CERITA SEX GAY,,,,,
Ini cuma cerita karanganku karena aku suka mengkhayal. Mungkin benar yang dikatakan orang bahwa pianis itu romantis, soalnya aku sendiri sering membayangkan hal-hal yang romatis dan erotis.
Ceritanya begini, beberapa hari setelah sibuk memasang iklan dan promosi lewat teman-teman, akhirnya suatu hari ada yang mengontak handphoneku dan menanyakan tentang les privat yang aku adakan. Setelah jelas dan dia tertarik, akhirnya kami memutuskan jadwal mulai les.
Sore itu aku sedang memainkan piano milik ibu kost di ruang tengah sewaktu kudengar suara bel pintu depan. Setelah kubuka pintunya, di depanku telah berdiri tegak seorang lelaki yang kira-kira berumur sama denganku dan berpakaian rapi. Kulitnya sangat bersih dan wajahnya sangat membuatku terkesan karena tampan. Di bawah mulutnya terlihat bekas kumis yang telah dicukur. Bibirnya agak merah dan memberi kesan sensual. Rambutnya agak berombak mengingatkanku pada jagoan mobil Knight Rider. Dan yang paling berkesan adalah bau harum yang ditimbulkan oleh kehadirannya, tentu saja karena aku sangat sensitif terhadap bau-bauan. Setelah lama memperhatikan dia, aku baru sadar sedang menerima tamu, lalu sebagai tuan rumah yang baik aku menyapa lebih dulu..
“Silakan masuk. Cari siapa Mas?”
“Mm, Om Ali ada..?”, agak ragu dia menjawab.
“Om Ali?”
“Iya, saya Edo, kemarin saya meneleponnya dan beliau mengatakan hari ini bisa mulai ngasih les”
“Saya ali, hehe.. Enak aja Om-Om, kita kan sebaya”, jawabku dengan gembira. Edo ikut tersenyum ramah.
“Ayo masuk aja, tuh pianonya di ruang tengah, atau mau dibikinin minum dulu?”
“Eh, nggak usah.. Saya udah minum kok”
“Ya udah, ayo kita mulai. Untuk pertama, kamu mau denger permainan saya?”
Lalu Edo mengangguk dan aku mulai memainkan laguku yang berjudul ‘Langkah’. Saat hampir mencapai akhir lagu, aku menyempatkan diri meliriknya, dan astaga! Ternyata dia memperhatikan jari-jariku dan hampir tak berkedip. Setelah lagu selesai, dia seperti baru sadar saat aku melambai-lambaikan telapak tangan di depan matanya.
“Heh.. Heh, lagunya udah habis, ngantuk ya..?”
“Eh, mm, enggak kok, saya cuma agak kaget begitu tau guru les saya ternyata nggak beda usia sama saya, saya jadi..”
“Walah.. Santai aja, kita kan nggak jauh beda, anggap temen aja, ntar biasa kok. En nggak usah pake Om-Om lagi, panggil ali aja”.
Lalu aku mulai ‘menginterogasi’ Edo sambil mengatur dudukku agar terlihat lebih santai sehingga terkesan akrab.
“Udah sering pegang piano atau keyboard, Do?”
“Udah, kadang-kadang. Di kamar Papa tiriku ada piano, jadi kalo Papa nggak ada, aku masuk en mencet-mencet gitu, he.. He..” Jawabnya sambil cengengesan.
“Berarti udah tau not balok?”
“Mungkin. Aku bisa nyanyi ibu kita kartini pake not balok. Do-re-mi-fa-sol-mi-do dst.. Dst”
Setelah manggut-manggut, aku melanjutkan ‘interogasi’.
“Kayaknya feelingmu bagus, not balokmu juga lancar. Trus ngapain kamu les lagi?” Wah, biadab juga pertanyaanku, setelah kupikir lagi. Tapi ternyata dia tidak tersinggung dan malah menjawab.
“Yah.. Aku kan biasanya asal pencet aja, lagian aku belum tau cara ngiringin lagu pake chord-chord kayak band-nya siapa gitu”
“O, jadi yang kamu pengen tau tuh cara mengiringi lagu? Ok, pertama.. Bla bla bla”
Begitulah, setelah beberapa kali bertemu, dia sudah mampu mengiringi lagu “Bilakah” milik Ada Band. Oya, kami bertemu di kostku seminggu 3 kali. Tentu saja seizin ibu kost karena aku memakai pianonya untuk tujuan komersil. Dia juga sring kuajak ke kamarku dan melihat-lihat koleksi lagu rekamanku yang hampir semuanya instrumental. Karena kamarku ada di bagian belakang rumah, jadi siapapun bisa langsung masuk lewat belakang rumah. Suatu sore menjelang maghrib aku sedang mengotak-atik komputer dan betapa kagetnya aku saat menoleh ke pintu ternyata Edo sudah berdiri dari tadi.
