Seandainya saja pagi atau sore hari aku melewati jalan ini, tentu keindahan pantai Pasir Putih di Jalur Pantura Jawa Timur bisa sedikit kunikmati untuk menyegarkan mata yang sudah mulai terasa mengantuk.
Pantai yang terletak di antara Kota Probolinggo dan Situbondo ini telah menjadi salah satu tujuan wisata di Provinsi Jawa Timur.
Banyaknya rumah makan dan toko cindera mata di sepanjang jalan dapat menjadi alternatif tempat beristirahat bagi para pelintas dari Jawa yang menuju ke Pulau Bali ataupun sebaliknya.
Deru mesin diesel Pajero hitamku menggeram perlahan menembus sunyinya malam. Kujaga kecepatan dengan konstan.
Samar di lautan, pendar lampu perahu nelayan terlihat seperti kunang-kunang. Selalu ada doa dan harap yang memancar dari setiap perahu agar penguasa laut berbaik hati memberikan berkahnya malam ini. Tangkapan ikan atau udang yang berlimpah tentu menjadi harapan setiap nelayan yang melaut.
Mengemudi seorang diri tanpa kawan yang menemani selain menimbulkan sepi, rasa kantuk pun kerap menghampiri. Untuk menangkalnya aku mengambil sebatang rokok mild kegemaranku dan menyalakannya. AC mobil sengaja kumatikan, Jendela serta sunroof mobil kubuka. Seketika semilir angin malam yang dingin menyergap kabin mobil, diimbuhi aroma laut yang khas langsung menggelitik indera penciuman. Segar rasanya.
Kepulan asap rokok yang kuhembuskan, berpadu sempurna dengan irama deburan ombak yang berkejaran membelai pasir pantai. Sebuah kombinasi simfoni yang menentramkan jiwa.
Sekilas kulirik Jam digital di dashboard mobil, sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Hampir 5 jam aku berkendara dari kota Malang seusai bertemu dengan beberapa suplier langgananku. Perut mulai terasa keroncongan. Baru teringat, ternyata sejak siang tadi, belum ada sedikitpun asupan makanan yang menghampiri sistem pencernaanku.
Mata langsung menelisik ke kiri dan kanan jalan, mencari sekiranya masih ada warung atau rumah makan yang masih buka.
Tak berapa lama, tak jauh di depan kudapati sebuah warung makan yang masih terang benderang. Tidak terlalu besar tapi mudah-mudahan makanan yang disajikan nanti bisa meredakan penghuni perutku yang sudah mulai protes, sekaligus beristirahat sejenak meluruskan pinggang yang terasa pegal.
Kutepikan mobilku dan parkir di halaman rumah makan. Area parkirnya tidak luas mungkin hanya bisa menampung sekitar tiga mobil berjajar.
Di depanku ada sebuah mobil sejenis Carry yang sedang parkir. Kulihat pengemudinya membuka jok depan, sepertinya sedang memperbaiki sesuatu di bagian mesin.
Aku pun beranjak masuk ke dalam warung. Seorang bapak tua berusia sekitar lima puluh tahunan menyapaku ramah.
“Selamat datang pak, silahkan silahkan.”
Aku tersenyum dan mengangguk takjim menanggapi sapaan bapak tua itu. Aku lantas memilih meja di bagian dalam, dan duduk menghadap ke arah jalan.
“Mau pesan apa pak?”
Bapak tua yang sepertinya pemilik warung menanyakan makanan apa yang ingin ku pesan sembari memberikan daftar menu sederhana yang dipegangnya.
Aku pun sejenak membaca daftar menu tersebut.
“Saya pesan nasi goreng spesial, telurnya didadar dan minumnya teh manis hangat saja pak.”
“Baik pak, ada lagi kira-kira?”
“Enggak pak, itu saja.”
“Baik. Silakan ditunggu nggih.”
Bapak itu kemudian berlalu ke arah dapur dan segera memyiapkan pesananku.
Mataku berkeliling menelusuri suasana warung. Selang tiga meja dari tempatku berada, agak lebih ke depan dekat jendela, Kulihat seorang ibu muda dengan kedua orang anak yang masih kecil tengah tertidur tertelungkup di atas meja. Wajah wanita itu terlihat lelah, matanya sedikit terpejam.
“Pasti wanita dan anak-anak itu keluarga dari bapak yang sedang membetulkan mobil di depan,” batinku.
Di bawah penerangan cahaya lampu neon, kuperhatikan wanita itu dengan seksama. Wajahnya ternyata cukup menarik, kulitnya putih dan hidungnya lumayan bangir. Usianya kuperkirakan sekitar awal tigapuluhan. Wanita itu mengenakan baju gamis berwarna off white polos serta jilbab lebar berwarna putih bermotif kembang-kembang. Paduan yang senada.
Selagi asyik memperhatikan ke-ayu-an wajahnya, wanita itu tampaknya sadar sedang kuperhatikan, Ia menoleh kepadaku. Pandangan mata kami beradu beberapa saat, namun bukan aku namanya jika lantas gugup dan mati gaya saat terpergok memandangi seorang wanita, Aku sedikit menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Walau tampak kikuk, Wanita itu pun melakukan hal yang sama, mengangguk dan tersenyum manis. Sebentuk lesung pipit tercipta ketika ia tersenyum, menghiasi kedua pipinya, menambah kecantikan alami wajahnya.
Tak berapa lama, bapak pemilik warung membawakan pesanan teh hangatku dan sapaannya membuyarkan aktifitasku yang tengah mengaggumi indahnya ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta
“Ini teh hangatnya dulu pak, nasi gorengnya masih menunggu,” ujarnya.
“Iya pak, terima kasih,” jawabku.
Aku pun menyeruput teh manis hangat tadi. Sedikit mengobati dahagaku.
Aku teringat handphone dan dompetku ternyata masih tertinggal di dalam mobil, akupun segera beranjak menuju mobil untuk mengambilnya.
Setelahnya, aku tidak segera kembali masuk ke dalam warung. Kunyalakan sebatang rokok sambil menuju tempat bapak yang sedang membetulkan mobilnya. Kulihat bapak itu sedang berdiri dan menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Aku pun menyapanya, “Assalamualaikum, Mobilnya kenapa pak?”
“Waalaikumussalam, Oh ini pak, saya gak ngerti tapi tadi sempat mati-mati mesinnya di jalan. Didiamkan sebentar lalu bisa nyala lagi.”
“Saya gak ngerti mesin jadi saya bingung memperbaikinya,” Lanjut bapak itu.
“Sebelum mesin mati, tanda-tandanya seperti apa pak?” Aku lanjut bertanya lagi.
Walau aku bukan mekanik, tapi sedikit banyak aku paham soal mesin. Siapa tahu pengetahuan otomotifku yang alakadarnya bisa sedikit membantu kesulitan bapak ini dan keluarganya.
Bapak itu lalu menerangkan kejadian yang ia ingat sebelum mobilnya mogok.
“Oh sepertinya itu kena alternator atau dinamo staternya pak, jadi suplai listriknya gak sempurna, berpengaruh ke pengapian dan pasokan bahan bakarnya.”
Aku sedikit menyimpulkan problem yang terjadi pada mesin mobilnya.
“Oh begitu ya pak. Saya juga kurang paham, ini mobil saya pinjam dari pakde saya.”
“Bapak dari mana dan mau ke mana,” aku kembali bertanya padanya.
“Saya dari Nganjuk menuju Lombok pak.”
“Wah masih jauh,” ujarku.
“Iya, saya tinggal di Lombok, ini habis dari Nganjuk menengok ibu saya yang sedang sakit.” Ia menerangkan perihal perjalanannya.
“Kalau bapak menuju ke mana?” Ia balik bertanya kepadaku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan bapak tadi, kulihat istrinya, wanita yang tadi sempat kukagumi parasnya yang elok, keluar dari dalam warung dan menghampiri kami yang tengah berdiri.
“Assalamualaikum.” ia mengucapkan salam dengan takzim.
Suaranya begitu merdu terdengar di telingaku, kombinasi yang sempurna, bersanding dengan parasnya.
“Waalaikumussalam.” aku dan bapak tadi menjawab salamnya bersamaan.
“Bagaimana Abi, mobilnya sudah bisa nyala lagi?” tanya wanita itu pada suaminya.
“Belum tau Umi, belum Abi coba.”
“Ya sudah dicoba dulu Abi, ini sudah malam, perjalanan kita masih jauh.”
Suaminya segera menuju sisi pengemudi dan mencoba menstater mobilnya.
Walau agak tersendat tapi akhirnya mobil itu dapat menyala kembali.
“Apa tidak dilanjutkan besok pagi saja bapak dan ibu perjalanannya, Sambil mencoba mencari bengkel dan memastikan kondisi mobilnya aman digunakan.” Aku mencoba memberikan saran.
