Perkenalkan namaku Steven, aku baru saja menginjak umur 30 tahun. Kali ini aku akan menceritakan sebuah pengalaman sex dengan sepupuku yang binal. Nama panggilan akrabku adalah Steve. Sekarang aku bekerja di suatu perusahaan multimedia design & marketing di Jakarta. Focus dari pekerjaanku lebih menuju ke arah website design. Statusku masih belum menikah, dan juga masih belum punya pacar yang serius.
Aku adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak dan adikku laki-laki semua. Sekarang kakak kandungku telah berkeluarga, dan tinggal di Denpasar. Adik kandungku baru saja menyelesaikan kuliah-nya di Jakarta, dan kami tinggal bersama. Sejak aku pindah ke Jakarta, orang tua kami membeli rumah di Jakarta agar aku dan adikku tidak gampang terpengaruh oleh sifat dan kebiasaan anak-anak kost yang tidak benar. Memang aku akui itu kekhawatiran yang berlebihan, tapi bagi kami itu adalah berkat karena telah diberi tempat tinggal oleh mereka.
Kakak sulungku sejak tamat sma (sekarang SMU) langsung pindah ke Denpasar, Bali. Dia mengambil bidang kedokteran, dan kini sekarang dia berhasil membuka praktek sendiri di Denpasar dan menetap di sana. Setelah lama dia berpindah dari 1 tempat ke tempat lain di daerah terpencil untuk ujian praktek dan juga karena suruhan pemerintah.
Aku ingin menceritakan pengalaman mengesankan sewaktu aku masih kuliah di kota pahlawan (Surabaya) hampir 10 tahun yang lalu. Pengalaman ini melibatkan hubungan aku dengan kakak sepupuku yang berumur 5 tahun lebih tua dari aku. Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, keperjakaanku diambil oleh kakak sepupuku sendiri, dan tidak ada rasa penyesalan di dalam diriku. Atau mungkin karena aku adalah lelaki, jadi masalah keperjakaan tidak terlalu penting bagi kami kaum Adam.
Kakak sepupuku bernama Jesi, tapi sejak kecil aku selalu memanggilnya Ci Jes atau hanya Cici yang artinya kakak perempuan. Kami berasal dari kota yang sama yakni kota Surabaya. Jesi adalah anak dari kakak perempuan ibuku. Dia adalah anak bibi
yang sulung dari 3 bersaudara.Jesi pada saat 10 tahun yang lalu berwajah cantik, putih, dengan tinggi badan 165 cm. Dadanya montok, meskipun tidak begitu besar. Tapi pinggulnya bukan main indahnya.
Aneh-nya anak dari ibuku semua-nya lelaki, sedangkan anak dari bibi semua-nya perempuan. Rumah kami tidaklah jauh, dan sewaktu masih SMP dan SMA, Jesi selalu mampir ke rumahku hampir tiap 3 kali seminggu. Karena tempat les private matematika, dan fisika-nya hanya beberapa meter dari rumahku. Jadi daripada pulang ke rumah-nya dulu seusai sekolah, dia memilih untuk mampir di rumahku untuk makan siang lalu berangkat lagi ke les private-nya.
Bisa dikatakan meskipun umur kami beda 5 tahun, tapi kami sangat akrab. Jesi ramah, lembut, dan sangat perhatian kepada kami. Kami menganggap Jesi seperti kakak kandung sendiri. Tapi aku selalu merasa Jesi memberi sedikit perhatian lebih kepadaku. Waktu itu aku berpikir mungkin karena kakak sulungku hampir seumur dengan-nya, dan adik bungsuku umur-nya beda amat jauh darinya. Tapi setelah kejadian malam itu, aku baru mengetahui kenapa Jesi memberikan perhatian lebih kepadaku.
Jesi sering bercurah hati denganku, meskipun waktu itu aku masih duduk di bangku SD. Kadang-kadang aku tidak mengerti apa yang dia omongkan. Kalau dia tertawa, aku pun ikut tertawa. Meskipun aku waktu itu tidak tau kenapa harus tertawa. Mengingat-ingat itu lagi, aku bisa tertawa sendiri sekarang. Jiwa anak-anak masih lugu dan murni.
