Cerita Sex Kisah Tommy-Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang terletak di daerah Senayan. Atasanku adalah seorang wanita berusia awal empat puluhan. Seorang janda yang cukup cantik. Dia seorang wanita keturunan. Aku dengannya cukup dekat, karena kami berasal dari daerah yang sama. Sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Dia sering meminta bantuanku untuk menginstalasikan komputer atau mengajari anaknya komputer. Memang aku tidak dibayar, tapi Susan, atasanku itu, selalu membantuku bila aku membutuhkan. Misalnya saat adikku akan kuliah, dia membantuku membayar uang kuliahnya yang cukup besar jumlahnya.
Susan berpisah dari suaminya yang orang Finland, tiga tahun yang lalu. Mereka mempunyai anak kembar berusia awal 16 tahun. Seorang anak ikut Susan, yang satunya ikut suaminya. Suaminya kini ada di Singapore, membuka perwakilan sebuah perusahaan ponsel di sana. Anak Susan bernama Karina. Anaknya manis sekali, cantik kalau boleh dikatakan demikian. Tubuhnya bongsor untuk remaja seusianya. Tingginya seratus tujuh puluh tiga, lebih tinggi dariku yang hanya 167 cm ini. Tubuhnya sudah lumayan matang. Lekuk-likunya telah tampak. Pada pantatnya yang montok, dan dadanya yang mengundang. Aku tidak dapat menghilangkan pikiranku darinya. Teringat selalu pada hidungnya yang bangir, mulutnya dengan bibir tipis dan selalu berwarna dadu. Tapi aku masih menghormati ibunya, sehingga jauhlah keinginanku untuk mendekatinya. Karina sekolah di sebuah sekolah untuk anak-anak orang asing di Indonesia.
Suatu siang Susan memanggilku ke ruangannya. Dia tampak cantik sekali hari ini. Dengan stelan berwarna biru muda.
“Tommy, Karina minta kamu ke rumah sepulang dari kantor.”
“Ada apa, Mbak?” Tanyaku.
Susan memang minta untuk dipanggil Mbak kalau di tengah keluarganya, panggilan ibu hanya untuk lingkungan dinas.
“Dia mau pasang internet tuh. Dia minta ajarin sama kamu. Bikin email, homepage, dan macem-macem.”
“Oooh.”
“Bisa, Tom?”
“Bisa Mbak, bisa. Nanti malam khan? Saya nggak ada acara kok.”
“Syukurlah.”
Maka malam itu aku segera ke rumah Mbak Susan. Karina sudah menantiku di sana. Dia mengenakan T-shirt bergambar Spiderman dan celana jeans yang dipotong pendek sekali. Bongkahan pantatnya nyaris keluar. Tanpa sadar aku menelan liurku.
“Mas Tom. Kalau komputerku tidak perlu diganti kalau mau pasang internet?” “Tidak perlu. Beli modem apa?”
“Tricom. Bagus nggak?”
“Good. Berapa?”
“Sembilan ratus.”
“Bukan. Kecepatannya, 56 ya?”
“Iya.”
“Sudah di-setup?”
“Kalau sudah sih, aku nggak minta Mama menyuruh Mas Tom ke sini. Yuk Mas..”
Gadis dengan wajah baby si Agnes “Tralala-trilili” itu menarik tanganku, mengajakku ke dalam kamarnya. Terasa lembut tangannya menggenggamku.
“Mas, perlu pakai Pentium II, nggak?”
“Ah, tidak perlu. Pentium II juga sudah bagus.”
“Eh, kemarin aku lihat monitor warna-warni, bagus deh. Mau ganti ah.”
“Apaan? Monitor 17 inch kamu juga sudah mantep. Jangan kaya gitu. Lagian itu yang untuk Apple ya?”
“Tidak tahu. Jadi jangan ganti, nih?”
“Jangan. Mending duitnya ditabungin saja.”
“Oke boss.”
Di kamarnya yang rapi dan penuh dengan gambar Spice Girl itu kumerasa mukaku gerah dan melekat oleh keringat.
“Karin, numpang cuci muka dong.”
“Sana, di kamar mandiku saja.”
Dia menunjuk sebuah pintu yang nyempil di sudut kamarnya. Aku segera menuju kamar mandi tersebut. Selama ini aku belum pernah masuk ke situ, walaupun sering masuk ke kamarnya. Kamar mandinya bersih, dengan aksesori Spice Girl juga. Dia memang maniak Spice Girl! Di cantolan yang ada di pintu kamar mandinya, kulihat sebuah celana dalam berwarna biru yang berpotongan seksi sekali, dihiasi renda-renda di tepi-tepinya. Gila, anak semuda itu telah memakai pakaian dalam seperti ini. Selintas terbayang dalam benakku tubuh mulus Karina hanya terbalut celana dalam ini. Iiih, tanganku mengambil celana dalam itu, kering, tapi sisa pakai karena ada beberapa rambut halus di situ. Oooh, rambut kemaluan perawan. Tanpa sadar aku mendekatkan celana dalam itu ke hidungku, menghirup aroma yang diumbarnya. Bau khas kewanitaan menyapa penciumanku. Aku terangsang seketika. Setelah itu aku keluar dari kamar mandi, mendekatinya yang duduk di depan komputer.
“Mas Tom, cepeten dong.”
“Iya. Ini sudah.”
Aku lalu menginstal modem barunya. Dia berdiri merapat di sampingku. Sesekali dadanya menyentuh bagian belakang tubuhku, kejantananku tambah kencang berdiri. Aduuh! Lalu kemudian aku mencoba mengakses ke internet dengan fasilitas login TelkomNet dan tersambung. Karina tambah bernafsu, tubuhnya merapat ke diriku lebih rapat.
“Coba dong, Mas Tom.”
“Iya. Ini.”
“Mas, provider yang bagus apa ya?”
