Gadis Polos
Perkenalkan namaku Prihatin Pamungkas. Kenapa namaku seperti itu?
Ini ceritanya.
Aku akan menceritakan secara singkat saja. Aku adalah anak bungsu, dilahirkan pada bulan Desember tahun 1965 di kota kecil di ujung barat Jawa Barat. Kedua orang tuaku berasal dari Jogya, Jawa Tengah.
Bapakku adalah seorang tukang kayu dan saat aku dilahirkan, bekerja pada saat PT Krakatau Steel didirikan. Setelah proyek selesai, bapakku bekerja di Departemen Penerangan, kota Serang. Tetapi malang G30S PKI terjadi dan bapakku yang tak tahu apa-apa ikut dibuang ke Nusa Kambangan, lalu ke P. Buru.
Tinggallah ibuku yang sedang hamil tua mengandung aku dan kakakku satu-satunya. Akhirnya kakakku dititipkan kepada salah seorang tentara CPM sementara ibuku bekerja di penggilingan padi. Sebut saja nama perwira CPM itu Pak Broto.
Saat ibuku bekerja, tiba-tiba perutnya mulas dan tanpa sempat dibawa ke dukun beranak ataupun rumah sakit, maka lahirlah aku di lumbung padi dengan ditolong oleh beberapa pekerja penggilingan.
Aku diberi nama Prihatin, sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu. Oleh Pak Broto, ibuku ditolong dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangganya, selama kurang lebih 8 bulan.
Dikarenakan Bapak Kusuma, adik dari Pak Broto yang tinggal di Jakarta membutuhkan pembantu, maka ibuku dimintanya dan ditarik ke Jakarta untuk menjadi pembantu di rumah Bapak Kusuma. Jadilah aku, kakakku dan ibuku hijrah ke Jakarta pada bulan Juli 1966 di rumah Bapak Kusuma di daerah Cilandak.
Pak Kusuma adalah seorang perwira AL. Oleh Pak Kusuma, namaku diberi tambahan Pamungkas agar segala keprihatinanku segera berakhir. Tetapi pada tahun 1976, Pak Kusuma meninggal dunia karena sakit. Bu Kusuma memutuskan untuk kembali ke Jogya sedangkan anak-anaknya karena sudah berkeluarga semua akan tetap di Jakarta dan masing-masing sudah punya pembantu.
Akhirnya Bu Kusuma memberi ibuku uang yang cukup sebagai modal untuk usaha. Dikarenakan usia kakakku yang sudah 12 tahun lebih dan harus sekolah SMP, maka kakakku dititipkan ke saudara bapakku yang kerja di Pemda di Rawamangun. Akhirnya ibuku mengontrak rumah di daerah Terogong dekat Pasar Mede, dan membuka warung rokok kecil-kecilan di pinggir jalan Fatmawati.
Jarak antara rumah kontrakanku dengan warung kira-kira 500 meter. Kontrakan itu milik orang Jakarta, ada 3 pintu, masing-masing ada dapur, 1 kamar tidur dan ruang tamu. Lantainya masih tanah. Sumur dan kamar mandinya hanya satu di belakang dipakai bersama-sama. Letak kontrakan tersebut di tengah kebun rambutan jauh dari tetangga. Sedangkan pemilik kontrakan, rumahnya cukup jauh sekitar 300 meter.
Masih sangat kuingat bahwa kami hanya tidur di dipan kayu beralaskan tikar tanpa kasur, piring makan hanya dua buah itupun dari kaleng, radio 2 band AM dan SW1, tak punya lemari pakaian. Pakaian kami hanya diletakkan di bawah tikar tempat tidur agar terlihat rapi. Kontrakanku letaknya di tengah.
Tetangga kiriku seorang tukang kayu yang kerjanya tidak tetap, sedangkan istrinya adalah tukang sayur keliling. Anaknya hanya seorang perempuan namanya Titin. Umurnya saat itu baru 10 tahun, lebih muda 1 tahun dariku. Anaknya hitam manis. Sedangkan sebelah kananku adalah Mbak Nunung yang kerjanya di toko pakaian di daerah Blok M. Umurnya sekitar 20 tahun. Putih, cantik dengan rambut panjang dan lesung pipitnya.
Aku dan Titin sangat dekat bagaikan saudara kandung. Itu dikarenakan kami sering main bersama, makan bersama, mandi bersama bahkan tidur siang pun kadang kami bersama. Anda mungkin sulit membayangkan bagaimana anak sekecil kami sudah harus mengurus diri sendiri. Tapi keadaanlah yang memaksa kami demikian.
Tahun 1977, aku sekolah di SMP Negeri yang letaknya kurang lebih 1 km dari rumah yang kutempuh dengan jalan kaki melewati persawahan dan kuburan. Sekolah dengan telanjang kaki adalah hal yang biasa pada saat itu. Begitu pula aku. Setiap hari sepulang sekolah aku ke warung ibuku untuk bantu-bantu, terkadang harus belanja dagangan ke pasar. Sehingga waktu untuk bermain sangat sedikit.
Hubunganku dengan Titin makin dekat saja karena kalau siang kami tak ada teman bermain. Hanya aku dan Titin. Teman sebenarnya sih banyak, hanya karena kami dari keluarga miskin, kami agak minder dan teman-teman kami pun sepertinya enggan berteman dengan kami.
Tapi dalam hal pelajaran sekolah, aku sama sekali tidak pernah ketinggalan. Aku selalu bersyukur, walaupun buku pelajaranku selalu pinjam dari teman yang satu angkatan diatasku dan belajar dengan lampu teplok, aku bisa sejajar dengan temanku yang lain. Bahkan aku selalu masuk dalam 10 besar. Hal itu berlangsung terus sampai aku kelas 2 SMA.
Hingga pada suatu saat ketika aku berumur 18 tahun. Aku telah selesai berbelanja keperluan warung untuk esok hari. Rokok, pisang, ubi, terigu, minyak tanah, minyak goreng dll.oh yaku selain jualan rokok, juga jualan pisang goreng, ubi rebus, kacang goreng, kopi, teh dll. Saat aku sedang istirahat, karena siangnya aku harus sekolah, aku mendengar suara erangan dari kamar sebelah kanan. Seperti orang menangis tapi kok intonasinya aneh.
“Kenapa Mbak Nunung ya.. apa sedang sakit perut?” pikirku.
Oh ya Mbak Nunung sekarang sudah janda. Suaminya meninggal tertabrak mobil 2 tahun yang lalu saat usia perkawinan mereka sekitar 6 bulan.
Penasaran kuintip lewat celah-celah bilik bambu. Aku kaget! Penasaran, pelan-pelan kubesarkan lubang mengintipnya, nah semakin jelas. Ternyata Mbak Nunung sedang bersenggama dengan lelaki yang tak kukenal. Mbak Nunung posisinya berada di atas lelaki itu. Kepalanya mengadah ke atas.
Karena posisi mengintipku dari samping, maka yang kelihatan hanyalah payudara Mbak Nunung saja. Payudaranya kurasa cukup besar dan masih kencang itu berguncang-guncang. Mungkin karena Mbak Nunung janda yang belum punya anak, jadi payudaranya masih bagus. Umur Mbak Nunung saat itu sekitar 28 tahun.
“Aduuhh.. shh.. sshh.. ooohh.. ooohh..” rintih Mbak Nunung. Lelaki itu memegangi pinggang Mbak Nunung, sedangkan pantatnya bergoyang-goyang.
Aku yang baru pertama kali melihat adegan itu secara live (walaupun cerita tentang hal itu sering kudengar dari teman-teman) membuatku makin deg-degan. Aku terus mengintip sementara tanpa kuperintah kemaluanku menegang keras. Kulihat frekuensi naik turun Mbak Nunung semakin cepat sambil mulutnya bicara yang tidak jelas. Lalu tiba-tiba Mbak Nunung mengeram panjang.
“Aaaa.. aaachchch.. hhuuu..” dan terlihat dia tergeletak lemas di atas laki-laki itu. Pelan-pelan aku turun dari dipan dengan kaki yang gemetaran.
