Aku baru saja pulang kuliah. Di tempat kosku yang baru, aku selalu saja gerah. Kamarku yang berukuran 3,5X3 meter itu, hanya memiliki sebuah jendela, sebuah tempat tiodur, satu meja kecil tempat komputerku dan rak buku mini. Kamar kecil itulah istanaku.
Di sebelah kamarku, ada taman kecil yang kubuat sendiri, sekedar untuk menghilangkan penat. Ada jemuran dan kutanami beberapa pohon bunga agar sedikit lebih terasa asri. Di sanalah aku menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Apalagi sebentar lagi aku akan memasuki Ujian Akhir Kuliah (UAS). Semoga tahun depan aku bisa menyelesaikan sarjanaku.
Aku tinggal kos dengan sebuah keluarga, memiliki dua orang anak. Yang sulung berusia 15 tahun laki-laki, yang nomor dua berusia 13 tahun, perempuan dan yang kecil berusia 11 tahun perempuan.
Aku mau menceritakan kisahku y ang sebenarnya pada Evi anak perempuan berusia 11 tahun itu. Dia duduk di kelas 5 SD. Centil dan sangat grusah-grusuh, tapi baik hati. Dia suka membawakan makanan kecil dan mau disuruh membelikan rokok serta membelikan gorengan untuk cemilan sore. Selalu saja dia mendapatkan bagian dari cemilan. itu. Saat aku tidur sore, dia suka membanguni aku, agar cepat mandi, karena sudah sore. Tak lupa setelah itu dia membawakan PR-nya untuk kami kerjakan bersama. Tentu saja aku suka, karean Evi memang anak yang baik, bersih, berkulit putih. Ayah ibunya sangat senang, karean aku suka mengajarinya menyanyi oleh vocal. Sebagai mahasiswa Fakultas Kesenian jurusan etnomusikologi, aku juga senang memainkan gitar klasikku. Terkadang dari seberangkamarku, ibu Evi suka mengikuti nyanyianku. Apalagi kalau aku memetik gitarku dengan lagu-lagu nostalgia seperti Love Sotery atau send me the pillow.
Sore itu, aku gerah sekali. Aku mengenakan kain sarung. Biasa itu aku lakukan untuk mengusir rasa gerah. Semua keluarga tau itu. Kali ini seperti biasanya aku mengenakan kain sarung tanpa baju seperti biasanya, hanya saja kali ini aku tidak mengenakan CD.
“Wandy (nama samaran)…ibu pergi dulu ya. Temani Evi, ya,” ibu kosku setengah berteriak dari ruang tamu.
“Ok…bu!”jawabku singkat. Aku duduk di tempat tidurku sembari membaca novel Pramoedya Ananta Toer. Aku mendengar suara pintu tertutup dan Evi menguncinya. Tak lama Evi datang ke kamarku. Dia hanya memakai minishirt. Mungkin karean gerah juga. Terlihat jelas olehku, teteknya yang mungil baru tumbuh membayang. Pentilnya yang aku rasa baru sebesar beras menyembul dari balik minishirt itu. Evi baru saja mandi. Memakai celana hotpant. Entah kenapa, tiba-tiba burungku menggeliat. Saat Evi mendekatiku, langsung dia kupeluk dan kucium pipinya. Mencium pipinya, sudah menjadi hal yang biasa. Di depan ibu dan ayahnya, aku sudah beberapa kali mencium pipinya, terkadang mencubit pipi montok putih mulus itu.
Evi pun kupangku. Kupeluk dengan nafsu. Dia diam saja, karen tak tau apa yang bakal tejadi. Setelah puas mencium kedua pipinya, kini kucium bibirnya. Biobir bagian bawah yang tipis itu kusedot perlahan sekali dengan lembut. Evi menatapku dalam diam. Aku tersenyum dan Evi membalas senyumku. Evi berontak sat lidahku memasuki mulutnya. Tapi aku tetap mengelus-elus rambutnya.
