Cerita Sex Panas – Cerita Sex Hot ini adalah caritas sex Indonesia,,, Namaku Didit. Aku lahir di satu keluarga pegawai perkebunan yang memiliki lima orang anak yang semua laki-laki. Yang tertua adalah aku. Dan ini menjadi akar masalah pada kehidupan remajaku. Jarang bergaul dengan perempuan selain ibuku, akupun jadi canggung kalau berdekatan dengan perempuan. Maklumlah di sekolahku umumnya juga cowok semua, jarang perempuan. Selain itu aku merasa rendahdiri dengan penampilan diriku di hadapan perempuan. Aku tinggi kurus dan hitam, jauh dari ciri-ciri pemuda ganteng. Wajahku jelek dengan tulang rahang bersegi. Karena tampangku yang mirip keling, teman-temanku memanggil aku Pele, karena aku suka main sepakbola. Tapi sekalipun aku jelek dan hitam, otakku cukup encer. Pelajaran ilmu pasti dan fisika tidak terlalu sulit bagiku. Dan juga aku jagoan di lapangan sepakbola. Posisiku adalah kiri luar. Jika bola sudah tiba di kakiku penonton akan bersorak-sorai karena itu berarti bola sudah sukar direbut dan tak akan ada yang berani nekad main keras karena kalau sampai beradu tulang kering, biasanya merekalah yang jatuh meringkuk kesakitan sementara aku tidak merasa apa-apa. Dan kalau sudah demikian lawan akan menarik kekuatan ke sekitar kotak penalti membuat pertahanan berlapis, agar gawang mereka jangan sampai bobol oleh tembakanku atau umpan yang kusodorkan. Hanya itulah yang bisa kubanggakan, tak ada yang lain. Tampang jelek muka bersegi, tinggi kurus dan hitam ini sangat mengganggu aku, karena aku sebenarnya ingin sekali punya pacar. Bukan pacar sembarang pacar, tetapi pacar yanf cantik dan seksi, yang mau diremas-remas, dicipoki dan dipeluk-peluk, bahkan kalau bisa lebih jauh lagi dari itu. Dan ini masalahnya. Kotaku itu adalah kota yang masih kolot, apalagi di lingkungan tempat aku tinggal. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang sedikit mencolok menjadi sorotan tajam masyarakat. Dan jadi bahan gunjingan ibu-ibu antar tetangga. Oh ya mungkin ada yang bertanya mengapa kok soal punya pacar atau tidak punya pacar saja begitu penting. Ya itulah. Rahasianya aku ini punya nafsu syahwat besar sekali. Entahlah, barangkali aku ini seorang *********. Melihat ayam atau ****** main saja, aku bisa tegang. Setiap pagi penisku keras seperti kayu sehingga harus dikocok sampai muncrat dulu baru berkurang kerasnya. Dan kalau muncrat bukan main banyaknya yang keluar.
Mungkin karena ukuranku yang lebih panjang dari ukuran
rata-rata. Dan saban melihat perempuan cantik syahwatku naik ke kepala. Apalagi
kalau kelihatan paha. Aku bisa tak mampu berpikir apa-apa lagi kalau gadis dan
perempuan cantik itu lewat di depanku. Senjataku langsung tegang kalau melihat
dia berjalan berlenggak-lenggok dengan panggul yang berayun ke kiri dan ke
kanan. Ngaceng abis kayak siap berlaga.
Dia? Ya dia. Maksudku Lala dan ….. Tante Ratih. Lala adalah murid salahsatu SMU di kotaku.
Kecantikannya jadi buah bibir para cowok lanang seantero kota. Dia tinggal
dalam jarak beberapa rumah dari rumahku, jadi tetanggaku juga. Aku sebenarnya
ingin sekali seandainya Lala jadi pacarku, tapi mana bisa. Cowok-cowok keren
termasuk anak-anak penggede pada ngantri ngapelin dia, mencoba menjadikannya
pacar. Hampir semua bawa mobil, kadang mobil dinas bapaknya, mana mampu aku bersaing
dengan mereka. Terkadang kami berpapasan
kalau ada kegiatan RK atau kendurian, tetapi aku tak berani menyapa, dia juga
tampaknya tidak tertarik hendak berteguran dengan aku yang muka saja bersegi
dan hitam pula. Ya pantaslah, karena cantik dan dikejar-kejar banyak pemuda,
bahkan orang berumur juga, dia jadi sombong, mentang-mentang. Atau barangkali
itu hanya alasanku saja. Yang benar adalah, aku memang takut sama perempuan
cantik. Berdekatan dengan mereka aku gugup, mulutku terkatup gagu dan nafasku sesak.