“Eh, kamu! Bikin aku kaget aja. Kok aku nggak liat kamu di situ?”
“Gimana bisa liat, kalo kamunya asik klak-klik dari tadi”
“Eh, iya. Ada apa? Ada yang penting ya?”
“Enggak, cuman pengen maen aja”
“O, jadi kamu duduk di sini aja sambil nunggu aku nyelesaiin ini ya? Dikit lagi kok”
“Ok dech”
Lalu aku kembali mengotak-atik fruityloops yang dari tadi kubuka. Dan astaga! Aku baru sadar kalau dari tadi Edo terus memperhatikanku. Soalnya tadi kukira dia membaca buku di kasur.
“Eh, kenapa? Ada yang aneh ya?”
Aku jadi salah tingkah dan beranjak mengambil gitar di pojok kamar lalu kupetik untuk memainkan lagunya Ada Band, ‘Masih’.
“O nggak-nggak. Itu yang kamu buat apaan sih?”
“O, aku lagi ngaransir lagu baru. Agak ngebeat nih”
“O, jadi pake itu..”
“Eh, ternyata kamu jago gitar juga ya. Tapi lagu itu sebenarnya kan pake piano, aku udah lama pengen bisa mainin lagu itu.”
“Ya udah, cari sendiri, kan udah pinter, he he..”
“Ngeledek ya.? Eh Li, kok aku jarang liat orang main gitar dipetik gitu, jadi kayak piano dech”
“Masa’? Ngledek lagi ya?”
“Eh, nggak lah, suer.. Pasti banyak yang bilang kayak aku bilang tadi”
Aku manggut-manggut karena memang benar. Tak lama kemudian aku baru sadar bahwa hari sudah berganti malam dan aku pamit hendak mandi.
“Jangan lama-lama ya, ntar kena rematik”
“Iya-iya, SP loe.”
“Apaan tuh?”
“Sok perhatian, hehe”
“Siapa yang perhatian sama Elu, ge-er..” Lalu aku bergegas ke kamar mandi.
Setelah kurang lebih sepuluh menit, aku selesai mandi dan kagetnya aku saat melihat Edo sedang asyik di depan monitorku.
“Li, ini foto-foto siapa?”
Aku sangat gugup karena ternyata Edo sedang membuka koleksi foto-foto cowok keren yang kudapat dari internet meskipun bukan foto bugil.
“O. Itu foto temen-temenku. Kenapa? Kamu kenal ya?” Aku tidak bohong sepenuhnya karena ada beberapa di antaranya foto teman-temanku.
“Enggak, cuman kok mereka cakep-cakep ya?”
Deg! Cakep! Apa Edo juga tertarik pada cowok? Saat aku membuka handukku dan memakai sarungku, ternyata Edo terus memperhatikanku. Aku jadi serba salah.
“Eh, nggak usah salah tingkah gitu lah. Aku cuman liat cara kamu make sarung aja. Soalnya aku nggak pernah pake sarung.” Wah berarti salah donk, pikirku. Dia straight!
Dan betapa terkejutnya aku saat ada yang meraih pinggangku dan memelukku dari belakang disertai dengan bau yang kukenal. Ya tuhan! Jadi benar? Untung aku selalu mengunci pintu. Aku mencium aroma wangi yang menurutku sangat gentle.
“Ed.. Edo, kamu..”
“Tolong jangan berontak Li, aku cuman pengen meluk kamu aja”. Katanya dengan nada tegas dan terkesan jantan. Bau badannya semakin jelas dan justru membantu merayu nafsuku
“B.. Bukan itu, aku nggak keberatan kamu peluk. Tapi kenapa?”
“Karena.. Karena aku suka kamu sejak pertama kali aku les sama kamu”
Deg! Dia sangat to the point. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat dia mulai menggesek-gesekkan tangannya di perutku lalu melepas sarungku. Aku cuma mendesah karena selain kegelian juga karena perlakuannya terasa sangat romantis.
“Kok kamu diam aja, nggak berontak, kamu menikmati ya..?”
Lalu perlahan-lahan kulepaskan tangannya dari pinggangku. Dia agak heran dan seperti ingin protes, tapi agak kaget saat tiba-tiba aku berbalik dan ganti memeluknya dari arah samping. Dia kegelian dan mendesah-desah.
“Aku kira kamu marah Li. Eh, Kamu marah nggak kalau malam ini aku nginep di sini?” Katanya sambil tangannya tetap kreatif mengelus punggungku.
