Setelah sekian lama vakum dari forum ini, saya kembali menghadirkan cerita untuk kita semua.
Selamat menikmati.
Dina…
Dina adalah seorang gadis yang baru meranjak gede, yang baru duduk di bangku lima SD, yang harusnya sudah duduk di bangku satu SMP, di sebuah desa di salah satu kota di Indonesia.
Terlahir dalam tiga bersaudara dan merupakan anak bungsu yang terpaut empat tahun dengan kakak keduanya, terpaut enam tahun dengan kakak pertamanya dan merupakan satu-satunya anak gadis dalam tiga bersaudara tersebut.
Dina dibekali dengan rasa ingin tahu yang sangat besar pada apa saja yang membuat dia tertarik. Dina tumbuh seperti anak anak gadis pada umumnya, dengan buah dada yang berangsur tumbuh dan bongkahan pantat yang sedikit lebih besar dari anak gadis pada umumnya.
Dina merupakan anak dari kakak ibuku, dan enam tahun selisih umur kami. Tentunya aku yang lebih tua. Aku Ardi, anak laki-laki satu-satunya dari orangtuaku. Aku tinggal bersama orangtuaku, kami merantau ke kota lain yang jaraknya dua hari satu malam perjalanan dari tempat asalku. Kami sekeluarga hanya pulang sekali setahun, tepatnya setiap lebaran.
Oke.
Mari kita mulai kisah ini.
Hari ini, aku dan keluargaku sedang sibuk mengemasi pakaian yang akan kami bawa ke kampung halaman.
Tak lupa kami juga menyiapkan beberapa THR untuk keluarga di sana.
Aku menyiapkan sepotong dress untuk Dina dan sepatu untuknya. Aku berharap ukuran akan sesuai untuknya, sedangkan untuk saudaranya tidak dapat, karna mereka juga merantau ke kota lain.
Ya kampung halaman, tempat aku dilahirkan, tempat yang sangat indah.
Kami akan berangkat esok pagi dengan harapan bisa sampai tujuan dengan cepat.
Singkat cerita…
Akhirnya, aku sampai di kampung halamanku. Tempatnya berada di lereng bukit. Di sini hanya ada empat rumah. Dua rumah milik keluargaku yang berhadapan dengan dua rumah milik tetanggaku.
Suasana di sini agak sepi, soalnya rata-rata orang di sini pada merantau ke luar kota. Dari empat rumah itu hanya dua rumah yang terisi. Rumahku dan rumah tetanggaku masih kosong, dikarenakan mereka masih belum sampai di sini.
Kami disambut dengan hangat oleh kakak ibuku beserta suami dan tentu saja Dina anaknya, dan sepasang suami istri tetanggaku.
Kami pun bergegas menurunkan barang bawaan dari mobil dan langsung membawanya masuk ke rumahku, ya rumah yang satu tahun ini tak berpenghuni. Rumahnya tampak bersih luar maupun dalam. Ya, sepertinya selalu dibersihkan.
Setelah semuanya siap, kami sekeluarga pun berkumpul, dan mulai berbincang-bincang hangat. Oya, ibuku ini anak terakhir dari tiga bersaudara, saudara lainnya berada di rumah istrinya, yang agak jauh dari rumahku ini. Aku tidak melihat dua saudara sepupu laki-lakiku. Aku pun mulai bertanya pada Dina yang sudah di duduk di sampingku dengan manisnya. ” Dek, abang-abangmu mana?”. Dia menjawab, “Gak tau bang, kayanya mereka belum pulang, mungkin sekitar tiga hari lagi mereka baru kemari.” “Oooo”, jawabku. Adikku ini sepertinya agak kesepian, tidak ada yang bisa diajak bermain, teman-teman seumurannya hanya dijumpai saat dia bersekolah. Adikku ini, dengan rambut yang panjang, warna kulit yang hitam manis, dan bentuk tubuh seperti anak SMP umumnya. Sayang saja dia sempat tak naik kelas. Dia dari dulu selalu dekat denganku, ntahlah apa maksudnya. Orang tua kami pun mulai berpencar. Kedua ibuku mulai memasak di rumah Dina yang berada di samping rumahku. Kedua ayahku pun mulai asik berbincang sambil mengopi di teras rumahku. Tinggal kami berdua sekarang di ruangan utama ini. Si Dina mulai merebahkan kepalanya ke pundakku. Ahh, wangi sampo ini yang selalu kurindukan saat di rantau. Kepalanya berada di pundak kiriku, tangan kiriku pun merangkulnya, sambil aku mencium rambutnya, menikmati wangi rambutnya sambil sesekali tanganku mengelus perutnya. Kebetulan saat itu perutnya terlihat karena kaos yang dipakainya agak pendek. Dia hanya diam saja saat kuperlakukan seperti itu. Sekian lama aku mencium cium kepalanya, aku baru teringat kalau aku membawakan dia oleh-oleh. Kubisikkan ke telinganya dengan lembut, “Abang bawa baju plus sepatu untukm loh…”, kuakhiri dengan menggigit kupingnya dengan lembut. “Aduh”, jeritku pelan. Daguku terbentur kepalanya saat dia kaget ketika telinganya kugigit. Dia hanya tertawa dan berkata, “Mana bang bajunya?”. “Duh kok malah baju si, sakit nih”, jawabku. “Cup cup”, katanya sambil mengelus elus daguku. “Dasar, noh ada di kamar”, jawabku ketus. Tanpa berkata dia langsung kemarku untuk menemukan hadiahnya. “Dimana si bang”, teriaknya. “Itu di dalam koper di atas kasur”. “Kopernya ini kok ada angka angkanya, gimana bukanya coba”. “Hahaha”, jawabku sambil melangkah ke kamar yang ada di sudut ruangan. Kebetulan rumahku ini ada 2 kamar tidur yang bersampingan dan satu ruangan utama. Akupun duduk di samping adikku, di atas kasur dalam satu kamar dan berusaha meraih koper kecil yang berada di sampingnya. Ya, pikiranku saat itu masih bersih-bersih saja tak ada pikiran mesum sama sekali. Aku mulai memasukkan sandinya dan mengeluarkan sebuah dress warna merah yang cantik dan sepasang sepatu putih untuknya. Nampak jelas senyumnya yang sangat sangat manis saat itu. “Semoga aja muat ya”. “Iya bang”, balasnya. Kembali dia merebahkan kepalanya ke pundakku. Persis seperti posisi yang di ruangan keluarga tadi, hanya saja bedanya saat ini kami berada di satu kamar di atas tempat tidurku. Pikiran kotor pun mulai merasukiku. Sambil menciumin kepalanya, tangan kiriku pun kembali mengelusi