Itu Lala. Dan ada satu lagi perempuan
yang juga membuat aku gelisah jika berada di dekatnya. Tante Ratih. Tante Ratih
tinggal persis di sebelah rumahku. Suaminya pemasok yang mendatangkan beberapa
bahan kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Karena itu dia sering bepergian.
Kadang ke Jakarta, Medan dan ke Singapura. Belum lama mereka menjadi tetangga
kami. Entahlah orang dari daerah mana suaminya ini. Tapi aku tahu Tante Ratih
dari Bandung, dan dia ini wuahh mak … sungguh-sungguh audzubile cantiknya. Wajah
cakep. Putih. Bodinya juga bagus, dengan panggul berisi, paha kokoh, meqi tebal
dan pinggang ramping. Payudaranya juga
indah kenceng serasi dengan bentuk badannya. Pernah di acara pentas terbuka di
kampungku kala tujuhbelas agustusan dia menyumbangkan peragaan tari jaipongan.
Wah aku betul-betul terpesona. Dan Tante
Ratih ini teman ibuku. Walau umur mereka berselisih barangkali 15 tahun, tapi
mereka itu cocok satu sama lain. Kalau bergunjing bisa berjam-jam, maklum saja
dia tidak punya anak dan seperti ibuku tidak bekerja, hanya ibu rumahtangga
saja. Terkadang ibuku datang ke rumahnya, terkadang dia datang ke rumahku. Dan satu kebiasaan yang kulihat pada Tante
Ratih ini, dia suka duduk di sofa dengan menaikkan sebelah atau kedua kakinya
di lengan sofa.
Satu kali aku baru pulang dari latihan sepakbola, saat
membuka pintu kudapati Tante Ratih lagi bergunjing dengan ibuku. Rupanya dia
tidak mengira aku akan masuk, dan cepat-cepat menurunkan sebelah kakinya dari
sandaran lengan sofa, tapi aku sudah sempat melihat celah kangkangan kedua
pahanya yang putih padat dan celana dalam merah jambu yang membalut ketat
meqinya yang bagus cembung. Aku mereguk ludah, kontolku kontak berdiri. Tanpa
bicara apapun aku terus ke belakang. Dan sejak itu pemandangan sekilas itu
selalu menjadi obsesiku. Setiap melihat Tante Ratih, aku ingat kangkangan paha
dan meqi tebal dalam pagutan ketat celana dalamnya. Oh ya mengenai Tante Ratih yang tak punya
anak. Saya mendengar ini terkadang jadi keluh-kesahnya pada ibuku. Aku tak tahu
benar mengapa dia dan suaminya tak punya anak, dan entah apa yang dikatakan
ibuku mengenai hal itu untuk menghibur dia. Apalagi? Oh ya, ini yang paling
penting yang menjadi asal-muasal cerita. Kalau bukan karena ini barangkali
takkan ada cerita hehehhehe …. Tante Ratih ini, dia takut sekali sama setan,
tapi anehnya suka nonton film setan di televisi hehehe …. Terkadang dia nonton
di rumah kami kalau suaminya lagi ke kota lain untuk urusan bisnesnya.
Pulangnya dia takut, lalu ibuku menyuruh aku mengantarnya sampai ke pintu
rumahnya. Dan inilah permulaan cerita.
Pada suatu hari tetangga sebelah kanan rumah Tante Ratih dan suaminya (kami di
sebelah kiri) meninggal. Perempuan tua ini pernah bertengkar dengan Tante Ratih
karena urusan sepele. Kalau tidak salah karena soal ayam masuk rumah. Sampai si
perempuan meninggal karena penyakit bengek, mereka tidak berteguran. Tetangga itu sudah tiga hari dikubur tak jauh
di belakang rumahnya, sewaktu suami Tante Ratih, Om Hendra berangkat ke
Singapur untuk urusan bisnes pasokannya. Sepanjang hari setelah suaminya
berangkat Tante Ratih uring-uringan sama ibuku di rumahku. Dia takut sekali
karena sewaktu masih hidup tetangga itu mengatakan kepada banyak orang bahwa
sampai di kuburpun dia tidak akan pernah berbaikan dengan Tante Ratih.
Lanjutannya ketika aku pulang dari latihan sepakbola, ibu memanggilku. Katanya Tante Ratih takut tidur sendirian di rumahnya karena suaminya lagi pergi. Dan pembantunya sudah dua minggu dia berhentikan karena kedapatan mencuri. Sebab itu dia menyuruhku tidur di ruang tamu di sofa Tante Ratih. Mula-mula aku keberatan dan bertanya mengapa bukan salah seorang dari adik-adikku. Kukatakan aku mesti sekolah besok pagi. Yang sebenarnya seperti sudah saya katakan sebelumnya, saya selalu gugup dan tidak tenteram kalau berdekatan dengan Tante Ratih (tapi tentu saja ini tak kukatakan pada ibuku). Kata ibuku adik-adikku yang masih kecil tidak akan membantu membuat Tante Ratih tenteram, lagi pula adik-adikku itupun takut jangan-jangan didatangi arwah tetangga yang sudah mati itu hehehehe. Lalu malamnya aku pergi ke rumah Tante Ratih lewat pintu belakang. Tante Ratih tampaknya gembira aku datang. Dia mengenakan daster tipis yang membalut ketat badannya yang sintal padat. “Mari makan malam Dit”, ajaknya membuka tudung makanan yang sudah terhidang di meja. “Saya sudah makan, Tante,” kataku, tapi Tante Ratih memaksa sehingga akupun makan juga. “Didit, kamu kok pendiam sekali? Berlainan betul dengan adik-adik dan ibumu”, kata Tante Ratih selagi dia menyendok nasi ke piring. Aku sulit mencari jawaban karena sebenarnya aku tidak pendiam. Aku tak banyak bicara hanya kalau dekat Tante Ratih saja, atau Lala atau perempuan cantik lainnya. Karena gugup. “Tapi Tante suka orang pendiam”, sambungnya. Kami makan tanpa banyak bicara, habis itu kami nonton televisi acara panggung musik pop. Kulihat Tante Ratih berlaku hati-hati agar jangan sampai secara tak sadar menaikkan kakinya ke sofa atau ke lengan sofa. Selesai acara musik kami lanjutkan mengikuti warta berita lalu filem yang sama sekali tidak menarik. Karena itu Tante Ratih mematikan televisi dan mengajak aku berbincang menanyakan sekolahku, kegiatanku sehari-hari dan apakah aku sudah punya pacar atau belum. Aku menjawab singkat-singkat saja seperti orang blo’on. Kelihatannya dia memang ingin mengajak aku terus bercakap-cakap karena takut pergi tidur sendirian ke kamarnya. Namun karena melihat aku menguap,
Baca Juga Cerita Sex Hot : Cerita Sex Nikamtnya Memperkosa Calon Pengantin Baru
Tante Ratih pergi ke kamar dan kembali membawa bantal,
selimut dan sarung. Di rumah aku biasanya memang tidur hanya memakai sarung
karena penisku sering tidak mau kompromi. Tertahan celana dalam saja bisa
menyebabkan aku merasa tidak enak bahkan kesakitan. Tante Ratih sudah masuk ke kamarnya dan aku
baru menanggalkan baju sehingga hanya tinggal singlet dan meloloskan celana
blujins dan celana dalamku menggantinya dengan sarung ketika hujan disertai
angin kencang terdengar di luar. Aku membaringkan diri di sofa dan menutupi
diri dengan selimut wol tebal itu ketika suara angin dan hujan ditingkah
gemuruh guntur dan petir sabung menyabung. Angin juga semakin kencang dan hujan
makin deras sehingga rumah itu seperti bergoyang. Dan tiba-tiba listrik mati
sehingga semua gelap gulita. Kudengar
suara Tante memanggil di pintu kamarnya.
“Ya, Tante?” “Tolong temani Tante mencari senter”. “Dimana Tante?”, aku
mendekat meraba-raba dalam gelap ke arah dia. “Barangkali di laci di dapur.
Tante mau ke sana.” Tante baru saja menghabiskan kalimatnya saat tanganku
menyentuh tubuhnya yang empuk. Ternyata persis dadanya. Cepat kutarik tanganku.
“Saya kira kita tidak memerlukan senter Tante. Bukankah kita sudah mau tidur?
Saya sudah mengantuk sekali.” “Tante takut tidur dalam gelap Dit”. “Gimana
kalau saya temani Tante supaya tidak takut?”, aku sendiri terkejut dengan
kata-kata yang keluar dari mulutku, mungkin karena sudah mengantuk sangat.
Tante Ratih diam beberapa saat. “Di kamar tidur Tante?”, tanyanya. “Ya saya
tidur di bawah”, kataku. “di karpet di lantai.” Seluruh lantai rumahnya memang
ditutupi karpet tebal. “Di tempat tidur Tante saja sekalian asal ….. “ Aku
terkesiap. “A … asal apa Tante?” “Asal kamu jangan bilang sama teman-temanmu,
Tante bisa dapat malu besar. Dan juga jangan sekali-kali bilang sama ibumu”.
