Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Rere) serta Rere dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Cerita Sex: Ngesex Sama Anak Pak Haji – Ist
Cerita Sex Selingkuh | Hari-hari berikutnya, Rere masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Rere. Kalau sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Rere menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan Rere. Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Rere selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil.
Lama-lama Rere sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas bantuan Rere. Tampaknya Rere tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Rere mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Rere tiba-tiba muncul.
“Ada apa Re, malam-malam begini.”
“Mas Bima, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Rere mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Rere terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Rere?”
“Mas… aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Rere tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Rere, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Rere sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat.
Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku. Rere merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Rere dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Re.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah 4 bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Rere sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Rere merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Rere kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Rere. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Rere..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmmm… iya… Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama… ukh…” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas… teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Rere sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku.
Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Rere telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Rere lekat ke dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Rere, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Rere mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya.
“Sedot kuat-kuat Mas, sedooottt…” bisiknya.
Aku memenuhi permintaannya dan Rere tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat. “Mas lepas…” katanya sambil telentang di lantai. Rere meminta aku melepas pakaian. Rere sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Rere melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu. Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Rere melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas… teruskan, enak sekali Mas… enak…” Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya.
Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Rere. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana dan Rere tampak sedikit tersentak.
“Ukh… khmem.. hsss… terus… terus,” lenguhnya tak jelas.
Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Rere dengan teknik petik melodi.
Rere menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat.
“Mas… Mas… ampun… terus, ampun… terus ukhhh…” Sebentar kemudian Rere lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Rere kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta merta Rere menarik celana dalamku.
Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Rere. “Uh… Mas… apaan ini,” kata Rere kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Rere langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas… ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Rere geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Rere langsung menarik penisku.
“Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Rere menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Rere memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Rere. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang…”
Namun tampaknya Rere tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Rere. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya.
“Cepat Mas…” ajaknya lagi.
Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Rere justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Rere tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Rere tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa… tusuk aku. Keras… keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar.
Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Rere menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Rere, meleleh keluar. Aku melirik, darah… darah segar. Rere diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Rere dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Rere sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan Rere mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Rere pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan cairan pelicin. Rere mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas… uhhh… enaakkkk.. enaaakkk… Terus… aduh… ya ampun enaknya..” Rere melemas dan terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping Rere yang terkulai.
“Rere, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Rere memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Rere mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Rere selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Rere waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Rere mengaku puas.
Setelah lulus, Rere menikah dan tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Bima, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Bima, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Rere pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest