambil saja.” kata saya mengangkat teh kotak tersebut memberikan padanya.

Dia tidak curiga pada saya, karena dari tampang saya pasti dia tahu bahwa saya bukan tukang tipu. Lagi pula apa yang bisa ditipu dari seorang penyapu taman?

Dia menerima minuman yang saya sodorkan padanya. Lalu dia duduk di tepi jalan setapak yang tersusun dari conblok minum miniuman dingin itu.

Rasanya minuman dingin itu begitu segar bagi kerongkongannya, sampai berbunyi kerongkongannya saat dia menelan minuman itu. Glekk… glekk… glekk…

Karena dia duduk tidak jauh dari tempat duduk saya dan saya masih bisa berbicara dengannya, lalu saya bertanya padanya. “Kerja disini ya, Bu?”

“Iya, Dek.” jawabnya.

“Sudah lama Ibu kerjanya di sini, ya?”

“Sudah 3

tahun, Dek. Habis mau kerja apa? Ibu banyak anak…” keluhnya.

Biasa, orang-orang seperti si ibu ini mengeluhnya.

“Ibu sendiri ya yang bekerja di taman seluas ini apa dibantu teman?” tanya saya seperti seorang wartawan. Maklum, sales. He.. he..

“O… nggak, temen saya ada tiga. Di utara sana ada satu, di selatan satu, saya yang bagian tengah. Tamannya luas sekali, Dek…” jelasnya.

“Kalau malam, banyak yang pacaran disini ya, Bu?”

“Iya, kebanyakan anak muda….”

“Itu…. mmm… wanita itu… operasi di sini juga ya, Bu?”

“Kebanyakan waria Dek, di ujung sana.” tunjuknya. “Wanitanya gak ada yang berani, pasti diusir sama bencong-bencong galak itu. Adek mau cari wanita, ya?”

“O… nggak Bu, maaf… saya hanya numpang duduk istirahat di sini… biasanya berapa sih, Bu?” tanyaku iseng.

“Nggak tau, seratus apa dua ratus kali…”

“Rumah Ibu di dekat taman ini?”

“Nggak, Dek. Rumah saya jauh dari sini. Nanti dijemput sama suami kalau sudah selesai kerja…”

“Suami Ibu kerja di sini juga?”

“Nggak, dia jadi tukang parkir di pasar…”

“Anak Ibu sudah ada yang kerja?”

“Belum. Yang besar baru mau lulus dari SMK tahun ini…”

“Bersyukur, anak Ibu masih bisa sekolah, ya…” kata saya.

“Ya Dek…”

“Sudah ya Bu, saya mau jalan…”

naik motor atau mobil, Dek?” pertanyaannya seperti menyelidiki saya.

“Motor Bu, pekerjaan saya keliling… sales, nggak bisa naik mobil…”

“He.. he..” si Ibu tertawa menyeringai. “Kalau Adek mau cari wanita… itu… dari sini lurusss… belok ke kiri…”

“Saya mau sama Ibu, bagaimana?” jawab saya langsung tembak.

“Mmmm… Adek mau kasih berapa?” tawar menawarpun terjadi.

“Harga yang tadi…”

“Duaratus?”

“Seratus lima puluh, bagaimana?” jawab saya mengeluarkan dompet saya.

Tetapi tidak saya berikan sesuai dengan tawaran saya, karena di dalam dompet saya duit saya lebih dari nilai yang saya tawarkan. Maka itu saya memberikan ibu ini lebih.

Si ibu bingung, tadi tawarnya segini, memberinya segitu.

Jujur, saya langsung memperlihatkan isì dompet saya pada si ibu. Dia tertawa dengan kepolosan dan kejujuran saya…

Mungkin, ini adalah tawanya yang paling renyah sepanjang hidupnya. Lepas, polos dan senang tanpa ditahan-tahan.

Saya duduk kembali di bangku dengan jantung berdebar.

Sesiang ini bisa dapat ikan…. tanpa saya mancing dengan susah payah, batin saya.

Si ibu melepaskan topinya dan penutup wajahnya lalu dimasukkannya ke dalam keranjang sampah. Wajahnya tetap sama seperti yang tadi saya lihat. Wajah yang kelelahan. Dan rambutnya dikonde.

Setelah itu si ibu duduk di samping saya menengok ke kiri dan ke kanan.

Setelah dirasakannya aman, dia membuka ritsleting celana panjang saya mengeluarkan penis saya dari celana dalam saya.

Karena penis saya sudah tegang, langsung dia kocok. Sekali-sekali matanya memperhatikan sekeliling.

Memang terasa tidak nikmat yang mengocok tanpa konsentrasi, tetapi di sinilah terletak seninya. Mengocok di alam terbuka, di siang hari panas terik pula.

Saya menjulurkan tangan saya menggenggam tetek si ibu yang besar dari luar baju dinasnya.

Si ibu tau saya kesulitan memegang teteknya. Dia membuka kancing bajunya sebanyak 3 buah, lalu dia mengeluarkan teteknya dari kutangnya yang sudah kumal.

Puting teteknya berwarna hitam dan besar, begitu pula bulatan yang mengelilingi putingnya, atau aerolanya, lebar berwarna hitam.

Saya hisap puting tetek si ibu tidak peduli tubuhnya berbau berkeringat. Sementara itu dia memperhatikan sekeliling.

Lalu dia memasukkan penis saya ke dalam mulutnya. Kemudian hanya dikulumnya saja.

Tanggung….

Sayapun menggerakkan kepalanya naik-turun sampai dia bisa sendiri mengocok penis saya dengan mulutnya, saya baru melepaskannya untuk mengocok sendiri.

“Bu, sudah mau keluar…” kata saya.

Si ibu mengeluarkan penis saya dari mulutnya. “Nggak ada tempat main ya, Bu?” tanya saya.

Si ibu menunjukkan saya tempat di dalam taman. Si ibu menyuruh saya berjalan dulu ke sana.

“Sepeda motor saya nggak apa-apa ditaroh di tepi jalan kan, Bu?” tanya saya.

“Nggak apa-apa sih,

disini belum pernah ada orang yang kehilangan motor…” jawabnya.

Saya menulusuri jalan setapak yang tersusun dari conblok. Dari belakang si ibu mengikuti saya sambil menyeret keranjang sampahnya. Dia mendahului saya berjalan, dia masuk ke semak-semak.

Merasa cukup aman, dia membuka sarung yang dia ambil dari keranjang sampahnya, lalu dia menghamparkan di atas rerumputan.

Setelah itu diapun melepaskan celana panjangnya dengan celana dalamnya.

Si ibu ini seperti berprofesi ganda menurut saya. Dia tidak merasa malu memperlihatkan tubuh telanjangnya pada saya dengan berbaring di kain yang dia hamparkan di atas rumput, atau karena pemberian saya lebih dari yang dia minta, sehingga dia bebas dengan saya memberikan semua yang dia miliki?

Saya tidak melepaskan celana panjang saya. Hanya menurunkannya sampai ke paha saja, saya menindih tubuh telanjang si ibu sambil menggenggam batang penis saya yang tegang, saya tekan batang keras itu ke lubang memeknya.

Di awal lubang di selangkangan si ibu ini agak seret dan sempit, akan tetapi sewaktu batang penis itu saya dorong lebih kuat lagi, blleesss…

Batang penis saya langsung terkubur semuanya di dalam lubang memek si ibu. Dan pada saat saya menggerakkan penis saya keluar-masuk, lubang itu terasa licin dan basah.

“Ibu sudah sering begitu di sini, ya?” tanya saya.

“Nggak… berani sumpah, Dek… temen saya, dia sudah nggak punya suami, jadi dia jualan di sini sebelum bencong-bencong itu datang…”

Saya masih terus menggoyang pantat saya naik-turun. Sejurus kemudian saya percepat memompa lubang memek si ibu dengan kecepatan tinggi. Plokkk.. plokkk.. plokkk….

“Oohhh… ahhhh…. aaahhh… ahhhh.. ahhh…” jeritnya dengan suara tertahan-tahan.

Crooottt… crrooottt… crrooott… crroott… nikmat sekali….

Saya tarik penis saya keluar, si ibu segera bangun melap memeknya dengan sarung, sementara saya diberikannya botol air minum untuk membersihkan penis saya yang bau amis memeknya.

“Setiap hari Ibu di sini…?” tanya saya.

“Kalau Adek mau ke sini lagi, jangan pagi, saya

sibuk…. sebaiknya siang kayak gini aja, saya sudah nggak ada kerjaan….”

Jadilah saya pelanggan tetap si ibu ini seminggu sekali, kadang dua kali… memang saya harus merogoh saku celana saya lebih dalam. Tetapi berhubung tidak ada penyakit selama saya berhubungan intim dengannya, dan kenikmatan yang si ibu berikan pada saya lebih daripada yang saya berikan padanya dengan tulus saya memberikan padanya.

Saya menikmati tubuh si ibu penyapu taman ini selama 5 bulan.

Kata temannya sewaktu saya bertanya, katanya si ibu itu hamil, suaminya tidak membolehkan si ibu ini kerja, takut ia keguguran.