“Banyak. Yang penting kamu lihat kecepatan akses dan datanya.” Lalu aku menyebutkan beberapa ISP yang aku tahu. Karina lalu duduk, aku yang berdiri. Dia asyik surfing. Sesekali saat tangannya memegang tuts komputer, bajunya yang berleher lebar terbuka. Aku dapat melihat bra yang digunakannya. Nafsuku tambah memuncak. Aku tak tahan lagi lama-lama di sini. Harus segera disalurkan.
“Karin. Aku pulang dulu ya, sudah bereskan?”
“Heeh. Makasih, Mas Tom.”
Ciumannya mendarat di pipiku. kejantananku tambah berdenyut.
“Eh, minta alamat e-mail Mas Tommy dong.”
Setelah itu aku pun pulang.
Di kost, aku tak sanggup lagi. Kunyalakan komputerku dan mengambil VCD porno yang baru kubeli minggu lalu di Glodok, tapi belum pernah kutonton. Segera kuputar VCD itu, judulnya Fugitive 2. Sebuah film porno Perancis. Lumayan bagus gambarnya. Ada ceritanya juga. Aku lebih senang yang seperti ini. Jadi nggak main hantam saja. photomemek.com Sambil duduk nonton kukeluarkan kejantananku yang dari tadi bengong kegerahan. Kuusap-usap dengan penuh perasaan. Batang yang besarnya berani saingan dengan kemasan pasta gigi ukuran family itu tambah membesar. Sekian menit bersolo karier, aku rasakan si Junior tambah panas. Wah, perlu sesuatu nih. Aku segera berdiri, hendak mengambil lotion pelembab. Aku membuka celanaku dan kemejaku, tinggal memakai baju kaos dalam saja. Saat hendak mengambil lotion di rak, tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
“Tommyy, kamu sudah pulang khan? Pinjem kalkula.. aaw!” Si Mella, tetangga sebelah kamarku menjerit. Matanya melotot melihat kejantananku yang mengacung tegak.
Refleks, kusambar kemejaku, menutup kejantananku.
“Sor, sorry, Tom.” Katanya, sementara kakinya terpaku tak bergerak.
“Eh, Mella. Mau apa?”
“Pinjem kalkulator. Tapi.. nggak jadi deh.”
“Eh, ambil saja di atas kompu..” Aku tersadar, suara mendesah terdengar nyaring, dan di layar tampak seorang lelaki gundul tengah menyetubuhi dua orang perempuan.
Mata Mella nyaris keluar memandangnya. Tapi dia masih belum bergerak. Aku mengambil kesempatan itu untuk mengambil sarung Bali di atas tempat tidurku, tak peduli kalau Mella dapat melihat pantatku saat aku berbalik. Setelah sarung di tangan, segera kubelitkan di pinggangku.
“Tom, sorry Tom.”
“Nggak apa-apa. Ini, kamu perlu kalkulator ya?”
Aku meraih kalkulator, saat itu sekaligus kumatikan komputerku. Mella tersenyum malu, saat kulihat matanya terpaku pada gambar di situ.
“Eeeh.. eh.” Hanya itu yang diucapkannya.
“Ini.” Aku mengangsurkan kalkulatorku.
Mella mengambilnya. Lalu berbalik. Aku sempat meraih tangannya sebelum dia pergi.
“Mel.., please, jangan bilang siapa-siapa.”
Dia hanya mengangguk. Setelah itu aku hanya berbaring di tempat tidur. Nafsuku terbang setelah dipergok Mella. Pastilah dia tahu aku sedang masturbasi tadi. Akhirnya aku mencoba untuk tidur.
Tapi lima belas menit kemudian, kamarku diketuk orang. Aku membuka pintu. Mella! Gadis mungil dengan postur dan wajah mirip-mirip Dhea anggota Warna itu menatapku, berdiri di depan pintu dengan kalkulator di tangannya. Kelihatannya dia segan masuk kamarku dengan tanpa mengetuk pintu, seperti yang selama ini dia lakukan. Memang dia sudah cukup akrab denganku. Dua tahun satu kost-an.
“Masuk Mel.” Ajakku.
“Ini, aku hendak mengembalikan kalkulatormu.” Dia melangkah masuk.
“Tumben cepet.”
“Tidak banyak soalnya.” Dia mahasiswa ekonomi di sebuah universitas di Depok.
“Oooh.”
“Soal yang tadi..”
“Sudah deh. Janji ya, kamu tidak cerita-cerita.”
“Bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Film tadi film apaan Tom?”
Hah! Aku kaget juga.
“Film.. film biru, kata orang-orang.”
“Bagus?”
Apa mau anak ini, tanya hatiku.
“Emh, lumayan. Ada ceritanya.”
“E.. boleh nonton nggak?”
Edan! Hatiku bersorak-sorak.
“Boleh. Aku puterin ya.”
Aku segera menyalakan komputerku. Mella memperhatikan saja, berdiri di belakangku. Saat film dimulai, dia menutup pintu.
“Nih tonton.” Kataku.
“Kamarmu nggak dikunci, kan?”
“Nggak. Kenapa?”
“Aku numpang tidur.”
“Lho, di sini saja. Nonton denganku. Bukankah tadi kamu sedang nonton?”
Sableng! Tapi hatiku tambah bersorak-sorak. Kesempatan nih! Si junior yang tadi males, kini menggeliat. Mella melihatnya, lalu mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Sungguh, aku tak pernah menyangka Mella seberani ini. Gimana ya? Dia memang dekat denganku, tapi aku selalu bersikap seperti teman. Aku kenal pacarnya, malah.
“Sini, duduk.” Katanya.
Bagai kerbau dicucuk hidung, aku duduk di sampingnya. Adegan demi adegan berlalu. Mella terkadang memberi komentar, cekikikan, atau bertanya padaku. Suaranya sudah terdengar lain. “Kena lu!” Teriak hatiku. Otakku semakin panas. Juga kejantananku.
