Ngewe Di Tempat Pijit PlusPlus

Author:

CERITA MESUM – Jakarta yang panas membuatku kegerahan di atas angkot. Kantorku tidak lama lagi kelihatan di kelokan depan, kurang lebih 100 meter lagi. Tetapi aku masih betah di atas mobil ini. Angin menerobos dari jendela. Masih ada waktu bebas dua jam. Kerjaan hari ini sudah kugarap semalam. Daripada suntuk diam di rumah, tadi malam aku menyelesaikan kerjaan yang masih menumpuk. Kerjaan yang menumpuk sama merangsangnya dengan seorang wanita dewasa yang keringatan di lehernya, yang aroma tubuhnya tercium. Aroma asli seorang wanita. Baunya memang agak lain, tetapi mampu membuat seorang bujang menerawang hingga jauh ke alam yang belum pernah ia rasakan.Dik.., jangan dibuka lebar. Saya bisa masuk angin. kata seorang wanita setengah baya di depanku pelan.Aku tersentak. Masih melongo.Itu jendelanya dirapetin dikit.., katanya lagi.Ini..? kataku.Ya itu.Ya ampun, aku membayangkan suara itu berbisik di telingaku di atas ranjang yang putih. Keringatnya meleleh seperti yang kulihat sekarang. Napasnya tersengal. Seperti kulihat ketika ia baru naik tadi, setelah mengejar angkot ini sekadar untuk dapat secuil tempat duduk.Terima kasih, ujarnya ringan.Aku sebetulnya ingin ada sesuatu yang bisa diomongkan lagi, sehingga tidak perlu curi-curi pandang melirik lehernya, dadanya yang terbuka cukup lebar sehingga terlihat garis bukitnya.Saya juga tidak suka angin kencang-kencang. Tapi saya gerah. meloncat begitu saja kata-kata itu.

Baca Juga Kisah Sex : Cerita Nyata Suami Gue yang Payah di Ranjang

Aku belum pernah berani bicara begini, di angkot dengan
seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau kini aku berani pasti karena dadanya
terbuka, pasti karena peluhnya yang membasahi leher, pasti karena aku terlalu
terbuai lamunan. Ia malah melengos. Sial. Lalu asyik membuka tabloid. Sial. Aku
tidak dapat lagi memandanginya.Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas
angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku. Masih menutupi
diri dengan tabloid. Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit mobil. Sopir
menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan ia sejak bangkit
hingga turun. Mobil bergerak pelan, aku masih melihat ke arahnya, untuk
memastikan ke mana arah wanita yang berkeringat di lehernya itu. Ia tersenyum.
Menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon. Ia kerja di sana?
Atau mau gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya dikerlingkan, bersamaan
masuknya mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba
berdegup-degup.Bang, Bang kiri Bang..!Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah
suaraku mengganggu ketenangan mereka?Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek, sang
supir menggerutu sambil memberikan kembalian.Aku membalik arah lalu berjalan
cepat, penuh semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba
keberanianku hilang. Apa katanya nanti? Apa yang aku harus bilang, lho tadi
kedip-kedipin mata, maksudnya apa? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku
merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya
uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon
kubuka.Selamat siang Mas, kata seorang penjaga salon, Potong, creambath, facial
atau massage (pijit)..?Massage, boleh. ujarku sekenanya.Aku dibimbing ke sebuah
ruangan. Ada sekat-sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku
tidak melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke
arahku. Ke mana ia? Atau jangan-jangan ia tidak masuk ke salon ini, hanya
pura-pura masuk. Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini
membimbingku ke alam lain.Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong rambut
ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya berkeringat itu
begitu besar mengubah keberanianku.Buka bajunya, celananya juga, ujar wanita
tadi manja menggoda, Nih pake celana ini..!Aku disodorkan celana pantai tapi
lebih pendek lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih
terlihat. Aku menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di
kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat tubuhku dan
lebih sedikit. Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aku
tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil
itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.Tunggu ya..! ujar wanita tadi dari
jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika ia menerima kedatanganku.Mbak
Melly.., udah ada pasien tuh, ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas
mendengarnya dari sini.Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah yang
kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun dari speaker
yang ditanam di langit-langit ruangan.Langkah sepatu hak tinggi terdengar,
pletak pletok pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi.

Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.Halo..! suara itu mengagetkanku. Hah..? Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu? Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu bulu halus. Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat motifnya, hanya ingat warnanya.Mau dipijat atau mau baca, ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku, Ayo tengkurep..!Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aku kegelian menikmati tangannya yang menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Ia menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Ia menekannekan agak kuat. Aku meringis menahan sensasasi yang waow..! Kini ia pindah ke paha, agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan. Aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum begitu lama ia pindah ke betis.Balik badannya..! pintanya.Aku membalikkan badanku. Lalu ia mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Ia tidak bercerita apa-apa. Aku pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita. Dari perut turun ke paha. Ah.., selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu ia menjamah betisku, dan selesai.Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana dalamku.Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di punggung, dada, perut, paha. Aku tidak tahan. Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yang penuh gelora itu. Ah sial. Aku terlambat setengah jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Selly. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari esok.Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku duduk di belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos kencang hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.Mas Rendy.. hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat di lehernya. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.Aku tersenyum.

Baca Juga Cerita Dewasa : Pesta Seks Waktu Kelas SMP

Streaming video bokep Kania cewek langganan om-om colmek sambil berdiri

Ia tidak membalas tapi lebih ramah. Tidak pasang wajah
perangnya.Kayak kemarinlah.., ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi
wajahnya.Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kesialan, karena ia
masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk
bisa satu angkot dengannya. Atau jangan jangan ia juga disuruh ibunya bayar
arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak ada untungnya juga
ibu menyuruh bayar arisan.Mbak Melly.., gumamku dalam hati.Perlu tidak ya
kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong Mbak Melly menutupi wajahnya begitu. Itu
artinya ia tidak mau diganggu. Mbak Melly sudah turun. Aku masih termangu.
Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah:
Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke
bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing
baju cuma tujuh?Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau
belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja daripada
repot-repot. Anggap saja tiaptiap baju sama dengan jumlah kancing bajuku:
Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang lima lalu supir,
jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai
kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.Kiri Bang..!Aku lalu menuju
salon. Alamak.., jauhnya. Aku lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa
apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.Mau pijit lagi..? ujar suara wanita muda
yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.Ya.Lalu aku menuju ruang yang
kemarin. Sekarang sudah lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu
diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan celana
pantai.Mbak Melly, pasien menunggu, katanya.Majalah lagi, ah tidak aku harus
bicara padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan.
Suara pletak pletok mendekat.Ayo tengkurap..! kata wanita setengah baya itu.Aku
tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aku memang
benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.Telentang..! katanya.Kuputuskan
untuk berani menatap wajahnya. Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah
keringat karena kepayahan memijat. Ia cukup lama bermain-main di perut.
Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum
tersentuh kepala juniorku. Sekali. Kedua kali ia memasukkan jari tangannya. Ia
menyenggol kepala juniorku. Ia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke
pangkal paha. Ah mengapa begitu cepat.Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si
Junior sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, ia seperti tanpa
ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam ia mencuri pandang ke arah juniorku. Lama
sekali ia memijati pangkal pahaku. Seakan sengaja memainkan Si Junior. Ketika
Si Junior melemah ia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di
bagian pangkal paha. Lalu ia memijat lutut. Si Junior melemah. Lalu ia kembali
memijat pangkal pahaku.

Ah sialan. Aku dipermainkan seperti anak bayi.Selesai dipijat ia tidak meninggalkan aku. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di tubuhku. Aku duduk di tepi dipan. Ia membersihkan punggungku dengan handuk hangat. Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat. Bau tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah kepadaku.Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke pangkal paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan agar ia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini ia sebetulnya bisa melihat arah turun naik Si Junior. Kini pindah ke paha sebelah kanan. Ia tepat berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit tubuhnya. Tapi kakiku saja yang seperti memagari tubuhnya. Aku membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat.Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual. Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Ia terus mengelap pahaku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas tubuhnya terasa. Tapi ia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Si Junior tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani. Toh ia sudah seperti pasrah berada di dekapan kakiku.Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah, masak ia begitu berani tadi menyentuh kepala Junior saat memijat perut. Ah, kini ia malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku. Ia berlutut mengelap paha bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang membuat ia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang pahaku. Mulutnya persis di depan Junior hanya beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat ia hampir selesai membersihkan belakang paha. Ayo..!Aku masih diam saja. Sampai ia selesai mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat. Ia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas. Betulkan, ia tidak akan datang begitu saja. Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang.Aku hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Ia tersenyum melihatku.Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan, katanya.Ia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti sapu-tangan.Itu kali Mbak, kataku datar dan tanpa tekanan.Ia berjongkok persis di depanku, seperti ketika ia membersihkan paha bagian bawah. Ini kesempatan kedua.

