Cerita Sex Hot | Perkenalkan namaku Maman, umurku sekarang sudah menginjak kepala empat, aku bekerja
disebuah peruasahaan terkemuka dikota jogja karta. Aku sudah mempunyai istri dan 2 orang
anak. Ditempatku bekerja aku bisa disebut sebagai kariawan yang berprestasi, karena setiap
pekerjaan aku lakukan selalu tepat waktu dan selalu menunjukkan hasil yang maksimal
sehingga membuat bosku merasa senang dan memberikan predikat tersebut kepadaku. bosku juga
menyuruhku untuk mengikuti seminar agar kepandaian dan ketrampilanku meningkat, aku pun
langsung menyutujinya.
Dari seminar ini lah ceritaku dimulai. Ketika itu aku mengahdiri seminar didaerah jogja
karta tepatnya didaerah sekitar gunung merapi selama seminggu. Di hotel yang sudah
ditentukan panitia aku melihat banyak muda-mudi juga yang mengikuti seminar dari bebrapa
perusahaan lain. Aku melihat hanya ada bebrapa saja yang seumuran denganku, yang lainnya
aku lihat umurnya masih dangat muda-mda sekali sekitar 25-30 tahunan. Disitulah aku merasa
senang, karena aku bisa melihat pemandangan gadis-gadis muda yang berpakaian super seksi
dengan berbalutan rok mini, sehingga paha putih mulus gadis-gsdis itu bisa terlihat dengan
jelas.
Namun diantara gadis-gadis cantik yang ada diseminar itu, aku melirik satu gadis yang
sosoknya sangat menarik perhatianku. Umurnya masis muda sekitar 27 tahunan, berwajah imut,
berambut hitam panjang, hidungnya mancung, bibirnya tipis sekali dan juga tubuhnya yang
sangat menggoda kaum lelaki. Payudaranya terlihat menonjol diluar kemeja putih setrit yang
dikenakannya dan juga pantatnya yang bulat terlihat begitu ranum dibalik rok hitam mini
yang dikenakannya. Sungguh aku sangat terpesona dengan gadis muda itu.
Ketika acara istirahat siang mereka sudah pada ngobrol satu sama lain, saling curhat,
saling mencari “jodoh” masing-masing. Dan pada malam kedua itu kelihatannya mereka sudah
saling akrab bahkan hampir dari semua peserta pada malam itu sesudah pelajaran selesai
kira-kira pukul 21. 30 WIB mereka memutuskan untuk jalan-jalan keliling sekitar penginapan
sampai ke Gardu padang untuk melihat pemandangan alam di sekitar Gunung Merapi malam hari.
Dan sungguh menakjubkan, pada malam terang bulan itu Merapi terlihat indah, gagah, namun
menyimpan rahasia alam yang tak dapat diraba oleh panca indera. Dalam perjalanan malam
itulah saya mulai menemukan “jodoh” untuk diajak bincang-bincang secara dengan dekat atau
curhat bahasa populernya.
Sebut saja teman saya tadi Dilla. Masih muda sekitar 27 tahun, belum kawin katanya, namun
sudah punya pacar. “Pacarku itu lho Om (begitu dia panggil saya) yang antar aku ke sini
tempo hari”. “Oh, yang antar kamu tempo hari to Wuk” sahutku. Hari-hari selanjutnya
semakin akrab aku memanggil dia dengan panggilan Wuk, dan dia memanggilku dengan Om. “Kok,
panggil aku Om, gimana sih?” godaku. “Gini Om, soalnya dari perkenalan kemarin, Om umurnya
sudah sebaya dengan umur Pak Lik atau Paman saya, jadi ya kupanggil saja Om. Nggak apa-apa
kan?” sahutnya. “Oh, begitu to, oke deh” sahutku pula. Pada Ju’mat pertama, saya coba ajak
Dilla untuk jalan-jalan setelah akhir pelajaran.
Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 22. 00 WIB. “Wuk, belum ngantukkan?” tanyaku. “Belum
Om, ada apa?” Dilla balas bertanya. “Yuk, kita jalan-jalan ke gardu pandang!” ajakku.