“Nggak lah. Tiap malam juga nggak pa-pa”
Sambil berbicara aku terus membelai-belai dada dan pinggangnya, lalu ke bawah dan, ups! Dia menepis tanganku dan malah langsung meraih batanganku yang sudah tegang karena aku tidak pernah memakai celana dalam saat bersarung, sementara sarungku pun sudah dilucutinya. Aku merasa seperti disentak saat dia mencengkeram batanganku dengan sekuat-kuatnya lalu mulai menggesek-gesekkannya naik turun.
“Oh.. Ed.. Edo.. Tolong ja.. Jangan berhenti..” Rengekku dengan suara gemetar karena bercampur nafsu.
“Li, nggak ada yang di rumah kan?” Tanya Edo tak kalah gemetarnya.
“Nggak ada, semua pada kerja, ibu kost di tempat embah.. Tolong jangan berhenti Do..”
Edo semakin menggencarkan serangannya. Selain mengocok penisku, kepalanya mulai menyusup ke balik kemejaku lalu mulai melumati dada dan putingku. Aku cuma memejamkan mata dan tidak berbuat apa-apa selain mendesah kenikmatan.
“Do.. Aku mau.. Mau keluar nih, berhenti dulu dong..”
“Nggak pa-pa, keluarin aja, kan masih ada ronde kedua.”
Aku agak kaget karena selepas berkata begitu Edo melepaskan tangannya dari penisku. Ternyata dia mulai memasukkan penisku ke mulutnya.
“Kamu tumpahin di mulutku ya..?” katanya masih dengan mulut terisi penisku.
Lalu dia mulai mengocok lagi penisku dengan mulutnya. Aku merasa nikmat yang kualami bertambah. Mungkin karena kali ini dia menggunakan mulutnya dan..
“Oh, Do’.. Aku..”
Crot! Crot! Cairan-cairan kental itu tumpah di dalam mulut Edo. Dengan lahapnya Edo menelannya seperti meminum teh botol. Tapi mungkin karena terlalu banyak, sebagian meleleh dari ujung bibirnya. Aku terkulai lemas.
Ternyata Edo tipe orang yang sabar dan penyayang. Setelah memuaskan aku, dia ikut telentang di sampingku lalu memelukku dengan erat, masih dengan pakaian lengkap. Lantas dia mencium keningku. Aku kaget karena belum pernah dicium oleh siapapun termasuk cewekku sendiri. Dicium seperti itu entah kenapa nafsuku bangkit, aku mulai melumati bibirnya dan menggesek-gesekkan telapak tanganku pada dadanya yang masih dialasi kaos lengan panjang.
Rupanya kali ini Edo tidak tahan lagi. Dia melepas celananya sendiri lalu merangkulku erat-erat dan kembali melumati bibirku seperti binatang buas yang memangsa anak kambing. Kedua tangannya bertumpu pada lantai sementara dia terus berkonsentrasi meng-agresi wajah dan kepalaku. Aku mencoba mengimbangi permainannya dengan menggesek-gesekkan tangan kananku pada punggungnya dan mengocok penisnya dengan tangan kiriku. Desahan Edo semakin dalam dan terdengar hingar bingar di telingaku yang kini jadi objek lumatan dan jilatannya. Kini tangan kanannya mulai mengelus-elus pantatku lalu masuk ke lobangnya. Aku kegelian hingga mendesah-desah.
“Li!”
“Hm..?”
“Boleh aku masukin anuku ke lobangmu?”
“Lobang pantat?”
“Iya, Ayo lah, aku nggak tahan ngeliat kamu yang.. Yang bikin aku horny abis”
“Tapi aku belum.. Belum pernah disodomi Do..”
“Tenang aja, aku tau caranya, nggak bakalan sakit kok”
Aku mengangguk dan memposisikan badanku menyamping sehingga pantatku menonjol ke samping. Lalu Edo mulai mengarahkan mulutnya pada pantatku dan menjilatinya. Aku kegelian sampai-sampai penisku berereksi penuh. Sementara kedua tanganku kini mencari pegangan karena rasa nikmat yang sangat. Lalu aku menemukan tangan kanan Edo dan mulai meremas-remasnya.
“Ayo Do, aku nggak sabar lagi”
Mendengar rengekanku, Edo melepaskan mulutnya dari pantatku yang kini basah oleh liurnya. Dia ikut berbaring miring di belakangku lalu mulai memasukkan penisnya dan.
“Ow.. Sakit Do’..”
“Tenang aja, cuma bentar, ntar kamu malah jadi keenakan kok” Katanya berusaha membuatku tenang.
“Bener?”