Semenjak tamat SMA, Jesi pindah ke Bandung dan kuliah di sana. Sejak kepindahan Jesi, terus terang aku merasa kehilangan dan kadang-kadang rindu dengan-nya. Hanya setahun 2 kali Jesi pulang ke Surabaya, dan itu hanya untuk beberapa minggu saja. Dan yang mengesalkan, tiap kali Jesi pulang, selalu saja saat aku harus menghadapi ujian umum. Jadi waktuku untuk bermain-main dengan dia sangatlah terbatas.
Aku juga pernah sempat cemburu oleh lelaki yang sekarang menjadi suami Jesi, sewaktu Jesi membawa-nya pulang bertemu keluarga-nya dan
keluargaku. Rasa cemburu ini sangatlah beda. Tidak sesakit rasa cemburu terhadap pacar sendiri. Mungkin rasa cemburu karena takut akan kehilangan kakak kesayangan saja. Lelaki itu bernama Bram. Bram berasal dari kota Samarinda, yang kebetulan kuliah di universitas yang sama dengan Jesi.Hubungan Bram dan Jesi terus berlangsung sampai akhir-nya seusai kuliah, mereka memutuskan untuk segera menikah. Keputusan menikah ini atas permintaan Bram, karena dia harus kembali ke Samarinda dan melanjutkan usaha orang tua-nya. Jesi menikah di usia-nya yang ke 24 tahun. Tentu saja setelah menikah Jesi harus ikut Bram ke Samarinda.
Semenjak kepindahan Jesi ke Samarinda, hubungan kami sempat terputus selama 2 tahun. Dan kabar tentang Jesi hanya bisaku dapatkan dari bibi (ibu Jesi) saja. Pada saat itu Jesi masih belum dikaruniai seorang anak. Tiap kali aku bertanya kepada bibi mengapa sampai saat itu Jesi belum memiliki momongan, jawaban bibi selalu saja sama, yah antara kesibukan Jesi membantu usaha Bram atau Jesi sendiri masih belum siap memiliki momongan.
Ternyata memang benar, sejak Jesi menikah dan pindah bersama Bram di Samarinda, usaha Bram benar-benar lancar dan berkembang pesat. Bram memiliki toko yang luas dan terbagi menjadi 2 bagian. Bram menangani usaha business dibidang handphones dan aksesorinya. Sedangkan Jesi menangani usaha business di bagian konveksi dan aksesorinya seperti jepit rambut, anting-anting, dan sebagainya. Bram dan Jesi sering terbang ke Jakarta untuk order handphones, dan barang-barang model terbaru di Indonesia untuk dijual di toko mereka.
Suatu hari setelah 2 tahun lama-nya tiada kontak dengan Jesi. Tiba-tiba Jesi terbang ke Surabaya karena rindu dengan orang tuanya. Bram tidak datang bersamanya dan Jessi hanya tinggal untuk 10 hari saja. Tapi kunjungan kali ini tidak tepat pada waktunya. Rencana Jesi pulang ini untuk memberi kejutan buat orang tuanya, malah dia lebih dikejutkan lagi oleh orang tuanya.
Waktu itu bibi dan paman harus terbang ke Thailand karena
liburan dan tidak mungkin dibatalkan karena tiket dan semua akomodasinya sudah dibayar. Jadi Jesi bertemu dengan bibi/paman hanya untuk 2/3 hari saja. Selanjutnya Jesi harus menjaga rumah dan kedua adiknya. Saat itu aku masih duduk di bangku kuliah, dan kebetulan baru memasuki semester baru. Tiada kesibukan yang berarti di saat kami baru memasuki semester baru.Pada hari Jumat siang (kira-kira jam 2 siang), sepulang dari kuliah, aku langsung memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Tidak seperti biasanya. Biasanya setiap hari Jumat, aku dan teman-teman kuliah pasti langsung ngafe atau istilahnya ngeceng (kalo bahasa kami bilangnya ‘mejeng’) di mall. Waktu tiba di rumah, Jesi sudah ada di sana dan lagi menonton VCD bersama pembantu.