“Eh, Tom. Tadi kamu sedang nonton, sambil.. onani, kan? Sekarang kok nggak?” Tanyanya.
Wow!
“Gila kamu. Masak di depan kamu aku mengeluarkan senjataku?”
“Nggak apa-apa kok. Aku tahu kebutuhan laki-laki.”
Kacau nih cewek!
“Aku bantuin deh.” Dia cekikikan.
“Kalau aku mau pun, curang namanya.”
“Curang?”
“Iya. Kamu lihat punyaku, aku lihat apa?”
“Kamu mau lihat punyaku?”
“Emang boleh?”
Dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Mella membuka celana panjangnya. Ya ampun! Mimpi apa aku kemarin?
Lalu sebelum membuka celana dalamnya yang berwarna pink, dia berkata, “Hei, buka dong punyamu!”
Astaga! Rejeki nih! Aku langsung saja berdiri, melepaskan sarung Bali yang kukenakan. Kejantananku langsung meloncat keluar, seperti anak anjing keluar dari sarangnya. Mella pun melorotkan celana dalamnya. Pemandangan luar biasa pun terpampang di depanku. Oooh! Glek, aku menelan liurku. Segera kukunci kamarku. Mella berdiri menatapku tak berkedip, tak menghiraukan pekikan dan erangan dari speaker komputerku. Dia mendekatiku, berjongkok. Diamatinya senjataku dengan seksama sambil tangannya perlahan-lahan meraba naik turun. Jari-jari tangannya dengan lembut mengelus mulai dari akar hingga ujungnya, menelusuri setiap urat-urat yang sudah meregang dan bertebaran di sana-sini. Ujung jari telunjuknya kemudian mengelus mulai dari bagian yang paling bawah. fantasiku.com Dan perlahan-lahan naik mengikuti alur bulu-bulu yang tumbuh hingga ke bagian tengah. Kemudian ia mulai menggenggam lagi lebih erat. Dicobanya lebih erat lagi tapi tidak bisa, genggaman jemari tangannya yang lentik itu telah penuh dengan batang tubuh kejantananku. “Aahh.” kudengar desahan dari mulutnya. Mella menggumamkan sesuatu yang tak jelas kudengar. Ia benar-benar pandai menikmati sensasi yang mengalir melalui sentuhan-sentuhan jemarinya pada kejantananku.
Sesaat kemudian ia melepaskan genggaman jemarinya, kedua tangannya menyelinap ke belakang tubuhku meremas pinggulku dan menariknya, berusaha untuk menggeser tubuhku untuk lebih maju lagi. Kubantu dengan menyorongkan pantatku ke depan punggungku. Kedua kakiku semakin terbuka lebar. Senjataku tersandar dalam keadaan tegang. Aku lalu duduk di kursi.
Wajah Mella kemudian mendekat, lidahnya menjulur keluar dan ujungnya. Sesaat kemudian menyentuh kantung yang berada di bawah kejantananku. Menyelinap lebih ke bawah lagi. Kehangatan jilatan lidahnya mulai terasa mengalir. Ujung lidahnya semakin ke bawah dan semakin ke bawah, melewati batas paling bawah dari kantung yang berisi dengan dua bola itu. Semakin ke bawah lagi nyaris menyentuh rectum-ku. Tubuhku tergetar. Tanpa kusadari pantatku sudah terangkat dengan sendirinya. Mella kemudian menatapku, tak lama kemudian ia menggerakkan jilatan ujung lidahnya naik ke atas. Perlahan-lahan. Menggaris di antara rectum dan kantong bolaku. Naik lagi. Kedua matanya masih menatapku, menikmati setiap perubahan air mukaku yang semakin memerah dibakar api birahi. Ujung lidahnya kini berada pada bagian akar kejantananku. Salah satu tangannya menyelinap di antara belahan pantatku, menyentuh rectum-ku, dan merabanya. Tubuhku tergetar lagi tangannya yang lain kemudian bergerak keluar dari belakang tubuhku. Dengan satu jari ia menarik kejantananku dari sandarannya untuk berdiri tegap. Mella melanjutkan perjalanan lidahnya, naik semakin ke atas, perlahan-lahan. Setiap gerakan nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan. Melewati bagian tengah, naik lagi. Ke bagian leher batangku. Kedua tanganku tak kusadari sudah mencengkeram ujung kursi.
Edaan! Lihai sekali gadis mungil ini. Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi dan.. “Ooops!” kejantananku meronta ketika ujung lidahnya menyentuh bagian terbawah dari kepalanya. Perlahan-lahan dengan dibantu tarikan jari tangannya ia melanjutkan jilatan ujung lidahnya mengelilingi bagian bawah kepala kejantananku. Desisan dari mulutku pun tak dapat kutahan lagi. Berulang-ulang ujung lidahnya bergerak berkeliling. Perlahan-lahan setiap putaran kurasakan bagaikan kenikmatan yang tak pernah usai, begitu nikmat, begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap kali itu pula kulihat Mella masih tetap memandang wajahku dengan penuh nafsu.
Sesaat kemudian Mella kulihat melepaskan tangannya dari tubuh kejantananku, ia menyibakkan rambutnya ke samping satu jarinya kembali menarik bagian bawah tubuh kejantananku dengan sedikit memiringkan kepalanya. Mella kemudian mulai menurunkan wajahnya mendekati kepala kejantananku. Sesaat kemudian ia mulai merekahkan kedua bibirnya. Ketika bibirnya nyaris menyentuh ia menghentikan gerakan turun wajahnya. Ia kemudian membuka mulutnya lebih lebar. Kurasakan kehangatan hembusan nafas dari mulutnya pada kepala kejantananku. Pandangan matanya kini hanya tertuju pada ujung kepala kejantananku. Ia semakin lebar membuka mulutnya, lebih lebar lagi, dan luar biasa, dengan berhati-hati ia memasukkan kepala kejantananku ke dalam mulutnya tanpa tersentuh sedikitpun oleh bibirnya!
Perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati Mella semakin menunduk dan memasukkan kejantananku lebih dalam lagi ke mulutnya. Kini seluruh bagian kepalanya sudah berada di dalam, sesaat kemudian bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian tengah batang tubuh kejantananku. Saat itulah kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian terdalam mulutnya. Tubuhku tersentak sesaat. Mella kemudian menempelkan seluruh lidahnya pada tubuh kejantananku. Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan yang luar biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuh kejantananku. Perlahan-lahan kemudian kepala Mella mulai naik dengan gerakan spiral. Bersamaan dengan itu pula kurasakan tangannya menarik turun bagian bawah batang tubuh kejantananku hingga ketika bibir dan lidahnya mencapai di bagian kepala, kurasakan bagian kepala itu semakin membengkak dan sensitif. Begitu sensitifnya hingga bisa kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan Mella begitu merasuk dan menggelitik seluruh urat-urat syaraf yang ada di sana.
Selesai melumat kepala kejantananku, ia kemudian menundukkan kepalanya lagi. Mengulanginya dengan cara yang sama. Turun naik dengan gerakan spiral, tangannya mengocok ke bawah. Menjilat, menghisap, turun lagi. Begitu seterusnya berulang-ulang. Aku tak mampu lagi menatapnya. Tubuhku semakin lama semakin melengkung ke belakang kepalaku sudah terdongak ke atas. Kupejamkan mataku. Mella begitu luar biasa melakukannya. Tak sekalipun kurasakan giginya menyentuh kulit kejantananku. Tangannya yang lain tak henti-hentinya meraba rectumku. Terkadang meraba di sekelilingnya, terkadang ia menyentuhkan ujung kukunya tepat di tengah-tengahnya. Kejantananku semakin meronta-ronta, denyut-denyut nikmat semakin kurasakan berlarian di sepanjang tubuh kejantananku. Seluruh otot di tubuhku serasa meregang. Tak kusadari mulutku mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan silih berganti dengan namanya yang entah sudah berapa kali kuteriakkan. Semakin lama kenikmatan itu semakin menggila. Tubuhku menggelinjang ke sana ke mari, pikiranku sudah melayang-layang jauh entah ke mana.
Tak kusadari lagi sekelilingku terhempas oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat syaraf di tubuhku yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Dan ketika aku nyaris sampai di tepi puncak kenikmatan kurasakan ada sesuatu yang menahan laju birahiku. Aku menggeliat. Meronta berusaha melepaskannya, namun tarikan yang menahan itu juga semakin kuat. Kemudian aku kembali ke alam sadarku. Kurasakan sesuatu memijit dan mengurut belakang leherku.
Kubuka mataku. Kulihat wajah Mella tersenyum berada di depan wajahku, tangan kirinya berada di belakang leherku, kutengok ke bawah, tangan kanannya menggenggam dengan erat persis di bagian leher penisku, mencekiknya.
“Sabar dong Tom. Ini belum selesai”, bisiknya sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pipiku. Impossible! Fantastic! Belum pernah kualami hal seperti ini. Memang ada beberapa di antara wanita-wanita yang pernah memadu cinta bersamaku, terkadang juga suka mengendalikan. Tapi belum pernah aku dikendalikan seorang wanita dengan cara sedahsyat yang barusan kualami. Mella benar-benar menguasainya, ia dengan lihainya telah menyeret diriku ke dalam gelombang kenikmatan, kemudian mengayun dan menghempaskannya, dan akhirnya menghentikannya di saat yang tepat sebelum aku terkulai lemas.
“Kamu luar biasa, Mel.” bisikku sambil menggeleng-gelengkan kepala terkagum-kagum oleh kehebatannya.
Mella tertawa manja.
“Eh, bisa mati tuh kalau kamu cekik terus begitu.” bisikku lagi merasakan genggaman tangannya yang tak kunjung mengendur pada kejantananku. Mella tertawa geli.
“Hei! Jangan sampai mati donk bisa gila aku nanti.” balasnya sambil melepaskan genggamannya pada kejantananku yang masih berdiri tegap namun sudah lebih tenang. Sesaat kemudian ia bergerak menempatkan kedua lututnya di samping pinggangku, kedua telapak kakinya menekan sisi luar kedua pahaku dan perlahan kemudian ia merangsek lebih maju lagi. Bibir lubang kenikmatannya menempel pada perutku, kedua tangannya kemudian memegang wajahku. Ia merunduk dan mengecup bibirku kuusap punggungnya dan turun kebawah meremas bongkahan seksi pantatnya.
Mella kemudian mulai menaikkan bagian bawah tubuhnya lebih tinggi lagi. Kusorongkan bagian bawah tubuhku lebih maju lagi hingga pantatku lepas dari kursi. Tangannya tak lama kemudian mulai menggenggam kejantananku. Ketika ujung kepala kejantananku sudah berada di tempat yang tepat. Mella perlahan menurunkan pantatnya. Ujung kepala Tommy Juniorku menyentuh pintu gerbang itu. Mella mendesah sesaat kemudian ia mendesakkan miliknya untuk lebih turun, dan lebih turun lagi. Ujung kepala Tommy kecilku mulai menyelip di antara celah yang mulai membuka itu. Mella berusaha mendesakkan lagi tubuh bagian bawahnya. Tertahan, didesaknya lagi. Masih tertahan. Mella membuka kedua lututnya lebih lebar lagi. Ia kemudian mendesakkan lagi pintu gerbangnya, perlahan-lahan dengan susah payah kepala kejantananku menyelinap masuk terjepit erat.
