Aku menghirup nafas dalam-dalam. Aroma ini, kenapa sangat enjoy? Mataku tetap terpejam, tapi kesadaranku mulai kembali. Ah… Kubenamkan wajahku ke dalam bantal Herman serta menghirup aromanya. Tunggu dulu, kemana dia?
Aku mengerjap pelan serta melihat tempat kosong di sampingku. Aku baru ingat kalau selagi ini Herman tidur di kamar sebelah. Tapi… Kenapa kini aku malah ingin menghirup baunya? Dengan wajah kusut aku turun dari tempat tidur. Berlangsung menuju kamar sebelah. Dirinya tetap tidur pulas saat aku masuk ke dalam.
dia tetap saja tetap semacam anak-anak saat tidur. Aku naik ke atas ranjang, masuk ke dalam selimut lalu memeluknya. Kubenamkan wajahku ke dalam lehernya lalu kuhirup dalam-dalam. Kurasakan ia bergerak dalam tidurnya.
“Uugh… Cik,” gumamnya tak jelas setengah sadar.?Aku tak menjawab, hanya terus tak sedikit menghirup aromanya. “Ciki, kau ada di sini?” tanyanya terkejut saat telah sadar sepenuhnya.
Aku tersenyum padanya lalu menyeruakkan wajahku lagi ke lehernya. “Baumu enak,” bisikku pelan. Menghirup lagi aromanya, tapi Herman menjauhkan wajahku lalu duduk, menatapku dalam.
“Kau telah tak mual lagi?”?Aku ikut duduk sambil menggeleng pelan.
“Tidak ingin muntah?”
Aku menggeleng lagi.
“Jadi aku bisa mendekatimu?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Greeep… Aku sedikit terkejut saat ia merengkuh tubuhku kuat.
“Aku merindukanmu,” bisiknya lirih.
Aku membalas pelukannya.
“Aku juga…” bisikku.?Dia mengecup kening, pipi, hidung serta bibirku. “Akhirnyaaa…” serunya sambil tersenyum lebar.
Aku tertawa kecil melihatnya. Seulas kenangan kami dari awal berjumpa hingga saat ini seolah berputar di memori otakku. Alangkah ajaibnya takdir.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku memejamkan mataku sejenak.
“Semacam yang kau pikirkan,” bisikku sambil tertawa.
Cuup… Ia mengecup bibirku.
“Kamu cantik,” bisiknya lalu mengecupi bibirku, mengubahnya sehingga lumatan-lumatan manis.
Bruuk… Aku terjatuh ke ranjang, tapi ia tak melepaskan ciumannya. Kurengkuh lehernya erat-erat, meremas rambut halusnya.
“Mmmmm… kau wajib ke kantor,” bisikku di sela ciumannya.
Dia menghentikan ciumannya. Menempelkan keningnya di keningku sambil memejamkan mata. “Aku tak ingin pergi hari ini.”
“Kenapa?”
“Aku ingin bersamamu seharian,” jawabnya. “Hampir dua minggu, Cik, aku sangat merindukanmu…”
Aku tersenyum. “Apa aku wajib berbohong pada sekretarismu?”?“Tidak butuh, biarkan saja…” balasnya lalu mulai melumat bibirku lagi lebih dalam.
“Mmhh…” suara decakan mulai terdengar.
Herman menahan tubuhnya dengan tangan supaya tak menindih perutku. Dirinya sangat melindungi bayinya. Serta aku pasti saja.
Dibukanya bibirku dengan lembut, lidahnya terjulur menjilat-jilat lidahku. Mencampur air liur kami. Ah, hampir dua minggu aku tak merasakan sentuhannya. Aku tahu alangkah tersiksanya dia. Kuharap bayi kami baik-baik saja seusai ini, tak mengharapkan sesuatu yang aneh.
Baca cerita sex lainya di www.orisex.com
Suara kecapan terus keras. Nafasku mulai terputus-putus. Bibirnya terasa sangat manis serta lembut, membikinku ingin terus mengulumnya. Kuhisap lidahnya di mulutku serta ia menjerit tertahan. Sesekali ia memberi jeda untuk kami mengambil nafas.
“Mmhh…” aku melenguh pelan.