Siang itu aku di sekolah banyak bengongnya, sehingga teman-temanku banyak yang bertanya kenapa aku ini, kujawab saja aku sedang tidak enak badan. Mungkin masuk angin. Semenjak saat itu setiap ada suara-suara desahan dan kesempatan aku selalu mengintip aktifitas Mbak Nunung. Mbak Nunung liburnya tidak tentu. Terkadang Senin, kadang Selasa atau hari-hari yang lain.
Jadwal desahan itu hampir bersamaan yaitu sekitar jam 10 pagi sampai jam 12 siang. Yang kuherankan, lelaki pasangannya sering berganti-ganti. Akhirnya aku tahu kalau Mbak Nunung itu biasa tidur dengan lelaki yang mau membayarnya. Pantas saja penjaga toko kok punya TV serta perabotannya lengkap dan bagus.
Mungkin awalnya Mbak Nunung biasa dibawa ke penginapan tapi karena dianggapnya kontrakan sepi, maka Mbak Nunung memutuskan main di kontrakan. Karena sudah beberapa kali aku melihat Mbak Nunung melakukan senggama, akhirnya aku tahu urut-urutannya. Pertama mereka saling cium, saling raba, saling remas, saling hisap lalu melakukan penetrasi disegala posisi.
Aku tahu bentuk dari vagina Mbak Nunung yang berambut lebat. Itulah yang membuatku mempunyai perasaan lain setiap melihat kawan dekatku, si Titin. Titin kini umurnya sudah 17 tahun, sudah kelas 1 SMA. Kami sekolah di tempat yang sama. Sama-sama masuk siang. Dia sekarang jauh lebih putih daripada dulu.
Hal-hal yang tadinya tidak begitu kuperhatikan pada Titin akhirnya kuperhatikan. Wajahnya yang oval, hidungnya yang agak mancung, giginya yang putih, bibirnya yang merah alami, alisnya yang cukup tebal, rambutnya dipotong pendek ternyata semuanya dapat nilai diatas rata-rata. Dadanya bagus tidak terlalu besar.
“Kenapa baru sekarang aku perhatikan ya. Kenapa nggak dari dulu?” pikirku. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan urusanku, keluargaku, sekolahku. Padahal aku sering mengajarkan Matematika dan IPA kepadanya.
Suatu ketika, sewaktu kulihat ada Mbak Nunung di rumah sedang menerima tamu, kira-kira jam 10, aku tahu apa yang akan terjadi. Setelah kira-kira mereka masuk kamar, kupanggil si Titin. Saat itu dia sedang mencuci beras.
“Tin, sini deh. Mau lihat yang bagus nggak?” kataku.
“Lihat apa?” dia balik tanya.
“Pokoknya bagus deeehhh..” ajakku sambil menggandeng tangannya.
Sementara dia sedang jongkok, sekilas terlihatlah celana dalamnya yang berwarna putih di antara pahanya yang mulus. Pikiranku langsung ngeres.
“Seperti apa ya isinya? Apa masih seperti dulu?”pikirku.
Karena sejak umur 10 tahun kami tak pernah mandi bareng lagi. Malu katanya. Saat dia bangun, dadanya sempat tersentuh lenganku. Lunak dan lembut. Waahh, makin ngeres aja aku. Setelah menyimpan bakul beras di rumahnya, dia pun masuk ke rumahku lewat pintu belakang.”Sssttt.. jangan berisik ya..” kataku sambil menempelkan telunjukku ke bibirku.
“Kenapa?” tanyanya. Aku dekatkan bibirku ke telinganya.
“Geser kalendernya, di situ ada lobang. Coba lihat ada apa..” bisikku.
Sementara itu sudah ada suara desahan-desahan halus dari kamar sebelah. Dia naik dipan perlahan-lahan. Digesernya kalender dan mulai mengintip. Reaksinya pertamanya adalah kaget dengan muka merah menatapku.
“Ada apa?” tanyaku berlagak bego.
“Mereka lagi ngapain?” tanyanya.
“Aduuhhh.. Titin ini belum ngerti atau pura-pura siihh..” batinku.
Aku langsung mengambil kesimpulan sendiri kalau Titin itu sama seperti aku dulu. Tidak tahu apa-apa tentang seks.
“Coba kamu lihat terus. Aku nggak ngerti makanya kupanggil kamu. Karena aku udah pernah liat tapi aku nggak tahu..” jawabku pura-pura bodoh.
Akhirnya Titin mengintip lagi. Selama Titin mengintip, kuperhatikan dia dari belakang agak ke kanan. Dia memakai daster tipis dengan lubang lengan yang agak lebar. Aku bisa melihat bulatan payudaranya yang tertutup kaos dalam agak kendor. Agak mengembung, putih, putingnya agak samar-samar karena dari samping. Kulihat pinggangnya agak ramping, bongkahan pantatnya yang cukup besar untuk anak seusianya. Sementara garis celana dalamnya terlihat jelas di balik dasternya yang biru tipis.
Nafas Titin kudengar makin cepat dan badannya agak gemetar. Cukup lama kira-kira 20 menit, sampai terdengar erangan panjang dari kamar sebelah. Akhirnya Titin duduk di depanku. Wajahnya merah padam. Waahh.. makin cantik aja Titinku ini.
“Gimana Tin?” tanyaku.
“Tauk.. ah.. aku mau masak..!” sahutnya sambil berlari keluar.
“Dia kenapa ya..?” batinku.
Setelah itu aku bikin adonan kue, memotong-motong pisang, merebus ubi, lalu pergi mandi. Saat sedang berjalan ke kamar mandi, aku sempat melihat Titin sedang merenung di depan kompornya. Pasti gara-gara mengintip tadi.
“Ayoo.. ngelamun. Entar kemasukan setan loohhh. Mau sekolah nggak?” tanyaku.
Dia rupanya kaget saat kutanya begitu.
“Eh.. oh. Mas Pri aja dulu. Aku lagi nungguin nasi nich.. Nanti gosong..” sahutnya.
Dia selalu memasak sebelum berangkat sekolah supaya kalau ibunya pulang keliling menjajakan sayur, makanan sudah ada. Tinggal goreng lauknya saja. Kalau aku, pagi setelah minum teh, kubuka warung dan ibuku memasak setelah itu ibu ke warung, lalu menuliskan apa-apa yang perlu dibeli di pasar.
Sepulang dari pasar kupersiapkan bahan-bahan untuk pisang goreng lalu dibawa ke warung. Aku selalu belajar di malam hari. Baik PR maupun belajar untuk esok harinya. Selesai mandi aku ganti baju. Siap-siap mau sekolah. Kupakai sepatuku.
Melihat sepatu itu aku tersenyum sendiri. Sepatu itu adalah hasil jerih payahku mengumpulkan kardus-kardus bekas dan menjualnya ke tukang pemulung yang tak jauh dari kontrakanku. Setelah selesai membungkus yang mau dibawa ke warung, aku teriak pada Titin.
“Tiinnn.. ayo berangkat..! Nanti telat lhoo..” teriakku.
“Sebentaaarrr.. Titin lagi pake sepatu..” sahutnya.
Tak lama Titin keluar. “Kok hari ini tambah cantik ya..” batinku.
Selama dalam perjalanan ke sekolah, Titin banyak diamnya dibandingkan hari-hari sebelumnya. Biasanya dia cerita tentang keadaan pasar Cipete dimana dia belanja sayur untuk dijual oleh ibunya (dia berangkat jam 4 pagi, pulangnya jam 6 sampai setengah tujuh. Setelah ibunya pergi berkeliling, dia tidur sebentar).
“Mungkin karena pengalaman mengintip tadi..” batinku.
Pulang sekolah pun dia banyak diamnya. “Kenapa dengan Titinku ini..” batinku.
Sementara aku tinggal di warung untuk bantu ibu, dia langsung pulang seperti biasanya.
Malam harinya, saat aku sedang belajar, Titin datang menghampiriku.