Tubuh Mella tergetar. Sesaat ia kemudian melepaskan genggaman tangannya. Kedua tangannya kini setengah bertumpu di dadaku. Perlahan-lahan kemudian ia menurunkan bagian bawah tubuhnya semakin ke bawah dan perlahan-lahan pula kurasakan batang tubuh penisku melesak masuk menelusuri kenikmatan Mella mili demi mili. Begitu sesak kurasakan walaupun terasa pula sangat licin dan hangat dan seiring dengan itu rintihan kenikmatan Mella terdengar. Semakin dalam kejantananku menerobos masuk, kepala Mella semakin terdongak ke atas sehingga akhirnya gerakan turun tubuhnya terhenti. Kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian dasar gua kenikmatan itu. Mella terduduk dengan terengah-engah, kuremas-remas pinggulnya. Beberapa saat kami terdiam dalam posisi seperti itu.
Mella kemudian menundukkan wajahnya, bibirnya menghampiri dan melumat bibirku, lidahnya masuk ke dalam mulutku dan saling memilin dengan lidahku, sesaat kemudian ia mengecup dan melumat leherku. Mella meremas dadaku dan menggoyangkan pinggulnya berputar-putar, “Aahh”, penisku bagaikan dipelintir dengan lembut, kulumat puting susunya dengan bibirku. Mella menggelinjang dan merintih, sambil menggoyang berputar pinggulnya bergerak naik perlahan, batang penisku bergerak keluar hingga hanya kepalanya saja yang tertinggal di dalam, perlahan-lahan pinggul Mella bergerak turun, hingga mentok ke bagian dasar, kemudian naik lagi dengan gerakan berputar, turun lagi, begitu seterusnya.
Bukan kepalang nikmat yang kurasakan, tubuhnya naik turun perlahan-lahan, seiring dengan desah dan rintihannya, kedua tangannya tak henti-henti meraba dadaku, terkadang ia memilin kedua puting susuku dengan jarinya, terkadang ia mengerang ketika penisku yang sudah mencapai dasar liangnya masih kutekan lebih jauh ke atas lagi, pikiranku kembali melayang-layang, terombang-ambing di tengah samudera birahi, seluruh indera tubuhku seakan terpaku kepada kenikmatan syahwat yang sedang menjajahku, menyaksikan seorang wanita yang cantik dengan tubuh mulus seksi bergerak naik turun memompakan kenikmatan demi kenikmatan ke sekujur tubuhku, kurasakan Tommy kecilku bagaikan seorang narapidana yang tersekap di penjara, meronta, menerjang-nerjang, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertahan, namun himpitan dinding penjara itu lebih banyak mengendalikannya, membuatnya semakin lama semakin tak berdaya, kurasakan waktu baginya sudah tak lama lagi, kukerahkan segenap kemampuanku untuk bertahan, kucoba mengatur napasku yang terengah-engah. Mella melumat bibirku, “Aahh”, betotan nafsu yang dipompakannya lebih berkuasa ketimbang akal pikiranku, nikmat yang kurasakan semakin memuncak, kurasakan penisku sudah berdenyut-denyut, “Ahh, biarin, biarin Tom, sshh, let it go, mmhh.” bisiknya sambil mendesah, rupanya ia mengerti aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku ketika dilihatnya aku terdiam dengan mata terpejam.
Mella kemudian memeluk dengan erat leherku, menarikku hingga tubuh kami melekat dan menyatu, sesaat kemudian bibirnya merapat ke bibirku, kami saling melumat bibir. Mella sesaat kemudian menggerak-gerakkan pinggulnya tanpa menaik turunkan pantatnya, dan kurasakan tommy kecilku bagaikan dikocok-kocok oleh sebuah tangan yang sangat lunak dan licin, terkadang terasa ada remasan-remasan lembut. Mella juga seakan terbawa oleh kenikmatan yang diberikan kepadaku, ia merintih dan mengerang di telingaku, kurasakan waktuku sudah semakin sempit. Kupeluk tubuhnya dengan sejadi-jadinya, kenikmatan sudah berada di pinggir puncaknya, penisku bergetar-getar semakin keras dan, satu, dua,
“Yahh, keluarin, ahh, lepasin Tom.”
Getaran itu semakin keras, tiga, empat,
“Ahh, mmhh, mmhh” bisiknya.
Seluruh tubuhku kini bergetar dengan keras, lima, jebol, penisku memuntahkan isi perutnya, menyembur-nyembur, membasahi bagian dasar rongga kenikmatan Mella, tak kusadari aku sudah mengangkat tubuhku berikut tubuh Mella lepas dari kursi, setengah berdiri. Perlahan aku menurunkan tubuhku duduk kembali, kusandarkan kepalaku, menikmati sisa-sisa gelombang kenikmatan yang baru saja kualami. Napasku terengah-engah, begitu pula Mella.
“Ouchh, hh, mmhh, gila, nikmat banget.” bisik Mella sambil mengecupi bibir dan keningku. Kutahu Mella belum sampai ke puncak kenikmatannya. Mella tak bergeming dari posisinya, penisku yang masih berada di dalam rongga kenikmatannya kini kurasakan sedikit melembek.
“Sorry, aku mengecewakan kamu”, bisikku meminta maaf.
“Ah, nggak”, bisiknya kemudian mengecup lembut bibirku.
Mella melihat sekaleng Budweiser di atas mejaku, kemudian menjulurkan tangannya untuk meraihnya. Membukanya. Ia meneguknya sesaat, kemudian menyorongkannya ke bibirku, kuteguk sedikit. Minuman bersoda itu begitu nikmat membasahi kerongkonganku yang kering setelah memadu birahi. Mella kemudian mencoba merengkuh tubuhku, kutahu keinginannya untuk berpelukan, kusorongkan tubuhku, kedua tanganku kulingkarkan ke punggungnya. Kami berpelukan erat.
