Cerita Seks Panas – cerita bokep seks ini adalah cerita mesum terbaru yang ku cerita kan secara langsung. Ini lah kisah panas ku.. Menjelang kelahiran anak pertama saya, ayah mertua meninggal, Keluarga besar istri saya sangat terpukul. Terutama ibu mertua dan Rosi. Kedua perempuan ini memang yang paling dekat dengan almarhum. Rumah ini terasa murung berhari-hari lamanya. Tetapi segalanya berangsur pulih setelah selamatan 40 hari dilaksanakan. Semuanya sudah bisa menerima kenyataan, bahwa semua pada akhirnya harus kembali. Apalagi semenjak anak saya lahir, tiga bulan setelah kematian almarhum. Rumah ini kembali menemukan kehangatannya. Seisi rumah dipersatukan dalam kegembiraan. Bayi lucu itu menjadi pusat pelampiaskan kasih sayang. Saya juga semakin mencintai istri saya. Tapi dalam urusan tempat tidur tidak ada yang berubah. Seringkali saya tergoda untuk mencari pelampiasan dengan wanita PSK terutama jika teman-teman sekantor mengajak. Namun saya tak pernah bisa. Sekali waktu saya diajak kawan ke sebuah salon esek-esek. Saya pikir tidak ada salahnya untuk sekedar tahu. Salon itu terletak di sebuah kompleks pasar. Kapsternya sekitar 15 orang. Masih muda-muda, cantik, dan seksi dengan celana pendek dan tank top di tubuhnya. Para pengunjung seluruhnya laki-laki, walaupun di papan nama tertulis salon itu melayani pria dan wanita. Di salon itu para pria minta layanan lulur, dan konon, di dalam ruang lulur itulah percintaan dilakukan.
Sungguh aneh, saya tidak birahi. Benak saya dipenuhi pikiran
bahwa perempuan-perempuan itu telah dirajam oleh puluhan penis laki-laki.
Mungkin ketika seorang pria menyetubuhinya, saat itu masih ada sisa-sisa sperma
milik pria-pria lain. Inilah yang membuat saya tak pernah bisa menerima diri
saya bersetubuh dengan perempuan PSK. Jadi bukan alasan moral. Saya lebih suka
onani sambil membayangkan perempuan-perempuan lain. Ketika anak saya berumur tiga bulan, istri
saya sudah mulai masuk kerja dan kegiatan luar kota tetap dijalankan seperti
biasa. Dia sudah dipromosikan dalam jabatan supervisor. Istri saya tampak
senang dengan jabatan barunya, dan makin giat bekerja. Tioap kali ke luar kota
anak saya diasuh tante-tantenya. Rosi atau Mayang atau kadang-kadang Mak Jah.
Hanya jika makan (bubur bayi) saja tante-tantenya tidak sabaran. Mereka tak
sanggup menyuapi bayi. Saya sendiri geli melihat bayi makan. Bubur itu
sepertinya tidak pernah mau masuk ke dalam perut. Hanya keluar masuk dari
bibirnya. Ibu mertua saya yang paling telaten. Kadang-kadang satu mangkuk kecil
masih nambah jika ibu yang menyuapi. Jika siang saya sering tidur dengan anak
saya. Saya senang sekali menatap wajah mungilnya, Saya juga mulai pintar
mengganti popok dan memberinya susu. Hanya kalau malam anak saya tidur dengan
ibu mertua. Soalnya kalau tidur malam, saya susah bangun. Biar anak menangis
keras-keras saya sulit bangun. Siang
itu, sepulang dari kantor, seperti biasa saya cuci muka dan tangan lalu rebahan
di kamar. Badan saya agak meriang. Mungkin saya akan terkena radang
tenggorokan. Kerongkongan saya agak sakit buat menelan. Ketika ibu hendak
menaruh anak saya untuk tidur (kalau siang anak saya biasa tidur dua-tiga
kali), dengan terbata-bata saya bilang, “Bu, boleh Nisa tidur sama Ibu?” Nisa
anak saya terlanjur ditaruh di sebelah saya. “Ya boleh tho. Memangnya kenapa?”
tanya ibu melepas selendang gendongan.
“Badan saya agak meriang, saya ingin istirahat,” kata saya. “Rosi dan Niken sudah pulang Bu?” Ibu tidak menjawab. Punggung tangannya ditempelkan ke dahi saya. “Wah, badan kamu panas. Ya sudah Nisa biar tidur di kamar Ibu. Kamu istirahat saja. Ayuk cucu, bobo sama eyang ya?” Ibu pelan-pela mengangkat Nisa. Lega rasanya saya. Saya benar-benar ingin istirahat tanpa diganggu tangisan anak. Setelah Ibu keluar dari kamar, saya segera tidur mendekap guling. Benar-benar sakit semua badan saya. Kepala juga mulai berat. Saya mencoba mengurangi rasa sakit dengan memijit-mijit dahi dan kening. “Nak Andy sudah minum obat?” tanya Ibu di ambang pintu. “Belum, Bu. Nggak usah. Nanti saja.” Dengan badan seperti ini rasanya saya pengin dikerik. Dulu waktu masih bujang saya sealu minta kerik ibu saya. Jika sudah dikerik badan terasa ringan dan bugar. Tapi mau minta kerik sama ibu mertua sungkan. Dulu memang pernah sih dikerik ibu mertua. Tapi itu karena setelah ibu melihat saya dan istri saya bersitegang soal kerik-mengerik. Istri saya tidak mau mengerik saya. Bukan apa-apa, dia tidak suka cara itu. Katanya itu berakibat buruk bagi tubuh. Istri saya memang doctor minded. Maklum dia dealer obat-obatan, Dia lebih mempercayai dokter dan obat daripada cara-cara penyembuhan tradisional. Melihat kami bersitegang ayah mertua saya membela saya, dan menyuruh ibu mengerik saya. Kini saya sebenarnya sangat ingin dikerik. Seolah tahu pikiran saya, ibu menawarinya. “Mau ibu kerik?” “Mm terserah ibu saja,” kata saya. Dalam hati saya bersorak. Ibu memanggil Mak Jah minta diambilkan minyak bayi (baby oil) dan ulang logam. Sejurus kemudian Mak Jah datang. “Kamu lagi ngapain?” tanya mertua saya. “Setrika baju, Bu” “Ya sudah..” Ibu duduk di tepi ranjang. “Lepaskan bajunya,” kata ibu. Saya melepas baju dan celana panjang saya. Saya bungkus bagian bawah tubuh saya dengan kain sarung, lalu tengkurap. Ibu mulai mengerik bagian punggung. Nikmat rasanya. Kadang-kadang saja terasa sakit. Mungkin itu karena di daerah situ ada penyumbatan aliran darah. Entahlah. “Merah semua nih Nak Andy,” komentar ibu mertua.
Baca Juga Cerita Mesum Indonesia : MAAF BRO AKHIRNYA KUSETUBUHI ISTRIMU
Saya hanya bergumam. Ibu mertua memang pandai mengerik.
Bahkan lebih pandai dibanding ibu saya. Secara keseluruhan tidak menimbulkan
rasa pedih. Bahkan seperti dipijat utur. Saya benar-benar rileks dibuatnya,
Apalagi kalau ngerik ibu ini sangat sabar. Hampir tiap jengkal badan saya
dikerik. Ibu menarik kain sarung, dan sedikit menurunkan CD saya, lalu mengerik
bagian pantat. Sudah itu bagian paha. Selesai paha aku diminta membalikkan
badan. Dikeriknya dada saya. Yang ini agak berat. Saya banyak gelinya. Alalagi
kalau arah kerikan menuju bagian ketiak. Uhh seperti digelitik. Saya
berkali-kali merapatkan tangan saya menahan geli. Ibu tersenyum melihatnya.
Setelah beberapa saat badan saya mulai beradaptasi. Rasa geli berkurang. Saya
mulai membuka mata yang tadi ikut terpicing menahan geli. Saya liat wajah ibu
mertua saya. Mungkin kalau tua nanti
istri saya akan seperti ini ya. Umur ibu sekitar 50 tahun. Masih ada sisa-sisa
kecantikan. Bagian wajahnya masih terlihat kencang. Hanya bagian leher dan
lengan yang tampak memperlihatkan usianya. Kasihan sebenarnya, usia segitu
sudah ditinggal suami. Tiba-tiba badan
saya tergelinjang. Refleks saya mencengkeram lengan ibu. Rupanya ibu mulai
mengerik bagian perut. Ini yang membuat saya geli. Bahkan sangat geli. Bulu
kuduk saya ikut berdiri. Ibu terus mengerik perut saya, dan saya terus
mencengkeram lengan ibu. Sesekali saya mengangkat bagian perut dan pinggul saya
hingga menyentuh tubuh ibu. Gesekan-gesekan itu ternyata mnimbulkan rangsangan
pada penis saya. Sedikit demi sedikit penis saya mengembang. Tegang. Gila.
Nafsu saya juga muncul perlahan-lahan.
Saya bahkan dengan sengaja menempelkan bagian penis saya ke pinggang ibu. Sedikit menekannya dengan berpura-pura geli oleh kerikannya. Padahal tidak. Saya sudah mulai beradap tasi lagi. Tangan saya masih mencengkeram lengan ibu. Jantung saya berdebar-debar ketika ibu menurunkan sarung. Di hadapannya tubuh bawah saya terbungkus CD dengan isi yang menegang dengan sempurna. Maksimal. Sesekali saya lihat ibu melirik ke arah penis saya. Diturunkannya bagian atas CD saya. Hanya sedikit. Ahh padahal saya berharap seluruhnya ditanggalkan. Saya rasakan ujung penis saya tersembul keluar. Mustahil ibu tak meihatnya. Saya tatap wajahnya. Wajahnya tak menampakkan reaksi apa-apa. Mungkinkah perempuan ini sudah tawar terhadap seks? Ataukah dia menganggap saya tak lebih dari anaknya sendiri? Apakah dia pernah melihat penis lain selain milik suaminya? Kerikan di bagian bawah perut menimbulkan sensasi yang luar biasa. Sesekali secara tak sengaja tangan ibu menyentuh ujung penis saya. Seperti dikocok dengan lembut. Saya telah benar-benar terangsang. Birahi saya membakar kepala saya. Saya beranikan diri mengelus lengan ibu. “Ibu makasih sudah mau mengerik badan saya,” kata saya gemetar. Ibu cuma tersenyum. Saya tak tahu artinya. Ia terus mengerik. Saya memberanikan diri menurunkan sedikit lagi CD saya, sehingga separuh penis saya keluar. “Bagian sini juga kan Bu?” kata saya menunjuk selangkangan. “Iya,” suara ibu bergetar. Sentuhan tangannya ke arah penis saya makin sering. Makin nikmat rasanya. Saya makin tak tahan. Saya turunkan sedikit lagi CD saya, dan kini terbukalah seluruhnya. Saya rasakan kerikan ibu sudah mulai kacau. Saya tahu ibu mulai terpengaruh oleh pemandangan di depannya. Ya. Mustahil kalau tidak. Bagaimana pu dia perempauan biasa, dan saya laki-laki asing. Saya pegang tangan ibu, saya bimbing dengan pelan dan cemas menuju penis saya. Saya taruh tangan itu di sana. Tak ada reaksi. Tangan itu hanya diam. Saya berusaha menggerak-gerakan penis saya. Sekali waktu saya sentakkan.
“Bu..” saya mendesis dan menggerak-gerakkan pinggul saya. Ibu
sudah tak konsentrasi lagi di kerikan. Gerakannya sudah bukan lagi gerakan
mengerik, tapi lebih menyerupai garukan. Saya usap punggung ibu. Saya telusuri
lekuk badannya. Dia mengenakan daster. Saya rasakan tali BH di punggungnya.