“Iya, cayank”
Dan benar, setelah beberapa kali mencoba dengan rasa sakit yang sangat, akhirnya seluruh batangan Edo memenuhi rongga pantatku. Dia berhenti, mungkin untuk ancang-ancang atau membiarkanku bernafas. Beberapa detik kemudian Edo mulai menggesek-gesekkan batangannya dan aku mulai kegelian. Makin lama makin panjang bagian yang dikeluar-masukkannya dari pantatku. Aku cuma bisa merem melek dan kakiku mengejang-ngejang.
“Ayo Do.. Bantai.. Aku nggak kuat lagi nih..” Edo semakin bersemangat menggenjot pantatku, mirip seperti orang yang sedang fitness.
“Oh.. Ali.. Aku mau terbang.. Oh..”
“Iya, terbang, jemput aku..” aku ikut-ikutan meracau karena geli dan nikmat yang sangat, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua tangan Edo yang sedang berpacu dari belakang badanku.
“Oh, Li, oh.!!”
Crot! Crot! Crot! Mungkin enam kali dia memuntahkan spermanya di pantatku. Aku meraih sisa-sisa sperma yang berlepotan meleleh keluar pantatku lalu mengoleskannya ke pantat Edo.
“Ali? Kamu mau ngapain?”
“Do, boleh kan aku merkosa kamu juga?” tanyaku sambil gemetaran karena batanganku tak terkendali lagi.
Edo mengangguk lalu berganti posisi seperti posisiku. Ah, saatnya menjalankan imajinasiku, aku ingin menusuknya dengan posisi menyamping lalu memutar-mutarnya. Nah, ini dia, Ternyata tidak terlalu susah memasukkan penisku ke pantat Edo, buktinya Edo tidak sampai menjerit meskipun sempat meringis. Mungkin dia sering melakukannya. Dan, blep! Masuklah seluruh penisku. Aku mulai mempraktekkan imajinasiku, memutar-mutar penisku sampai aku sendiri keenakan.
“Kok kamu pintar li, sering ya..?”
“Ah, enggak, aku sering berhayal kayak gini, jadi sekarang harus beneran..”
Setelah bosan dengan putaran, aku mulai memaju-mundurkan penisku sambil mencari penis Edo dan mulai mengocoknya juga.
“Oh my god, punyamu udah tegang lagi ya? Cepet banget Do”
“Gimana nggak tegang terus kalo aku masih ngliat kamu”
Setelah beberapa menit menggoyang pantatku sambil mengocok Edo, aku merasa akan mencapai klimaks.
“Do, aku mau keluar Do..”
“Tunggu bentar, kita keluar bareng..”
Lalu Edo mengambil alih kendali penisnya dan mengocoknya sendiri sementara tanganku kini bertumpu pada kedua pundaknya. Aku semakin beringas dan. Sesaat sebelum semuanya memuncak, aku memperdalam penggalian penisku.
“Aaahh.., Doo..”
Crot! Demikian suara spermaku, dan ternyata Edo pun mencapai klimaksnya. Aku tidak mau buru-buru mencabut penisku. Masih dengan posisi seperti tadi, aku mempererat pelukan ke pinggang Edo lalu mencium pipinya.
“Do, aku happy banget malam ini. Seandainya..”
“Kamu jadi pacarku aja Li” Edo cepat memotong dan kagetlah aku. Pacar? Aneh!
“Ehm, mulai sekarang, kamu boleh les tiap hari dan nggak usah bayar Do’”
“Ah, Ali. Aku malah maunya bayarin kamu terus biar kamu nggak usah nunggu kiriman lagi en buka-buka les segala”
“Makasih Do, tapi aku suka ngajar musik.”
Lalu aku bangkit, memakai sarung dan melemparkan celana Edo ke arahnya.
“Nih, pake celanamu. Kamu mau lagu apa?”
“Terserah dech, intinya aku.. Aku sayang banget sama kamu Li”
Lalu aku meraih gitar dan memainkan lagunya Melly, “Bimbang” dengan gaya instrumental.
Malam itu kami mengulanginya setelah makan malam dan dia menginap di kamarku. Esok paginya setelah mandi aku mengantarnya pulang dengan membonceng motornya. Dalam perjalanan kami terus bercanda. Sekali-kali aku menggelitik pinggangnya sampai dia kegelian.
Sejak itu hampir setiap hari kami bermain piano milik ibu kostku tanpa komitmen les, tetapi hasilnya karena tanpa rasa terpaksa dan aku mengajarinya dengan senang hati, dia semakin lihai memainkan piano dan aku pun semakin lihai memainkan ‘instrumen’ alami kami berdua. He. He.
Tamat ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,