Tak lama kemudian, ada pijatan kurasakan pada punggungku, rupanya Mella memijit-mijit. Tak lama kemudian seluruh tubuhku terasa segar kembali, rasa segar dari minuman dan pijitan-pijitan Mella itu telah mengusir rasa penat setelah bercinta yang kurasakan. Kurasakan bibir Mella yang sejak tadi berada di leherku kini mulai mengecupinya, saling berganti dengan lidahnya yang juga mulai bereaksi, mengalirkan rasa hangat ke dalam tubuhku. Kuresapi nikmatnya perlakuan Mella pada diriku itu. Ahh, kurasakan pada penisku yang sudah melembek itu ada sesuatu yang meremas-remasnya, darahku berdesir menyadari apa yang dilakukan Mella dengan menggunakan rongga kenikmatannya pada penisku, remasan-remasan itu semakin terasa seiring dengan mulai tegapnya penisku, satu dua kali terkadang Mella menggerakkan pinggulnya, penisku semakin tegap, salah satu tangan Mella bergerak ke belakang tubuhnya, turun mengusap kantong zakar penisku, meriam kecilku mulai meregang keperkasaannya, otot-otot di seluruh tubuhnya mulai meregang, bak binaragawan yang sedang berlomba, kepalanya semakin lama semakin menjulur ke atas. Mella semakin menggoyangkan pinggulnya, dan, sept! Kepala penisku menyentuh bagian dasar gua kenikmatan Mella. Tubuh Mella tergetar sesaat.
“Ahh, Benar perkiraanku!” sorak Mella dengan suara berbisik, matanya berbinar-binar.
“Apaan sih?” tanyaku sambil tersenyum.
“Nggak usah tanya-tanya ah! Kamu emang jagoan! Hebat kamu, cuman semenit sudah, hi, hi, hi.” Mella terkekeh.
Aku hanya tersenyum, dalam hati aku benar-benar angkat topi kepadanya. Ia benar-benar pandai menghargai perasaan pasangannya. Padahal kalau kupikir-pikir sebenarnya kalau nggak dari upayanya yang lihai itu mana mungkin aku bisa siap ‘tanding-ulang’ dalam waktu secepat itu. Kebiasaanku paling tidak butuh setengah jam, itupun kalau nggak ketiduran. Mella menjulurkan tangannya untuk meletakkan gelas minumannya di meja. Ia menggerakkan tubuhnya naik, perlahan-lahan mengeluarkan penisku dari rongga kenikmatannya, dan sebelum bagian kepalanya terlepas ia menggenggam bagian bawahnya, kemudian ia melanjutkannya hingga tinggal ujung kepala penisku yang masih menempel di mulut gua kenikmatannya. Mella terdiam beberapa saat dalam posisi seperti itu, dan perlahan-lahan cairan muntahan penisku keluar dari dalam guanya, menetes dan jatuh ke kepala penisku, kemudian mengalir ke bawah membasahi pangkal pahaku.
Setelah tak ada lagi yang menetes keluar. Mella mengambil tissue yang ada di atas meja, perlahan-lahan ia membersihkan cairan yang membasahi pangkal pahaku itu, tanpa membuat ujung kepala penisku terlepas dari bibir liang syahwatnya. Sesaat kemudian ia membuang tissue itu dan menggerakkan tubuhnya turun, membenamkan kembali penisku untuk masuk ke dalam kehangatan rongga yang licin itu, ia menggigit bibir bawahnya. Dan bagiku itu adalah suatu tanda untuk memulai lagi perjalanan bahtera birahi kami. Kurengkuh tubuhnya dan tanpa memisahkan tubuh kami yang sudah menyatu perlahan kubaringkan ia di tempat tidurku. Tubuhku bertumpu pada siku menindih tubuhnya. Kami saling berpandangan, kubelai rambutnya, ia mengusap dadaku.
“Kamu luar biasa”, bisikku dengan nada kagum kepadanya.
Aku mulai menarik mundur senjataku, perlahan-lahan. Mella melumat bibirku, kudorong maju lagi, mundur, maju, semuanya dengan perlahan-lahan, kedua tangan Mella pun tak tinggal diam, berkeliaran di belakang tubuhku, ia melepaskan lumatannya pada bibirku dengan napas terengah-engah, dan sesaat kemudian telah berubah menjadi desah dan rintihan, tubuhnya mulai menggelinjang, sesaat kemudian ia menumpangkan salah satu kakinya ke atas sandaran kursi, mengangkang lebih lebar, kedua tangannya kemudian merayap ke pantatku, meremas dan menekannya, setiap kali bergerak naik ke atas ia selalu menekannya kembali, kucoba agak mempercepat gerak naik turunku, ia kini melepaskan tekanan tangannya, kusadari keinginannya, kuturunkan salah satu kakiku memijak lantai, perpaduan posisi tubuh kami kini membuatku lebih leluasa untuk bergerak makin cepat, pinggul Mella mulai bergerak mengimbangi, kupercepat gerakanku, kupercepat lagi hingga batas yang memungkinkan, kupertahankan kecepatan itu tanpa mengurangi atau melebihinya, kurasakan rongga kenikmatan Mella semakin membasah dan licin, mulutnya tak henti-hentinya mendesah, merintih, mengerang, kukerahkan seluruh tenagaku untuk memompakan terus kenikmatan demi kenikmatan kepadanya.
Tommy kecilku, ia begitu perkasa, meregangkan seluruh otot-otot di tubuhnya untuk bertempur dengan gegap gempita, mendesak, menerjang kesana kemari, tak memberi kesempatan sedikitpun kepada musuh untuk menguasai jalannya pertempuran, memporak-porandakan seluruh pertahanan musuh.