“Halo Ci Jes, kapan datang?”, sapaku.
“Halo Steve. Baru aja datang. Cici bosan di rumah. Tara dan Dina lagi keluar tuh ama cowok-cowoknya. Jadi cici bosan di rumah sendiri. Jadi yah pindah aja di sini.”, jawabnya ringan.
“Ci Jes dah makan belum?”, tanya saja.
“Sudah tadi. Tuh ada ikan goreng ama sambel lalapan mbak punya. Mantep tuh!”, canda Jesi sambil melirik ke pembantuku.
Aku kemudian masuk kamar dan mengganti pakaian rumah. Jesi waktu itu sedang nonton film Armageddon (Bruce Willis). Salah satu film favoritku. Kemudian aku join dengannya nonton bersama-sama sambil makan siang di depan TV. Tapi memang benar, ikan goreng sambel lalapan pembantuku memang tiada tandingannya. Sempat saja aku tambah 2/3 piring.
Di tengah-tengah menonton VCD, pembantuku menawarkan kami jus buah. Tentu saja tawaran yang tidak boleh dilewatkan. Di siang bolong begini, jus buah segar adalah penawar yang paling tepat.
Aku duduk di atas sofa sambil kakiku naik di meja, dan Jesi duduk pas di sebelahku. Semakin lama Jesi semakin mendekat ke aku. Aku tidak begitu perduli karena aku sudah terbiasa dengan itu. Bau harum rambutnya sempat tercium saat itu. Jesi tampak bosan,
mungkin karena dia telah nonton film itu dulunya.“Steve, cici bosan nih!”, katanya.
“Trus Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku.
“Ngga tau nih. Mau ke Thailand cici.”, jawabnya sambil tertawa.
“Ya sono, beli ticket! Steve anterin deh sekarang”, responku seadanya. Tiba-tiba Jesi mencubit perutku.
“Ci Jes mau ke mall ngga?”, tawaranku.
“Malas ah. Mall mall melulu. Ngga ada yang lain?”, tanya Jesi.
“Ada. Mau ke Tretes? Nginep di sono.”, tawaranku lagi.
“Boleh sih, tapi ngga hari ini. Masih panas dan macet lagi jam-jam gini.”, jawabnya.
“Trus sekarang Ci Jes mau ngapain?”, tanyaku sekali lagi.
“Ke kamar Steve yuk. Ada computer game baru ngga?”, tanya dia.
“Liat aja sendiri.”, jawabku santai.
Kemudian kami cabut dari depan TV dan membiarkan pembantuku nonton film itu sendiri. Di kamar aku menyalakan AC dan computer. Aku membiarkan Jesi main-main computerku, dan aku hanya berbaring di tempat tidur sambil membaca komik manga. Ternyata Jesi tidak jadi main game computer, tapi malah browsing-browsing foto-foto yang aku scanned sendiri. Jaman itu digital camera masih mahal dan kualitasnya jelek, tidak seperti saat ini. Jesi terlihat senyum-senyum sendiri melihat foto-foto kami waktu masih kecil.
Tiba-tiba bak kesambar petir, Jesi membuat aku mati kutu. Aku lupa total kalau di computer itu banyak koleksi film-film porno yang aku dapat dari teman-teman kuliah.
“Hayo apa ini, Steve?!”, tanya dia sedikit menyindir.
“Weleh Ci Jes jangan buka itu dong! Barang privacy! Khusus laki-laki.”, jawabku seadanya.
“Emang cewek ngga boleh liat yah?”, tanya dia menyindir lagi.
“Kalo cewek mau liat, boleh aja, tapi liat nanti saja atau kapan-kapan, jangan sekarang.”, jawabku sambil malu tidak karuan.
“Cici mau liat sekarang boleh kan?! Lagian cuman begini saja. Steve lupa yah, cici kan sudah punya suami.”, jawab dia lagi.