“Ah buat apa itu saya bilang-bilang? Tidak akan, Tante”. Dalam hati aku melonjak-lonjak
kegirangan. Tak kusangka aku bakalan dapat durian runtuh, berkesempatan tidur
di samping Tante Ratih yang cantik banget. Siapa tahu aku nanti bisa
nyenggol-nyenggol dia sedikit-sedikit.
Meraba-raba seperti orang buta menjaga jangan sampai terantuk ke dinding
aku kembali ke sofa mengambil selimut dan bantal, lalu kembali meraba-raba ke
arah Tante Ratih di pintu kamarnya.
Cahaya kilat dari kisi-kisi di puncak jendela membantu aku
menemukan keberadaannya dan dia membimbing aku masuk. Badan kami berantuk saat
dia menuntun aku ke tempat tidurnya dalam gelap. Ingin sekali aku merangkul
tubuh empuknya tetapi aku takut dia marah. Akhirnya kami berdua berbaring
berjajar di tempat tidur. Selama proses itu kami sama menjaga agar tidak
terlalu banyak bersentuhan badan. Perasaanku tak karuan. Baru kali inilah aku
pernah tidur dengan perempuan bahkan dengan ibuku sendiripun tak pernah.
Perempuan cantik dan seksi lagi. “Kamu
itu kurus tapi badanmu kok keras Dit?” bisiknya di sampingku dalam gelap. Aku
tak menjawab. “Seandainya kau tahu betapa ******-ku lebih keras lagi sekarang
ini,” kataku dalam hati. Aku berbaring miring membelakangi dia. Lama kami
berdiam diri. Kukira dia sudah tidur, yang jelas aku tak bisa tidur. Bahkan
mataku yang tadinya berat mengantuk, sekarang terbuka lebar. “Dit,” kudengar
dia memecah keheningan. “Kamu pernah bersetubuh?” Nafasku sesak dan mereguk ludah. “Belum Tante, bahkan melihat celana dalam
perempuanpun baru sekali.” Wah berani sekali aku. “Celana dalam Tante?” “Hmmh”.
“Kamu mau nanggelin Dit?” dalam gelap kudengar dia menahan tawa. Aku
hampir-hampir tak percaya dia mengatakan itu. “Nanggelin celana dalam Tante?”
“Iya. Tapi jangan dibilangin siapapun.” Aku diam agak lama. “Takutnya nanti
bilah saya tidak mau kendor Tante”. “Nanti Tante kendorin”. “Sama apa?” “Ya
tanggelin dulu. Nanti bilahmu itu tahu sendiri.” Suaranya penuh tantangan. Dan akupun berbalik, nafsuku menggelegak.
Aku tahu inilah kesempatan emas untuk melampiaskan hasrat berahiku yang terpendam pada perempuan cantik-seksi selama bertahun-tahun usia remajaku. Rasanya seperti aku dapat peluang emas di depan gawang lawan dalam satu pertandingan final kejuaraan besar melawan kesebebelasan super kuat, dimana pertandingan bertahan 0-0 sampai menit ke-85. Umpan manis disodorkan penyerang tengah ke arah kiri. Bola menggelinding mendekati kotak penalti. Semua mengejar, kiper terjatuh dan aku tiba lebih dulu. Dengan kekuatan penuh kulepaskan tembakan geledek. GOL! Begitulah rasanya ketika aku tergesa melepas sarungku dan menyerbu menanggalkan celana dalam Tante Ratih. Lalu dalam gelap kuraih kaitan BH dipunggungnya, dia membantuku. Kukucup mulutnya. Kuremas buah dadanya dan tak sabaran lagi kedua kakiku masuk ke celah kedua pahanya. Kukuakkan paha itu, kuselipkan paha kiriku di bawah paha kanannya dan dengan satu tikaman kepala kontolku menerjang tepat akurat ke celah labianya yang basah. Saya tancapkan terus. MASUK! Aku menyetubuhi Tante Ratih begitu tergesa-gesa. Sambil menusuk liang vaginanya kedua buah dadanya terus kuremas dan kuhisap dan bibirnya kupilin dan kulumat dengan mulutku. Mataku terbeliak saat penisku kumaju-mundurkan, kutarik sampai tinggal hanya kepala lalu kubenam lagi dalam mereguk nikmat sorgawi vaginanya. Kenikmatan yang baru pertama kalinya aku rasakan. Ohhhhh … Ohhhhh …. Tetapi malangnya aku, barangkali baru delapan kali aku menggenjot, itupun batang kemaluanku baru masuk dua pertiga sewaktu dia muntah-muntah dengan hebat. Spermaku muncrat tumpah ruah dalam lobang kewanitaannya. Dan akupun kolaps. Badanku penuh keringat dan tenagaku rasanya terkuras saat kusadari bahwa aku sudah knocked out. Aku sadar aku sudah keburu habis sementara merasa Tante Ratih masih belum apa-apa, apalagi puas.