“Mas Pri, ajarin Titin soal yang ini dooong..” pintanya sambil membawa buku Matematika-nya.
“Sebentar ya Mas selesaikan PR Fisika Mas dulu..” jawabku.
Setelah aku selesai, aku tanya apa PR-nya. Ah, ternyata hanya soal sinus, cosinus dan tangen saja. Itu soal mudah bagiku. Kujelaskan panjang lebar tentang hal itu. Dia memperhatikan dengan seksama. Memang si Titin itu termasuk anak yang pintar. Dia cepat menangkap apa yang kuterangkan. Mungkin guru di sekolah terlalu cepat mengajarnya atau kurang bisa memberi contoh yang dapat dimengerti.
Selama aku menjelaskan, Titin sering memandangku. Aku bisa melihat jernih bola matanya walaupun ruangan hanya diterangi dengan lampu minyak.
Setelah jelas dengan keteranganku, dia mulai mengerjakan soal-soal PR-nya. Tak lama kemudian dia selesai dengan PR-nya dan kuperiksa ternyata benar semua. Mulailah kita mengobrol macam-macam. Kami memang jarang sekali menonton televisi. Karena harus menunggu Mbak Nunung pulang kerja sekitar jam 9 malam terkadang lebih, atau ke rumah pemilik kontrakan. Ibuku sudah tidur sejak selesai sholat Isya.
Begitulah cara ibuku untuk menjaga kondisi tubuhnya setelah seharian bekerja di pinggir jalan. Penyakit ibuku paling-paling hanya masuk angin. Setelah aku kerokin dan pijitin sudah sembuh. Begitu pula dengan ibu si Titin. Bapak si Titin saat ini sedang mendapat pekerjaan membangun rumah di Semarang sehingga pulangnya 1 bulan sekali. Oh.. bapak si Titin asalnya dari Purwokerto, sedang ibunya dari Ciamis. Jadi si Titin itu Janda (Jawa-Sunda).
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya sampai ke topik apa yang kita intip tadi siang. Ditopik ini aku merasakan penisku mulai mengeras. Apalagi Titin sering memandangku dengan pandangan yang terasa lain dibandingkan kemarin.
Dia bertanya,
“Mas, apa ya.. kira-kira yang dirasakan Mbak Nunung tadi siang ya..? seperti kepedesan, seperti nangis.. tapi sepertinya Mbak Nunung sangat menikmati yaa..”
“Waahh kalau itu Mas nggak tau.. abis Mas belum pernah ya.. mana Mas tau..” jawabku.
“Tapi sewaktu Titin ngintip tadi, kok susu sama tempek Titin jadi gatel. Mau Titin garuk malu ada Mas Pri.. akhirnya Titin pulang. Terus Titin pipis, dan sewaktu cebok rasanya enaaak banget..” sahutnya.
Si Titin menyebut kelaminnya dengan sebutan “tempek”.
“Terus Titin jadi bingung kenapa Titin ya.. perasaan itu baru pertama kali Titin rasakan..” sambungnya.
Memang aku sama Titin kalau ngomong itu sudah nggak pake bates apa-apa. Kita berdua selalu blak-blakan apa adanya. Aku jadi bingung mau jawab apa. Tiba-tiba Titin menyandarkan kepalanya ke pundakku. Ini pertama kalinya karena biasanya hanya tangannya saja yang ke pundakku.
“Kenapa ya.. sepertinya Titin merasa dekeett banget sama Mas Pri. Padahal Mas Pri kan bukan apa-apaku.”
“Lho.. Titin kan sudah Mas anggap adik Mas. Jadi pantes dong kalau Titin deket sama Mas.” sahutku.
“Mas sayang nggak sama Titin?” tanyanya sambil memandangku. Wajahnya sangat dekat denganku. Dapat kurasakan hembusan nafasnya yang wangi. Aku tak berani menegok ke arahnya.
“Ya.. jelas sayang dong. Sama adiknya kok nggak sayang,” jawabku.
“Mas, Titin mau tanya ya.. tapi Mas nggak boleh marah ya.”
“Tanya apa? Emang Mas pernah marah sama Titin?” tanyaku.
“Kalau Mas lagi ngintip Mbak Nunung, apa yang Mas rasakan?” tanyanya.
Waaa.. Pertanyaannya makin menjurus nich.
“Mas juga merasakan singkong Mas mengeras sendiri.” kataku.
Aku menyebut penisku dengan “singkong”.
“Maasss kalau ngomong liat ke Titin doonggg.. jangan lihat keluar,” katanya sambil menarik lenganku ke dadanya. Lenganku merasakan daging lunak dan hangat di balik dasternya.
“Apa si Titin tidak memakai kaos dalem ya?” batinku.
Aku menengok ke Titin sambil memegang dadanya.
“Lho.. kok Titin nggak pake kaos dalem?” tanyaku.
“Kaos dalem Titin basah semua Mas.. Nanti kalau Titin pake takut masuk angin,” sahutnya.
Saat aku menengok ke Titin, jarak wajahku dan wajahnya sangat dekat sekali. Entah siapa yang meminta atau memulai, aku mencium pipi kirinya. Wangi. Dia mendesah pelan, “Hmmm.. aaahhh..” Kucium pipi satunya, keningnya, matanya, hidungnya. Desahannya makin keras.
“Hmmm.. aaahh.. Maasss..” desisnya dengan bibir sedikit membuka. Kukecup bibirnya, dia diam saja tak ada reaksi apa-apa. Lama-lama dia pun membalas. Kami hanya berciuman bibir ke bibir saja. Maklum.. masih pemula sekali. Tanganku masih memeluk di punggungnya. Belum tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dengan wajah yang merah padam dan berkata,
“Maass.. Titin sayaangg banget sama Mas. Mas sayang nggak sama Titin?” tanyanya.
“Lho.. tadi kan Mas udah bilang kalau Mas juga sayang sama Titin,” sahutku.
“Masss.. tadi waktu Mas pegang susuku, rasanya enaak sekali.. habis sewaktu cerita-cerita tadi susu sama tempek Titin jadi gatel lagi,” sahutnya.
“Singkong Mas sekarang keras nggak?” sambungnya.
Tiba-tiba tangannya memegang penisku dari luar. Memang saat itu aku hanya memakai celana dalam sama sarung saja. Aku kaget setengah mati. Langsung kutepis tangannya.
“Huusss jangan.. nggak sopan..” kataku.
“Udah sekarang kamu tidur giihh udah malem. Besok kamu khan harus ke pasar. Nanti telat..” kataku lagi.
Akhirnya Titin pulang. Tapi sebelum pulang Titin mencium pipi kananku.
“Titin sayang Mas,” katanya singkat.
Sepulangnya Titin, segala macam perasaan berkecamuk di dadaku.
Ada perasaan apa antara aku dan Titin? Apa ini yang dinamakan cinta?
Kalau cinta, berarti kita akan pacaran seperti cerita teman-temanku di sekolah?
Tanpa kusadari akhirnya aku tertidur dan dibangunkan ibuku keesokan harinya. Keesokan harinya, sepulang dari pasar, aku bingung kemana si Titin ya? Biasanya setiap aku pulang dari pasar, dia sedang mencuci baju di sumur. Aku masuk ke rumahnya dari pintu belakang, melewati dapur terus ke kamarnya.
Ternyata dia sedang tidur, masih memakai daster yang semalam. Mungkin masih ngantuk karena tidurnya terlambat tadi malam pikirku. Ketika aku akan meninggalkan kamarnya, dia menggeliat. Kaki kanannya menekuk ke samping sedang kaki kirinya lurus. Maka terpampanglah kemaluannya yang masih terbungkus celana dalam nilon tipis warna cream.
Aku deg-degan melihat hal itu, kudekati dia. Wajahnya tampak damai sekali. Dadanya yang sedikit membusung itu turun naik dengan teratur. Sepertinya dia pulas sekali. Makin ke bawah kulihat pahanya yang putih mulus, makin deg-degan aku. Kuperhatikan dengan seksama vaginanya yang sedikit menggembung di selangkangannya.