Bibirnya mulai bergerak turun ke bawah. membikinku mendongak, memudahkannya untuk menyusurinya. Detak jantungku mulai tak beraturan. Nafasku mulai tersengal. Bibir Herman terus merambat ke segi lain leherku serta terus naik ke atas, ia menggigit lembut telingaku. Terpaan nafasnya yang hangat, nyaris membikinku hilang kendali.
“Nghh…” Darahku berdesir cepat.
Aku menggeliat pelan dalam dekapannya. Ia tetap terus menyusuri leher tahap belakang telinga kananku.
“Ngghhh…” desahnya lembut disela-sela bunyi decakan dari kecupannya. Ia luar biasaku pelan untuk duduk. Dilepasnya kaos longgar yang kupakai, kemudian tangannya bergerak ke belakang bersama dengan bibirnya yang mengecupi setiap inci bahuku.
“Ngghh… hhh…” desahku pelan.
Kukecup bahunya serta berhenti di satu titik untuk membikin hisapan lembut. Aroma keringatnya tercium jelas. Sisa dari masturbasi yang diperbuatnya semalam bersamaku di telepon.
“Enghhh…” erangnya tertahan.
Tangannya bergerak membuka kait braku, kemudian membuang benda itu entah kemana. Serta dengan cepat ia melepaskan kaosnya sendiri kemudian mendorongku untuk kembali tidur.
Ia mencium keningku lembut. Mataku, pipiku, hidungku kemudian bibirku lagi. Ditekannya lembut bibirku, membasahinya. Ia melumat lembut sambil menekannya terus dalam, membikinku terus ingin membalasnya.
“Mmhh…” desahan-desahan kami terdengar kembali bersama decakan-decakan bibir kami yang memenuhi ruang kamar itu.
“Nggh… Her!” aku merasakan jari telunjuknya menyusuri kedua buah dadaku. Menekan-nekan putingnya.
Kemudian diremasnya payudara sebelah kiriku lembut. “Aaahhh…” aku menggeliat dalam pelan.
Bibir Herman turun ke bawah mencium daguku… leherku… ia mengecupi belahan
dadaku sebelum akhirnya ia menjilati puting dada kananku. Dikulumnya puting payudara itu serta dimainkannya dengan lidah di dalam mulutnya yang basah sementara ia tetap meremas payudara kiriku sambil memilin-milin putingnya. Memutarnya sambil menekan-nekannya.
“Ssshhh…” perutku terasa diaduk-aduk terus cepat.
Bagian bawah pada tubuhku berkedut-kedut dengan cepat. Kakiku tak bisa diam serta terus bergerak menggesek kakinya.
Herman menyedot putingku kuat-kuat, membikin buah dadaku itu mengeras.
“Tidak ada susu,” bisiknya.
“Dasar bodoh!!” balasku.
Ia tersenyum kemudian meremas dadaku yang sebelah, meperbuat faktor yang sama. Aku meremas rambutnya yang halus. Tiba-tiba ia melepaskan hisapannya kemudian bangun serta melepas sisa baju yang menempel di tubuhku serta di tubuhnya sendiri.
Ia saat ini berbaring di sampingku, telanjang. Serta luar biasaku supaya naik ke atasnya. Aku duduk di pahanya lalu merunduk, membikin kontolnya yang mulai tegang, menusuk perutku.
“Nghhh…” ia melenguh pelan.
Kukecupi kulit lehernya. Aku merasakan sensasi aneh saat payudaraku menempel pada kulit dadanya yang bidang. Terasa panas. Aku mengecup pipinya yang mulai tembam itu berkali-kali. Kemudian turun lagi mengecupi lehernya. Sengaja kugeliatkan badanku pelan, membikin kontolnya yang menusuk perutku tergesek pelan bersama dengan dadaku yang menggesek dadanya.
“Aaghh…” ia mendesah keras saat aku mengulum putingnya.
Perlahan, kugerakkan tanganku ke bawah sana, mengelus batang kemaluannya.
“Aaagghh…” ia mendesah tertahan sambil meremas rambutku.
Kusedot kuat putingnya bersama dengan remasanku yang terus kuat di kontolnya.
“Arrrgh…hhhh…” ia mengerang kuat, hingga tubuhnya melengkung ke atas.
Lalu kurasakan tanganku basah. Semacamnya kontol Herman mulai mengeluarkan lendir bening.
“Uughhh… Ciki…” aku suka mendengarnya menyebut namaku.