Dan tiba-tiba listrik menyala. Tanpa kami sadari rupanya hujan badai sudah reda. Dalam terang kulihat Tante Ratih tersenyum disampingku. Aku malu. Rasanya seperti dia menertawakan aku. Laki-laki loyo. Main beberapa menit saja sudah loyo. “Lain kali jangan terlampau tergesa-gesa dong sayang”, katanya masih tersenyum. Lalu dia turun dari ranjang. Hanya dengan kimono yang tadinya tidak sempat kulepas dia pergi ke kamar mandi, tentunya hendak cebok membersihkan spermaku yang berlepotan di celah selangkangannya. Keluar dari kamar mandi kulihat dia ke dapur dan akupun gantian masuk ke kamar mandi membersihkan penis dan pangkal penisku berserta rambutnya yang juga berlepotan sperma. Habis itu aku kembali ke ranjang. Apakah akan ada babak berikutnya? Tanyaku dalam hati. Atau aku disuruh kembali ke sofa karena lampu sudah nyala? Tante Ratih masuk ke kamar membawa cangkir dan sendok teh yang diberikan padaku. ”Apa ini Tante?” “Telor mentah dan madu lebah pengganti yang sudah kamu keluarkan banyak tadi”, katanya tersenyum nakal dan kembali ke dapur. Akupun tersenyum gembira. Rupanya akan ada babak berikutnya. Dua butir telur mentah itu beserta madu lebah campurannya kulahap dan lenyap kedalam perutku dalam waktu singkat. Dan sebentar kemudian Tante kembali membawa gelas berisi air putih. Dan kami duduk bersisian di pinggir ranjang. “Enak sekali Tante”, bisikku dekat telinganya. “Telor mentah dan madu lebah?”, tanyanya. “Bukan. Meqi Tante enak sekali.” “Mau lagi?” tanyanya menggoda. “Iya Tante, mau sekali”, kataku tak sabar dengan melingkarkan tangan di bahunya. “Tapi yang slow ya Dit? Jangan buru-buru seperti tadi.” “Iya Tante, janji”. Dan kamipun melakukannya lagi. Walau di kota kabupaten aku bukannya tidak pernah nonton filem bokep. Ada temanku yang punya kepingan VCD-nya. Dan aku tahu bagaimana foreplay dilakukan. Sekarang aku coba mempraktekkannya sendiri. Mula-mula kucumbu dada Tante Ratih, lalu lehernya. Lalu turun ke pusar lalu kucium dan kujilat ketiaknya, lalu kukulum dan kugigit-gigit pentilnya, lalu jilatanku turun kembali ke bawah seraya tanganku meremas-remas kedua payudaranya. Lalu kujilat belahan vaginanya. Sampai disini Tante Ratih mulai merintih.
Baca Juga Cerita Sex Terbaru : Cerita Sex Kenikmatan Anak PKL
Kumainkan itilnya dengan ujung lidahku. Tante Ratih
mengangkat-angkat panggulnya menahan nikmat. Dan akupun juga sudah tidak tahan
lagi. Penisku kembali tegang penuh dan keras seakan berteriak memaki aku dengan
marah “Cepatlah *******, jangan berleha-leha lagi”, teriaknya tak sabar. Penis
yang hanya memikirkan mau enaknya sendiri saja.
Aku merayap di atas tubuh Tante Ratih. Tangannya membantu menempatkan
bonggol kepala penisku tepat di mulut lobang kemaluannya. Dan tanpa menunggu
lagi aku menusukkan penisku dan membenamkannya sampah dua pertiga. Lalu kupompa
dengan ganas. “Diiiiiiiit”, rengeknya
mereguk nikmat sambil merangkul leher dan punggungku dengan mesra. Rangkulan Tante Ratih membuat aku semakin
bersemangat dan terangsang. Pompaanku sekarang lebih kuat dan rengekan Tante
Ratih juga semakin manja. Dan kupurukkan seluruh batangku sampai ujung kepada
penisku menyentuh sesuatu di dasar rahim Tante. Sentuhan ini menyebabkan Tante
menggeliat-geliat memutar panggulnya dengan ganas, meremas dan menghisap
kontolku. Reaksi Tante ini menyebabkan aku kehilangan kendali. Aku bobol lagi.