Mella semakin larut dalam kenikmatan, bagian belakang tubuhku mulai dari punggung hingga pantat habis diremas-remasnnya, ia kemudian menaikkan kedua kakinya melingkari pinggangku, kedua tumitnya saling mengait, mengunci tubuhku, kedua tangannya menarik dan menekan pantatku, pinggulnya naik bergerak ke atas menyambut setiap gerak turun tubuhku, seolah ingin membantu menghunjamkan penisku lebih dalam lagi ke dasar liang kenikmatannya. Keringat mulai mengucur di seluruh tubuhku jatuh dan bercampur dengan keringat tubuhnya, kedua tubuh kami bagaikan di hempas gelombang badai, terbanting-banting di tempat tidur, tulang pubic kami secara ritmis saling bertabrakan, menerbitkan pekikan-pekikan lirih dari mulutnya, wajahnya kian memerah, kedua alisnya semakin mengernyit, kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin lama semakin menghimpit, otot-otot di dalamnya semakin terasa meremas-remas, kulihat kedua matanya sudah setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dengan lidah mengambang di tengah-tengahnya, ia rupanya sudah berada di ambang puncak kepuasannya. Tak lama kemudian ia memeluk diriku sejadi-jadinya, kubalas dengan memeluk erat tubuhnya, kubenamkan penisku sedalam-dalamnya, hingga menyentuh dasar, dan kubiarkan terdiam menekannya, kunanti saat-saat yang paling mengesankan itu, dan tak lama kemudian, dinding-dinding rongga kenikmatannya mulai berkontraksi, semakin lama semakin keras, dan semakin keras, berkontraksi dengan hebat.
Mella memekik lirih, kugerakkan pinggulku maju mundur perlahan-lahan, sambil menekan tulang pubicnya dengan bertenaga, kudekap dengan erat bongkahan pantatnya, kontraksi itu semakin berkelanjutan, seiring dengan gerakan pinggulku, dibarengi oleh pekikan-pekikan lirih Mella, seluruh tubuhnya bergetar hebat, entah sudah berapa kali ia meneriakkan namaku di sela-sela pekikannya, sehingga ia tak sanggup lagi meneriakkan pekik nikmatnya itu, agaknya kenikmatan itu terlalu memuncak baginya. Mella menggigit bahuku, beberapa detik lamanya, hingga akhirnya pelukannya mulai mengendur, tangannya menahan pinggulku untuk menghentikan gerakannya, tubuhnya terkulai, kusandarkan kembali kepalanya, ia terpejam dengan napas terengah-engah.
Mungkin hampir dua menit lamanya ia dalam keadaan seperti itu, kubiarkan ia menikmati sisa-sisa kenikmatan yang barusan dirasakannya. Napasnya semakin teratur dan tak lama kemudian ia membuka kedua matanya.
“Wow”, bisiknya lirih.
Aku hanya tersenyum, kuusap keningnya yang basah oleh keringat, kemudian kukecup dengan lembut. Kedua tangannya kemudian mengusap punggungku, menyapu keringat yang membasahi di sana, kemudian wajahku, dadaku. Jari tangannya bagaikan otomatis memilin puting dadaku, membuatku meggelinjang, penisku yang masih berdiri tegar dan kokoh menggeliat di dalam benaman rongga kenimatannya.
“Aku mau lagi”, bisiknya dengan suara mendesah.
“Silakan, sayang”, sahutku dan kemudian mulai mengecup dan melumat bibirnya. Sesaat kemudian aku mulai bergerak lagi, memompakan kenikmatan bagi kami berdua, yang semakin lama semakin memuncak, desah dan rintihannya kembali menggema memenuhi ruangan kamarku, seiring dengan gelinjang dan geliatan tubuhnya, pinggulnya menari-nari mengimbangi setiap ayunan tubuhku, kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin sensitif, hampir dalam setiap gerakan tubuhku disambutnya dengan remasan-remasan, otot-ototnya mencengkeram dan melepas bergantian, seiring dengan keluar masuknya penisku, mencengkeram di saat ia hendak keluar, dan melepaskannya ketika masuk, begitu nikmat, dan kenikmatan itu begitu terasa menguasai seluruh urat syarafku, nyaris kembali membobolkan pertahananku. Namun Mella tak membiarkannya, ia menekan pinggulku untuk berhenti bergerak, dan terdiam beberapa saat untuk mengendorkan serbuan rasa nikmat yang menguasai diriku, hingga aku mampu mengontrol kembali diriku, dan bergerak lagi, menabuh irama birahi bersamanya, dan menarikan tarian nafsu birahi, menggelinjang, menggeliat, merintih, mendesah, mengerang, silih berganti, dan menghentikannya disaat aku mulai kehilangan kendali, demikian seterusnya.
Entah sudah berapa kali aku terhenti untuk mengendalikan diriku, terkadang aku sendiri mampu mengontrolnya namun tak jarang pula Mella dengan piawainya mengetahui dan menghentikan irama percintaan kami, namun dengan cara bercinta seperti itu yang jelas sudah beberapa kali kurasakan serangkaian kontraksi pada dinding liang kenikmatannya yang diiringi pekik-pekik lirihnya. Mella benar-benar mengendalikan diriku, yang ditunggangi untuk mengantarnya berkali-kali ke puncak kenikmatannya. Namun aku tak peduli, karena kenikmatan yang kurasakan juga benar-benar membuai diriku, begitu lama, begitu panjang, membuatku lupa akan dunia nyata, lupa waktu, lupa berada di mana, yang ada hanya diriku dan dirinya di suatu tempat yang kutak tahu dimana dan apa namanya, semuanya begitu maya. Tubuhku dan tubuhnya sudah bersimbah peluh hasil olah asmara kami, namun semua itu tidak kami pedulikan, kami terus bergerak dan bergerak.