Aku bergerak lagi ke bawah menciumi perutnya hingga ujung kontolnya merambat ke atas, menggesek belahan dadaku.
“Nghhh…” aku mendesah menikmati sensasi batang kontolnya yang menggesek-gesek kedua dadaku. Terasa dingin oleh cairan precumnya.
“Aahhh… shhh…” Ia terus melebarkan kakinya, serta aku terus mengecupi perutnya terus ke bawah.
“Uuughhh…” Tubuh Herman menegang saat aku mengecupi biji pelirnya. “Cikii oohh…”
Perlahan, kugesekkan kontolnya pada ujung daguku. Basah, daguku terasa basah. Ujung kontolnya berwarna merah dengan testis berkerut. Kuhembuskan nafasku sambil meniup benda itu. Herman berdesis pelan tetap dengan memejamkan matanya. Wajahnya terkesan tersiksa dengan mulut terbuka. Aku rutin menyukai ekspresinya saat menahan nikmat. Kuremas batang kontolnya pelan.
“Ssshhh… aaaahhh…” Herman mendesah.
Kuelus-elus juga biji pelirnya yang mengerut dengan jari telunjukku.
“Nghhh… ooohhh…” dirinya mengerang tertahan.
Kemudian, kukecup lembut berbagai kali hingga membikin tubuhnya mengejang. “Mmmhh…” kecupanku merambat ke bawah. Begitu pelan. Merasakan urat-urat kontol Herman yang bertonjolan hingga hingga ke pangkalnya.
“Sshhh… lebih cepat, sayang… ughh…” racau Herman. “Ooohh… sangat nikmat… ssshhh…”
Terus kusedot-sedot serta kuhisap-hisap. Kujilati dengan lidah basahku.
“Aaahhh… Cikii… engghhh…” Lendir bening yang dikeluarkannya menjadi terus tak sedikit.
“Ooh… aaahhh… nghhh… hhhh…” Kukecup lagi ujung kontolnya, lalu kuhisap kuat-kuat.
“Aarrghhh… Cikkiii…” Herman mengerang tertahan.
Kumasukkan kontolnya ke dalam mulutku lalu mulai mengulumnya.
“Mmhhh… mmmm…”
“Aaahh… aaahh…” Herman menggelinjang.
Tanganku mengocok tahap bawah sementara mulutku bergerak naik turun mengemut batangnya. “Aaaghhh… nghhhh… ssshhh…” tangan Herman meremas kuat rambutku, mendorong kepalaku supaya kontolnya masuk lebih dalam ke mulutku.
“Mmmhh… mmmhhh…” terus kusedot-sedot benda panjang itu. Membasahinya dengan air liur sambil sesekali menggesekkan gigiku pada kulitnya yang berlendir.
“Ooohhh… yeaahhh… ssshhh…” Herman terus kelojotan.
Kupercepat gerakan mulutku. Kurasakan denyutan di batang kontol Herman.
“Cikkii… uuughhh… nghhh… aahh… akuuhh…” tubuh Herman terus melengkung. Kuhisap kuat-kuat kontolnya. Serta…
“Mmm… mmmnnhhh… aahh… nghhh… aaaaaaaaggghhhhh…” lenguhnya sambil menekan kepalaku kuat-kuat.
Aku merasakan cairan payau yang menerobos tenggorokanku, membikinku hampir tersedak. Kuteguk semua cairan itu tetap sambil mengulum kontolnya, lalu kujilati hingga bersih.
Nafas Herman naik turun. Ia memejamkan mata sambil membuka mulut untuk menghirup nafas sebab celah hidung saja tak lumayan untuk meraih udara. Aku tahu dirinya sangat lega. Ingat, aku hampir dua minggu tak menyentuhnya.
Tiba-tiba saja dirinya bangun. Ditariknya aku hingga duduk di pangkuannya. Dikecupnya kening, pipi, hidung serta bibirku. Ia tersenyum sambil menatapku. Tangannya mengelus-elus pinggangku. Membikin tubuhku menegang seketika. Kupeluk erat lehernya.
Ia sedikit membawa tubuhku. “Ngghh…” aku mendesah saat merasakan ujung kontolnya menggesek liang memekku. “Aaaahh…” kami mendesah bersama merasakan sensasinya. Rasa ngilu serta nikmat bercampur menjadi satu, sangatlah menggairahkan.
“Mmmhh…” bibir Herman turun ke bawah, mengulum putingku, memainkannya dengan lidahnya.