Spermaku muncrat tanpa dapat ditahan-tahan lagi. Dan kudengar Tante Ratih
merintih kecewa. Kali ini aku keburu knocked out selagi dia hampir saja
mencapai orgasme. Prediksi Bola “Maafkan
Tante”, bisikku di telinganya. “Tak apa-apa Dit,” katanya mencoba menenangkan
aku. Dihapusnya peluh yang meleleh di pelipisku. “Dit, jangan bilang-bilang
siapapun ya sayang? Tante takut sekali kalau ibumu tahu. Dia bakalan marah
sekali anaknya Tante makan”, katanya tersenyum masih tersengal-sengal menahan
berahi yang belum tuntas penuh. Kontolku berdenyut lagi mendengar ucapan Tante
itu, apa memang aku yang dia makan bukannya aku yang memakan dia? Dan aku
teringat pada kekalahanku barusan. Ke-lelakian-ku tersinggung. Diam-diam aku
bertekad untuk menaklukkannya pada kesempatan berikutnya sehingga tahu rasa,
bukan dia yang memakan aku tetapi akulah yang memakan dia. Aku terbangun pada kokokan ayam pertama.
Memang kebiasaanku bangun pagi-pagi sekali. Karena aku perlu belajar. Otakku
lebih terbuka mencerna rumus-rumus ilmu pasti dan fisika kalau pagi. Kupandang
Tante Ratih yang tergolek miring disampingku. Dia masih tidak ber-celana dalam
dan tidak ber-BH. Sebelah kakinya menjulur dari belahan kimono di
selangkangannya membentuk segitiga sehingga aku dapat melihat bagian dalam
pahanya yang putih padat sampai ke pangkalnya. Ujung jembutnya juga kulihat
mengintip dari pangkal pahanya itu dan aku juga bisa melihat sebelah buah
dadanya yang tidak tertutup kimono. Aku sudah hendak menerkam mau menikmatinya
sekali lagi sewaktu aku merasa desakan mau buang air kecil. Karena itu
pelan-pelan aku turun dari ranjang terus ke kamar mandi.
Aku sedang membasuh muka dan kumur-kumur sewaktu Tante Ratih
mengetok pintu kamar mandi. Agak kecewa kubukakan pintu dan Tante Ratih
memberikan handuk bersih. Dia sodorkan juga gundar gigi baru dan odol. “Ini Dit, mandi saja disini,” katanya. Barangkali
dia kira aku akan pulang ke rumahku untuk mandi? Goblok bener. Akupun cepat-cepat mandi. Keluar dari
kamarmandi dengan sarung dan singlet dan handuk yang membalut tengkuk, kedua
pundak dan lengan kulihat Tante Ratih sudah di dapur menyiapkan sarapan. “Ayo sarapan Dit. Tante juga mau mandi dulu,”
katanya meninggalkan aku. Kulihat di
meja makan terhidang roti mentega dengan botol madu lebah Australia
disampingnya dan semangkok besar cairan kental berbusa. Aku tahu apa itu. Teh
telor. Segera saja kuhirup dan rasanya sungguh enak sekali di pagi yang dingin.
Saya yakin paling kurang ada dua butir telor mentah yang dikocokkan Tante Ratih
dengan pengocok telur disana, lalu dibubuhi susu kental manis cap nona dan
bubuk coklat. Lalu cairan teh pekat yang sudah diseduh untuk kemudian dituang
dengan air panas sembari terus dikacau dengan sendok. Lezat sekali. Dan dua
roti mentega berlapis juga segera lenyap ke perutku. Kumakan habis selagi
berdiri. Madu lebahnya kusendok lebih banyak.
Tante tidak lama mandinya dan aku sudah menunggu tak sabar. Dengan hanya
berbalut handuk Tante keluar dari kamar mandi.
“Tante, ini teh telornya masih ada”, kataku. “Kok tidak kamu habiskan
Dit?” tanyanya. “Tante kan juga memerlukannya” , kataku tersenyum lebar. Dia
menerima gelas besar itu sambil tersenyum mengerling lalu menghirupnya. “Saya
kan dapat lagi ya Tante”, tanyaku menggoda. Dia menghirup lagi dari gelas besar
itu. “Tapi jangan buru-buru lagi ya?” katanya tersenyum dikulum. Dia menghirup
lagi sebelum gelas besar itu dia kembalikan padaku. Dan aku mereguk sisanya
sampai habis. Penuh hasrat aku mengangkat dan memondong Tante Ratih ke kamar
tidur. “Duh, kamu kuat sekali Dit”, pujinya melekapkan wajah di dadaku. Kubaringkan dia di ranjang, handuk yang
membalut tubuh telanjang-nya segera kulepas. Duhhh cantik sekali. Segalanya
indah. Wajah, toket, perut, panggul, meqi, paha dan kakinya. Semuanya putih
mulus mirip artis filem Jepang. Semula
aku ragu bagaimana memulainya. Apa yang mesti kuserang dulu, karena semuanya
menggiurkan. Tapi dia mengambil inisiatif. Dilingkarkannya tangannya ke leherku
dan dia dekatkan mulutnya ke mulutku, dan akupun melumat bibir seksinya itu.