Saya jadi penasaran seperti apa rupa payudara perempuan 50 tahun. Ibu meremas-remas
penis saya, mengocoknya perlahan. Saya buka resluiting dasternya. Saya buka
kancing BH-nya. Saya remas kulit punggung. Memang tidak sekenyal istri saya
atau Rosi. Tapi putihnya tetap membuat saya makin terangsang. Saya rebahkan
tubuh ibu, saya cium pipinya, telinga, leher dan bibirnya. Kami berciuman penuh
nnafsu. Saya lepaskan dasternya di bagian atas. Hmm, payudara yang kendur. Tapi
apa peduli saya. Saya telah dikuasai oleh nafsu. Saya ciumi payudara itu, saya
hisap, saya remas. Ibu menggeliat-geliat dan mengocok penis saya. Saya turukan
CD-nya. Ahh seperti apakah rupa memek perempuan 50 tahun? Seperti apakah
rasanya? Memek itu dibalut rambut yang
amat lebat. Sepintas tak ada bedanya dengan milik istri saya. Sama-sama
kenyalnya. Perbedaan baru saya ketahu setelah penis saya menyentuh lubang
vaginanya. Terasa kendurnya. Tetapi gerakan-gerakan yang dilakukan ibu
memberikan efek yang fantastis bagi saya. Saya belum pernah merasakan yang
seperti itu. Istri saya seperti telah saya ceritakan, tidak enjoy dengan seks.
Tampaknya seks adalah bagian dari kewajiban rumah tangga, sehingga persetubuhan
kami pun lebih mirip formalitas. Orgasme yang dia dapatkan tampakya tak pernah
mengubah sikapnya terhadap seks. Kini di
bawah saya, ibu mertua seperti mengajarkan kepada saya, bagaimana seorang
perempuan sejati di atas ranjang. Penis saya seperti diputar-putar,
diremas-remas oleh memeknya.
Luar biasa. Saya lebih banyak diam. Hanya bibir dan tangan
saya yang bergerak ke sana-kemari, sedangkan bagian pinggul hanya diam menerima
semua perlakukan ibu. Ibu merintih-rintih, mengerang, lalu mendekap saya.
Gerakannya makin hebat, membuat saya tak tahan lagi. Saya menggenjot pinggul
sekuat tenaga, dengan kecepatan penuh. Kedua kaki ibu menekan betis saya,
bibirnya mencium dan mengisap leher saya. Lalu diciumnya bibir saya dengan
rakus. Hampir digigitnya. Dan srrt srtt srtt sperma saya memancar di dalam
vaginanya. Saya tahu ini akan aman bagi rahim ibu. Senyap di dalam kamar. Tubuh
saya lemas, tapi pikiran jadi jernih. Ibu bergegas membetulkan letak dasternya,
mengenakan CD, dan menghilang dari hadapan saya. Saya tertidur. Malas mau ke
kamar mandi. Peristiwa itu membuat
hubungan saya dengan ibu menjadi kaku. Ibu berusaha menghindari berdua dengan
saya. Beliau juga hanya bicara seperlunya. Tampaknya beliau amat terpukul atau
malu. Saya sendiri berusaha bersikap wajar. Apa yang telah terjadi antara saya
dengan Mbak Maya dan Rosi telah mengajarkan saya bagaimana bersikap wajar setelah
terjadinya skandal. Beda dengan ibu dan Mbak Maya yang berubah drastis. Mereka
cenderung murung.
HADIAH TERAKHIR NAN INDAH DARI RINIKU YANG CANTIK
Hujan turun deras sekali penglihatan sedikit kabur karena
kaca mobil tertutup embun yang menempel dikaca depan. AC kunyalakan walaupun
udara terasa dingin menusuk tulang. Saat itu sudah jam 7.30 pagi, jadi sudah
tak mungkin lagi menunda untuk berangkat kekantor apalagi jam 8.00 ada janji
meeting dengan klien. Mobil kujalankan
pelan dan hati hati, maklum jalan di depan rumah tidak begitu lebar. Dari rumah
ke jalan raya tidaklah begitu jauh setelah satu tikungan kekiri maka akan
kelihatan sebuah kaca spion besar warna merah diperempatan jalan dan itulah
jalan raya yang akan membawa arah perjalananku menuju kantor. Persis ditikungan sebelah kiri di depan
sebuah wartel seseorang melambaikan tangan meminta aku berhenti untuk minta
tumpangan. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena terhalang hujan
yang sangat deras, tetapi dia berambut sebahu dan berseragam SMU. Mobil
kupelankan, dan tanpa tunggu aba aba lagi dia lansung membuka pintu depan dan
duduk disebelahku. “Maaf Om saya
kehujanan, dari tadi nunggu angkot penuh melulu.. Ya dari pada terlambat
terpaksa mobil Om ku stop kan, sorry ya Om.” Dia berkata polos sambil
mengibaskan rambutnya yang menempel di kerah baju karena basah. Sekilas tanpa
sengaja tengkuknya kelihatan, putih.. bersih.. dan ditumbuhi rambut rambut
halus yang membentuk satu garis lurus ditengahnya. “Nggak
apa apa kok, memang hujan hujan begini angkotnya jadi sulit, apalagi diujung
jalan sana biasanya kan banjir, jadi sopir angkot jadi enggan lewat sini.” Aku
menjawab seadanya sambil kembali konsentrasi melihat jalan yang sudah digenangi
air hujan.
“Om kantornya dimana,” dia memecah kesunyian. “Di daerah kuningan, memangnya kamu sekolah dimana,” aku bertanya sambil melirik wajahnya. Wow rupanya seorang bidadari kecil sedang duduk disebelahku, wajahnya sungguh cantik. Bibirnya tipis kemerahan, hidungnya runcing dan mancung sedangkan alis matanya hitam melengkung tipis diatas matanya yang bulat bersinar. Aku sedikit gugup dan kehilangan konsentrasi, mobil tiba tiba memasuki genangan air yang cukup dalam. Air terbelah dua dan muncrat kepinggir seperti gulungan ombak pantai selatan. “Hati hati Om, banyak genangan dan licin..!” dia mengingatkan sambil menepuk pundakku. “I.. i.. ya” jawabku sedikit tergagap. “Kamu sekolah dimana,” kuulangi pertanyaan yang belum dia jawab sekedar menghilangkan rasa kaget dan gugup yang datang tiba tiba. Perempuan memang makhluk yang luar biasa, aku sudah terbiasa menghadapi banyak ragam perempuan, mulai dari yang centil di karaoke, yang kenes di bar-bar sampai mantan pacar dirumah, tetapi kok aku tiba tiba seperti menjadi seperti seekor tikus di incar kucing dihadapan seorang anak SMU. Aku merasa kehilangan bahan pembicaraan, padahal dikantor aku terkenal tukang bikin ketawa dengan omonganku yang suka ngelantur. “Di.. ” dia menyebutkan sebuah sekolah di daerah Mampang Prapatan. “O.. Kalau begitu kamu bisa ikut sampai timah, nanti tinggal nyambung naik metromini.” Rasa gugupku mulai hilang, pengalaman sebagai tukang cipoak berhasil mengontrol dan mengembalikan rasa percaya diriku. “Makasih Om, kalau sudah sampai situ sih.. Gampang, jalan kaki juga nggak jauh kok.” “E.. ngomong ngomong kamu tinggal dimana sih, kok rasanya saya nggak pernah lihat kamu selama ini.” “Terang aja nggak pernah Om, orang aku baru pindah kok. Dulu aku sekolah di Kudus sama Ibu, tapi.. ”
Baca JUga Cerita Seks Panas : NAFSU BIRAHI MENI DAN SUAMI YANG LUGU
dia terdiam dan kelihatan wajahnya seperti menyembunyikan
sesuatu, apalagi aku dan dia sama sekali belum berkenalan. “Oh.. Pantas aja dong, e.. e.. namamu siapa?”
aku bertanya tiba tiba agar dia tidak merasa jengah karena aku tahu dia tidak
mau meneruskan cerita tentang masa lalunya di Kudus sana. “Rini Om, Rini Ayu
Wardhani.” Wah.. Itu betul betul sebuah nama yang pas buat kamu, aku mulai
melepaskan tembakan pertama sambil tersenyum.
“Ah.. Om bisa aja,” dia menjawab sambil tersipu. Woouu.. Hatiku meronta
melihat rona pipinya yang tiba tiba memerah bak awan senja diufuk barat. Awan
diufuk barat merah apa kuning ya! bodoh amatlah.. “Tolong ambilkan uang di box dibawah tape itu
Rin, buat bayar tol.” Dia menundukkan
badan untuk menjangkau uang ke dalam box, aku melirik ke kiri, tiba tiba
pemandangan indah terbentang di sela sela kerah bajunya. BH ukuran 34b sedang
terisi dengan sempurna oleh gelembung payudara yang kelihatan tambah putih
dibalik baju seragamnya. “Yang ini Om..
Oup,” tiba tiba dia menyadari aku sedang menatap kedua payudaranya yang kelihatan
jelas dari balik kancing baju yang terbuka diurutan paling atas. “Maaf, Iya yang itu.. Yang lima ribuan,” aku
menjawab sambil memalingkan muka dan lansung menginjak rem karena mobil di
depan berhenti tiba tiba. Tangan kanannya yang tadinya akan menutup kerah baju
tiba tiba menggapai sesuatu untuk pegangan agar dia tidak terantuk ke dashboard
mobil yang kurem secara mendadak. Kali
ini dia berteriak kecil “Maaf Om aku nggak sengaja,” tiba tiba dia menutup muka
dengan kedua tangannya karena malu, soalnya sewaktu mencari tempat berpegangan
tadi, tangannya masuk kesela sela pahaku dan dia memegang sesuatu yang sedang
bergerak tumbuh menjadi keras dibalik CD ku.
Aku merasakan hentakan yang luar biasa keluar dari pangkal
pahaku menjalar ke batang penis dan terus bergerak bagai kilat ke arah
kepalanya, gerakan itu begitu dahsyat dan tiba tiba akibat terpegang oleh
tangan halus si Rini. Risleting celana ku seperti didorong sesuatu sehingga
menonjol runcing kedepan dan hampir mentok di stir mobil. “Alah mak. Jan..” kepalaku atas bawah
berdenyut kencang, tetapi klakson mobil dibelakang mengejutkan aku agar segera
memberi jalan. “Oi! pacaran jangan di
tol, no pergi ke..” sisopir mengumpat sambil menyebutkan sebuah nama pantai
yang terkenal sebagai surganya mobil goyang.
Itu adalah awal perkenalanku dengan Rini, gadis Kudus kelas 3 SMU di
Mampang Prapatan. Semenjak itu hampir tiap pagi Rini dengan setia menunggu di
depan wartel untuk berangkat bareng dengan mobilku. Kami mulai bercerita
tentang keadaan masing masing, rupanya dia pindah ke Jakarta ikut pamannya
karena orang tuanya bercerai dan Ibunya tidak sanggup membiayai sekolahnya. Di Jakarta dia hidup sangat prihatin, maklum
tinggal dengan orang lain walaupun dia paman sendiri tetapi tentu saja si paman
akan lebih memperhatikan kepentingan anak serta istrinya terlebih dahulu
sebelum buat si Rini. Hampir tiap hari dia hanya dibekali uang yang hanya cukup
buat ongkos angkot sedangkan buat jajan dan lain lain adalah suatu kemewahan
kalau memang lagi ada. Hari demi hari
berlalu dengan cepat dan aku dengan Rini kian dekat saja, kalau dia disekolah
ada kegiatan ekstrakulikuler maka pulangnya dia akan mampir ketempat kerjaku,
maklum kantorku berada diatas sebuah plaza yang cukup besar. Tugasku sebagai salah satu manager dengan
gampang bisa kutinggalkan 1 atau 2 jam, toh ada sekretaris yang ngurusin.
Aku juga tidak mengerti kenapa Rini jadi begitu dekat
denganku, kami jalan bersama, nonton, makan dan adakalanya dia minta dibeliin
sesuatu, seperti baju ataupun parfum. Tetapi itu tidak terlalu sering, yang
paling dia harapkan dari aku adalah perhatian karena pernah satu hari dia terus
terang bicara. “Om maaf ya kalau 2
minggu kemaren Rini nggak nemui Om dan juga sama sekali nggak ngasih kabar.” Dia berhenti sejenak sambil menatap aku, saat
itu kami sedang berjalan dipantai Ancol, dia memegang erat lenganku sambil
menyandarkan kepalanya. Tanpa dia sadari tangan kiriku sudah berulangkali
menyentuh ujung payudaranya apalagi ketika dia semakin erat merangkul. Payudara
itu begitu kenyal dan kelelakianku tiba tiba mulai terusik. “Memangnya ada apa,” aku menjawab sambil
mengajak dia duduk disebuah bangku tembok dibawah pohon kelapa. “Tadinya Rini sudah mau berhenti sekolah,
habisnya uang sekolah sudah 2 bulan tidak dibayar dan buat beli buku juga nggak
punya.” Dia merenung sambil memandang jauh ketengah laut yang ditaburi kerlap
kerlip lampu nelayan dan sesekali kelihatan lampu pesawat yang hendak turun di
Sukarno Hatta.
“O.. Itu masalahnya, lantas kenapa kamu nggak ngomong aja
sama Om” “Nggak enak Om, ntar dikirain
saya matre lagi..” dia menjawab sambil tersenyum. “Rini.. Gini aja deh, kamu kan sudah tahu
kalau Om mau Bantu kamu, tapi kalau kamu nggak bilang, Ya terang aja Om nggak
tahu! iya toh.” “Makasih Om.. Terus
terang memang Rini mau minta tolong Om untuk yang satu ini. Om nggak usah
mikirin mau Bantu yang lain deh, tapi aku akan berterimakasih sekali kalau Om
bisa menyelamatkan sekolahku.. Itu aja.”
Dia tertunduk, wajahnya begitu sendu dan sorot matanya hampa tanpa
gairah. Aku begitu terenyuh melihat seorang Rini yang hari harinya seharusnya
dihiasi oleh tawa ceria dan penuh optimisme ternyata harus menanggung beban
demikian berat. “Oup.. ” Rini berteriak
kecil karena kaget ketika kupingnya kutiup untuk memutus siklus lamunannya. “Om nakal ya..” dia menepuk bahuku dengan
mesra dan akhirnya malah memeluk aku. Bau
harum tubuhnya memenuhi rongga hidungku dan membangkitkan keinginan untuk balas
memeluknya. Kuraih bahu kirinya kurebahkan dia diatas kedua pahaku, dia sedikit
kaget, ingin menolak tetapi itu terjadi demikian cepatnya. Akhirnya Rini meraih
tangan kiriku dan entah sengaja atu tidak tanganku didekap erat didadanya.
Oooh.. Lembutnya daging itu, payudara muda yang masih segar dan ranum telah mengalirkan
sensasi elektrik ribuan volt ke sekujur tubuhku. Aku yakin Rini merasakan sesuatu yang
bergerak menyentuh punggungnya, karena posisi tidurnya persis tepat di atas
batang penisku. Aku tahu itu karea Rini berusaha mengangkat pungungnya untuk
kembali duduk dan wajahnya kelihatan memerah karena malu. Tapi dengan lembut
gerakan duduknya kutahan dengan menekan dadanya. “Rin.. Sudah tidur aja.. Nih Om kipasin biar
nggak gerah.” Aku hanya sekedar bicara
karena jujur aja otakku sudah ditaburi bayangan lain yang lebih seru. Tapi
kuyakinkan diriku. “Ini si Rini yang
sama sekali belum berpengalaman, sedikit saja kamu salah langkah akan bubar
semuanya. Sabar.. Sabar, gunung nggak usah dikejar emang dia nggak pernah lari
kok.”
Dia kembali tidur dipangkuanku dan sekarang dia malah
membiarkan tanganku menekan kedua payudaranya. Kulihat nafasnya mulai tidak
beraturan ketika pelan pelan tanganku bersentuhan dengan pucuk payudaranya. Ini
adalah pengalaman pertama buat payudaranya disentuh tubuh laki laki. Walaupun
itu hanya dari balik baju dan BH, tetapi buat Rini yang baru pertama merasakan,
sudah membuat dia sulit bernafas karena mulai terangsang. “Rin kita pulang yok, sudah jam 8 nanti
pamanmu bingung dan lapor polisi.” Kataku sambil bercanda. “Nanti aja Om.. Bentar lagi, Rini masih ingin
disini 2 jam lagi,” dia makin erat memelukku.
“Oupt.. Besok besok kita bisa jalan ke sini lagi, tapi kalau kamu
dimarahin karena terlambat pulang, ya.. Kita akan kesulitan untuk jalan jalan
lagi..” Aku berkata sambil mebangunkan
Rini dari pangkuanku. “Ok deh Om..” dan
secepat kilat dia mengecup pipiku. Aku hanya bisa terdiam kaget, karena nggak
nyangka. “Lho kok bengong Om.. Katanya
mau pulang, ayo.” Rini menarik tanganku.
“Ayo,” kami berjalan berdekapan. Dua
tahun sudah berlalu, hari itu hari Jumat dan Rini memberitahuku agar aku
menemuinya di tempat biasa kami ketemu, di sebuah cafe dibawah kantorku jam 4
sore. Aku sampai disitu persis jam 4, tapi aku nggak lihat batang hidungnya si
Rini, tiba tiba ada bisikan lembut di belakang kupingku. “Surprise!!”
Aku sempat nggak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita cantik
dengan celana jean dan kaos ketat berdiri di depanku. Pahanya yang panjang dan
mulus terlihat jelas dibawah balutan celana jean. Disela pahanya tergambar
jelas belahan kewanitaan yang belum pernah tersentuh laki laki. Kaos ketat
mempertegas beberadaan dua gunung kembar didadanya, sedangkan bagian bawah kaos
yang sedikit pendek memperlihatkan kulit putih, bersih dan dihiasi sebuah tahi
lalat kecil tepat di bawah pusar.