Pembalasan Perselingkuhan
“Aaahh… aaah… uuugh…” aku bersi kukuh dengan ritme pelan, bagaimanapun tetap ada nyawa di dalam perutku.
“Aaahh… Ciki… oooh… berhenti… aaah…” pintanya.
Aku berhenti serta memisahkan diri darinya. Ia menuntunku untuk berbaring di tempat tidur. Diusapnya peluh di dahiku. “Kau lelah?” bisiknya pelan.
Aku tersenyum.
“Sedikit,” bisikku.
“Hanya sebentar,” balasnya lalu membuka kakiku lebar-lebar. Ia menunduk,
mengecupi perutku yang sedikit buncit.
Aku tersenyum sambil mengelus kepalanya saat ia membenamkan wajahnya ke dalam perutku. Nafasnya terasa panas di kulit. Kemudian kepala Herman bergerak ke bawah.
“Aaaarrgh… Herr… ssssssshhh…” erangku saat merasakan lidahnya menggelitik
belahan memekku.
Dijilatnya memekku yang telah becek, dihisapnya klitorisku hingga berdecit. Kemudian dimasukkannya lidahnya ke dalam celah memekku. “Aaah… Herr… ooohhhh…”
Digelitiknya bibir memekku kemudian disedotnya kuat-kuat. “Aaarrgghhhh…” Memekku berdenyut kuat bersama cairan yang meluber keluar. Aku diam menikmati sensasinya. Orgasme pertamaku.
“Ooohh…” bibirku mulai mendesah lagi saat merasakan ujung kontolnya yang menggesek-gesek celah memekku, meratakan cairanku yang baru saja tertumpah.
“Ngghhh…” aku mencengkeram seprei saat ia memasukkan miliknya perlahan hingga terbenam sempurna. Bibirnya mengecupi kakiku yang disampirkan ke bahunya.
“Aaahh… mmmmhh… ssssshhhhh…” Herman mulai menggerakkan pinggulnya perlahan.
Aku mengimbangi permainannya dengan menggerakan pinggulku berlawanan arah dengannya.
“Ngghh… oooohh… aaaaahhh…” ia menunduk, mengulum putingku lagi. Serta menjilatinya rakus.
Kupeluk erat lehernya dengan kaki sementara jari-jariku meremas-remas rambutnya.
“Her… oooh… uuumhh… aaah…”
”Cikii… ooohh…” Ia melepaskan putingku lalu melumat bibirku lagi sejenak.
Kemudian kuraih jemarinya lalu kumasukkan ke dalam mulutku. Kukulum semacam aku mengulum kontolnya.
”Mmhhh… nghhh… hhhh…” bunyi decakan terdengar terus menggairahkan.
Tapi aku tahu, gerakannya lebih lambat dari biasanya. Ia sangat berhati-hati hari ini.
Aku merasakan tubuh Herman terus menegang. Memekku terasa becek oleh cairan lendir yang terus menerus keluar, membikin kontolnya terus mudah masuk.
“Aaah… aaah…” perutku rasanya semacam diaduk-aduk. Memekku berkedut terus kuat. Hingga akhirnya,
“Aaaaaaaaarrrghh…” aku mengerang keras saat cairanku memancar keluar. Memekku berdenyut kuat meremas kontolnya.
”Aaarrrggghh…” Herman ikut mengerang sambil menghujamkan kontolnya dalam- dalam. Aku bisa merasakan spermanya yang hangat mengalir dalam perutku.
“Aaah…” ia mendesah lega.
Menjatuhkan tubuhnya di sampingku.
Aku diam mengatur nafas sambil menikmati sisa-sisa dari orgasme kami. Kurasakan sentuhan jari-jarinya yang merapikan rambutku. Suatu kecupan mendarat di pipiku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan.?***
“Her…” aku memelas kepadanya.?Herman memberantakan rambutnya.
“Bagaimana kalau aku saja?” tanyanya. Aku menggeleng tegas.
“Ayolah… lagipula belum pasti Azka bakal bersedia meperbuatnya…” “Dia mau meperbuat apapun untukku!!”
“Tapi… tapi menampar wajahnya… Ahh, kenapa kau wajib ingin menampar wajahnya?? Dirinya tak bakal mau, Cik, itu bakal sangat memalukan untuknya!!”