“Ya udah. Terserah Ci
Tanpa basa-basi, Jesi langsung putar aja film-film porno itu. Anehnya seakan-akan Jesi terlihat menikmati film-film porno tersebut. Koleksiku termasuk banyak dan dari banyak negara, ada Amrik, Australia, Canada, Jepang, Hongkong, Taiwan, Thailand, dan sedikit saja yang Indo. Maklum bokep Indo saat itu masih susah didapat. Berbeda dengan jaman sekarang.
Cukup lama Jesi menonton film-film bokep itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh panggilannya. Panggilan inilah awal dari segalanya.
“Steve, pinjitin cici dong? Minta mama tuh beliin kursi belajar yang enak. Bikin pegal aja.”, kata Jesi.
Terus terang sejak dulu, aku tidak pernah sungkan-sungkan untuk memijat Jesi apabila dia minta. Tapi kali ini aku keberatan, karena Jesi sedang nonton film porno. Sejak tadi aku pengen keluar dari kamar, dan membiarkan Jesi nonton sendirian. Tapi juga ada sedikit rasa ngga enak kalo meninggalkan dia sendiri. Aku berdiri di posisi yang serba salah. Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Jesi.
“Ehmm…ehmmm…”, suara Jesi keenakan.
“Kurang keras, ci Jes?”, tanyaku.
“Cukup steve. Tapi rada turun ke lengan sedikit yah.”, pinta Jesi.
Sekarang mau tidak mau aku ikut nonton film bokep itu bersama Jesi. Aku tidak berani berkata apa-apa. Malu dan risih itu alasan yang paling tepat. Aku akui sejak dari tadi rudal aku sudah cukup berdiri, tapi masih belum maksimum.
Cukup lama aku memijat pundak dan lengan Jesi. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suaranya yang membuat jantungku seakan-akan mau copot.
“Steve, pengen pijet susu cici ngga?”, tanya Jesi.
Jeblerrr, kayak kesambar petir, ingin segera pingsan saja aku dengan pertanyaan Jesi itu.
“Err… maksud ci Jes apa yah?”, tanyaku pura-pura bego.
“Iya, cici tanya Steve. Pengen ngga pijet susu cici?”, jawab Jesi sambil tangannya meraba payu daranya sendiri.
“Err… “, hanya itu yang bisa saja jawab.
Dengan malu-malu aku turunkan
kedua telapak tangan aku menuju kedua payu daranya, dan meremasnya lembut. tubuh Jesi tiba-tiba terkejut sejenak, kemudian santai lagi. Hanya beberapa detik saja, tiba-tiba Jesi berkata:“Steve, stop dulu. Bentar, cici mau lepas BH dulu.”
Gila benar nih, aku dibikin ngga karuan saja. Jesi melepaskan BH nya dari dalam kaos putihnya tanpa menanggalkan kaosnya.
“Nah, kalo begini Steve lebih leluasa.”, katanya santai.
Terang aja, aku bisa merasakan daging lembut yang menonjol jelas dia dadanya, meskipun masih terbungkus kaos putihnya. Aku menelan ludah, malu, risih, grogi tapi kedua telapak tangan masih meremas-remas payu daranya. Rudal penisku sekarang menjadi berdiri tegak, dan amat keras.
“Ehmm…ehmmm…ahhh”, suara Jesi perlahan-lahan berubah seperti suara pemain wanita di film bokep yang sedang kami tonton. Tangan kanan Jesi sekarang sudah tidak memegang mouse computer lagi, tapi meremas telapak tanganku yang sedang sibuk meremas-remas payu daranya.
Aku benar-benar masih hijau dibidang beginian. Edukasi seks yang aku dapatkan hanya dari film-film bokep saja. Reality seks experience masih belum pernah sama sekali. Ini saja pertama kali aku meraba, meremas payu dara seorang wanita.
“Ahh… Steve… ahhh… “, suara Jesi makin sexy dan inilah pertama kali aku melihat wajah Jesi dalam keadaan terangsang alias horny. Kakak sepupu yang biasanya manis dan lembut, kini berubah menjadi wanita yang sedang haus akan seks. Aku tidak pernah menyangka kalau Jesi ternyata sangat mahir di bidang ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Jesi bertanya dengan vulgarnya, “Steve, pengen gituan ama cici ngga?!”.