perut mulusnya. “Ahhh wangi”, batinku. Sekian lama dalam kondisi seperti itu, sepertinya tubuh adikku ini mulai berat ke belakang. Sepertinya dia ingin rebahan, akupun berusaha agar kami tetap duduk di atas ranjang itu. “Kalau kami rebahan pasti bakalan gawat”, itulah yang kupikirkan. Lama kelamaan tanganku yang sedari tadi mengelusi perutnya mulai berjalan berjalan menyusuri pinggangnya dan mulai mengelusi pahanya yang dibalut legging hitam panjang. Dia hanya merespon dengan semakin memberat kebelakang. Entah kenapa aku mulai mengikutinya, dengan posisi tersebut aku pun ikut rebahan, otomatis tanganku terhimpit olehnya, kaki kami terjuntai dari ranjang itu. Kami hanya terdiam. Dina pun mulai bergerak, kupikir dia akan berdiri dan menyudahi ini. Ternyata dia naik ke atas tubuhku. “Aduh, mau ngapain dia”, batinku. Kepalanya berada tepat di bawah daguku. Tangan kiriku pun terbebas, dan ikut naik ke punggungnya disusul oleh tangan kananku yang ingin mengelus elus punggung adikku ini. Sepasang tanganku pun asik mengelus punggung adikku ini, di saat yang sama burungku mulai bangun dari tidurnya. “Ahh, sial bangun juga”, batinku. Burungku ini berada tepat dibawah perut adikku. Sontak saja kedua tanganku meraih pantat mungilnya lalu mulai mendorongnya ke atas. Sekali dorongan saja, sekarang kepala kami sejajar, hanya saja kepalanya di kiri kepalaku di posisi ini aku bisa mencium pipinya dan menggigit kupingnya. Dan burungku sepertinya berada di bawah vagina sejajar dengan pantatnya. Tangan kiriku mulai beraksi dengan mengelus elus rambut panjangnya dan membawa rambut panjan yang terkuncir itu ke mukaku dan langsung kembali mengelus punggungnya. Tangan kananku yang sejak tadi berada di pantat sebelah kirinya mulai meremas remas dengan lembut supaya dia tidak kaget seperti kejadian yang di luar kamar tadi. Wajah ku yang sudah dipenuhi rambutnya, mulai bergerak ke kiri memposisikan agar berada tepat di lehernya. Mulai kukecup kecup mesra. Satu kecupan dua kecupan tiga kecupan tangan kirinya mulai meremas rambutku. Terdengar “Ahh…”, darinya saat kecupan keempat yang tidak kulepaskan dari lehernya. Kecupan kelima tangannya mulai merenggang, Kecupan keenam, Kecupan ketujuh kembali tak kulepaskan dari lehernya dan tangannya kembali meremas rambutku selama aku mengecup lehernya. Kakinya pun ikut menegang. Kecupannya pun kulepaskan. Saat itu pula dia mulai mengganti posisi kepalanya ke sebelah kananku tanpa melihat wajahku, ya dia memejamkan matanya. Sekilas terlihat ada bekas kecil di leher sebelah kirinya. Kakiku yang menjuntai mulai terasa pegal, aku pun mulai menggeser-geser tubuhku semakin ke atas sehingga tubuh kami seutuhnya berada di satu ranjang ini. “Ahh, begini lebih baik”, kubisikan itu ke kupingnya. Dia hanya membenanamkan wajahnya ke kasurku. Tangan kananku mulai giat meremas mengikuti pola. Remas remas remasssssss kembali ke remas remassssssss. Saat remasssssssan panjang, adikku pun sepertinya menggoyang-goyangkan pantatnya. “Benar benar menggoda”, pikirku. Burungku pun ikut bergoyang-goyang karenanya. Tangan kiriku pun mulai membelai rambutnya dan membawanya ke wajahku. Dan wajahku pun bergerak kekanan tepat di lehernya. Kali ini tidak seperti tadi, aku langsung mengecup lama leher kanannya dan kedua tanganku meremasssss panjang kedua pantatnya serta burungku kugerak-gerakan mengikuti pantatnya yang bergoyang. “Ahhh….”, desahnya. 1 menit 2 menit 5 menit dalam keadaan tetap seperti itu. Baru kulepaskan semua gerakan itu. Kubisikan padanya “Kenapa dek?”. “Gak papa bang”, jawabnya tak terlalu terdengar karna wajahnya terbenam ke tempat tidurku. Dan kumulai merasa ada dua titik di dadaku, ya seperti ada yang menusuk lembut kanan dan kiri dadaku. “Apakah ini puting adikku?”, hatiku bertanya. Kami tetap terdiam dalam keadaan seperti itu. Hanya bibirku yang kukecup-kecupkan ke lehernya. Dan burungku yang kugerak-gerakan saat pantat adikku yang bergoyang-goyang. Seiring dua titik di dadaku yang kian lama kian terasa keras. Hanya terdengar erangan-erangan kecil dari mulut adikku. Leher kanan, balik ke leher kiri, kuping kanan balik ke kuping kiri. Begitu terus sampai ada bekas dan air liurku di sana. Saat pemindahan leher itu, mata adikku tetap terpejam. Sekian lama, kurasa adikku mulai bangkit, kupikir dia akan selesai. Ternyata… Dia sekarang menduduki burungku. Ya, menduduki burung yang setengah bangun. Otomatis burungku terasa akan bangun sepenuhnya namun tertahan karna diduduki seperti itu. Ya, kurasa adikku merasakan kebangkitan sesuatu yang didudukinya. Dia mulai memaju mundurkan posisinya. Menggesekan pantat mungilnya dengan burungku yang telah bangun sepenuhnya. “Mantap”, batinku. Dan “Ahhh…”, terdengar dari bibirnya. Kejadian itu berlangsung cepat dengan diakhiri desahan panjang adikku dan kepala yang tertunduk. “Sudah keluar ya?”, tanyaku saat pantatnya tepat di burungku dan kurasakan ada kedutan-kedutan kecil darinya. Dia tak menjawab mungkin malu, mungkin tak tahu apa yang kutanyakan, entahlah tak kupedulikan. Setelah kedutan di vaginanya selesai, kulihat wajahnya mendekati wajahku. Bibirnya mendekati bibirku. Dan mulai menempel di bibirku. Dan tesss… kemudian dia mengangkat wajahnya lagi dan kemudian menempelkannya lagi, melepaskannya lagi. “Sial gua dikerjain nih”, pikirku. Tepat sesaat dia menempelkan bibirnya lagi tanganku sudah berada di belakang kepalanya. Dan mulai menekankannya agar terus menempelin bibirku, saat bibir kami bertemu dia, berusaha untuk