“Aku sempat menyuruhnya jalan mundur di kampus serta dirinya meperbuatnya dengan bahagia hati, itu lebih memalukan untuknya,”
“Dia… dirinya bersedia?” tanya Herman tak percaya.
Aku mengangguk lagi.
“Tidak boleh!!” tegasnya sambil melipat tangan di depan dada.
“Ayolah… aku hanya ingin menampar pipinya itu…”
“Bagaimana kalau pipiku saja?” tawarnya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.
Aku mengecup pipinya kilat lalu tertawa. “Aku mau Azka!!”?“Cikii…” mohonnya. “Aku tak ingin kau menyentuh laki-laki lain… serta, serta
kenapa dirinya mau meperbuatnya untukmu?”
Aku tertegun sejenak. Astaga… Sehingga dirinya sedang cemburu eh?! Sebab Azka mau meperbuat apa saja untukku?!
“Telepon Azka sekarang!! Kalau kau mencintaiku, sewajibnya kau juga mau meperbuat apapun untukku!!” dengusku sambil memalingkan wajah.
Herman menghela nafas pasrah. Ia meraih telepon yang ada di meja aspek sofa. Dengan tak rela, dihubunginya Azka. Aku tahu dirinya pasti kesal setengah mati.
“Ini aku!!” katanya datar saat telepon tersambung.
“Dia…” ia melirikku sekilas.
“Dia baik-baik saja serta dirinya sedang hamil tujuh bulan lebih sekarang!! Bisa kau ke rumah kami? Apa? Australia?!”
Aku mengerutkan kening mendengar faktor itu, apalagi tiba-tiba Herman tersenyum lebar. Kurebut telepon dari genggamannya. “Az, ini aku…”
“Ciki, apa berita?”?Aku tertawa kecil mendengarnya.
“Herman bilang kau sedang hamil, apa itu benar?”
“Iya, kemana saja kau? Seusai lulus kuliah tak mengabariku sama sekali!!”
“Maafkan aku… aku ada di Australia sekarang,”
“Untuk apa kau di sana?” tanyaku cepat.
“Itu… emm… sebetulnya aku… aku telah pacaran dengan Yuki,”
“Yuki?” keningku berkerut.
“Yukita Hishano, bintang film yang dulu bersama kami di pulau Bali, yang bersama Herman_”
“Ah, Aku tahu. Sehingga kau kini ada di Australia?”
“Begitulah… Yuki ada pemotretan disini.”
“Kapan kau bakal kembali?”
“Mungkin minggu depan, terbuktinya kenapa?”
“Aku ingin sekali menampar wajahmu… Bisakah kau pulang sekarang?” rengekku.
“Menampar wajahku? Wajib sekarang?” tanyanya bodoh.
“Iya, sekaraaang…”
“Baiklah, aku pergi ke bandara kini juga, mungkin tiga jam lagi aku hingga,”
Aku tersenyum lebar.
“Kau yang paling baik!!!” Kututup teleponku sambil tertawa lebar. “Her_”
Cegluuuk… Aku menelan ludah saat menoleh ke arahnya. Dirinya melipat tangan di depan dada sambil menatapku tajam. “Apa katanya?” tanyanya dingin.
“Di-dia… pulang ke Indonesia kini juga,” jawabku pelan.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut.
Herman mengangguk pelan lalu melihat teve. Well, mengacuhkanku. ***
Aku melirik Herman yang tetap berkencan dengan laptopnya. Kuhela nafas sambil menatap laptopku kembali. Dirinya tetap tak mau bicara kepadaku. Memikirkan faktor itu membikinku sedikit sesak. Kuelus perutku pelan. Ini kan bukan keinginanku juga.
Tiba-tiba saja bell berbunyi. Tanpa mengatakan Herman beranjak dari duduknya lalu berlangsung untuk membukakan pintu.
“Ciikii!!!” pekikan nyaring itu terdengar memenuhi ruangan.?Aku meletakkan laptopku di meja telepon lalu tersenyum padanya. “Kau
sangatlah kembali,” senyumku.
“Tentu saja, aku telah berjanji bukan?” balas Azka sambil berlutut di hadapanku.
“Az, ingat!” sela Herman sebelum masuk ke dapur.
“Apa?” tanyaku.
Azka mengerucutkan bibirnya.
“Dia bilang aku tak boleh menyentuhmu!! Hanya kau yang boleh menyentuhku!!”