“Anu, gituan apa ci?”, tanyaku pura-pura bego lagi.
“Steve jangan pura-pura bloon ah”, jawab Jesi sambil mencubit tanganku.
“Tapi Steve emang ngga tau, pengen gituan apa sih?”, jawabku masih pura-pura lagi.
“Idihh Steve, reseh nih. Maksud cici itu, Steve pengen ngga ngentot ama cici?”, kali ini pertanyaannya semakin bertambah vulgar.
Istilah ‘ngentot’ jarang dipakai di Surabaya waktu jaman
itu. Istilah ini umum dipakai di Jakarta dan sekitarnya. Mungkin karena dulunya Jesi pernah kuliah di Bandung, jadi istilah ini sudah biasa diucapkan olehnya.“Hah?! Yakin nih ci Jes? Di sini sekarang? Ntar kedengaran mbak loh.”, jawab panik.
“Kunci aja pintunya. Kayaknya mbak lagi tidur siang. Lagian kita putar musik aja biar ngga kedengeran.”, jawab Jesi.
Tanpa diberi aba2, dengan cepat aku mengunci pintu kamar, kemudian menutup film bokep tadi dan menggantikannya dengan mp3 program. Jesi sudah berbaring di atas ranjangku sambil memandangku yang sedang berdiri di samping ranjang. Tidak tahu harus mulai dari mana.
Seakan-akan mengerti dengan tingkah lakuku yang mau hijau. Jesi kemudian menarik tubuhku agar bergabung dengannya di atas ranjang. Tanpa malu-malu, tangan Jesi menjulur ke dalam celana boxerku, dan dengan singkat saja batang penisku telah digenggamnya dengan mudah.
“Wah, kok dah tegang nih?”, tanya Jesi menggoda.
“Ah, ci Jes bisa aja nih?”, jawabku malu-malu.
“Steve pernah ngga gituan ama cewek lain?”, tanya Jesi penasaran.
“Menurut ci Jes gimana?”, jawabku malu-malu.
“Kalau menurut cici sih, kayaknya belum pernah yah. Steve masih malu-malu gitu … tapi MAU!”, godanya lagi.
“Cici ajarin Steve yah. Tapi ini untuk kali ini saja. Tidak bakalan ada lain kali. Cici mau ambil Steve punya perjaka.”, kata Jesi sambil tertawa.
Aku seperti tidak mengenal Jesi sebagai kakak sepupuku yang seperti biasanya. Perasaan sayang aku sebagai adik sepupu terhadap kakak sepupu berubah menjadi perasaan nafsu birahi. Pengen sekali aku menidurinya dan menikmati tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Dengan segera saja kulepas semua pakaian yang aku kenakan termasuk celana boxerku. Kini aku yang terlanjang bulat. Mungkin karena terlalu nafsu dan grogi, aku sampai lupa kalau Jesi masih berpakaian lengkap. Brrr… semburan angin AC benar-benar dingin. Dengan segera aku matikan AC di kamar. Reflek tubuh aku untuk menghindari dari
masuk angin.“Ci Jes, ngga lepas baju?”, tanya aku lugu.
“Ntar dulu, pelan-pelan dong sayang.”, jawab Jesi santai.
Terus terang panggilan kata ‘sayang’ di sini berbeda sekali rasanya dengan kata ‘sayang’ yang sering Jesi ucapkan dulu-dulunya. Kali ini seakan-akan kata ‘sayang’ yang berarti seperti ‘aku milikmu’ atau ‘nikmatilah aku’, atau apalah gitu. Yang pasti berbau seks.
Aku berbaring di atas ranjang dengan posisi badan terlentang, kedua telapak tangan di atas perut, dan dengan batang penis yang menegang. Jesi seperti mengerti apa yang harus dia perbuat. Jesi mengarahkan tubuhnya diatas tubuhku dan memulai actionnya.
Pertama-tama dia mencium leherku, kemudian menjilati kuping aku. Tentu saja bulu romaku berdiri dibuatnya.
Aku mencoba mencium bibirnya, tapi tiap kali aku mencoba, Jesi selalu menghindar saja.
“Ci Jes, Steve mau cium bibir cici.”, kataku.
“Jangan Steve. Ciuman bibir kan hanya buat pacar. Cici kan bukan pacar kamu.”, jawab Jesi.
Aku hanya mengangguk saja pertanda setuju, dan kemudian membiarkan dirinya menjelajahi seluruh tubuhku. Jesi benar-benar mahir dalam bidang beginian. Dia dengan cepat bisa mengetahui dimana titik kelemahanku tanpa harus bertanya kepadaku. Dengan tanpa ragu-ragu dia mengulum lembut batang penisku, dengan sesekali menjilat-jilatnya. Tubuhku bak melayang di surga, setiap hisapan yang dia berikan terhadap batang penisku membuatku melayang-layang.
Cukup lama dia bermain dengan batang penisku, akhirnya dia berhenti dan membuka kaosnya. Oh my gosh, pertama kali ini aku melihat sepasang payu dara indah milik Jesi. Selama aku hanya menikmati bagian atasnya saja yang putih mulus ditutupi oleh baju renang. Kali ini semuanya terbuka lebar. Begitu putih, mulus, dan warna putingnya yang coklat muda menantang di depan mataku.
Jesi menyuruhku mengulum puting susu-nya. Untuk yang ini aku bisa, seperti mengulum permen cup-pa-cup saja.
“ahh… ahh…”, terdengar suara erangan halus Jesi. Dia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh pembantuku.
“Steve, tolong lepas celana
Sekali lagi … OH MY … aku menjadi sesak napas sekarang. Aku sekarang bisa melihat memek Jesi dengan jelas. Sungguh indah, lebih indah dari memek-memek yang pernah aku lihat dari film-film porno. Jembutnya juga halus dan tidak begitu lebat. Paha-nya mulus, dan perutnya langsing. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya bahwa Jesi se-sexy ini. Walaupun telah menikah lebih dari 2 tahun, Jesi masih rajin merawat bentuk tubuhnya.
Terpintas di dalam pikiranku untuk menjilat-jilati memek milik Jesi seperti yang sering aku lihat di film bokep. Tapi niat ini ditolak oleh Jesi, mungkin karena takut aku tidak tahan mencium aroma memek. Jadi aku hanya diperbolehkan untuk memainkan tanganku di bagian itilnya. Memek Jesi lembut sekali dan kini menjadi basah.
Suara erangan nikmat Jesi semakin menjadi-jadi, dan kadang-kadang sedikit terlepas kontrol.
“Steveee, ahhh… ahhh… geli Steve…”, suara Jesi yang sedang bernapsu.
“Enak ci Jes?”, tanyaku. Tapi Jesi seakan-akan tidak mendengar pertanyaan ini. Dia masih tetap berkonsentrasi dan menikmati setiap sentuhan-sentuhan yang aku berikan.
Memek Jesi semakin basah dan licin. Kali ini tubuhnya sedikit menegang. Saat itu aku tidak mengerti apa yang akan terjadi dengannya, yang terdengar dari mulutnya hanya “Steve … ahh ahh … cici mau datangggg … cici mau datanggg”. Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba tubuh Jesi mengejang dan menjerit keras. Aku panik dan segera saja aku tutup mulutnya dengan tanganku. Napasnya terengah-engah, dan memelukku sekencang mungkin. Tubuh Jesi berkeringat, maklum saat itu AC telah aku matikan, mengingat Surabaya kota yang panas, tidak heran Jesi jadi berkeringat.
“Steve… thank you…”, katanya sambil terengah-engah.
“Steve mau rasain masuk ke sini ngga?”, katanya sambil menunjuk memeknya yang sudah basah. Aku hanya mengangguk malu-malu sambil berkata, “Kalo ci Jes ijinin, Steve mau aja masuk ke sana.”.