mengangkatnya. Aku tak membiarkannya, terus kutekankan kepalanya, aku mulai membuka mulut, ku keluarkan lidahku. Kujilati luar bibirnya. Dia hanya diam, berusaha melepaskannya. Tapi aku terlalu kuat, kujilat jilat bibirnya. Kucongkel congkel bibirnya dengan lidahku, agar bibirnya terbuka. Lama kulakukan itu. Akhirnya… lidahku masuk kemulutnya, langsung mencari lidahnya dan mengadu-adukan lidah kami. Ya hottt sekali ciuman kami itu. Tanganku kulepaskan dari kepalanya dan mulai merabai punggungnya. Meremasi pantatnya disaat bibir kami menyatu,lidah kami beradu, air liur kami bertukar. Manis rasanya…. Dan tiba-tiba dia bergerak, berdiri, turun dari ranjangku dan berjalan cepat keluar dari kamarku. Kulihat tangan kirinya melepas ikat rambutnya, tangan kanannya menghapus air liur yang ada di sekitar wajah dan lehernya. Dan menghilang dari pandanganku. Aku pun hanya terdiam dengan burung yang berdiri tegak dan kulihat jam menunjukkan angka 17:05. Aku pun memutuskan untuk tidur dan membayangkannya kembali dari dalam tidurku. Nasibbbbbb……
Dalam tidur, aku merasa badanku bergerak diiringi suara, “Bang, bangun bang. Gak mandi dulu?”, yang terdengar samar-samar. Mata ini pun tetap terpejam. Kembali tertidur…
Tak lama… “Bang, bangun bang. Udah waktunya makan malam ini…”, kembali terdengar samar-samar suara lembut nan tak asing itu. “Bang, bangun dong bang”, kembali terdengar. Mataku mulai terbuka perlahan. Terlihat samar-samar bidadari dengan rambut terurai, mengenakan dress tanpa lengan, wajah mulus tanpa noda, dan bibir merah menggoda. “Apakah ini mimpi?”, pikirku. Kembali kupejamkan mataku dan kubuka kembali. Terlihat jelas bidadari itu tak lain dan tak bukan Dina adik sepupuku. Cantik nan terlalu cantik. Duduk bersimpuh di atas kepalaku dengan dua paha mulus yang terlipat. Kuangkatkan kepalaku kupindahkan ke paha yang terlihat lembut itu. “Abang ini, dari tadi dibangunin kok susah banget. Malah pindah ke sini”, tandasnya ketus. “Hehe”, jawabku. Ku mulai bangun kupegang dagunya dengan tangan kananku. Kutempelkan bibirku pada bibirnya. “Mmmhhhh”, lenguhnya. Nafsuku yang tadi pun membara. Kususupkan tanganku dari bawah dressnya langsung menuju bukit kembarnya. Kuremas dengan lembut. “Ahhh abang, jangan”, bisiknya lembut. Tak kupedulikan, malah kuteruskan. “Mmmmhhhhhh”, dengusnya. “Wah tak pakai miniset”, pikirku. Kupilin puting kecilnya dengan jari jempol dan telunjukku, makin keras putingnya, makin keras desahnya. “Udah bang, nanti mama papa kita tau, mereka ada di luar”, katanya. Mendengar itu kuhentikan semua kegiatanku. “Serius?”, “He’emmhhhh”, jawabnya. Dengan wajah merona merah delima. Kuelus rambut terurainya, dan bilang “Kok gak dikuncir?”, “Gara-gara abang si”, balasnya. Aku tak mengerti. Kupindahkan rambutnya ke belakang pundaknya, “Wah pantas saja”, pikirku. “Ada tanda dari abang,ya?. Hehehe”. “Au ahh”, jawabnya. Kubergegas mengeluarkan alat mandiku, melangkah keluar kamarku. Melewati ayah ibu kami yang sudah duduk dengan rapi dengan hidangan yang sudah tersedia. “Kebo baru bangun”, ucap ibuku. “Iya nih”, tambah ibunya Dina. “Baru juga jam berapa…”, balasku. “Noh liat sendiri”, sambil bibir tipis ibunya Dina menunjuk jam dinding. “Busettt jam delapan lewat ucapku”, sambil berlalu ke luar rumah menuju kamar mandi. Diiringi gelak tawa mereka.
Makan malam pun kami lalui dengan hikmat. Disempatkan dengan selfi selfi ria. Tentu saja adikku ini yang paling eksis. Selalu ingin selfi dengan abangnya yang belum mandi, yang cuman gosok gigi. Mulai dengan gaya “Piss”. Sampai gaya cium pipiku. Gaya merangkulku. Gaya aku yang cium pipinya. Sempat ingin dia selfi dengan gaya mencium bibirku. Namun kutolak dengan halus. Dan berjanji akan melakukannya jika cuman ada kami berdua. Tak terasa waktu sudah menunjukan angka 21:20. Jam segini kedua ibu kami sudah ada di kamar tidur masing masing. Kedua ayah kami sedang asik ngopi pahit dan membicarakan tentang apa yang akan dilakukan besok hari di ladang. Tersisa aku dan Dina di ruangan utama, saling rangkul merangkul sambil memainkan HP. “Bang, aku ngantuk nih”. “Yaudah gih sana tidur”, balasku. “Tapi…”, jawabnya sambil memanyun-manyunkan bibirnya padaku. Aku pun mengerti. “Sebentar aja ya”, responku. Dina langsung menggenggam tanganku. Mengajakku menuju kamarku. Merangkul leherku. Akupun membalas memeluknya. Membalas ciumannya. “Aneh, kok Dina udah jago seperti ini”, pikirku. Kami berciuman dengan liar. Saling gigit menggigit lidah. Kedua tangankupun bergerak menuju bongkahan pantatnya. Meremasnya dengan gemas. Diiring deru nafsu kami berdua. Burungku pun berdiri dengan tegak. Ingin meminta sesuatu untuk dikeluarkan. Kuremas pantat adikku itu, kuadukan dengan burung tegakku, “Ahh…” ,jeritnya halus. Sepertinya tepat pada vaginya. Terus kuadukan, dia melepas ciumannya, dan melihat peristiwa adu mengadu di bawah, sambil menggigit bibirnya sendiri. Akupun kembali melahap bibirnya dengan ganas. Terasa kedutan kedutan liar ingin keluar. Aduan terakhir, kuadukan rapat-rapat. Terasa kedutan dari daerah sana. “Sepertinya kamu keluar juga ya dek?”. “He.emmhhh”, jawabnya. Kami berciuman dengan mesra. Sambil menikmati sisa sisa orgasme kami.
“Aku pulang dulu ya bang”, begitu lepasnya ciuman kami.
Akupun mulai membuka celana jeansku. Aku biasa tidur dengan hanya menggunakan celana pendek bola, tanpa celana dalam. Dan sepotong sarung yang berjaga jaga jikalau malam ini terasa dingin. Kulihat celana dalamku penuh dengan pejuku sendiri. “Mantap,” banggaku.
Jam menunjukkan jam 05:35. Kulihat lampu masih dalam keadaan mati. “Belum pada bangun rupanya”. Aku melangkah ke teras rumah. Duduk di bale yang cukup untuk tiga orang. Sambil menikmati dinginnya pagi di desa ini. Dinginnn,,,, ku menggigil. Tanpa terasa penyakit pagiku datang. Ya, si burungku berdiri tegak. Membentuk Gunung Biru di selangkanganku. Aku biarkan saja toh gak ada orang. Tak lama kulihat rumah sebelah. Rumah adikku Dina, dengan ruang utamnyanya yang sudah terang. “Sepertinya ada yang bangun”, akupun sedikit panik. Pintu rumah pun terbuka. Kulihat sesosok gadis cantik. Dengan baju tidur hello kitty pendek serasi dengan celana tidur pendek hello kittynya. Memeluk boneka hello kitty kecil, “Dasar maniak hello kitty”, batinku. Menghampiriku perlahan dengan pasti, dengan keadaan selangkanganku yang menggunung. “Untung aja gelap, jadi cuman samar-samar terlihatnya”, batinku. Tak terasa Dina sudah berada di sampingku. Kepalanya langsung menyender ke pundakku. “Dingin bang”, bisiknya sambil memeluk bonekanya. “Kalau dingin ngapain keluar?”, tanyaku. “Aku gak bisa tidur bang”, jawabnya. “Oooo”, balasku. Aku pun merebut boneka dari pelukannya, dan berusaha menutupi selangkanganku, aku tak mau dia melihatku seperti ini. “Ahh abang….”, dia berusaha merebutnya kembali. Diraih nya boneka dan ditariknya, sayangnya aku lebih kuat. Dia pun berusaha meraihnya dari belakang boneka. Ya tepat di selangkanganku yang kulindungi. “Aduh…”, jeritku. “Ehh…”, jeritnya. Terasa tangan mungil itu menyentuh burungku yang sudah keras. Dengam cepat ditariknya tangannya sendiri. “Apa itu bang?”. “Bukan apa-apa”, jawabku. “Bohong”, balasnya lagi. “Pasti itu yang dari kemarin sore dan semalam nusuk-nusuk aku, ‘kan, bang?”, tebaknya. Aku terdiam. “Ya,’ kan, bang?”, tanya memastikan. “Udah tau nanya segala”, jawabku sekenanya. “Hehehe”, tawanya. “Keras banget ya bang?”. “Iyalah, namanya juga…”, jawabku terhenti. “Namanya apa bang?”, tanyanya. “Kontol”, jawabku tak sengaja. “Ohh tongkol, ehh itu maksudku. Abang ngomongnya jorok, ya…”, katanya. “Maaf gak sengaja”, kataku. “Boleh pegang gak bang?”. “Ogah”, jawabku. “Dasar pelit”, katanya. Dengan cepat tangannya berpindah ke burungku. “Happp ketangkep, hehehe”, tawanya terkekeh. Tanganku yang terpaku pada bonekanya tak dapat mencegahnya. “Ohh. Ini yang namanya tongkol ya, eh itu ya…”. Aku pun diam keenakan. Tangan mungilnya meremas remas burungku. “Abang gak make cd ya?”. “Besar banget kayaknya ya bang”. “Panas banget lagi”, tuturnya cerewet sambil terus meremas remas burungku. Dari bawah sampai atas diremas semua. Akupun keenakan. Dan mendesah pelan agak tak terdengar olehnya. Dia semakin keras meremasnya. “Jangan keras keras dong!”, pekikku. “Hehehe”, balasnya. Jari telunjuknya bermain main di ujung burungku. Benar-benar enak rasanya. Diremas seperti ini, di pagi ini, oleh adik sepupuku sendiri. Kulihat mata adikku terpaku pada burungku. Wajahnya memerah merona. Deru nafasnya terdengar. “Sial, dikerjain gua”, batinku. Tak terasa, jemarinya berhenti dan berusaha masuk ke celana bola biruku, jemarinya bermain di bulu-bulu hitam lebat burungku. “Ihh abang bulunya udah panjang panjang ya…”. Aku terdiam. Setelah puas bermain di taman bulu itu lima jari itu berusaha menggapai pangkal burungku. Tangan kiriku menahan tangannya. “Jangan”, bisikku. Tangannya pun kembali keluar celanaku. Dan kembali meremas burungku dari luar. Bibirnya pun mulai melakukan aksinya mendekati bibir. Kami berciuman lagi. Ya lagi. Tangan-tanganku pun ikut bermain. Yang kanan meremas lembut bukit kanannya. Yang kiri menyusuri pahanya mencari tempat yang semua orang inginkan pada gadis muda. Terus meremas bukit, dan hap… ketemu apa yang dicari. Tapi sayangnya kaki adik sepupuku ini malah merapat. Kupilin puting kecil yang sudah sangat keras, dan ahhh… Bibir kami terlepas. “Jangan digituin susu akunya bang. Geliiii”, rintihnya. “Makanya buka pahamu itu”, kataku. Perlahan pahanya terbuka, tangan kiriku pun masuk dan hap… ketemu. Tangan kiri kupun terjepit pahanya. Tapi jari jemarinya tetap bergerak. “Ahhh ahhh…”, jeritnya. Sial bisa-bisa semua pada bangun ini. “Sstttt. Jangan keras-keras”, bisikku. Aku lahap bibirnya… Suara rintihannya mulai hilang. Tangan adikku mulai mengocok. Ya mengocok entah ilham dari mana yang dia dapat. Tangan kananku masih asik memilin putingnya ingin sekali kuhisap dan kugigit puting itu. Apalah daya. Tangan kiri masih menari di vaginanya dibalik celana hello kittynya, yang dilapisi CD nya. Sepertinya sudah sangat lembab.. Bibir kami terlepas kembali.. “Ahhh abang”, jeritnya pelan. Tangan kiriku merasakan kedutan hebat dan agak rembes. Tubuhnya mengejang hebat. “Keluar juga ya…”, bisikku. Diiringi kedutan-kedutan kecil dari vagina mungilnya. “Abang belum ya?”, katanya. Langsung melumat bibirku dengan sangat liar. Semua tanganku terhenti, merasakan nikmatnya kocokan asal-asalan dari adikku ini. Gak berapa lama. Crooootttt. Tembus banyak melalui celah kecil celanaku. Adikku kaget melihat cairan kental di tangannya. “Keluar ya bang? Enak ya bang? Mau lagi gak bang?”. Kembali dia meremas burungku. Nampaknya dia heran kenapa malah nambah keras mungkin pikirnya. Aku diam saja. Tak lama dia naik ke tubuhku. Dengan memposisikan tubuhnya menghadapku. Dan vaginanya menghadap tepat ke burungku. “Ehh dek mau ngapain?”. Dia hanya terdiam. Sambil langsung menciumku dengan ganas, tanpa membiarkan aku bertanya. Memaju mundurkan pantatnya, mengadu vagina basahnya dengan burung basah ku dengan cepat. Terus diadu terus diadu. Hentakan terakhir. Terasa ujung penisku tepat masuk ke vaginanya, entah disengaja atau tidak. Diam dalam posisi itu. Aku muncrat dan dia berkedut di saat bersamaan, dengan bibir kami yang masih asik bertarung nikmat. “Ahhhhhh…” lenguhnya. Kulihat celana pendeknya sudah sangat basah begitupun aku sendiri. Dia pun turun dan bergegas menuju rumahnya. Meninggalkan aku kembali dengan celana basah. Aku pun menyalin celana ku kembali. Nyuci sendiri. Berganti dengan celana pendek warna merah. Memakainya tanpa CD, dan kembali tidur di kamarku. Mantap….