Oh.. Sungguh pemandangan yang indah dan langka. “Jangan ngliatin gitu dong Om! emangnya nggak pernah lihat cewek pakai jean” “Sorry, Rin.. Kamu luar biasa, membuat Om jadi linglung.” “Ah jangan ngerayu ah..” “Nggak kok, kenapa tiba tiba kamu tampil beda begini,” aku bertanya sambil menggamit tangannya untuk mencari tempat duduk. “Ehem.. Ada yang lupa rupanya, hari Ini aku bukan anak SMU lagi, aku sudah lulus, lulus, lulus dan merdeka dari segala pasungan dan aturan sekolah.. Katanya sambil berlagak kayak baca puisi. “Eh ingat kita lagi di cafe.. Tuh lihat tuh orang orang pada mandangin kamu.” “Sorry lah, habisnya hanya dengan Om aku bisa berbagi rasa jadi jangan salahkan daku kalau nggak bisa nahan diri.” “Om ku yang baik, hari ini aku ngucapin terimakasih yang sebesar besarnya, karena kalau bukan Om yang Bantu sudah pasti sekolahku berantakan.” Dia berdiri dari kursinya dan dengan cepat memberikan ciuman ringan dipipiku. “Rin, nggak enak dilihatin tuh” aku berlagak alim lah dikit. “Justru karena banyak yang lihatin Rini brani nyium Om, kalau ditempat yang sepi.. Wah bisa bahaya dong..!” Dia mencubit hidungku dengan gemas. Aku bisa menduga isi fikiran orang orang disekitar kami, “Lha ini bapak sama anak atau Om sama.. Pacar mudanya ya!”
Baca Juga Cerita Sex panas : LINDA TERSENYUM PUAS SAMBIL NUNGGING MASIH DI HANTAM RUDY DARI BELAKANG
Mereka nggak salah, Rini adalah seorang gadis cantik yang
sedang tumbuh, sedangkan aku adalah laki laki ‘Tua sih belum tapi muda sudah
lewat’ ibarat mangga sudah mengkal kata orang Betawi, sudah nggak enak dirujak. Tapi waktu, tempat dan kesempatan
mempertemukan kami sehingga membuat kehidupan saling mengisi dan malah sudah
saling membutuhkan. Aku butuh semangat dan gairah muda yang berkobar dari Rini
sedangkan dia butuh tempat berlindung yang kokoh dan teduh dari aku.. Klop
deeh. “Hei jangan nglamun,” Rini
mencubit pahaku ketika pelayan sudah berdiri tepat di depanku tapi aku tidak
menghiraukannya. “Oh oh.. Iya Mbak.. Es
jeruk buat aku dan kelapa kopyor itu buat dia,” aku memberitahu Mbak pelayan
sambil menunjuk Rini. “Om.. Kalau kali
ini Rini minta sesuatu boleh nggak!” “Kenapa
tidak.. Kalau Om sanggup pasti Om kabulkan”
“Sebetulnya Rini mau memberikan satu hadiah spesial buat Om tapi
sebelumnya Rini minta sesuatu dulu.. Gimana Om.”” “Ok nggak masalah”,. Jawab ku sambil
mempersilahkan dia minum. “Rini tahu
kok, Om nggak pernah mau ngerayain HUT Om, tapi kali ini Rini minta untuk
dirayakan sebagai hadiah juga buat Rini, kita rayain ya!” Kulihat wajahnya
sangat berharap. Betul sekali, aku
memang paling tidak suka dengan yang namanya pesta HUT gitu, jadi wajar saja
kalau aku lupa hari itu aku sebetulnya ulang tahun. “Well.. Kita mau ngerayain seperti apa,
dimana dan dengan siapa aja Rin”” “Maksud
Rini kita rayain berdua aja, gimana kalau kita cari tempat yang jauh dari
keramaian agar lebih leluasa, kayak dipantai gitu!” belum sempat kujawab Rini
sudah ngrocos lagi. “Jangan khawatir,
Rini tadi sudah pamit mau nginap di rumah teman sama paman.” Dia seperti bisa membaca jalan fikiranku. “OK apa kita mau ke Ancol!” “Jangan Om disana terlalu ramai, Rini ingin
ke Merak disana kita bisa lihat ferry keluar masuk dermaga sepanjang malam” Setelah telpon ke rumah memberitahukan bahwa
aku ada rapat dinas, maka kami langsung tancap gas ke Merak. Disitu ada sebuah
hotel pantai yang memang sudah tidak terlalu bagus lagi karena termakan usia,
tetapi sangat strategis, tempatnya di pinggir jalan raya dan menghadap langsung
ke selat Sunda dan Pelabuhan ferry. Setelah
mandi, Rini tidak lagi pakai jean ketat, tetapi rupanya dia sudah siap dengan
baju tidur putih setengah transparan sehingga lekuk tubuh dan tonjolan dadanya
begitu jelas.
“Rin.. Om masih penasaran kamu mau ngasih hadiah spesial apa
sih sama Om,” aku bertanya sambil telentang ditempat tidur. “Nanti aja deh.. Om pasti bakal tahu juga,” Rini
merebahkan diri disamping kananku. Tiba
tiba kami saling menghadap sehingga wajah kami hampir bersentuhan. Aroma
nafasnya menerpa hidungku dan bau mulutnya yang wangi membuat gelora hasratku
terpancing. Kulingkarkan tangan kiriku
ke tubuhnya, dia diam dan malah memejamkan matanya. Pelan tapi pasti bibirku
menyentuh bibir Rini dengan lembut. Rini seperti tersentak tiba tiba. Tubuhnya
sedikit mengigil dan nafasnya jadi memburu.