Aku tertawa dalam hati. Ah, aku terus mencintaimu Her.
“Jadi, kau bilang ingin menampar wajahku hmm?”?Aku menggeleng pelan.
“Aku telah tak ingin,”
“Apa? Lalu?”
“Aku ingin menjewer telingamu saja,” senyumku.
“Ayo, tidur di sini!!” kutepuk-tepuk pahaku yang kini sempit sebab terdesak perut besarku.
Dengan bahagia hati Azka tidur di pangkuanku. Kubelai lembut rambutnya sebelum kujewer pelan telinganya. Dalam hati aku juga sedikit rugi, kenapa bukan Herman saja.
“Cik, apa kau bahagia dengannya?” tanyanya pelan.
“Tentu saja. Aku sangat bahagia bersamanya,”
“Kalau kau bahagia, aku juga bakal bahagia,” Azka tersenyum kepadaku.
“Jadi… bagaimana dengan pacar Jepangmu huh?”
“Kau ingin aku bercerita?”
“Tentu saja,”
Aku terus menjewer-jewer pelan telinga Azka sambil mendengarkan ceritanya. Hingga tiba-tiba…
PRAAANG…!!!
“HEI, APA YANG KALIAN LAKUKAN?!!”
Aku tersentak kaget mendengar teriakan itu. Azka langsung bangun dari tidurnya. Oh tuhan… Aku melihat kilat kemarahan di mata suamiku.
“Her, aku hanya_”
“Tidak butuh dijelaskan, lanjutkan saja! Aku pergi dulu!!” potongnya dingin lalu
“Tunggu, Her,” aku beranjak dari dudukku bakal menghampirinya. Namun kakiku
terpeleset genangan susu dari gelas jatuh yang dibawa Herman tadi. “Aaaakhh…” “CIKII…!!!” Herman berteriak kaget.
Aku meringis memegangi perutku yang terasa sakit sebab benturan tubuhku yang jatuh ke lantai. Kugigit bibirku. Rasanya sangat sakit. Suara mereka mulai tak terdengar, faktor terbaru yang kulihat sebelum semuanya menjadi gelap merupakan darah mengalir disela kedua kakiku.
Aku membuka mata perlahan. Semuanya terkesan putih. Aroma obat yang tajam menusuk hidungku. Kepalaku terasa berat. “Uugh…” aku melenguh pelan.
“Cik…” suara merdu itu terdengar begitu cemas
“kau telah sadar?”
Aku mengerjapkan mata sambil menoleh ke samping dengan lemas. wajah tampan itu terkesan begitu khawatir. Matanya bengkak serta menghitam. Kuulurkan tanganku pelan, menyentuh bawah matanya. “Kau menangis?” lirihku.
Ia mengambil tanganku lalu menciuminya. “Maaf…” bisiknya “Maafkan aku…” air matanya tergenang lagi.
“Tidak apa,” bisikku
“Bagaimana bayi kita?” tanyaku cemas.
Seulas senyum terkesan di bibirnya.
“Perempuan, dirinya sangat cantik semacammu,”
Aku tersenyum lega. Terima kasih sebab tuhan tak mengambilnya lebih dulu.
“Dimana dia?” tanyaku.
“Dia prematur, sehingga tetap wajib di inkubator. Maafkan aku telah menyakitimu… aku hampir saja membunuh kalian,”
“Kau bodoh!!” makiku sambil tersenyum.
“Tapi syukurlah semuanya baik-baik saja…”
“Kau koma selagi 5 hari, Cik. Aku tak bisa membayangkan kalau kau- kalau kau…”
“Sst… semuanya telah lewat.”
“Aku mencintaimu, Cik… sangat mencintaimu.”
“Aku tahu…” senyumku.
“Aku juga mencintaimu… Jadi, siapa namanya?”
“Belum tahu, aku tetap menantikanmu siuman.” Dirinya beranjak, mengecup keningku,
“Terima kasih telah menjadi istipsu. Biar kupanggilkan dokter. Papa serta Mami ada di luar menantikanmu,”
Aku mengangguk pelan. semoga kebahagiaan ini terus bisa bersi kukuh, menjadikan keluargaku sempurna. Aku mencintainya, Tuhan. Aku sangat mencintai suamiku. Terima kasih telah memberiku peluang membikin skenario kenasiban ini bersamanya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,