Baca Juga Cerita Seks : Asiknya Buang Peju di Muka Carine

Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia tadi begitu
teliti membenahi semua perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu
tangan ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu,
juga pada sapu tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga.
Ayo..!Mbak.., pahaku masih sakit nih..! kataku memelas, ya sebagai alasan juga
mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.Ia berjongkok mengambil sapu
tangan. Lalu memegang pahaku, Yang mana..?Yes..! Aku berhasil. Ini.., kutunjuk
pangkal pahaku.Besok saja Sayang..! ujarnya.Ia hanya mengelus tanpa tenaga.
Tapi ia masih berjongkok di bawahku.Yang ini atau yang itu..? katanya menggoda,
menunjuk Juniorku.Darahku mendesir. Juniorku tegang seperti mainan anak-anak
yang ditiup melembung. Keras sekali.Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.Ia
berdiri. Lalu menyentuh Junior dengan sisi luar jari tangannya. Yes. Aku bisa
dapatkan ia, wanita setengah baya yang meleleh keringatnya di angkot karena
kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali ini dengan telapak tangan. Tapi masih
terhalang kain celana. Hangatnya, biar begitu, tetap terasa. Aku
menggelepar.Sst..! Jangan di sini..! katanya.Kini ia tidak malu-malu lagi
menyelinapkan jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dikocok-kocok sebentar.
Aku memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.Jangan di sini Sayang..!
katanya manja lalu melepaskan sergapanku.Masih sepi ini..! kataku makin berani.Kemudian
aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Ia menikmati, tangannya mengocok
Junior.Besar ya..? ujarnya.Aku makin bersemangat, makin membara, makin
terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia terengaengah, ia
menikmati dengan mata terpejam.Mbak Melly telepon.., suara wanita muda dari
ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.Mbak Melly
merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.Ngapaian sih di situ..?
katanya lagi seperti iri pada Melly.Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku
memasang ikat pinggang, Melly menghampiriku sambil berkata, Telepon aku ya..!Ia
menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. Pasti
terburu-buru. Aku langsung memasukkan ke saku baju tanpa mencermati
nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Melly. Ia tidak lagi dingin dan
ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita yang menjaga telepon datang, ia sudah
melumat Si Junior. Lihat saja ia sudah separuh berlutut mengarah pada Junior.

Untung ada tissue yang tercecer, sehingga ada alasan buat Melly.Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Ia hanya menampakkan diri separuh badan.Mbak Melly.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar ya..!Ya itulah kabar gembira, karena Melly lalu mengangguk.Setelah mengunci salon, Melly kembali ke tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung yang membuncah-buncah. Melly datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu, melepas pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan.Melly menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan air mani yang sudah di ujung. Bergantian Melly kini telentang.Pijit saya Mas..! katanya melenguh.Kujilati payudaranya, ia melenguh. Lalu Memeknya, basah sekali. Ia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.Aku sudah tak tahan, ayo dong..! ujarnya merajuk.Saat kusorongkan Junior menuju Memeknya, ia melenguh lagi.Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan Sayang. Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..! pintanya penuh manja.Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!Mbak Melly, telepon. kataku.Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.Ya sekarang Sayang..! katanya.Halo..? katanya sedikit terengah.Oh ya. Ya nggak apa-apa, katanya menjawab telepon.Siapa Mbak..? kataku sambil menancapkan Junior amblas seluruhnya.Si Reni, yang tadi. Dia mau pulang dulu ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu, kata Melly.Setelah beberapa lama menyodoknya, Terus dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..! dia mendesah keras.Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar lagi Mbak Mimi yang punya salon ini datang, biasanya jam segini dia datang.Aku langsung beres-beres dan pulang. Demikian lah Cerita Porno Ngewe Di Tempat Pijit PlusPlus oleh Cerita sex hot

Streaming video ngewe cewek amoy dientot robot dildo