Ada garis samar-samar melintang dari atas ke bawah. Bulu-bulu halus tipis membayang. Kuelus perlahan-lahan. Terasa ada alur melintang. Kugesek-gesek perlahan takut dia bangun. Aku dekatkan wajahku ke sana. Ada aroma yang khas sekali, kucium perlahan. Baunya tak bisa aku definisikan tapi yang pasti segar sekali.
Kutempelkan hidungku, kutarik nafas dalam-dalam. “Aaahh.. segar sekali..” Berkali-kali kulakukan itu sampai kudengar dia mendesah. “Aaahhh…” Kukaget langsung mundur. Tapi dianya kok nggak bangun ya.. Aku jadi sedikit mengerti mengapa lelaki yang tidur sama Mbak Nunung suka menjilati kelaminnya Mbak Nunung.
Menjilat? Apa nggak jijik ya. Tak terasa penisku mengeras. Aku betulkan posisi penisku karena miring kanan. Setelah beberapa saat, aku beralih ke dadanya. Kuperhatikan ada tonjolan samar di puncak bukitnya. Kupegang susunya perlahan-lahan, kubelai-belai, kucium dari luar dasternya. “Aaahh..” baunya pun segar.
Kuulangi bergantian kiri dan kanan. Lama-lama kok tonjolannya semakin keras? Kenapa? Tiba-tiba dia menggeliat. Aku kaget sekali. Refleks kugoyang-goyangkan badannya.
“Tin.. Tin.. banguuunnn.. udah nyuci beluuumm?” kataku supaya dia tidak curiga.
Dia bangun sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia kaget ada aku di sebelahnya.
“Terima kasih Mas, udah bangunin aku. Aku belum nyuci,” balasnya.
“Udah cepetan bangun. Nanti telat..” kataku.
Dia duduk sebentar lalu bangun dan mengambil cuciannya. Direndam, lalu dia mencuci beras. Aku menemaninya sambil memotong-motong pisang, singkong dan ubi. Setelah itu dia masak dan keluar lagi untuk mencuci baju. Aku membuat adonan. Aku agak heran dia kok jadi pendiam gitu ya. Setelah aku selesai, aku langsung mandi dan siap-siap berangkat.
Dalam perjalanan ke sekolah dia cerita.
“Mas, waktu aku tidur tadi aku mimpi aneh lho Maass..”
“Mimpi apa?” tanyaku.
“Aku mimpi aku sedang seperti Mbak Nunung.”
Aku kaget sekali. Apa karena kuraba-raba ya.
“Kamu begituan sama siapa?” tanyaku.
“Sama Mas Pri,” sahutnya.
“Aaahhh.. kamu siang-siang kok mimpi. Itu namanya mimpi di siang bolong,” kataku.
“Udah jangan dipikirin banget entar di sekolah kamu banyak bengongnya lho,” sambungku lagi.
Malam itu aku belajar seperti biasa. Dengan celana dalam dan sarung. Sekarang Titin datang dengan persoalan Fisika-nya. Masalah gelombang elektromagnetik. Seperti biasa kujelaskan panjang lebar. Akhirnya dia mengerti.
Saat dia sedang mengerjakan tugas, kuperhatikan seluruh tubuhnya. Dia duduk di sebelahku. Kok dia tidak memakai kaos dalam lagi? Apa masih basah? Sambil dia mengerjakan tugas, kutanya dia,
“Tin, kaos dalemmu masih basah ya.. kok nggak dipake?” tanyaku.
“Lho Mas Pri kok merhatiin Titin siihh..”
Aku diam saja. Bingung mau ngomong apa. Hening karena masing-masing mengerjakan tugasnya.
Setelah selesai semua, Titin membuka pembicaraan.
“Maasss.. Titin sengaja nggak pake kaos karena Titin pengen Mas Pri pegang susu Titin seperti kemarin. Abis enak lhoo.. Mas.. Mas mau khaannn..” kata Titin.
“Mas kan sayang aku,” sambungnya.
Penisku mengeras dengan perlahan-lahan mendengar permintaan Titin.
“Eeee.. mmm gimana yaa..” jawabku bingung dan senang.
“Oke deh Mas mau. Tapi Mas mau tutup dulu pintunya. Takut ada yang liat..”
Setelah menutup pintu, aku berkata, “Sekarang Titin duduknya mepet Mas..”
Dia menggeser duduknya, kurengkuh pundaknya, dia menatapku. Kukatakan,
“Mas sayang sama Titin..”
Lalu dengan penuh perasaan kucium pipi, kening, mata, hidung akhirnya bibirnya. Dia hanya merem saja. Seperti biasa kami hanya berciuman bibir. Tangan kananku memeluknya, tangan kiriku ke dadanya. Kuremas perlahan-lahan kiri dan kanan bergantian.
“Aaacchhh.. Enak banget Masss.. aaaccchh..” desahnya. Saat dia mendesah, tanpa sengaja lidahnya bertemu dengan lidahku.
Aku memainkan lidahnya dengan lidahku. Dan dia sepertinya mengerti dan membalas. Lidah kami saling membelit. Senjataku sekarang sudah keras sekali. Agak sakit karena posisinya miring. Aku biarkan. Terbayang semua adegan Mbak Nunung. Kuturunkan ciumanku ke lehernya.
Dia makin mendesah-desah.
“Aduuuhh.. Maasss.. ooohh.. ooohh..”
Aku ingin memegang susunya langsung tapi Titin marah nggak ya?. Kucoba telesupkan tangan kiriku melalui celah ketiak dasternya. Oh halusnya daging kenyal itu. Besarnya kira-kira sebesar bola tennis. Ternyata Titin tidak marah. Malah dadanya makin dibusungkan ke depan. Kurasakan putingnya makin menonjol. Aku sentuh. Dia tersentak dan mendesah,
“Ya.. ya.. Mas.. yang sebelah situ enak Mass. Terusin Mass.. aaacchhh..” Kupuntir puttingnya, dia makin menggelinjang.
“Tin, Mas mau cium susumu boleh khaann?”Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku bilang ke Titin,
Titin diam saja sambil memandangiku tapi jawabannya adalah dia melepaskan dasternya. Aku kaget atas reaksi Titin. Di hadapanku sekarang Titin sudah telanjang dada. Dadanya bagus sekali bentuknya. Susunya bulat. Kira-kira sebesar bola tennis. Putingnya merah muda agak ke atas dengan putingnya yang menonjol keluar. Aku terpana.
“Mass.. ayo dong jangan diliatin aja. Katanya mau nyusu..” Aku tersadar dan langsung mencium susunya.
Kulumat putingnya bergantian. Kurebahkan dia di bangku. Nafasnya semakin memburu. Susunya semakin keras.
“Ochh.. Masss. ooohh.. aaahh.. aduuhhh.. aaahh Mass nakaalll..”Tanganku yang tadinya memeluknya, secara refleks mulai mengusap-usap pahanya.
Dari dengkul sampai selangkangan. Berkali-kali kulakukan hal itu. Setiap sampai di selangkangannya, pahanya membuka. Kusentuh vaginanya dari luar CD-nya. Dia makin menggelinjang dan makin keras pula desahannya. Kok basah? Ah paling-paling keringat. Memang saat itu badannya sudah basah dengan keringat.
“Mass.. oohhhh.. hhaahh.. oohh ahhh..”
Takut ibuku bangun, kucium mulutnya. Kami saling melumat lagi. Lumatannya sudah seperti orang yang kesetanan. Tangan kiriku di dadanya, dan tangan kananku di atas vaginanya. Tanganku mulai menyelusup ke dalam CD-nya. Terasa olehku bulu-bulu halus. Makin ke bawah kutemukan garis belahan. Kumasukkan jari tengahku ke belahan vaginanya. Basah dan licin.
“Ooohh.. ternyata basahnya dari sini,” pikirku. Kumainkan jari tengahku.