Dia julurkan lidahnya yang aku hisap-hisap dan perasan airludahnya yang lezat
kureguk. Lalu kuciumi seluruh wajah dan lehernya.
Lalu kuulangi lagi apa yang aku lakukan padanya tadi malam. Meremas-remas payu daranya, menciumi leher, belakang telinga dan ketiaknya, menghisap dan menggigit sayang pentil susunya. Sementara itu tangan Tante juga liar merangkul punggung, mengusap tengkuk, dan meremas-remas rambutku. Lalu sesudah puas menjilat buah dada dan mengulum pentilnya, ciumanku turun ke pusar dan terus ke bawah. Seperti kemarin aku kembali menciumi jembut di vaginanya yang tebal seperti martabak Bangka, menjilat klitoris, labia dan tak lupa bagian dalam kedua pahanya yang putih. Lalu aku mengambil posisi seperti tadi malam untuk menungganginya. Tante menyambut penisku di liang vaginanya dengan gairah. Karena Tante Ratih sudah naik birahi penuh, setiap tusukan penisku menggesek dinding liangnya tidak hanya dinikmati olehku tetapi dinikmati penuh oleh dia juga. Setiap kali sambil menahan nikmat dia berbisik di telingaku “Jangan buru-buru ya sayang, …….. jangan buru-buru ya sayang.” Dan aku memang berusaha mengendalikan diri menghemat tenaga. Kuingat kata-kata pelatih sepakbola-ku. Kamu itu main dua kali 45 menit, bukannya cuman setengah jam. Karena itu perlu juga latihan lari marathon. Dari pengalaman tadi malam kujaga agar penisku yang memang berukuran lebih panjang dari orang kebanyakan itu jangan sampai terbenam seluruhnya karena akan memancing reaksi liar tak terkendali dari Tante Ratih. Aku bisa bobol lagi. Aku menjaga hanya masuk dua pertiga atau tiga perempat.
Baca Juga Cerita Sex Terbaru : Cerita Sex Pembantu Jago Nyepong
Dan kurasakan Tante Ratih juga berusaha mengendalikan diri.
Dia hanya menggerakkan panggulnya sekadarnya menyambut kocokan batangku.
Kerjasama Tante membantu aku. Untuk lima menit pertama aku menguasai bola dan
lapangan sepenuhnya. Kujelajahi sampai
dua pertiga lapangan sambil mengarak dan mendrible bola, sementara Tante
merapatkan pertahanan menunggu serangan sembari melayani dan menghalau
tusukan-tusukanku yang mengarah ke jaring gawangnya. Selama lima menit berikutnya aku semakin
meningkatkan tekanan. Terkadang bola kubuang ke belakang , lalu kugiring dengan
mengilik ke kiri dan ke kanan, terkadang dengan gerakan berputar. Kulihat Tante
mulai kewalahan dengan taktik-ku. Lima menit berikutnya Tante mulai melancarkan
serangan balasan. Dia tidak lagi hanya bertahan. Back kiri dan bek kanan bekerjasama
dengan gelandang kiri dan gelandang kanan, begitupun kiri luar dan kanan luar
bekerjasama membuat gerakan menjepit barisan penyerangku yang membuat mereka
kewalahan. Sementara merangkul dan menjepitkan paha dan kakinya ke panggulku
Tante Ratih berbisik mesra “jangan buru-buru ya sayang …. jangan tergesa-gesa
ya Dit?”. Akupun segera mengendorkan serangan, menahan diri. Dan lima menit
lagi berlalu. Lalu aku kembali mengambil inisiatif menjajaki mencari titik
lemah pertahanan Tante Ratih. Aku gembira karena aku menguasai permainan dan
lima menit lagi berlalu. Tante Ratih
semakin tersengal-sengal, rangkulannya di punggung dan kepalaku semakin erat.
Dan aku tidak lagi melakukan penjajakan. Aku sudah tahu titik kelemahan
pertahanannya.