“Siapa aja yang akan kesana Om?” tanyaknya lagi. “Aku nggak tahu, aku hanya ajak kamu
jalan-jalan malam ini, kan besok malam Minggu diberi kesempatan pulang ke rumah masing-
masing, jadi ini kesempatan malam terakhir minggu pertama untuk jalan-jalan. Kalau yang
lain ada yang ikut aku nggak keberatan, kalau tak ada yang ikut pokoknya aku ajak kamu
aja, mau kan?” aku coba merayu. “Gimana ya Om?” dia agak ragu menjawab. “Aku sih
sebenarnya juga ingin jalan-jalan, tapi kalau hanya kita berdua gimana, ya, aku tak enak
sama teman-teman yang lain”, lanjutnya. “Ya nggak usah dipikirkan, tuh mereka sudah
membuat kelompok-kelompok sendiri!” sahutku pula.
Dilla diam sebentar dan akhirnya memutuskan mau kuajak jalan-jalan malam itu, hanya
berduaan saja. Sepanjang jalan aku dan Dilla ngobrol tentang keadaan kantor masing-masing,
tentang keadaan alam, tentang keluarga, dan ngomong apa saja untuk menghilangkan kejenuhan
selama perjalanan ke gardu pandang. Setelah jalan beberapa ratus meter melewati tanjakan
dan tikungan tiba-tiba melewati tikungan yang cukup gelap karena lampu penerangan jalan
yang mati. Dilla berhenti sebentar dan berkata” Om, gelap tuh jalan, gimana yuk balik
aja”. “Balik, tanggunglah yau, kan gardu pandang tinggal beberapa puluh meter di depan,
setelah tikungan itu kan?” sahutku. “Iya tapi kan cukup gelap, aku agak takut” sahutnya
pula. “Nggak apa-apa, ada aku kok (gayaku sok berani), yuk terus!” sahutku sambil secara
reflek menarik tangannya dan kugandeng terus melewati kegelapan. Dilla, terus mengikuti,
malah memegangku semakin erat dan semakin dekat jaraknya tubuhnya dengan tubuhku.
Tercium, bau parfum yang wangi dari tubuhnya. Hal ini semakin ingin aku menggandengnya
lebih lama. Akhirnya aku dan Dilla melewati jalan gelap sambil bergandeng tangan terus
sampat tempat gardu pandang. Disana sudah ada beberapa pasangan muda-mudi yang juda
duduk-duduk sambil memandang keindahan Gunung Merapi. “Om, lepasin dong tangannya”
pintanya. “Oh maaf, ya Wuk, aku sampai lupa, habis hangat sih” godaku. “Om, nakal, besuk
kuberitahu lho istri om, biar dimarahi” sahutnya. “Eh, ngancam, ya? Besuk juga kuberi tahu
pacarmu, hayo” balasku pula. Dilla mencubit tanganku, namun secara cepat kupegang
tangannya erat-erat dan kutarik tubuhnya mendekati tubuhku, kutarik lagi hingga tubuh kami
berdua berdekatan. “Ssst.. nggak usah ribut, nanti pada menengok dan melihat ke sini
semua” bisikku di telinganya. Mata kami saling memandang, dan Dilla pun tersenyum.
“Oke, Om, nggak usah lapor-laporan, ya” ucapnya pelan, kemudian aku pun membalas
senyumnya. “Iya deh, Oreo, setujukan?” Akhirnya malam itu kami duduk-duduk untuk beberapa
lama, ngobrol, sambil menikmati pemandangan dari gardu pandang, yang pada waktu itu Merapi
telah diselimuti kabut cukup tebal.
Jarum jam telah menunjukkan jam 1 malam waktu setempat, hawa di pegunungan itu semakin terasa dingin, satu persatu, sepasang demi
sepasang, mereka mulai meninggalkan gardu pandang. Aku pun mengajak turun Dilla menuju
tempat penginapan kami. “Om, dingin sekali ya, Om dingin nggak? tanyanya. “Ya dingin
sahutku pula, gimana to? tanyaku pula. “Nggak apa-apa kok, yok kita turun” lanjutnya.
Tanpa berkata ba, bi, bu, ku gandeng tangan Dilla, dia tak menolak, aku semakin berani
untuk segera merangkulnya. “Gimana Wuk? hangat kan? tanyaku. “Om, nakal, besuk aku
bilangan, sama istri Om” sahutnya. “Eit, kita kan udah janji, Oreo-kan” kataku pula.
Akhirnya Wiwk diam saja kurangkul dan kudekap sepanjang perjalanan menuju penginapan,
mungkin merasa hangat dan lebih tenang seperti yang kurasakan. “Lepasin Om tangannya”
katanya setelah terlihat penginapan yang tinggal beberapa puluh meter. Kulepaskan tanganku
dan aku sengaja menyenggol bukitnya yang ternyata cukup besar.