Istrinya tampak mengangguk dan sepertinya menyetujui saranku sebelum suaminya memotong.
“Perjalanan kita masih jauh pak takut telat sampai Lombok karena lusa anak-anak sudah harus masuk sekolah lagi.” Suaminya menolak saranku.
“Oh ya sudah, mudah-mudahan mobilnya aman sampai Lombok ya pak.”
Amiinn,” keduanya menjawab kompak.
Doa yang tampaknya tidak terkabul nantinya.
Wanita yang dipanggil Umi itu pun masuk kembali ke warung dan membangunkan anak-anaknya untuk memulai perjalanan kembali.
Pasangan suami istri itu pun menyempatkan diri untuk berpamitan kepadaku sebelum melanjutkan perjalanannya.
“Kami duluan jalan ya pak,” ujar bapak itu sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikumussalam, hati-hati ya bapak ibu.”
Mereka pun kemudian berlalu.
Sambil mulai menyantap pesanan nasi goreng spesialku yang tertunda, kulihat mobil keluarga itu mulai melaju perlahan menembus gelapnya jalur pantura Jawa Timur.
Dengan lahap aku menikmati nasi goreng pesananku yang ternyata sangat enak Entah karena perutku yang memang sedang lapar atau memang nasi goreng ini beneran nikmat.
Sambil terus menyuap sesendok demi sesendok, aku pun membatin.
Bapak tadi kutaksir usianya di atasku hampir lima puluh tahunan, perawakannya kecil, berkacamata dan berjanggut tipis. Penampilannya agak kuno dengan baju koko dan peci bersanding di kepalanya. photomemek.com Kalo dari penampilannya aku sedikit bisa menerka bahwa profesi bapak itu seorang Ustadz atau minimal guru agama. Berbanding terbalik dengan istrinya yang di panggil Umi, istrinya begitu muda dan cantik. Bahkan posturnya sedikit lebih tinggi dibanding bapak itu. Ah…gak terima rasanya aku melihat pemandangan tersebut.
“What a lucky bastard you Old man,” gugat batinku sambil tertawa dalam hati
Eh.. gimana ya simbol ketawa dalam hati? Hehehe atau wkwkw.
Teringat aku akan istriku, walau tidak kalah cantik, tetapi jiwa Don Juan-ku memang selalu bergolak ketika melihat jidat licin seperti wanita tadi. Apalagi sudah hampir seminggu ini aku belum kesampaian untuk “ngetap olie” (baca : bersetubuh) dengan wanita manapun, baik dengan istriku maupun wanita-wanita lain koleksiku.
Penasaran juga jadinya aku dengan wanita tadi, apalagi setelah beberapa kali kupergoki wanita tersebut memandangi dan memperhatikanku secara diam-diam.
Walau usiaku yang hampir mendekati kepala empat, namun penampilanku masih terbilang cukup baik. Dari segi tampang, banyak yang bilang aku mirip Donny Damara artis film dan sinetron yang terkenal di era tahun 90 an. Postur tubuh walau tidak besar seperti binaragawan, tapi cukup kekar dan tegap. Diimbangi cukuran rambut cepak, banyak yang mengira aku seorang angkatan. Entah angkatan 45 atau Balai Pustaka. Hehe. Tuwir donk.
Dengan kombinasi fisikku yang baik dan materi yang tidak kekurangan sebagai pengusaha kecil-kecilan, tidak heran banyak wanita yang rela menjadi sugar baby maupun teman tidur ketika aku membutuhkannya.
Tak terasa si Kodir panggilan sayang bagi penisku, terbangun dan mengeras membayangkan dapat menikmati tubuh indah Umi, panggilan ibu muda tadi. Lekuk tubuhnya dan senyum manisnya mampu membangkitkan hormon kelelakianku malam itu.
“Sabar ya dir, mudah2an kita bertemu dengan Umi itu lagi.” Aku melakukan monolog dengan penisku. Hehe
Tak terasa hampir satu jam aku berada di warung makan tersebut dan tidak ada tamu lain yang datang setelah kepergian keluarga kecil tadi. Sedari tadi aku ditemani ngobrol oleh pasangan suami istri pemilik warung yang telah melayaniku dengan ramah.
Setelah merasa badanku fit kembali, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah membayar, aku pun melajukan kembali Pajero Sport Dakar hitamku membelah pekatnya malam menuju Denpasar, kota tempat tinggalku saat ini.,,,,,,,
Bersambung
==========