Mella kemudian berbisik di telingaku meminta untuk berada di atas ketika dilihatnya kedua tanganku yang menopang tubuhku tak kusadari sudah gemetaran. Dengan serta merta kuangkat tubuhnya untuk duduk di pangkuanku. Mella membalas dengan memeluk erat tubuhku, kemudian dengan berhati-hati kuputar posisi tubuhku dan perlahan-lahan rebah bersandar menggantikan tempat Mella, tanpa melepaskan sedikitpun pertautan tubuh kami. Mella kemudian mulai menggerakkan pinggulnya, kedua tangannya bertumpu pada dadaku, sesekali tubuhnya membungkuk mendekat dan kemudian bibirnya melumat bibirku, lidahnya terkadang menyelinap masuk dan memilin lidahku, dan jika tubuhnya menjauh dengan serta merta kuciumi buah dadanya, kuhisap puting susunya, membuatnya semakin mengerang-erang nikmat, kedua tanganku tak henti-henti menjalari seluruh tubuhnya, punggungnya, pinggulnya, kedua bukit pantatnya, dan meremas-remas di sana, menyentuh dan meraba rectumnya, tubuhnya semakin hebat menggelinjang dan menggeliat, dan serta merta pula kurasakan remasan-remasan pada sekujur batanganku semakin menjadi-jadi.
Kami bagaikan sepasang pendaki yang sedang menjelajahi rimba asmara, bergegas, berpacu, mengerahkan seluruh tenaga, untuk bersama-sama menuju ke puncak kenikmatan, terkadang salah satu di antara kami tertinggal, maka yang lain menunggu dan menggapai untuk kembali berpacu bersama, saling memacu, saling menunggu, seolah ada kata sepakat yang tak diucapkan, hasrat yang tak tersirat, yaitu ingin meraih puncak itu secara bersama-sama. Upaya itu akhirnya tak sia-sia ketika Mella melihatku meregang menahan nikmat dan kurasakan pula kontraksi liang kenikmatannya mulai terasa, dengan satu jeritan lirih ia menghunjamkan pantatnya ke bawah sejauh-jauhnya, penisku melesak masuk hingga ke akar-akarnya. Mella kemudian merebahkan tubuhnya menindih tubuhku, ia memeluk dan membenamkan wajahnya di samping wajahku, kupeluk dengan erat punggungnya, kedua kakinya tak lama kemudian merapat, dinding rongga kenikmatannya semakin hebat menghimpit seluruh kemaluanku, kemudian ia menggerakkan pinggulnya naik turun dengan hanya mengkontraksikan otot yang ada di pantat dan pinggulnya, mengocok dan meremas batang penisku, perlahan-lahan, denyut-denyut di sekujur tubuh kemaluanku bagaikan saling sahut menyahut dengan kontraksi liang kenikmatannya, semakin lama semakin intens.
Mella mengerahkan segala kemampuannya untuk menggiring gelora kenikmatan kami selama mungkin, tak sekalipun ia mempercepat gerakan pinggulnya, tetap perlahan-lahan, meremas, mengocok, rintihan dari mulutnya semakin menjadi-jadi, silih berganti dengan namaku yang disebut-sebutnya, tubuhku dan tubuhnya semakin meregang, otot-otot di seluruh tubuhku seakan dibetot keluar secara perlahan-lahan, semakin lama pelukan kami semakin menggila, kami berdua terengah-engah berusaha menarik napas yang semakin lama semakin sulit, seiring dengan kenikmatan yang sudah di ambang batas puncaknya, sejengkal demi sejengkal, langkah demi langkah, berusaha meraih puncak kenikmatan, kutahan napasku, dan mungkin juga sudah tak mampu bernapas lagi, dan..
Uaahhgh!!
Tergapailah puncak kenikmatan itu, gelombang demi gelombang kenikmatan menerpa tubuh kami berdua. Mella menjerit-jerit histeris, saling memeluk dan merengkuh dengan diriku, seakan hendak meluluh lantakkan masing-masing tubuh kami, gelombang itu tak surut-surutnya melempar-lemparkan kedua tubuh kami ke dalam samudera kenikmatan, bagaikan pusaran air, menghisap dan menelan tubuh kami ke dalamnya, hingga akhirnya kurasakan mataku berkunang-kunang, pikiranku melayang-layang, sekelilingku serasa buram, samar-samar, yang ada hanya nikmat yang kurasakan menggedor-gedor seluruh jiwaku, tak kusadari lagi semua yang ada di luar diriku, bahkan tubuhku sendiri sudah tak terasa lagi, entah ada entah tiada. Entah berapa lama aku dalam keadaan tak sadar seperti itu, hingga akhirnya perlahan-lahan kurasakan sakit pada bahuku seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih, saat itulah kusadari ternyata aku masih menahan nafasku dan serta merta dengan tersengal-sengal kutarik nafas sebanyak-banyaknya. Kulihat bahuku yang berdarah dan bertanda bekas gigitan.
“Hebat kamu, Mel.”
“Kamu juga.”
“Eh, apa yang terjadi sebenarnya?” Tanyaku.
“Seorang cewek tergoda penismu yang besar itu, Tom.” Dia tersenyum.
“Bagaimana dengan Romy?” Aku bertanya soal pacarnya.
“Biar dia tetap jadi pacarku. Kamu, kamu jadi kuda pacuku. Punyanya kalah besar dibanding kamu. Aku sulit untuk mencapai kepuasanku.” Dia mengecup pipiku, “Terima kasih, Tom.”
“Sama-sama.” Sambil kulumat bibirnya.
“Sudah ah. Tugasku belum selesai. Tadi aku pura-pura saja, kok. Gila, aku tak bisa konsentrasi melihat kejantananmu yang gede itu”, Dia mengambil kalkulator lagi, “Kupinjam lagi ya. Siapkan penismu saat ini kukembalikan. Dan yakinlah, aku akan lebih sering meminjam kalkulatormu.”,,,,,,,,,,,,,,,,,,