Kutekan dan kugosok dengan pelan, makin lama makin cepat. Pantatnya bergerak-gerak seirama dengan gosokanku. Tak lama, tiba-tiba dia menjerit dan tersentak,
“Maasss.. aku pipiisss.. aaahh..” Tanganku basah dengan cairan lengket licin. Dia langsung terlentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal seperti orang yang habis dikejar anjing.
Wajah Titin merah, berkeringat dan terlihat amat cantik dengan senyumnya yang mengembang.Saat itu aku tidak tahu apa itu orgasme, G-spot, atau istilah seks lainnya.
“Maass.. Titin lemeesss..” katanya.
“Mas.. tangannya ada pipis Titin tuuhh..” sambungnya lagi.
Kutarik tanganku dari celana dalamnya. Aku bingung. Kok pipisnya lengket begini? kucium. Kok nggak pesing yaa?
Aku teringat lelaki yang bersama Mbak Nunung. Dia saja mau jilatin punyanya Mbak Nunung. Kucoba jilat cairan yang ada di tanganku. Rasanya asin semu manis gurih dan agak sepet. Ini apa ya..? Kucoba jilat lagi. Enak kok.
“Mas Pri joroookkk.. pipis Titin kok dijilat..”
“Tin, pipismu kok lengket begini?” tanyaku pada Titin sambil kudekatkan tangan kananku ke wajahnya.
Dia perhatikan dengan seksama tanganku.
“Biasanya nggak begini Mass.. biasanya seperti air. Tapi yang ini kok lengket ya..?” gumannya dengan bingung.
“Dan waktu Titin pipis tadi, Titin rasanya seperti melayang-layang lho Mas. Enaakkk banget. Sekarang Titin lemes,” sambungnya.
Tiba-tiba dia bangkit seperti teringat sesuatu. Padahal tadi dia mengaku masih lemes.
“Singkongnya Mas Pri keras nggak?” tanyanya sambil tangannya masuk ke dalam sarungku.
Aku kaget karena tiba-tiba Titin memegangnya, kutepiskan tangannya. Tapi sepertinya dia tidak rela.
“Tadi Mas Pri megang-megang tempekku, aku diemin. Sekarang kok aku pegang singkong Mas Pri Masa nggak boleh?” rajuknya.
Aku bingung. Akhirnya kudiamkan, dia pegang penisku. Aku didorongnya supaya tiduran terlentang. Dia mengangkat sarungku, dia pegang dari luar CD-ku.
“Besar sekali Maass..” katanya.
“Kok celana dalemnya basah? Mas Pri pipis ya?” sambungnya.
Mungkin dia membandingkan dengan saat kita mandi bersama dulu. Dulu memang penisku tidak tegang karena sudah terbiasa bersama. Dielus-elus penisku. Waaahh.. rasanya penisku jadi tegang lagi setelah agak melunak.
“Waahh.. Mass makin besar tuuhhh.. sakit nggak?” katanya sambil terus mengelus.
“Aaahh..” aku mengerang keenakan dielus seperti itu.
Karena semakin tegang, kepala penisku akhirnya nongol di atas karet celana dalamku. Kepala penisku diusapnya.
“Aaahh..” aku seperti kena setrum listrik.
“Air apa ini Mas, kok bening, agak licin?” tanyanya.
“Akuuu nggak tttaaauuu.. ooohh..” sahutku keenakan.
Ditariknya celana dalamku sehingga penisku pun berdiri tegak.
“Maaass lucu seperti tiang listrik,” katanya.
Lalu penisku digenggamnya, diremasnya.
“Aaahh..” aku mendesah-desah keenakan. Didekatkan wajahnya ke penisku, diperhatikan denganseksama.
“Maasss.. yang coklat-coklat ini isinya apa?” katanya sambil telunjuk tangan kirinya menusuk-nusuk bijiku. Tangan kanannya tetap menggenggam penisku. Lalu digenggamnya bijiku dan diremas-remas.
“Lho.. lho.. kok isinya lari-lari.. lucuuu.. Maasss..” katanya lagi.
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk menimpalinya karena keenakan.
Mungkin waktu dia mengintip, dia melihat Mbak Nunung mengocok-ngocok penis, dia bertanya,
“Mas, kalau aku giniin sakit nggaakkk?” katanya sambil tangannya mengurut penisku naik turun.
“Aaahh.. Tiiinnn eeennnuuaaak baangeeettt Tiinnn..” kataku sambil mendesah.
“Ya.. ya.. gitu Tiiinnn.. ennaakkk Tiiinnn..”
“Dicepetin doonngg Tiiinnn..”
Aku merasakan penisku seperti diurut-urut. Sakit sedikit, geli, enak rasanya jadi satu.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang mau keluar dari dalam, lalu aku teriak,
“Cepeettiinn.. Tiiinnn.. aku.. akuuu..” Dan belum selesai aku ngomong,
“Croot.. crooott.. crooottt..” tiga kali spermaku muncrat ke wajahnya. Dia kaget, langsung mengelap wajahnya dengan sarungku.
“Mas.. Mas.. kenapa Mas.. sakit ya..” tanyanya sambil menatap wajahku.
“Nggak Tiinn.. Enaakkk banget Tiinnn..” kataku sambil terengah-engah.
Lalu dia melihat ke penisku.
“Lho, Mas kok jadi kecil siich..” tanyanya heran.
“Nggak tau kenapa,” sahutku.
Kemudian kurangkul dia dan kupeluk sambil kucium pipinya. Kami tiduran sambil berangkulan.
“Terima kasih Tiinn. Tadi itu enaaakkk sekali. Mas Pri sekarang lemas.”
“Sekarang Titin pulang gih.. udah malam. Besok kesiangan..”
Lalu kucium pipinya, keningnya dan bibirnya. Dia bangkit dan memakai dasternya. Lalu mencium pipiku dan pamit pulang.
“Da..da Maaasss.. Titin pulang dulu yaa. Terima kasih Maasss..”
Aku bangun memakai celana dalamku yang tadi dipelorotkan Titin, dan tidur karena kelelahan.
Seperti biasa, setelah aku pulang dari pasar, kucari Titin.
“Kemana lagi ini anak.. pasti ketiduran lagi,” pikirku.
Aku masuk ke dalam rumahnya. Benar, dia lagi tidur memakai selimut.
“Ngapain ini orang siang-siang tidurnya kok selimutan? Apa sakit?” batinku. “Jendelanya juga ditutup?”
Kupegang keningnya,
“Nggak panas kok.. kuperhatikan tubuhnya. Kok putingnya kelihatan menonjol? Dia selimutan memakai kain jarik tipis. Jadi aku tahu kalau putingnya menonjol. Aku sibakkan selimutnya pelan-pelan.
“Lho.. kok nggak pake baju..?” batinku. Kutarik selimutnya semua. Melihat tubuh indah terpampang di hadapanku, penisku mulai berkedut.
“Kok tangan kanannya ada di dalem celana dalemnya? Abis ngapain dia?” batinku. Melihat dadanya, penisku mulai tegang, kudekatkan wajahku, kucium pipinya, hidungnya, matanya. Eh.. dia menggeliat bangun. Mungkin kena angin. Jadi terasa dingin.
Dia kaget melihatku. Langsung menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya.
“Eh.. Mas Pri. Lagi ngapain,” katanya.
“Tadi kamu aku panggil-panggil tapi nggak jawab, lalu aku masuk. Aku kaget liat kamu tidur kok telanjang, selimutnya berantakan. Mas mau betulin selimut kamu,” kataku membela diri.
“Jadi Mas udah ngeliatin aku tidur dari tadi?”
“Lhaaa.. abis kamu tidur kok nggak pake baju. Salah kamu doong.”
“Lho.. Mas aja yang masuk ke rumah orang nggak permisi..”
“Yaa.. udah Maass pulang. Bangun sana nyuci sama masak.” kataku sambil meninggalkannya.
“Yee.. gitu aja Mas marah. Sini dulu dong Maasss..” katanya manja sambil menarik tanganku agar duduk di dipannya.
“Maaass aku kepingin seperti semalem doongg.” katanya sambil menatapku.