Sebab itu aku masuk ke tahap serangan yang lebih hebat. Penggerebekan di depan gawang. Penisku sudah
lebih sering masuk tiga perempat menyentuh dasar liang kenikmatan Tante Ratih.
Setiap tersentuh Tante Ratih menggelinjang. Dia pererat rangkulannya dan dengan
nafas tersengal dia kejar mulutku dengan mulutnya dan mulut dan lidah kamipun
kembali berlumatan dan kerkucupan.
“Dit”, bisiknya. “Punyamu panjang sekali.” “Memek Tante tebal dan enak
sekali”, kataku balas memuji dia. Dan pertempuran sengit dan panas itu
berlanjut lima lalu sepuluh menit lagi. Lalu geliat Tante Ratih semakin
menggila dan ini menyebabkan aku semakin gila pula memompa. Aku tidak lagi
menahan diri. Aku melepaskan kendali syahwat berahiku selepas-lepasnya. Kutusuk
dan kuhunjamkan kepala ******-ku sampai ke pangkalnya berkali-kali dan
berulang-ulang ke dasar rahimnya sampai akhirnya Tante Ratih tidak sadar
menjerit “oooooohhhhhh…” . Aku terkejut, cepat kututup mulutnya dengan
tanganku, takut kedengaran orang, apalagi kalau kedengaran oleh ibuku di
sebelah. Sekalipun demikian pompaanku yang dahsyat tidak berhenti. Dan saat
itulah kurasakan tubuh Tante Ratih berkelojotan sementara mulutnya mengeluarkan
suara lolongan yang tertahan oleh tanganku. Dia orgasme hebat sekali. “Sudah
Dit, Tante sudah tidak kuat lagi”, katanya dengan nafas panjang-singkatan
setelah mulutnya kulepas dari bekapanku. Kulihat ada keringat di hidung, di
kening dan pelipisnya. Wajah itu juga kelihatan letih sekali. Aku memperlambat
lalu menghentikan kocokanku.
Tapi senjataku masih tertanam mantap di memek tebalnya. “Enak Tante?”, bisikku. “Iya enak sekali Dit. Kamu jantan. Sudah ya? Tante capek sekali”, katanya membujuk supaya aku melepaskannya. Tapi mana aku mau? Aku belum keluar, sementara batang kelelakianku yang masih keras perkasa yang masih tertancap dalam di liang kenikmatannya sudah tidak sabaran hendak melanjutkan pertempuran. “Sebentar lagi ya Tante,” kataku meminta , dan dia mengangguk mengerti. Lalu aku melanjutkan melampiaskan kocokanku yang tadi tertunda. Kusenggamai dia lagi sejadi-jadinya dan berahinya naik kembali, kedua tangannya kembali merangkul dan memiting aku, mulutnya kembali menerkam mulutku. Lalu sepuluh menit kemudian aku tak dapat lagi mencegah air mani-ku menyemprot berkali-kali dengan hebatnya, sementara dia kembali berteriak tertahan dalam lumatan mulut dan lidahku. Liang vaginanya berdenyut-denyut menghisap dan memerah sperma-ku dengan hebatnya seperti tadi. Kakinya melingkar memiting panggul dan pahaku. Persetubuhan nikmat diantara kami ternyata berulang dan berulang dan berulang dan berulang lagi saban ada kesempatan atau tepatnya peluang yang dimanfaatkan. Suami Tante Ratih Om Hendra punya hobbi main catur dengan Bapakku. Kalau sudah main catur bisa berjam-jam. Kesempatan itulah yang kami gunakan. Paling mudah kalau mereka main catur di rumahku. Aku datangi terus Tante Ratih yang biasanya berhelah menolak tapi akhirnya mau juga. Aku juga nekad mencoba kalau mereka main catur di rumah Tante Ratih. Dan biasanya dapat juga walau Tante Ratih lebih keras menolaknya mula-mula. Hehe kalau aku tak yakin bakalan dapat juga akhirnya manalah aku akan begitu degil mendesak dan membujuk terus. Tiga bulan kemudian sesudah peristiwa pertama di kala hujan dan badai itu aku ketakutan sendiri. Tante Ratih yang lama tak kunjung hamil, ternyata hamil. Aku khawatir kalau-kalau bayinya nanti hitam. Kalau hitam tentu bisa gempar. Karena Tante Ratih itu putih. Om Hendra kuning. Lalu kok bayi mereka bisa hitam? Yang hitam itu kan si Didit. Hehehehe … tapi itu cerita lain lagilah. Demikianlah Cerita Hot Terbaru. Cerita Sex Dengan Tante Ratih.