Tanpa terasa aku mulai kehilangan kendali diri, dan entah mungkin saat itu tingkahku pun berubah menjadi lebih genit dan berani. Semakin lama aku semakin kehilangan kesadaran,
Serasa mimpi aku melihat Joko memandangiku dengan mata merah lalu berjalan mengelilingi sofa dan berdiri di hadapanku. Dia bimbing aku berdiri. Dia angkat dasterku hingga lepas, lalu membuka pengait bra, kemudian melepaskan celana dalamku hingga bugil. Joko pun melepas semua pakaiannya hinga bugil juga. Kemudian kami duduk di sofa menyaksikan acara TV sembari berpelukan. Aku mengikuti apa kemauannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Kami terus berciuman. Joko merebahkan tubuhku di atas sofa, kemudian mengangkangkan kedua kakiku dan menjilati vaginaku. Bahkan duburku. Aku menggelinjang. Sampai akhirnya aku tak mampu menahan gejolakku dan memintanya untuk menusuk vaginaku. Dengan perlahan dia menusuk vaginaku dan secara teratur dia menusuk-cabut penisnya dalam vaginaku. Aku sudah tak mampu menahankan kenikmatan itu. Aku mencapai orgasme, tapi bara dalam tubuhku masih belum padam kami berjalan bergandengan tangan menuju kamar tidur untuk menyalurkan hasrat yang seakan tidak pernah terpuaskan.
Puncak demi puncak kenikmatan kami reguk tanpa aku mampu menguasai diri, hasrat dan tenaga untuk bercinta seakan tidak pernah lenyap dari diri kami, aku pun mabuk dalam hasrat yang tidak pernah bisa kubayangkan.
Pada umumnya saat bercinta dengan mas Dedi walaupun saat mencapai puncak kenikmatan, aku masih mampu menguasai diri, rasa malu sebagai seorang wanita mencegah aku untuk berbuat diluar kendali, sehingga saat puncak itu datang biasanya aku hanya berdesah tertahan.
Tapi kali ini semuanya terjadi diluar batas kewajaran aku mengerah, merintih dan menuntut untuk lebih dan lebih lagi dipuaskan.
Aku memeluk erat pantatnya saat penisnya menusuk vaginaku, dan menggoyangkannya dengan goyangan yang paling gila dan erotis. Kadang saat penis menusuk masuk vagina ku aku menyambutnya dengan bertumpu pada telapak kaki serta memutar pantatku.
Saat sebuah puncak datang, kami hanya mengejang beberapa saat, lalu dalam keadaan berpelukan kami terdiam beberapa jenak, lalu entah aku entah Joko memulai kembali aksi pemenuhan kebutuhan yang seakan tidak ada puasnya.
Tapi semua itu kulakukan diluar kesadaranku, kalau aku bisa menceritakannya, itu karena aku sudah sempat memeriksa film persetubuhanku.
dan saat tersadar aku sedang tergolek ditempat tidur dikamarku sendiri dalam keadaan bugil, sementara anakku Joko sedang tidur sambil memelukku dalam keadaan bugil juga. Dalam keadaan kaget, bingung dan marah, diam-diam aku bangkit dan keluar, Ya Tuhan terasa tubuhku lunglai sekali, dengan memaksakan diri aku bangkit dan berjalan keluar kamar, dan kutemukan suamiku sedang asyik menonton film. Sekilas aku lihat pemeran film itu adalah aku dan anakku, kami bersetubuh dengan ganasnya. Aku mendekati mas Dedi, dengan marahnya, kau kau . hanya itu yang bisa kuucapkan. Mas Dedi yang melihatku hanya menyeringai, dan menjawab masih lelah ? atau aku sudah bisa memakaimu sekarang?, cukup pantas kau lelah aku tidak pernah melihatmu begitu bersemangat dalam bermain cinta.
Hanya itu yang kuingat, aku kembali pingsan. Saat aku sadar, aku langsung minta cerai. Kurampas semua film miliknya dan kubakar, begitu juga camcorder yang digunakannya untuk membuat film kurampas. Dan kubuang dengan membantingnya di gudang rumah kami.