“Nggak ah.. masak siang-siang gini. Entar malem aja ya.”
“Nggak.. maunya sekarang..” rengeknya.
Tau-tau dia merangkulku dan mencium bibirku. Aku tidak bisa menolaknya, kubales, kumainkan lidahku di mulutnya. Dia membalas. Nafasnya mulai tersengal-sengal. Selimutnya kusingkirkan, kuremas-remas susunya. Ciumanku mulai turun ke lehernya, turun lagi ke pundaknya, lalu mulutku melumat puting kanannya. Kepalanya menengadah sambil mendesis-desis. Persis seperti suara Mbak Nunung.
“Oohhh.. Mas Pri.. enak Maasss..”. Lalu kurebahkan dia ke dipan.
Tangannya mulai masuk ke dalam celanaku. Memegang penisku di dalam celana. Mungkin karena kurang leluasa, Titin mulai menurunkan celana pendekku dengan CD-nya sekalian. Aku bantu dengan mengangkat pantatku. Tanganku pun mulai menurunkan celana dalamnya. Akhirnya dia bugil di depanku.
“Mas curaaang.. kok kaosnya nggak dilepas..”
“Lho.. usaha doong.”
Lalu dia melepas kaosku. Kami lalu berguling-guling di dipan sempit tersebut, kutindih badannya. Mulut kami saling mengunci tidak bisa berkata apa-apa. Tangannya memegang penisku. Agak sakit. Kuraba seluruh badannya termasuk paha, punggung, perut. Setiap kuraba vaginanya, pahanya selalu direnggangkan.
Aku lalu teringat Mbak Nunung. Dulu si lelaki kok menjilati kelamin Mbak Nunung.
“Kucoba ke Titin aahhh..” batinku. Lalu ciuman kuturunkan ke lehernya, kedua susunya. Jari tengah tangan kananku masuk ke belahan vaginanya. Sudah basah.
“Aaahh.. ooohh.. sshhh.. ssshh..” dia mendesah agak keras, kudiamkan karena aku yakin saat sekarang di sekeliling kontrakanku pasti sepi.
Lalu ciumanku turun ke perutnya. Kujilat-jilat pusarnya. Dia makin menggelinjang. Ciumanku terus turun sampai akhirnya wajahku tepat di depan vaginanya. Aku tak peduli gimana rasanya, kucium vaginanya. Baunya segar sekali.
Titin kaget sekali saat kucium kewanitaannya. Dia bangun dan melihat saja.
“Mas Pri.. Joroookk.. tempppeeek Tittiiin kok dicium..” desahnya tapi tidak tampak adanya penolakan. Saat kumasukkan lidahku, Titin mendesah,
“Aaahh.. Maaass.. tempek Titiinn diapainn.. aaahh Masss.. jangan.. adduuuhh..” Aku terus saja menjilat benjolan kecil di dalam kemaluan Titin. Sementara Titin menggelinjang tidak karuan.
Kira-kira lima menit, tiba-tiba Titin menekan kepalaku dan mengangkat pantatnya sehingga aku agak sulit bernafas.
“Maaasss.. Titin mau piippiiiss..” Menyemburlah cairan hangat seperti tadi malam. Karena aku sudah tahu rasanya, kujilat semuanya sampai habis. Uh, enak sekali rasanya.Manis, asin, gurih jadi satu. Aku naik ke atas dan memeluknya sambil tiduran.
“Mas.. Titin capek..” sambil wajahnya ditaruh di dadaku.
“Mas kok nggak jijik sih jilatin tempek Titin?” tanyanya.
“Mas kan sayang Titin. Jadi Mas nggak akan jijik.” sahutku sekenanya.
“Terus, pipis Titin juga dijilat? emang enak?”
“Enak kok.. kayak tajin.”
Hening sejenak.
“Mas, kalau Mas maunya diapainn,” katanya sambil memegang penisku.
“Terserah Titin aja,” kataku.
“Titin kocokin seperti semalem yaach.”
Lalu dia jongkok, mengocok-ngocok penisku yang tegang. Aku mendesah keenakan.
“Aaahh.. Ooohh… sshhh..” Penisku makin tegang saja rasanya.
Tiba-tiba penisku terasa geli, basah dan hangat? kutengok ke bawah. Ternyata Titin sedang menjilat-jilat kepala penisku. Aku tidak tahu belajar darimana dia, yang penting yang kurasakan saat itu nikmat sekali. Mimpi dipegang tititku oleh perempuan saja aku tak pernah. Apalagi sekarang dijilat. “Aduuuhh Tiinnn.. aku kamu apaiiinn.. aaahh..”
Saat sedang enak-enaknya mengerang, tiba-tiba kok hangatnya tidak di kepalanya saja. Kulihat ke bawah,
“Astaga..!” Penisku diemut. Belum berfikir yang lain, tiba-tiba ada rasa aneh di penisku, ternyata selain diemut, Titin pun menghisapnya. Tak tahan akan gelinya, aku semakin mengerang.
“Tiinnn.. aku kamu apaiiinn.. Tiinnn.. kamu kok tegaaa..” Tak berapa lama aku kepengin pipis.
“Tiinnn.. udaaahh.. Mass mau pipisss..” Karena tidak tahan dan Titin tidak melepaskannya, akhirnya, “Croottt.. croottt.. croottt..” Empat atau lima kali penisku menembakkan cairannya di mulut Titin. Titin kaget sekali. Sebagian ada yang tertelan dan sebagian lagi meleleh keluar dari bibirnya.
“Mas Pri jahat.. pipis kok di mulut Titin..” katanya sambil berdiri dan mengelap mulutnya dengan kain jarik. Lalu dia minum air putih.
“Titin juga siihhh.. Mas bilang udah.. udah, tapi Titin nggak mau lepasin,” balasku.
“Udah sini tiduran. Mas kelonin,” sambungku.
Sambil kukelonin, kucium pipinya.
“Titin kok mau ngisep singkongnya Mas? Apa nggak jijik. Khan jorok,” pancingku.
“Lho, kata Mas kalau sayang kan nggak jijik.”
“Tadi pipis Mas gimana rasanya? Enaakk?”
“Enak Mas. Kayak santen tapi agak asin.”
“Titin belajar dari mana?”
“Waktu Titin ngintip, Titin liat Mbak Nunung ngisep tititnya Oom. Kayaknya Oom itu keenakan. Terus Titin mau Mas juga keenakan. Ya Titin ikut-ikutan Mbak Nunung.”
“Mas, Titin malu mau ngomong sama Mas.”
“Ngomong aja. Sama Mas kok malu.”
“Titin juga punya bacaan. Titin dapet sewaktu beli koran bekas untuk bungkus. Ada dua Mas. Yang satu Eni Arrow, yang satu Nick Carter.”
“Sewaktu Titin baca, badan Titin merinding semua. Terus susu sama tempek Titin jadi gatel.”
Ooohh pantes dia cepet belajar. Dari situ toh sumbernya. Ditambah live show.
Selama kelonan, dadanya menghimpit dadaku. Terasa hangat dan kenyal. Lama-lama penisku keras lagi. Kucium pipi dan bibirnya lagi. Dia pun menyambutnya dengan mesra. Kami berciuman, bergulingan. Tanganku pun mulai bergerilya lagi. Ke susunya, punggungnya, lehernya, selangkangannya.
Akhirnya tangan kananku berhenti di daging lunak di selangkangannya. Aku mulai mengusap-usap klitorisnya. Dia makin mendesah-desah nggak karuan.
“Aaahh.. Maaass.. Titin sayang sama Mas Pri.. shhh.. aaahh.. enak Masss.. teruuuss Masss..” Sementara tangannya mulai meremas-remas punyaku. Penisku sudah pada puncaknya sekarang.
Tiba-tiba Titin melepaskan pelukannya.
“Masss.. Titin mau seperti Mbak Nunung.. Mas mau khaaann..” katanya sambil menatap mataku.
Ada permintaan tulus di sana, ada gelora di sana, ada sesuatu yang aneh di sana.