“Ulurkan lidahmu, nanti kamu akan tau, betapa enaknya,” kataku berusaha menggunakan bahasa anak-anak.
“Ah…jijik,”katanya. Aku terus merayunya dengan lembut. Akhirnya Evi menurutinya. Aku mengulum bibirnya dengan lembut. Sebaliknya kuajari dia mkenyedot-nyedot lidahku. Sebelumnya aku mengatakan, kalau aku sudah sikat gigi.
“Bagaimana, enak kan?” kataku. Evi diam saja. Aku berjanji akan memberikan yang lebih nikmat lagi. Evi mengangukkan kepalanya. Dia mau yang lebih nikmat lagi. Dengan pelan kubuka minishirt-nya.
“Malu dong, kak?” katanya. Aku meyakinkannya, kalau kami hanya berdua di rumah dan tak akan ada yang melihat. Aku bujuk dia kalau kalau mau tau rasa enak dan nanti akan kubawa jajan. Bujukanku mengena. Perlahan kubuka minishirt-nya. Bul….buah dadanya yang baru tumbuh itu menyembul. Benar saja, pentilnya masih sebesar beras. Dengan lembut dan sangat hati-hati, kujilati teteknya itu. Lidahku bermain di pentil teteknya. Kiri dan kanan. Kulihat Evi mulai kegelian.
“Bagaimana…enakkan? Mau diterusin atau stop aja?” tanyaku. Evi hanya tersenyum saja.
Kuturunkan dia dari pangkuanku. Lalu kuminta dia bertelanjang. Mulanya dia menolak, tapi aku terus membujuknya dan akupun melepaskan kain sarungku, hingga aku lebih dulu telanjang. Perlahan kubuka celana pendeknya dan kolornya. Lalu dia kupangku lagi. Kini belahan paginanya kurapatkan ke burungku yang sudah berdiri tegak bagai tiang bendera. Tubuhnya yang mungil menempel di tubuhku. Kami berpelukan dan bergantian menyedot bibir dan lidah. Dengan cepat sekali Evi dapat mempelajari apa yang kusarankan. Dia benar-benar menikmati jilatanku pada teteknya yang mungil itu.
“Evi mau lebih enak lagi enggak?” tanyaku. Lagi-lagi Evi diam. Kutidurkan dia di atas tempat tidurku. Lalu kukangkangkan kedua pahanya. Vagina mulus tanpa bulu dan bibir itu, begitu indahnya. Mulai kujilati paginanya. Dengan lidah secara lembut kuarahkan lidahku pada klitorisnya. Naik-turun, naik-turun. Kulihat Evi memejamkan matanya.
“Bagaimana, nikmat?” tanyaku. Lagi-lagi Evi yang suka grusah grusuh itu diam saja. Kulanjutkan menjilati paginanya. Aku belum sampai hati merusak perawannya. Dia harus tetap perawan, pikirku. Evi pun menggelinjang. Tiba-tiba dia minta berhenti. Saat aku memberhentikannya, dia dengan cepat berlari ke kamar mandi. Aku mendengar suara, Evi sedang kencing. Aku mengerti, kalau Evi masih kecil. Setelah dia cebok, dia kembali lagi ke kamarku.
Evi meminta lagi, agar teteknya dijilati. Nanti kalau sudah tetek di jilati, memek Evi jilati lagi ya Kak? katanya. Aku tersenyum. Dia sudah dapat rasa nikmat pikirku. Aku mengangguk. Setelah dia kurebahkan kembali di tempat tidur, kukangkangkan kedua pahanya. Kini burungku kugesek-gesekkan ke paginanya. Kucari klitorisnya. Pada klitoris itulah kepala burungku kugesek-gesekkan. Aku sengaja memegang burungku, agar tak sampai merusak Evi. Sementara lidahku, terus menjilati puting teteknya. Aku merasa tak puas. Walaupun aku laki-laki, aku selalu menyediakan lotion di kamarku, kalau hari panas lotion itu mampu mengghilangkan kegerahan pada kulitku. Dengan cepat lotion itu kuolesi pada burungku. Lalu kuolesi pula pada pagina Evi dan selangkangannya. Kini Evi kembali kupangku.