Tersentak aku terbangun dengan goyangan tubuhku. “Di di ayo bangun. Anterin adikmu sekolah sana!”, suara ibuku terdengar. Perlahan mataku terbuka. Kulihat wajah ibuku tak menghadap wajahku melainkan menghadap ke gunung merah di bawah sana. “Sial… masih bisa datang penyakit pagi ini”, kataku dalam hati. Mata ibu cantikku ini berbinar binar menatap burungku gagah perkasa. Kupejamkan mataku kembali. “Di di ayo bangun. Udah siang. Kasihan adikmu”, kata ibuku lagi. “Adik yang mana si ibu”, pikirku. Kembali si ibu menggoyangkan tubuhku, aku pura pura masih tertidur. Hingga terasa. Tangan ibu mengelus burungku perlahan. Sekali elus sepertinya ibu langsung menoleh padaku, sepertinya memastikan keadaanku tertidur apa enggak. Elusan kedua, kembali menoleh padaku. “Ahhh… Ibuku ini benar benar nakal…”, pikirku. Elusan ketiga dielusnya naik turun naik turun naik turun. Dan kembali menoleh padaku. Setelah mendapat kepastian yang cukup. Perlahan celanaku diturunkannya. Dan terpampanglah si burung dengan gagah perkasa. Posisi si Ibu kini menghadap persis ke burungku. Membelakangi diriku tanpa berpikir jika aku terbangun memergokinya. Si Ibu mulai mengocok penisku dengan sangat sangat ahli. “Benar-benar nikmat…”, batinku. Kurasakan jemari Ibu semuanya ikut bermain. “Ini kah keahlian seorang yang sangat berpengalaman?”, pikirku. Kulihat ibuku dari belakang. Dengan daster pink pendek. BH dan CD hitam yang terpampang di balik dasternya. Rambut hitam pendek terurai. Ahh. Ingin kuremas buah dada besarnya. Buah dada yang dulu menyusuiku. Ibu terus mengocokku dengan cepat. Sesekali mulutnya terbuka menyentuh ujung burungku. Ahh ibu. Teruskan. Terus dikocok dengan jari indahnya. Tanpa menunjukkan tanda-tanda orgasme dariku. Terlihat ibu letih mengocok penisku. Kembalinya diubahnya posisinya. Sluuuurrrppp.. Ibu mulai menjilati burungku. Nikmat benar-benar nikmat. Untuk pertama kalinya burungku di jilat, pertama kalinya oleh ibu kandungku sendiri. Ahhhh… ibuuu….. Ibu mulai memasukkan ujung burungku kedalam mulutnya. Perlahan tapi pasti mulai melahap burungku. Sesekali tangannya menghela rambutnya dan sesekali melirik padaku. Ahh…. nikmatnya…. Ibu terus mengulum burungku. Tapi tak semuanya terlahap oleh ibu… mantap ibu…. Di saat melahap, tangan ibu bergerak menuju vaginanya. Ya Cd hitam itu sudah tak berguna untuk ibu, tangannya masuk dan mencolok colok vaginanya sendiri, ya ibu bermasturbasi. Pemandangan yang indah. Dilahap dan dilahap. Dicolok dan dicolok vaginannya.. Ibu menegang lahapannya terlepas terdengar jeritan tertahan, “Ahhh Ardii…” Namaku disebut. Puas orgasme Ibu mulai kembali melahap burungku. Sekarang dilakukan dengan sangat cepat. Mungkin penasaran dengan spermaku. Terdengar ucap ibu di sela lahapannya. “Keluar dong keluar…” Terlihat wajah cantikku sudah sangat memerah. Kembali dilahap. Dan terasa kedutan dari penisku. Ibu sudah siap dengan memaksakan untuk melahap penisku seutuhnya dan crootttttt… “Ahhhh…”, jeritku pelan. Ibu tidak menyadari jeritanku ini. Kedutan kedua kedutan ketiga sampai kedutan keenam. Ini orgasme terpanjangku. Terlihat Ibu masih menyedot kepala burungku. Menghisap semua spermaku dari ujung burungku. Terlihat beberapa tetasan mengenai rambut Ibu dan menetes ke perutku. Setelah dirasa habis. Ibu melepas kulumannya. Terdengar suara khas antara lepasnya emutan Ibu pada burungku.
Buru-buru Ibu membersihkan perutku yang tertumpahin spermaku dengan daster bagian dadanya. Ibu masih terpana melihat burungku masih berdiri. Buru-buru Ibu menggelengkan kepalanya. Ibu berusaha memakaikan celanaku, namun sayang belum sempat menutupi penisku, aku pura-pura terbangun. Ibu terkaget melihat mataku terbuka. Gerakan ibu terhenti, aku bertanya dengan polosnya, “Ibu kenapa? Kenapa burungku bangun? Kenapa celanaku turun?”. Ibu menjawab terbata bata, “Da-dari tadi su-sudah begini. Ibu ma-mau membetulkan celanamu”. Dengan satu gerakan Ibu langsung mengenakan celanaku. Dan entah sengaja atau tidak ibu mengelus naik turun naik turun burungku. “Aduhhh duhhhh Ibu. Geli bu”, merintih keenakan. “Masa sih geli?”, tanyanya. “Iya geli bu”, jawabku. Tanpa sadar si Ibu memasukkan tangannya. Dan kembali mengocok penisku… aku terkaget dan, “Ahhh geli bu…”. Lima kali kocokan ibu meninggalkanku dengan keadaanku yang sudah bernafsu berat. Sambil berlalu Ibu berkata, “Ayo cepat. Antarkan adekmu sekolah. Kalau mau geli-gelian lagi nanti kita teruskan”. Kalimat terakhir Ibu yang terakhir tidak terlalu terdengar olehku. photomemek.com
Segera aku keluar kamar menuju kamar mandi. Terlihat adikku Dina, begitu cantik dengan rok merah panjang, baju putih lengan panjang, kerudung segitiga putih. Tas slempang hello kitty membelah payudaranya yang baru tumbuh. Segelah cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi. Mandi di jam enam dua puluh menit ini, pasti terasa mandi di air es. Setelah burungku sudah tidak terlalu terbangun, aku keluar dan menuju ke motor Nmax Hitam abu abu milik keluarganya Dina. Dina langsung naek dibelakang setelah berpamitan pada semua orang tua kami tepat jam 06:30 kami pun berangkat. Sekolahnya agak jauh dari rumah. Jadi adikku ini musti di jemput antar. Jalan menuju kesekolahannya melalui beberapa kelokan sepi, hanya satu dua rumah yang terlihat, hingga sampai ke jalan utama yang sudah cukup ramai. Kelokan pertama setelah rumah kami. Adikku ini menyuruhku untuk berhenti. “Berhenti dulu bang”, pintanya. “Ehh, kenapa?”, tanyaku sambil menepikan motorku. Tanpa kata dia turun dan langsung naek di depan, ya di depanku. Aneh saja tingkahnya ini. Kami mulai jalan kembali. Dijalan aku mulai teringat kejadian tadi pagi dengannya. Aku mulai merapatkan tubuhku dengannya. Burungku sudah mangguk-mangguk sejak tadi. Dia merebahkan kepalanya kebelakang bersandar ke pundakku. Tangan kiriku bergerak dari handle kiri motorku. Menuju buah dada mungilnya. “Jangan terlalu remas bang, nanti bajuku lecek”, pintanya. “Yahhhh…”, jawabku kecewa. Sambil mengelus bukit mungilnya. Tak ada satu kendaraan yang lalu lalang sejak tadi. Sepi benar ini desa. Dingin asri mantap jiwa. “Belokan selanjutnya kita berhenti ya bang”. “Mau apalagi si dek?”. “Berhenti aja pokoknya bang”. Kuturuti maunya. Motor kuhentikan. Lalu di berjalan menuju ke dalam semak. “Dek, mau kemana?”. Tangannya diarahkan padaku dan jarinya seakan menyuruhku mengikutinya. Aku standarkan motor dan mulai mengikutinya. “Mau kemana sih dek?. Nanti kamu telat gimana?”. “Tenang aja bang, aku masuk jam 07:30 kok.”, jawabnya. Lantasku cek jam di HPku dan jam menunjukkan angka 06.40. “Masih lama ya?”. “Iya abangku”, jawabnya manja. Setelah sampai di tempat agak lapang. Terlihat di sekitar dikelilingi pohon dan semak. Motor Nmax pun tak terlihat. “Pokoknya jangan sampai lecek ya bang, seragam ku ini”. Dengan sigap dia mengangkat rok panjang merah sebatas pinggangnya. Terlihat CD putih yang menggairahkan. “Dengan burung yang mengacung sembari mengangguk-angguk ku dekati dia. Setelah tepat di depan CDnya. Adikku berkata, “Lepas aja celananya bang. Aku merem nih biar gak keliatan”, seraya memejamkan matanya. Dengan sangat berdebar. Kuturunkan celanaku, kulihat wajah adikku, memang terlihat merem si, tapi tau dah dia ngintip atau gak. Setelah ujung burungku yang mengangguk-angguk mengikuti debaran jantungku tepat di depan CDnya. Tangan adikku merengkul leherku. Tanganku pun dengan sigap berada di posisi siaga di kedua pantat indahnya. Kuremas secara bersamaan. “Ahh abang… Ujung tongkolnya eh itunya nusuk lubang pipisku”, erangnya. “Iya dek”, jawabku
yang dibalas dengan sosoran bibirnya yang menggebu-gebu. Kami berciuman dengan sangat ganas. Seperti sepasang suami istri yang lama tak berjumpa. Tanganku terus meremas gemas pantanya seraya mengerakkan tubuhnya maju ke depan, diterima dengan tusukan burungku yang tepat mengarah ke lubang vaginanya. Ciuman kami terlepas. Suara adik mulai terdengar tak jelas. Nafsunya yang membara, hembusan napas panasnya menerpa tubuhku. Benar-benar liar. “Dek, suaramu kecilin dong”. “Gak papa bang, gak ada yang akan dengar kok.” Dengan situasi seperti ini, malah membuatku makin bernafsu. Kuhujamkan burung ke lubang vaginanya dengan keras, “Ahh abang…”, pekiknya. “Seandainya tidak ada CD ini, pasti burungku sudah bersarang di vaginanya”, pikirku yang kutepiskan jauh juah. Kembali dia melumat bibirku. Dirapatkannya tubuh kami, dan criiiiitttt criiittttt. Burung menusuk dengan tajam, terasa kedutan kedutan dari vaginanya. Disusuli gelombang lahar panas. Seluruh tubuhnya menegang. CD nya basah tak terindahkan. “Aduh basah bang”, pekiknya tanpa melepaskan pelukan kami. “Aku buka aja ya bang?”, tanyanya. Tanpa menunggu jawaban dariku, tangan kirinya berusaha menurunkan celana dalamnya sendiri. Dan… turun sudah. Tanpa diarahin, burungku pun berhadapan langaung dengan pintu sarangnya. “Ahhh. Anget banget kontolnya abang”, racaunya jorok. “Hmmmhh… dek memekmu basah dan anget banget”, racauku yang tak kalah joroknya. “Masukin ya bang?”, tanyanya. Burungku mangguk-mangguk di depan lubang vaginanya tanda setuju. Batinku menentang keras. Tusukan pertama, ku arahkan burungku kebawah, menggesek bagian bawah vaginanya terus melencur kebelakang. Sepertinya dia mengerti maksudku. Terus kami lakukan itu, diiringi desahan, erangan kami berdua. “Ahhh abang… aku gak tahan”, bisiknya. Di menggenggam penisku. Dan berusaha mengarahi ke lubang vaginanya. Terasa sekali ujung penis berusaha masuk vaginanya, tapi aku mundurkan lagi begitu masuk sedikit. Adikku tak mau kalah terus mengarahi ke lubang vaginanya. Setelah kami melakukan hal seperti, sehingga baru kepala burungku yang masuk, aku tarik badanku. Kepalaku kumasukkan ke dalam rok panjangnya. Sehingga sekarang aku berjongkok di bawah roknya, berhadapan langsung dengan vaginanya. “Mantap”, pikirku. Pertama kalinya aku melihat vagina seorang gadis, bentuknya yang unik, dengan aroma yang menggugah selera. “Ahhh… abang mau ngapain…”, rintihnya, saat kutempelkan hidup di depan lubang vaginanya. Kumulai membuka vaginanya dengan jariku. Kujulurkan lidahku, kusentuh sebuah daging kecil bulat dengan lidahku. Dia menjerit, “Ahhh… abang…”. Diremasnya kepalaku. Kuteruskan seperti itu. Kujilatin daging kecil itu, kugigit kecil. Dia hanya menjerit-jerit liar. Lama kujilati, terasa ada kedutan dari vaginanya, kedua tangannya menekan kepalaku ke vaginanya. Dan criiiitttttt. “Ahhhhhh……”, lenguhnya. Kedutan kedutan kunikmati sepenuhnya. Semua cairan itu kuhisap abis. Tak tersisa. Seperti yang dilakukan ibuku tadi pagi. Yang tersisa hanya nafas adikku yang terengah engah. Akupun keluar dari balik rok itu. Kulihat adikku masih terengah engah. Wajahnya memerah. “Udah, ‘kan sayang?”, tanya. Hanya angguk lemah yang terlihat darinya. “Abang gimana?”. “Aku gak papa kok, dek”. Kupakai celanaku kembali. Adikku pun tak mau memakai CD yang basah itu, terpaksa dia tidak memakai CD untuk hari ini. Kami bergandengan melangkah keluar dari semak ini, dan menuju Nmax kami di pinggir jalan. Kali ini dia duduk di belakang, memelukku dengan rapat. Sampai depan sekolahnya tepat jam 07:20. “Aku sekolah dulu ya bang, sambil cipika cipiki, kalau bukan di sekolahan, sudah pasti kami berciuman. Dia pun melangkah menuju kelasnya, sambil sesekali menoleh kebelakang memberikan senyuman manis. Ahhh… adikku sayang…
Aku putar kembali Nmax ini, menuju rumah, dan berpikir bagaimana cara memuaskan nafsuku ini. Sampai di rumah, kulihat sekeliling rumahku. Terlihat sepi, tak ada orang. “Pada pergi ya…”, gumamku. Aku melangkah ke kamarku berencana untuk menghilangkan nafsu seksku. Saat aku melewati kamar umurku, terlihat dari belakang bokong indah berbalut hitam yang tadi pagi membangunkanku. Sedang memilah pakaian. “Ngapain bu?”. “Eh, kamu Di, bikin kaget Ibu aja”. “Ibu lagi ngerapihin pakaian ini, bantuin dong”, pinta Ibuku. Saat berjalan mendekati Ibuku burung bangun dengan gagahnya. Membentuk gunung merah yang perkasa. Ibuku tak menyadarinya soalnya dia sedang membelakangiku. “Ayah kemana bu?”. “Ayah lagi ke ladang sama bapakmu”, jawabnya. “Kalau Ibuku yang satu lagi bu?”. Ohh Kak Ani, dia lagi belanja ke pasar, baru aja pergi”, jawabnya. “Wahh kepasar ya, bakalan makan waktu dua jam lebih nih”, pikirku. Aku tepat di belakang tubuh Ibuku sendiri. Dengan rambut sebahu, mengenakan daster pink tipis sepaha, yang menampakkan CD dan BH hitamnya yang menantang. Dengan tinggi kami yang sejajar, pas sekali. Karna nafsu yang tadi sudah tertahan. Kubuka langsung celana merahku. Kuarahkan ke belahan pantat Ibu. Tusukan pertama tak berasa untuknya, dikarenakan tebalnya pantat Ibu. Kuteruskan dengan tusukan kedua yang agak tajam. Dan Ibu mulai terdiam. Kubiarkan burungku menekan pantat Ibu. Ibu hanya terdiam. Tusukan ketiga kuluncurkan, dan terasa cepat sampai Ibu pantat Ibu. Ternyata Ibu menunggingkan pantatnya saat aku bersiap menusuknya. “Ibu….”, bisikku di telinganya. Hembusan nafasku memburu menghembus lehernya. Burungku masih tertancap di pantatnya. Tanganku mulai bergerak menggenggam kedua gunung kembarnya yang masih terbungkus rapi. Kuremas, kenyal. “Ahh…”, pekik Ibuku. Nafsuku yang sudah di puncak, membuatku gelap mata. Tanpa letih kuhujamkan burungku bertubi tubi, disambut pantatnya yang menungging seirama dengan hujaman burungku. Kuremas dengan liar gunung besarnya. “Ahhh… ahhh… ahhh…”, hanya itu yang keluar dari mulutku. “Ibu… Ibu… Ibu…”, balasku. “Jangan di sini Di, di sini berantakan, mending di kamarmu saja”, lirih Ibu pelan. Kuhentikan semua kegiatanku. Digenggamnya burungku, “Ahh…”, lirihku. Ditariknya seperti bergandengan tangan. Masuk ke kamarku. Dengan masih menggenggam burungku. Tangan Ibu yang satunya berusaha mengunci kamarku. Terkunci dari dalam. Genggamannya dilepaskan, Ibu kini menggenggam kedua tanganku, membawanya ke pantat Ibu yang besar dan kenyal itu. Langsung kuremas. “Aghhhh…”, kamu ini nafsu banget si…”. Tanpa mempedulikan kata-kata Ibu itu. Aku mulai merapatkan tubuh kami. Mengarahkan bibirku pada bibir Ibu, saat bertemu kami langsung berciuman dengan ganasnya. Ciuman Ibu lebih nikmat melebihi ciuman aku dengan Dina. Bibir Ibu lebih lembut, lebih manis. Sambil berciuman, tangan Ibu bergrilya menuju burungku. Dikocok dan diremasnya. Membuatku semakin bernafsu. “Ahhh… Ibu enak banget”, bisikku. “Kali ini Ibu akan membuatmu keluar duluan”, tantang Ibu. “Coba saja”, jawabku. Kembali kami berciuman. “Mmmhhhhhmmmmm… ahh
…”. Kupegang ujung dress Ibu. Kuangkat… happ… Sekali angkat terlepas sudah daster Ibu. Kulemparkan daster itu ke ranjangku. Terpampang sepasang gunung hitam. Dengan BH yang tak bisa menahannya. Dan tampak juga CD hitam yang begitu seksi. Benar-benar pemandangan indah. Ibu pun tersenyum bangga melihat anaknya beberapa kali menelan ludah saat melihat tubuh montoknya. Aku pun mulai memeluk Ibu. Kembali mencumbuinya. Tanganku menari nari di punggung Ibu. Mencari pengait BH hitamnya, ketemu dan kulepaskan. Terpana terpesona melihat gunung indah milik Ibu. Dengan puting coklat besar yang mengeras, dengan bentuknya yang membulat, benar-benar indah. Reflek, tangan kiriku memilin milin puting Ibu. Gunung Ibu yang satunya kulahap dengan buas. Sampai tangan Ibu di burungku terlepas. Suara suara desahan Ibu menghiasi ruangan ini. Membuatku semakin bernafsu. Kutusuk tusukkan burungku pada vagina Ibu yang terbungkus CD hitam yang sudah sangat basah. Ibu meracau, “Terus sayang, terus seperti itu… Buka saja sayang. Entot Ibumu ini sepuasmu. Ahhh…..”. Kubisikkan di telinganya, “Ibu mau aku entotin? Mau aku hamili? Mau jadi buda seksku?”. “Mau sayang, mau. Apapun pintamu akan Ibu turuti”. “Bagaimana kalau begini?”, bisikku. Kutarik CD Ibu, langsung kutusukkan burungku. “ARGGGHHHHHHHH….”. “Hebat vagina Ibu, masih sempit banget… tertelan semua kontol ku ini….”. Gak lama terasa vagina Ibu mencengkram burungku, dan burungku seperti diremas remasnya. Gak lama Ibu mengejang dan mengerang. “Arghhhhh… hebat kamu sayang, sekali sodok bikin Ibu langsung keluar……. Ahhhhh….”, puji Ibu. Setelah semua gelombang lahar panas kuterima, kubisikkan pada Ibu, “Tenang aja Firda sayang (Firda adalah nama Ibuku). Kamu akan kuentot terus sampai kamu memohon untuk berhenti kuentotin.” Kuakhiri dengan menggigit putingnya. Dengan burungku yang masih dalam vaginanya. Kurebahkan tubuh Ibuku, “Akan kubuat kamu ngecrotttt lagi, Firda”, bisikku. Kulepaskan burungku dari vaginanya, Ibuku nampak sedikit kecewa. Kuperhatikan vagina Ibu begitu besar, cairan kental mengalir keluar. “Jangan dilihatin saja sayang, ayo entotin Ibumu.”. “Tenang Ibu, aku pasti entotin kamu di sini”, sambil memasukkan kedua jariku ke vagina Ibuku. Ibuku hanya kaget tersentak. Kukeluar masukkan jariku Ibu, Ibu mengerang keenakan. “Ahhh sayang enak, terus terus sodok Ibu”. Lidahku mulai bergerak menyusuri perut Ibuku, terus berjalan ke bawah. Tepat berada di bongkahan daging bulat yang tak asing, cuman agak besar saja, Ibu berkata, “Kamu mau ngapain? Ayahmu saja tak mau memainkan lidahnya di sana”. Aku yang sudah kesetanan tak mempedulikan itu, kuhisap bongkahan daging merah itu, Ibu menjerit, “Enak banget sayang ahhhh….”