“Tapi Mas takuutt.. Nanti gimana? Kita khan belum pernah..”
“Tapi Titin mau Masss..” katanya lagi.
Lalu penisku diusap-usapkan ke mulut vaginanya yang sudah basah.
“Aaahh.. sshhh..” dia mendesah.
Mendengar desahannya, aku mulai bertindak. Kukangkangkan pahanya, terlihatlah vaginanya yang tembem dengan rambut halus dan jarang, bagian dalamnya yang merah muda dan ada tonjolan daging sebesar kacang kedele. Vaginanya ternyata sudah basah sekali. Merah berkilat-kilat. Kusentuh kacang kedele itu.
“Aaccchh.. Masss.. ssshh..”
Oh, jadi ini toh yang bikin dia menggelinjang itu. Kusentuh lagi.
“Aaccchh.. Masss.. ssshh.. diapain siiicchh Mas.. nakal amat siihh..” desahnya.
Kudekatkan wajahku supaya bisa melihat lebih jelas. Bentuknya lucu sekali. Aku coba menjilatnya.
“Aaacchh.. Masss..”
“Ayooo.. doonnngg.. Mass.. cepetannn..” katanya tak sabar.
Kuarahkan kepala penisku ke mulut vaginanya, kutekan sedikit.
“Aaahh..” ada rasa hangat di kepala penisku. Kutekan sedikit. Kok mentok? Kutekan lagi. Mentok lagi.
“Tin, lubangnya yang mana?” tanyaku.
“Agak ke bawah sedikit Mass, di bawah yang Mas pegang tadi.”
Kuperhatikan dengan seksama. Oh, itu toh lubangnya. Kok kecil sekali? Apa punyaku bisa masuk? Kuarahkan penisku ke sana, kutekan. Kok melesat. Coba lagi. Meleset lagi.
“Tiinn.. bantuin doonngg..”
Titin memegang penisku lalu mengarahkannya.
“Teken Mas.. ya.. ya.. di situ teken Mas.”
Kutekan pelan-pelan. Kok meleset? Tekan lagi meleset lagi. Gimana sich caranya? Kupegang erat-erat penisku lalu tekan agak keras. Dan..
“Aaa.. Maasss sakiiitt. Pelan-pelan dooong Maaass..”
Terasa kepala penisku terjepit sesuatu yang hangat.
“Tahan Mas.. tahan..”
Dia meringis sepertinya menahan sesuatu.
“Ayo teken lagi Mass.. pelan-pelan Masss.. aaahh..”
Kutekan perlahan-lahan dengan kekuatan penuh. “Aaahh..” Kepala penisku terasa ngilu. Hangat. Kulihat sudah separuhnya tertancap, Titin meringis, kutahan sebentar.
Setelah Titin terlihat tenang, dengan tiba-tiba kutekan penisku sekuat tenaga,
“Blesss.. bret..”
“Aaawww.. sakiittt Masss.. tahan Mass.. diem dulu Masss..” Titin berteriak.
Lalu kutahan. Ujung penisku seperti menyentuh sesuatu yang hangat. Aduh, rasanya seluruh penisku seperti terjepit oleh sesuatu yang hangat dan berkedut-kedut. Rasanya linu, sakit, enak, semuanya jadi satu.
“Tiinnn.. tahan sedikit ya..” kataku.
Lalu aku menarik pantatku dan menekannya secara perlahan-lahan. Berulang kali. Kulihat Titin meringis-ringis. Begitu juga aku ikut meringis. Tapi kami sama-sama tidak mau berhenti. Setelah mungkin ada sekitar 15 kali naik turun, vagina Titin mulai agak licin. Dan Titin pun mulai tidak meringis lagi.
“Ayoo.. Mass.. ayoo Mas.. enak.. aaduuuhh enaaakkk Masss.. aaacchh.. ssshh..”
Aku pun merasa sudah tak begitu linu lagi.
“Ayooo Mass.. yang cepet Mass.. yang dalem Masss.. Sshhh.. aaacch..”
Mendengar desahan itu aku makin cepat memompa penisku naik turun. Makin cepat, secepat aku bisa. Titin kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Tangannya memegang sisi dipan. Susunya bergoyang-goyang.
Badannya basah oleh keringat begitu juga rambutnya. Pantatnya yang tadi diam, sekarang mulai bergoyang. Naik, turun, kiri dan kanan. Tak lama aku merasa penisku semakin linu dan geli yang tak tertahan, dan terasa ada sesuatu yang mau keluar. Tapi aku merasakan tak ingin berhenti memompa.
Tiba-tiba Titin merangkulku dengan keras, menggigit pundakku.
“Aaahh.. Aaauuw.. Aku pipiiss.. Masss..” Aku yang juga merasa mau pipis, kutekan sekuat tenaga penisku sampai mentok dan kutahan.
“Samaaa.. Massss juga pipisss.. aaacchh..” dan, “Crooott.. crooott.. crooottt..” Empat kali penisku menyembur ke vagina Titin.
Aku tergolek lemas di atas tubuh Titin. Tubuh kami sama-sama banjir oleh keringat. Kami diam beberapa saat. Penisku sudah lemas tapi masih tertancap di vaginanya.
Setelah mengatur nafas masing-masing, Titin berbisik,
“Terima kasih banyak Mas.. bukan main.. Masss.. enak banget ya Maaass..”
“Eee.. Tiiinnn.. jangan gerak dulu. Masih linuuu..” desahku.
Karena tak tahan kucabut punyaku, dan aku tergolek di sebelahnya.
“Pantesan aja Mbak Nunung sering beginian. Nggak taunya enak banget.” desahku setelah bisa mengendalikan diri.
Tiba-tiba kami sadar bahwa ada tugas yang harus kukerjakan. Aku langsung bangun. Dan kulihat ada bercak-bercak kemerahan di dipan Titin dekat selangkangannya.
“Tiinnn.. punya kamu berdarah ya.. masih sakit..?”
“Sedikit Mas.. Linunya ini yang belum hilang.”
“Udaahh bangun aja. Nanti siapa tahu ilang sendiri.” kataku.
Lalu kubantu dia bangun, mengelap dipan dengan kain basah sambil melirik jam beker. Ya ampun 2 jam lebih aku bergelut dengan Titin. Setelah dia berpakaian, kubantu dia merendam cucian sementara dia mencuci beras.
Dia mencuci baju, aku memotong-motong ubi dan singkong. Karena sudah hampir terlambat, kami mandi bareng berdua. Di dalam kamar mandi itu kami saling ciuman lagi, saling meremas lagi.
Sesampainya di warung, ibuku bertanya,
“Titin Kenapa, kok jalannya agak pincang?”
“Terpeleset waktu nyuci baju Bu..” aku yang yang menyahut.
Memang Titin jalannya agak sedikit pincang. Siang itu kami sekolah bergandengan tangan seakan tak mau dipisahkan.
Malam harinya saat belajar, Titin datang lagi. Kali ini sebelum belajar kami bercumbu dulu.
“Tiinnn.. maafin Mas ya.. Mas khilaf.. Mas sudah mengambil keperawanan Titin.”
“Nggak Mass, Titin dong yang seharusnya minta maaf. Khan Titin yang minta. Mas nyesel ya.. perjaka Mas udah ilang?”
“Lho, yang seharusnya nyesel itu khan yang perempuan bukan laki-laki.”
“Tapi Titin nggak nyesel sama sekali, malah bangga bisa ngasih sama Mas.”
“Sekarang Titin nggak mau pisah sama Mass.. Titin mau sama Mas terus.. Dan Titin janji nggak mau sama yang lain selain Mas.” sambungnya lagi.
Kok air matanya netes? kucium dia dengan lembut.
“Terima kasih Tin.. Mas juga janji. Mas juga nggak mau dengan orang lain selama ada Titin.”
Dia memelukku lama sekali. Seakan tidak mau dipisahkan.
Aku sekarang sudah terbiasa kalau sedang mencium, tanganku mengelus-elus punggungnya, lalu meremas-remas dadanya. Eh, dia nggak pake kaos lagi.