Kuhentikan gerakan bibirku persis diantara kedua bibir Rini, ujung
lidahku kudorong keluar sedikit demi sedikit dan bibir Ranum itu mulai kujilati
dengan penuh perasaan. Aku sengaja mengontrol gerakan dan keinginan ku
sedemikian rupa agar Rini dapat merasakan suatu sensasi kelembutan yang membuai
dan akan membuat dia terhanyut dalam kenikmatan. “Rin.. Boleh nggak Om teruskan,” aku berbisik
sambil mengecup kupingnya. Tubuhnya
bergetar dan posisi tidurnya tidak lagi menghadap aku tetapi bergerak telentang
dalam dekapanku. “Nggak pa pa Om terus
aja,” Rini menjawab disela deburan jantungnya yang menggila. Aku segera mengecup kulit putih tepat
dibelakang telinganya, Rini mengerang,
“Om.. Geli.. Bulu roma Rini jadi berdiri semua.” “Nggak apa apa Rin,” aku menjawab sambil
terus mengerakkan bibir dan lidahku meluncur di lehernya yang jenjang. Leher mulus itu kujilat dengan lembut dan
pelan, terus turun.. turun.. dan ouh.. baju tidur Rini tiba tiba terbuka di
bagian dadanya, buah dada itu begitu ranum, kulitnya putih dan halus, disekitar
putingnya berwarna coklat kemerahan, ditumbuhi bintik bintik putih halus
melingkar memagari puting susunya yang sudah berdiri tegak. Sungguh satu pemandangan yang sangat indah
melihat payudara muda dan baru pertama mengalami rangsangan sexual. Bentuknya
masih bulat dan padat membuat aku tak sanggup lagi menahan diri. Puting muda itu kuhisap dengan lembut dan
tubuh Rini kembali bergetar. “Oouuhh
Om.. Rini nggak tahan Om. ” “Nggak tahan
apanya Rin” “Nggak tahu Om.. Nggak tahan
aja” Aku lupa kalau Rini belum pernah
mengalami rangsangan seperti ini. “Nggak
pa pa Rin jangan ditahan.. Kalau Rini ngerasa sesuatu ikutin aja,” aku berkata
sambil memutarkan jempol dan telunjukku ke puting susunya. “Om.. Terus Om..” “Iya Rin. Tapi bajunya buka dulu ya.” “Terserah Om.. Aja” Semua pakaian Rini kulucuti begitu juga aku,
kami sekarang telanjang bulat. Tubuh putih polos Rini sekarang terhidang pasrah
dihadapanku. Sementara penisku sudah mulai teler mengeluarkan cairan putih
bening pertanda siap tempur. Rini kembali kudekap dengan pelan, penisku
kutempatkan persis ditengah belahan vagina Rini. “Ouuh Om.. Rini jadi basah Om.. ” “Iya sayang.. Om Juga” Kugerakkan pinggulku turun naik penuh irama,
pelan pelan penisku menyentuh clitoris Rini.
“A.. aduh Om..” Cengkraman tanga
Rini seperti mau merobek kulit punggungku. Dia mulai terangsang dengan
hebatnya, matanya sayu dan redup, bibirnya merekah setengah terbuka dan basah
oleh hasrat kewanitaan yang minta dipuasi.
Sementara aku mulai merasakan cairan panas mengaliri batang
penisku, itu adalah cairan vagina Rini yang keluar bagaikan mata air pegunungan
sukabumi, kental dan licin. Kedua
tanganku mulai membelai payudara Rini dengan gerakan melingkar dari bawah ke
atas dan berakhir diputingnya yang tegak berdiri. Aku menyadari ini belumlah
saat yang tepat untuk melakukan penetrasi, Rini harus diberi kenikmatan puncak
senggama dengan cara lain, setelah nikmat klimaks itu dia cicipi buat pertama
kali didalam hidupnya, barulah penetrasi akan akan kulakukan. Pelan pelan kedua kaki Rini kudorong
kepinggir, sekarang vagina Rini terbentang jelas dihadapan penisku. Bulunya
sedikit kepirangan tepat diatas clitorisnya bulu tersebut membentuk lingkaran
kecil seakan disiapkan buat tempat pendaratan lidahku. Aku sudah mau menjilat clitoris itu sambil
menunduk tapi tiba tiba. “Om jangan
dijilat ya.. Rini pasti nggak tahan, kata teman teman kalau vagina Rini
dijilat, Rini pasti langsung klimaks.. Oouuh padahal Rini masih kepingin lebih
lama ngerasain seperti ini.” Kuurungkan
niat untuk menjilat vagina Rini yang sudah terbuka lebar tersebut. Kulit di
seputar vagina itu putih dan bersih, sementara ketika bibir vaginanya kusibak
dengan jariku, kelihatan warna merah membayang dipinggir bibir dan lubang
vagina yang sekarang telah dipenuhi cairan putih bening nan wangi. Kakinya kuangkat lebih tinggi dan sedikit
mengangkang sehingga bibir vagina Rini betul betul terbuka menantang penisku. “Rin.. Kita petting aja dulu ya.. ” “Petting itu apa Om.. ” “Nih. Begini nih” Batang penisku kuletakkan persis ditengan
tengah bibir vagina Rini dan dengan gerakkan turun naik yang berirama, penisku
mulai menggosok bibir vagina dan clitoris Rini.
Aku merasakan tangan Rini mulai menekan pinggulku agar batang penisku
lebih erat menempel di vaginanya. Gerakkanku semakin cepat dan pinggul Rini pun
mulai turun naik seirama tarian dangdut penisku. Lendir vagina Rini semakin
banyak membuat penisku dengan leluasa bergesek didekapan vaginanya.
Akibat licin dan hangat, serta sensasi clitoris yang
tersentuh oleh ujung penisku, aku mulai merasakan gerakan sperma menyeruak
ingin menyemprot, kukendalikan diri agar air bah sperma ku jangan tumpah duluan
sebelum Rini dapat kupuaskan. Gerakan Rini semakin lama semakin liar, dia mulat
menggigit bahu dan tetekku, jemarinya mencengkram kencan pantat belakangku. “Oomm, Rini ngerasa melayang.. Dan oouuh ada
yang mendesak dari bawah vaginaku.. Oh apa ini kok rasanya seperti ini.. Oomm
Rini nggak tahan.. Om tolong gosokkan penisnya yang kencang.. Oouhh dia datang
ouhh..” Sebelum Rini terkulai lemas
karena klimaks pertamanya, akupun merasakan gerakan sperma yang tiba tiba kuat
menekan dari sela sela kedua torpedoku, terus menuju batang, terus kebagian
kepala dan sekarang tepat diujung penis “OOh..
Rin.. Omm lepass sayang..” Spermaku
muncrat menyirami pusar Rini yang putih bersih, sperma itu begitu kental
seperti ingus yang sudah mingguan nginap dihidung., diam dan sama sekali tidak
meleleh ke bawah. Jam 12 malam kami
terbangun karena lapar, tetapi sebelum bangun tiba tiba aku menyentuh payudara
Rini. Akibatnya luar biasa. Rini langsung terangsang dan mencium bibirku penuh
semangat. Tak ada pilihan lain biarkan perut menunggu sebentar, toh yang
dibawah perut juga kelaparan. Ciuman Rini kusambut dengan hangat, pelan tapi
pasti pergumulan kembali terulang, remas berbalas remas, kecup dibalas kecup,
jilat dibayar jilat, dan itulah yang saat ini sedang aku lakukan. Vagina Rini kusibak dengan jariku, ujung
lidahku menerobos dengan lembut menuju clitorisnya. Clitoris itu kuhisap
bagaikan menghisap puncak es cream, lembut, pelan dan sedikit dijilat dengan
ujung lidah. Dengan gerakan tiba tiba Rini mebalikkan tubuhku sehingga dia
sekarang mengangkangi kepala ku, vaginanya persis diatas mulutku dan bibirnya
siap mematuk penisku. Bibir Rini yang
lembut dan basah kurasakan menyentuh lubang kecil diujung penisku
“Ouuhh Rin, jilat terus sayang.. Jangan kena gigi ya..” “Iyyaa Om, tapi Om jangan diam dong..” Aku lupa dengan tugasku karena keasyikan
dihisap Rini. Lidahku kembali beraksi, kali ini sedikit menerobos ke dalam
vagina karena posisi ku tepat dibawahnya. Rini menggelinjang hebat. Pahanya
makin menjepit mukaku, hisapan dan kulumannya dipenisku juga semakin kencang.
Kupikir inilah saatnya keperawanan Rini harus kunikmati. Dengan klimaks yang
sudah dia rasakan ditambah dengan rangsangan yang saat ini dia alami, maka
penetrasi pertama ku ke dalam vaginanya kukira tidak akan membuat dia
kesakitan. Posisi kurubah, sekarang Rini
telentang tepat dibawahku, kulihat bibirnya masih berlepotan ciran bening
penisku, dia mejilat sudut bibirnya dan cairan itupun besih menghilang. Kakinya
terentang membuat posisi vaginanya jelas terbuka, pelan pelan kutempatkan ujung
penisku dilubang vagina Rini tetapi aku masih diam. Aku ingin dia merasakan
sensasi dan getaran hangat dari ujung penisku.
“Oom ayo dong,” Rini menyodorkan payudara kirinya untuk kuhisap. “Mm..” aku langsung menghisapnya, tubuh Rini
kembali bergetar hebat dan tanpa dia sadari. Ujung runcing penisku pelan pelan
telah membuka jalan masuk ke vaginanya. “Om..
Perih..” Rini mendekapku ketika batang penisku telah hampir separuh jalan
menuju singasananya. Dinding vagina Rini
yang masih perawan terasa menjepit dan menahan gerakan maju penisku, itu
mungkin yang membuat dia merasa sedikit perih. Kutarik penisku dengan pelan,
ujungnya kuarahkan ke clitorisnya. Dengan gerakan mencongkel yang lembut ujung
penisku beradu dengan clitorisnya. “Om
aku nggak tahan..” Melihat Rini mulai
terangsang hebat, sasaran penisku kembali kuarahkan ke jalan yang benar, yaitu
lubang kenikmatan. Kali ini ujung penis menerobos dengan lancar. “Oh ouhh masuk semua ya Om..! rasanya sesak
sekali.”
“Masih perih sayang,” kataku berbisik dikupingnya. “Nggak papa Om terus aja” “Nih.. Om tusuk ya.” “Iya Oom.., yang dalam Om.” “Iya.. Om sudah masuk semua nih, Rini.. Oh Rin.. Terimakasih ya.. Sungguh nikmat sekali saya.. ng..” “Iya Om ini hadiah istimewa dari Rini.” “Oh Om.. Rini nggak tahan. Terus Om. Yang kencang Om.. Ohh iya Om terus.. Kayak itu.. Aja Ouhh!” Dengan iringan erangan panjang, Rini mencapai klimaks untuk kedua kali dalam hidupnya. “Om.. Maaf ya. Rini nggak tahan.., padahal Om belum lepas kan..” “Nggak apa sayang.. Tidak satu jalan ke Jakarta, lewat Priuk bisa, lewat bekasi juga bisa.” Rini mengerti apa yang kumaksud, penisku segera dibelainya dengan lembut, makin ke ujung, makin ke ujung terus. Terus.. Dan terus, aku nggak tahu apa apa lagi, yang aku rasa hanya panasnya lidah dan bibir Rini diseputar kepala penisku. “Rin.. Sayang terus.. Hisap.. Sambil dijilat dikit.. Oh. Ya dengan ujung lidah sayang.. Oh.” Pandanganku gelap, dunia terasa mengambang, tubuhku seperti mengapung, ketika semprotan demi semprotan cairan kenikmatan muncrat dari ujung penis dan membasahi bibir dan hidung Riniku. Tiga tahun sudah berlalu, sekarang aku kehilangan Rini dia hilang ditelan banjir bandang Bahorok. Dia bekerja sebagai guide lepas pada satu perusahan pengelola pariwisata. Selama dia di SMU dulu, dia kukursuskan bahasa Inggris di salah satu tempat kursus ternama di dekat kantorku. Dengan modal bahasa dan wajahnya yang ayu serta sifatnya yang supel akhirnya dia diterima di perusahaan itu. Masih kusimpan kaos oblong warna hitam dengan gambar lidah menjulur dan tulisan Bali di bawahnya, di dalam lemari pakaianku. Itu adalah hadiah dari Rini sewaktu dia menerima gaji pertamanya. Demikianlah cerita bokep seks MENGAJAK BERSETUBUH DENGAN IBU MERTUA dan HADIAH TERAKHIR NAN INDAH DARI RINIKU YANG CANTIK oleh cerita sex hot