Dilla hanya diam saja. “Dah.. Dilla..” kataku ketika kami berpisah dan menuju kamar
masing-masing. “Dah.. Om, nakal” sahutnya sambil tersenyum. Sabtu sore itu kami diberi
kesempatan untuk pulang mengengok keluarga masing-masing. Aku pulang sendiri, Dilla
dijemput oleh pacarnya, yang ternyata juga tidak begitu ganteng. “Selamat jalan, ya,
hati-hati” kataku sambil mengulurkan tanganku untuk bersalaman. Dilla pun menjawab
“Terimakasih, Om, ini kenalkan, pacarku”. Aku pun terus bersalaman dan berkenalan dengan
pacarnya. “Feri” katanya singkat. “Maman” jawabku singkat pula. “Senang ya punya pacar
cantik, kok diajak pulang sore ini, mengapa tak nginap di sini aja berdua, sekaligus
bermalam minggu di sini. Kalau mau nanti aku mintakan izin sama panitianya. Aku kenal kok
sama ketua panitia kegiatan ini” godaku pula.
Mereka berdua saling berpandangan dan tersenyum malu. “Nggak usah lah yau, nanti ndak lupa
daratan” sahut mereka berdua hapir bersamaan. “Oke, kalau gitu selamat jalan, dan sampai
jumpa” aku berkata demikian sambil melambaikan tangan. Mereka berdua pun melambaikan
tangan, menghidupkan mesin motornya dan melesat turun ke kota. Ketika aku masih bengong
melihat Dilla dengan pacarnya sudah melesat pergi, tiba-tiba dari belakang di tepuk
pundakku oleh Pak Bandung, salah seorang panitia yang telah kukenal sebelumnya. “Hayo! Dik
Maman jangan bengong aja, dulu waktu muda kan pernah kayak gitu, ingat lho Dik Maman, anak
dan istri telah menunggu dirumah untuk berakhir pekan” katanya.
Aku pun terkejut, “Oh, nggak apa-apa kok Pak, saya cuma setengahnya tidak percaya, itu lho
gadis cantik kayak gito kok pacarnya biasa saja, nggak ganteng, kalau dipikir-pikir justru
lebih ganteng saya to Pak” jawabku pula. Dan sambil menghidupkan mesin aku langsung tancap
gas turun gunung, mampir sebentar di warung pinggir jalan, membeli juadah tempe serta
wajik untuk oleh-oleh anak istri yang telah menunggu di pondok mertua indah.
Senin pagi itu para peserta kursus telah berdatangan lagi untuk melanjutkan menimba ilmu
kearsipan. Kulihat Dilla juga telah datang dan tengah menikmati sarapan pagi yang memang
telah disediakan oleh pihak panitia. Aku mendekat dan menyapa”Pagi Wuk, gimana kabarnya,
gimana malam minggunya, asyikkan, saya tahu lho Wuk malam itu kamu tidak pulang ke rumah
tapi entah bermalam dimana” kataku mencoba menebak-nebak sambil duduk didekat Dilla yang
lagi sarapan pagi. “Ah, Om ini sok tahu, kalau ya terus mau apa, kalau tidak trus gimana”
jawabnya agak ketus. “Ya, nggak apa-apa, wong aku cuma bercanda, kok” aku balas menjawab.
“Gimana Wuk, nanti habis pelajaran malam kita jalan-jalan lagi, ya. Nanti jalan-jalan
dengan route yang lain dengan kemarin, oke?” aku mengajak Dilla.
Dilla pun mengangguk tanda setuju. Malam itu setelah pelajaran malam berakhir pukul 21. 30
kami berdua jalan-jalan mengelilingi taman parkir, gardu pandang, telogo nirmolo, dan
akhir berhenti duduk-duduk karang Pramuka. Saat itu Dilla memakai jaket tebal dan celana
jeans ketat. Dalam keremangan malam terlihat bentuk kakinya yang indah sesuai dengan
tinggi badannya. “Dingin Wuk?” tanyaku membuka percakapan. “Ya dingin, mana ada tempat di
Kaliurang yang hangat” jawabnya. “Ada saja” jawabku “Dimana” tanyanya lagi “Ya, disini”
jawabku sambil aku menggeser pantatku dan duduk berdekatan dengannya. “Dimana Om?” Dilla
pun bertanya lagi “Ya.. disini, coba pejamkan mata sebentar!” perintahku.