“Aaahh.. Masss..” dia mendesis. Tanganku mulai turun ke arah bongkahan pantatnya, kuremas-remas.
Desahannya semakin keras saja. Tangganya pun mulai masuk ke dalam sarung. Mulai memegang sesuatu yang mulai mengeras.
“Mass.. Titin mau lagi doonng..” Busyet, ini anak sepertinya maniak banget.Beberapa saat kemudian kulepaskan daster dan celana dalamnya.
Dia pun menurunkan sarung dan celana dalamku, lalu kaosku. Bugillah kami berdua. Kukecup lehernya sambil kuremas-remas dadanya. Kupuntir putingnya, dia mendesah.
“Ssstt.. jangan berisik dong.. nanti Ibu bangun..” dia pun mengecilkan suaranya. Hanya mulutnya yang meringis-ringis saja. Tangannya tidak tinggal diam. Mulai menggenggam penisku dan mengocok dengan perlahan.
“Mass.. kuhisap yaa..” katanya. Lalu dia berbalik arah. Mulutnya yang mungil mulai menjilati kepala penisku. Seperti ada tegangan tinggi yang mengalir di tubuhku.
“Aaahh.. Tiiinn..” desahku perlahan saat dia mulai mengulum kepala penisku. Sementara itu vaginanya ada di depanku.
Posisi 69 kata orang. Kucium aromanya. Aaahh segarnya. Mulailah lidahku menjelajah ke lubang yang merah membasah. Kucari kacang kedelenya dengan lidahku. Setiap kujilat kedelenya, hisapan di penisku terhenti. Cairan vaginanya makin lama makin banyak.
Tiba-tiba dia berbalik dan terlentang, sambil menarik penisku ke vaginanya.
“Auwww.. pelan-pelan dong Tiinn.. Sakit khan..” kataku karena penisku ditarik.
“Cepetan doongg.. Masss.”
Kemudian kupegang penisku, kuarahkan ke vaginanya, kugesek-gesekkan di pintunya.
“Aaahh.. Masss.. jangan nakal doong.. cepetan..”
Kutekan perlahan-lahan. Masuk kepalanya, masih agak linu rasanya.
“Aahhh.. ssshh..” dia mengerang keenakan.
“Pelan-pelan Mass..”
Kutekan perlahan sekali. Takut dia kesakitan seperti tadi siang. Dia meringis. Kutahan, tarik sedikit, tekan lagi pelan-pelan, tarik lagi sedikit, tekan pelan-pelan. Mili demi mili penisku mulai ditelan oleh vaginanya yang amat sempit. Setelah semuanya masuk, kudiamkan sebentar sambil menikmati sensasi yang ada. Sekarang seluruh penisku seperti dipijat-pijat.
“Tiinnn.. Mas sayaaang banget sama Titin..” kubisikkan di telinganya.
“Iii..iiyyaaa.. Maaass.. aahhh.. Masss..” katanya sambil mecium bibirku.
Kami lalu berciuman. Saling mengadu lidah.
Lalu kunaik-turunkan pantatku pelahan. Kuresapi setiap garakanku. Tiba-tiba Titin memelukku. Dia berguling sehingga posisinya ada di atasku.
“Maasss.. Titin mau di atas..”
“Iiiyaa tapi pelan-pelan Tiinn.. nanti Ibu banguunn..”
Rupanya dia ingin tahu gimana rasanya di atas. Dia jongkok sambil melihat ke selangkangannya, lalu naik turun pelahan-lahan. Wajahnya merah padam. Lama-lama dia semakin cepat naik turunnya. Dadanya berguncang-guncang.
“Aaacchh.. ooohh.. Maaass.. Ooohh..”
“Ayooo.. Tiinnn dicepetiinnn.. ayooo.. ssshh..”
Kuremas-remas kedua susunya. Keringatnya sudah di sekujur tubuhnya.
Kira-kira 10 menit kemudian dia menjepitkan kedua pahanya. Tangannya menjambak rambutku.
“Maaass.. Tiitiiinn.. piipiiiss..”
Terasa ada cairan hangat menyembur di kepala penisku. Bersamaan dengan itu aku merasa ada yang mau keluar dari penisku. Kubalikkan dia, lalu kugenjot sekuatku.
“Maasss.. udaaahh.. geliii.. aduuhh..”
Aku tidak peduli. Kugenjot terus. Sampai akhirnya,
“Tiinnn.. Maasss juugaaa.. pipiisss..”
Dan, “Crooott.. crroottt..” Kusemprotan maniku 3 kali berturut-turut ke vaginanya. “Aaahhh..”
Kucabut penisku dan aku tergolek lemas di sebelahnya. Bukan main, setelah sensasi dahsyat tadi mereda, kucium dia.
“Terima kasiihhh.. yaaa Tiiinn..”
“Aaahhh.. Masss..”
Kami tidur berpelukan berdua sampai kami terbangun karena badan kami dingin karena tidak memakai selimut. Lalu kami berpakaian, mencium pipiku, kuantar sampai pintu rumahnya.
Ah.. perjakaku hilang diumur 18 tahun.
Sejak saat itu Titin kalau datang belajar pasti tidak memakai kaos dalam atau BH. Karena Titin sejak kelas 2 SMP sudah memakai BH. Malu sama teman katanya. Bahkan kalau sudah kepingin dia datang tanpa mengenakan celana dalam. Kami melakukannya siang dan malam. Kadang di rumahku atau di rumahnya. Paling sering di rumahnya. Berbagai posisi sudah kami lakukan. Berdiri, sambil duduk (dia kupangku menghadapku), dia di atas, model anjing.
Kecuali kalau saat dia mens, atau saat bapaknya di rumah. Itupun dia masih rela mengemut punyaku.Ketika terdengar kabar bahwa Tapol G30S PKI dibebaskan, aku menemani ibuku mencari bapakku ke kota Bandung. Tidak ketemu. Di Jogya, di rumah keluarganya juga tidak ditemukan. Apa bapakku sudah tiada? Padahal pada daftar orang-orang yang dibebaskan tercantum nama bapakku, dibebaskan di Bandung.
Pada suatu sore, saat itu ibuku sedang shalat maghrib, ada seseorang dengan pakaian lusuh dan tampang sedih mampir ke warungku meminum kopi dan makan pisang goreng. Kuperhatikan dia sering melamun dan pandangannya kosong. Kuperhatikan lebih seksama lagi. Sepertinya aku pernah mengenalnya. Tapi dimana?
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh teriakan ibuku.
“Maasss..” teriak ibuku.
Rupanya ibuku sudah lama memperhatikan pria itu selagi minum kopi. Orang itupun kaget. Setelah saling pandang beberapa saat, mereka saling berpelukan erat. Ibuku menangis meraung-raung. Aku bingung harus berbuat apa. Aku diam saja.
“Mass itu anakmu yang kukandung dulu saat Mas pergi. Sini Pri kasih salam sama Bapakmu,” kata ibuku.
Kucium tangannya lalu kami bertangisan bertiga. Tangisan bahagia. Aku bahagia sekali. Aku sekarang ditemani bapakku. Orang yang dulu sangat kudambakan. Tapi akibatnya hubungan dengan Titin jadi tidak sebebas dulu lagi. Kami harus curi-curi waktu untuk bersama-sama pada saat bapakku mencari kerja sebagai tukang kayu atau saat bapak dan ibuku jaga warung berdua. Akhirnya bapakku memutuskan untuk membesarkan warung saja.
Keadaan itu berakhir ketika pemilik kontrakan datang dan memberitahukan bahwa kontrakan akan dijual 3 bulan lagi. Orang tuaku pindah kontrakan tak jauh dari tempat semula, sedangkan Titinku pindah ke Ciamis. Sebelum perpisahan, Titin memberiku servise yang tak terlupakan. Kami bergumul di kebun selama kurang lebih tiga jam. Kenangan yang takkan terlupakan.
Selamat jalan Titinku…
,,,,,,,,,,,,,,,,