Paginanya yang sudah licin dan burungku yang sudah licin, berlaga. Kugesek-gesek. Pantatnya yang mungil kumaju-mundurkan. Tangan kananku berada di pantatnya agar mudah memaju-mundurkannya. Sebelah lagi tanganku memeluk tubuhnya. Dadanya yang ditumbuhi tetek munguil itu merapat ke perutku. Aku tertunduk untuk menjilati lehernya. photomemek.com Rasa licin akibat lotion membuat Evi semakin kuat memeluk leherku. Aku juga memeluknya erat. Kini bungkahan lahar mau meletus dari burungku. Dengan cepat kuarahkan kepala burungku ke lubang paginanya. Setelah menempel dengan cepat tanganku mengocok burung yang tegang itu. Dan crooot…crooot…crooot. Spermaku keluar. Aku yakin, dia sperma itu akan muncrat di lubang pagina Evi. Kini tubuh Evi kudekap kuat. Evi membalas dekapanku. Nafasnya semakin tak teratur.
“Ah…kak, Evi mau pipis nih,” katanya.
“Pipis saja,” kataku sembari memeluknya semakin erat. Evi membalas pelukanku lebih erat lagi. Kedua kakinya menjepit pinggangku, kuat sekali. Aku membiarkannya memperlakukan aku demikian. Tak lama. Perlahan-lahan jepitan kedua aki Evi melemas. Rangkulannya pada leherku, juga melemas. Dengan kasih sayang, aku mencium pipinya. Kugendong dia ke kamar mandi. Aku tak melihat ada sperma di selangkangannya. Mungkinkah spermaku memasuki paginanya? Aku tak perduli, karena aku tau Evi belum haid.
Kupakaikan pakaiannya, setelah di kamar. Aku makai kain sarungku. Mari kita bobo, kataku. Evi menganguk.
“Besok lagi, ya Kak,” katanya.
“Ya..besok lagi atau nanti. Tapi ini rahasia kita berdua ya. Tak boleh diketahui oleh siapapun juga,” kataku. Evi mengangguk. Kucium pipinya dan kami tertidur pulas di kamar.
Kami terbangun, setelah terdengar suara bell. Evi kubangunkan untuk membuka pintu. Mamanya pulang dengan papanya. Sedang aku pura-pura tertidur. Jantungku berdetak keras. Apakah Evi menceritakan kejadian itu kepada mamanya atau tidak. Ternyata tidak. Evi hanya bercerita, kalau dia ketiduran di sampingku yang katanya masih tertidur pulas.
“Sudah buat PR, tanya papanya.
“Sudah siap, dibantu kakak tadi,” katanya. Ternyata Evi secara refleks sudah pandai berbohong. Selamat, pikirku.
Setelah itu, setiap kali ada kesempatan, kami selalu bertelanjang. Jika kesempatan sempit, kami hanya cipokan saja. Aku menggendongnya lalu mencium bibirnya.
Hal itu kami lakukan 16 bulan lamanya, sampai aku jadi sarjana dan aku harus mencari pekerjaan.
Malam perpisahan, kami melakukannya. Karean terlalu sering melaga kepala burungku ke paginanya, ketika kukuakkan paginanya, aku melihat selaput daranya masioh utuh. Masa depannya pasti masih baik, pikirku. Aku tak merusak pagina mungil itu.
Sesekali aku merindukan Evi, setelah lima tahun kejadian. AKu tak tahu sebesar apa teteknya sekarang, apakah dia ketagihan atau tidak. Kalau ketagihan, apakah perawannya sudah jebol atau tidak. Semoga saja tidak.,,,,,,,,