Dilla pun memejamkan mata. Pelan tapi pasti Dilla pun segera kupeluk dengan lembut dan
ternyata hanya diam saja. “Dimana Om,? dia bertanya lagi “Disini” jawabku sambil terus
mempererat pelukanku kepadanya. “Om, nakal” Dilla meronta tapi aku tetap meneruskan
pelukanku bahkan semakin erat dan akhirnya perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan
pelukanku bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk,
kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya, mencium
bibirnyanya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. “Oh.. Om..”
desahnya pelan “Oh.. Wuk, cantik sekali kau malam ini” rayuku pula.
Tanganku selanjutnya menelusuri tubuh dibalik jaketnya yang tebal. Aku sedikit kaget
karena Dilla hanya memakai kaos “adik” singlet yang agak tebal. “Nggak usah terkejut Om,
aku sering melakukan ini dengan pacarku” bisiknya. “Lho, katamu dingin, kok pakai
singlet?” aku balas bertanya. “Iya, tadi dingin, tapi sekarang sudah agak hangat, kan ada
pemanasnya” celotehnya pula. “oo begitu, baru hangatkan? Oke kalau begitu nanti kubuat
kamu lebih hangat lagi, kalau perlu sampai panas” lanjutku sambil terus mengelus, meraba
tubuhnya. Dan akhirnya sampai dibukit yang cukup besar dan kiranya mulai menegang.
Tanganku berhenti sebentar dibukitnya yang kenyal, kemudian mulai kuremas-remas dengan
kedua tanganku dari arah belakang. Dilla mulai melenguh kenakan.
“Oh.. Om, terus-terusin Om.., Om.. teruus” Dilla terus merengek. Kemudian dia berbalik dan
tangannya juga mulai mememeluk tubuhku semakin erat. Tangannya menuntun tanganku dari
bawah kaosnya menuju bukitnya dan ternyata juga tidak memakai BH. Kuremas pelan-pelan dan
semakin cepat seiring dengan rengekannya. Kami berdua saling berpelukan, saling berciuman,
melumat bibir, saling meremas, entah berapa lama. Kami semakin tidak sadar kalau berada
diruang terbuka. Disekeliling kami hanya pepohonan hutan cemara dikeremangan malam,
diiringi suara cengkerik, belalang serta binatang malam lainnya, dipinggir tanah lapang
itu. Kami pun tidak akan tahu seandainya disekeliling lokasi itu ada yang melihat baik
sengaja mengintip atau tidak sengaja melewati daerah itu. Permainan terus berlanjut
diudara terbuka itu. Dilla pun segera mengarahkan tangannya ke daerah selangkanganku,
mengelus dari luar celanaku.
Tahu bahwa “adik”ku telah bangun, Dilla pun segera memelorotkan celanaku yang kebetulan
waktu itu hanya memakai training. Segera dikeluarkannya batang kemaluanku yang telah tegak
dan selanjutnya Dilla mengemot-emot, memainkan lidahnya dikepala kemaluanku dengan
semangat. Hal ini membuatku lupa dengan istri dirumah yang belum pernah melakukan hal yang
demikian. “Oh.. Wuk, terus Wuk, teruuss.. enak Wuk, teruuss..” Dan crot, crot, crot..,
crot, crot.., crot.., muncratlah spermaku dalam mulutnya yang mungil dan sebagian lagi
mengenai wajahnya yang cantik.
Aku hanya memejamkan mata keenakan. “Enak Om?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, mulut
rasanya sulit berkata karena hampir tak percaya kejadian yang baru saja tadi. Ini adalah
hubungan Sex ku yang pertama dengan selain istri, walaupun baru sebatas oral seks. Dan
ternyata menimbulkan kesan lain yang mendalam selain juga mengasyikkan. “Aku bersihkan ya
Om” dan tanpa berkata lagi Dilla mengulum-ulum batang kemaluanku, menjilat-jilat
membersihkan sisa-sisa sperma yang masih menempel sampai bersih, sih. “Oh, Wuk..” Sadar
berada di alam terbuka, aku segera melihat jam tanganku. Jarum jam telah menunjukkan angka
23. 15. Aku segera mengajak Dilla meninggalkan tempat itu.-,,,,,,,,,,,,,,,,,,,