Sementara itu aku bergegas pergi, saat pergi itulah aku baru sadar bahwa aku tidak mempunyai satupun saudara di kota ini, satu satunya saudara adalah kakekku yang tinggal di kota M disebuah villa di perkebunan miliknya. Sebuah daerah yang dingin dan jaraknya cukup jauh dari kota tempatku tinggal. Kakekku ini mas Dedi sendiripun belum pernah mengenalnya, karena kakek dahulu pernah terlibat pertengkaran besar dalam keluarga sehingga kakek tersebut ahirnya dikucilkan, dan dianggap tidak pernah ada oleh nenekku, yaitu istrinya, maupun oleh anak-anaknya , yaitu ayahku yang sudah meninggal maupun tanteku yang tinggal di luar negeri.
Akhirnya kuputuskan untuk tinggal disebuah hotel sambil menunggu proses perceraianku.
Akhirnya aku menuntut cerai. Lewat seorang teman aku berkonsultasi ke sebuah LBH , hanya saja aku tidak menceritakan semua kebenarannya, yang kuceritakan hanyalah penyiksaan yang sering mas Dedi lakukan padaku dan pihak LBH memberiku banyak masukan. Aku juga disarankan untuk melaporan mas Dedi ke polisi atas kekerasan fisik yang dilakukannya.
Setelah berjalan dua bulan, dan berjalan dengan sangat alot, akhirnya mas Dedi menceraikanku. Selama dua bulan tersebut mas Dedi harus membiayai biaya hidupku, dan setelah bercerai aku mendapatkan harta gono gini sejumlah uang tunai sebesar 1 M disebuah bank. Uang tersebut segera kuambil dan kusimpan disebuah bank dengan nomor rekening pribadiku yang baru kubuka.
Dan selama dua bulan tersebut tidak pernah sekalipun aku menemui mas Dedi maupun anakku Joko, semua urusan dilakukan oleh LBH, dan bahkan petugas pengadilanlah yang sempat datang ketempat persembunyianku. javcici.com Sikapku yang shok dan sedikit histerislah serta sikap mas Dedi yang keras serta kasar dalam tuntutannya agar aku dikembalikan padanya yang menjadikan aku sebagai pelapor yang dilindungi.
Setelah semua urusan beres aku lalu pergi kerumah kakek, dengan diam-diam tanpa ada seorangpun yang kuberitahu. Aku hanya pamit bahwa aku akan menyusul tante, dan tinggal bersamanya di Luar Negeri.
Kakek menyambut kedatanganku dengan baik, aku hanya bercerita bahwa aku telah bercerai dengan suamiku dan tidak mempunyai tempat untuk pulang, karena rumah peninggalan kedua orang tuaku telah dijual beberapa saat setelah musibah yang merenggut nyawa mereka.
Tapi penyebab perceraianku yang sesungguhnya tidak pernah aku ceritakan kepada siapapun, biarlah itu tertsimpan sebagai suatu rahasia diriku sendiri, selama aku masih mampu menanggungnya.
Hidupku untuk beberapa lama hanya berkisar dengan membantu kakek merawat kebunnya, sebuah kebun apel yang cukup luas, didaerah yang berudara dingin.
Kami tinggal disebuah villa hampir ditengah tengah perkebunan, dan kakekku yang sudah berusia 80 tahun itu tinggal di villa tersebut bertiga dengan dua orang pembantunya, sepasang suami istri yang telah lama bekerja pada kakek merawat kebun apel.
Hasil dari kebun apel itulah yang menjadi penopang kehidupan kakek, sementara aku sendiri boleh tidak usah hawatir masalah uang karena bunga dari depositoku mengalir lancar. Deposito hasil harta gono gini, demikian aku menyebutnya.
Selesaikah kisahku ? ternyata tidak ini baru awal dari suatu episode baru kehidupanku yang lebih mengenaskan atau lebih nikmat ?
Tuan-tuan dan puan-puan, kisah kawanku ini belum selesai, aku menunggu komen dari anda sekalian perlu tidaknya cerita ini dilanjutkan
Sekian,,,,,,,,,,,,,,