. Kugigit gigit kecil. “Ahhh… Ibumu mau keluar lagi sayang….” Kutarik kedua jariku, kupegang kedua paha Ibuku, kuhisap hisap vagina Ibu, pantat Ibu sampai terangkat. “Ahhhh sayang…”, Ibu melenguh puas. Kuhisap semua sperma Ibu, tak ada yang tersisa. Terus kuhisap, sampai Ibu sedikit teriak, “Sudah sayang… Sudah… Memek Ibu ngilu banget…” Aku senyum bangga sambil berbisik, “Bagaimana Ibuku sayang? Enak?”. “Enak banget sayang…”, jawab Ibuku. Sambil bergerak menindih tubuhku. Karna kami sama tinggi, burungku sedikit masuk ke vagina Ibu. “Awww… kontolmu masih berdiri begini sayang… Kuat banget… Keras banget. Melebihi bapakmu sayang…”. “Hehehe”, tawaku bangga. Ibu mulai berdiri, digenggamnya burungku dan diarahkan ke vaginanya, dan mblessss… Dengan sedikit, “Agghhhhh…”, dari mulut Ibuku, burungku amblas semua ke dalam vagina Ibu. “Gede banget kontolmu sayang, memekku serasa mau sobek… ahhh….”. Diiringi gerakan naik turun pantat Ibuku. Setiap Ibu menurukan pantatnya, ujung burungku terasa seperti membentur dinding. Di saat itu pula Ibu menjerit. “Ahhh…”, jeritnya. Terus saja Ibu melakukan itu tanpa mempedulikan erangan erangan erotisnya sendiri, jika ada ayahku pasti sudah digrebek sejak tadi. Nafas Ibu yang bergemuruh, keringat Ibu yang bercucuran terlihat benar benar sangat menggoda. Dihentakan terahkhir, ujung burungku serasa menembus dinding yang sejak tadi menghalangi. Ditambah desahan panjang Ibu. “Ahhhhh… sayang… Ibu keluar… Ahh….” Ujung burung bagai tersiram lahar panas, dinding dinding vaginan Ibu meremas remas burung dengan liar… Tak terasa aku pun membalas desahan Ibu. “Aahhh… aku juga keluar Ibu…. Ahh…”, kusemburkan semua spermaku kedalam rahim Ibuku sendiri. “Terus sayang… terus… tumpahkan pejuhmu semua dalam rahim Ibu…”. “Ahhh… Ibu pun terkulai lemas di dadaku, kelamin kami masih bersatu, kedutan kedutan dari burungku masih berlanjut, walaupun kedutan Ibu sudah tak terasa. Kuelus elus punggung Ibuku, kukecup keningnya. “Sayang, kontol kamu masih tegak ya? Ibu masih merasakan gerakan gerakan kontolmu di memek Ibu. Maaf ya sayang, Ibu dah gak kuat lagi”. “Gak apa sayang, nanti malam kan bisa kita lanjutin lagi”, balasku. Diakhiri dengan gigitan lembut di telingaku. Ibupun berguling ke sebelah kananku, nampak jelas daging bawah vagina Ibu ikut tertarik keluar saat burungku terlepas. “Ahhh… nikmat banget…”, terdengar sisa sisa kenikmatan dari mulut Ibu. Aku pun bangun dan kulihat dari vagina Ibu, mengalir deras cairan kental itu. Cairan kental aku dan Ibuku. Aku pun bergegas ke kamar mandi, pukul sudah menunjukkan jam 08:10 menit. Cukup lama aku bercinta dengan Ibuku. Aku lekas keluar kamar, dan membiarkan Ibu tertidur di kamarku.
Keluar dari kamar mandi, dengan hanya mengenakan lilitan handuk. Aku melihat Ibu Ani ibunya Dina yang sedang kerepotan membawa kantong kantong lauk pauk. “Bu, Ibu sini aku bantuin?”, aku bergegas menemui Ibumu tanpa sadar lilitan handuk mulai longgar. Aku sampai di depan Ibuku yang satu ini, dia terdiam melihatku, matanya tertuju ke lilitan handukku. Akupun memanggilnya lagi, “Ibu, sini aku bantuin”. Ibupun tersadar dengan wajah memerah, “Eh iya, ini nak kamu bawa ini ke rumah atas ya”. “Oke bu”, jawabku. Aku biarkan Ibu berjalan di depanku. Lama kuperhatikan pantat Ibu yang satu ini oke juga. Tepat diruang penyimpanan yang sempit, Ibu meletakan belanjaannya di meja. Aku pun mengikutinya. Tanpa sadar lilitan handukku terlepas. Dan mata Ibu langsung tertuju pada burungku yang berdiri gagah sejak aku melihat pantat Ibuku tadi. Sempat kulihat beberapa kali dia menelan ludahnya. Aku yang sudah terangsang hanya membiarkan burungku ini menjadi tontonan Ibu. Kulihat tangan Ibu mulai bergerak, berusaha menggapai burungku, “Ahhh… lembutnya tanganmu Ibu”, desahku. Tersentak Ibuku kaget dan membalikkan badannya. Dan berkata,”Maaf maaf Ibu gak sengaja menyentuhnya”. Aku berjalan mendekatinya, menempelkan burungku pada pantatnya, “Ahhh…”, desah Ibu saat burung menempel erat di pantatnya. Dan kuberbisik, “Kalau Ibu mau, Ibu boleh memegangnya lagi kok”. Ibu terdiam sepertinya meresapi tusukan di pantatnya. Dua menit di posisi yang sama, kutusukan lagi pantatku, kali ini kuangkat daster Ibuku terlebih dahulu. Karna tanpa perlawanan, jadi kutusukkan saja kepantatnya yang berbungkus CD merah itu. “Ahhhh…”, jeritnya lagi. “Gimana Ibu? Apa kita teruskan di kamar?”, tanyaku. Setelah dua menit terdiam dalam posisi itu. “Gak usah gak usah, pakai saja handukmu dan balik ke kamarmu.”, Ibu mulai bersuara. “Oke”, jawabku. Kulilitkan kembali handukku. Dan kumelangkah keluar dari ruangan penyimpanan itu. Setelah itu aku tak tahu apa yang dilakukan Ibuku itu.
Aku kembali ke kamarku, dan kulihat kamarku sudah rapi, tak ada tanda tanda pertarunganku dengan Ibuku tadi. Lalu aku berpakaian seperti biasanya.
Saat ku keluar, aku berpapasan dengan Ibuku. Kulihat badannya terlilit handuk. Dengan tali BH putih menghiasi pundaknya. Rambut basah yang menandakan dia baru saja selesai mandi. Seketika burungku terbangun. “Ibu”, panggilku. “Iya sayang”, jawabnya dan menghampiriku. Langsung saja kupeluk dia, dan aku berusaha melepas lilitan handuknya. “Ayo kita ngentot lagi sayang… Kontolku sudah kangen memekmu…”, bisikku. Seraya tanganku meremas pantatnya. “Jangan sekarang sayang, nanti Kak Ani melihat kita”, jawabnya. “Oke, kalau begitu kita ciuman saja”, balasku. Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menyosor bibirnya, tanganku dengan liar meremas pantatnya. “Mmhhhhmmmmm…”, terdengar dari mulutnya. Dia berusaha melepaskan diri. Setelah terlepas dia langsung berlari ke kamarnya. Menyisakan aku terpaku.,,,,,,,,,,,,,,,,,,