Umurku 27 tahun dan baru pindah kos ke tempat yang baru. Sedang istri dan seorang anakku masih tingal di kota tempatku bekerja, karena aku tugas belajar selama 2 tahun di kota ini. Nek Suminten berusia 58 tahun, memiliki empat anak dan 9 orang cucu. Dia seorang janda yang memiliki 25 kamar kos, serta memiliki beberapa karyawan.
Aku tinggal di sudut kiri tempat kos-kosan itu, menyewa sebuah kamar ukuran 2 x 3,5 meter. Ada kamar mandi di dalam serta di ruang itu, aku memiliki sebuah meja kecil dan sebuah kursi, serta sebuah tempat tidur dan ada sebuah sudutnya yang bisa kupasangi kompor dan peralatan masak. Sekedar untuk masak sarapan pagi, karena siang aku harus makan di kantin tempatku tugas belajar dan malam juga lebih sering aku makan di luar. Malah sarapan pagi juga aku lebih sering di luar.
Orangtuaku dan mertuaku setiap bulan mengirimiku uang, hingga gajiku yang diambil istriku juga setiap bulan ditambahi oleh orangtuaku dan Mertuaku. Selama aku tugas belajar, isteri dan anakku, tinggal bersama mertuaku.
Pukul 20.00 WIB aku masih menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dosen kami. Saat itu aku hanya memakai kain sarung dan telanjang dada. Aku tidak memakai celana dalam, karena sangat gerah. Kipas angin berukuran kecil yang tersedia juga rasanya tak mampu menghalau rasa gerah. Karena penat, aku keluar dari kamarku dan duduk di bawah pohon ceri di depan jendelaku. Saat itu Nek Suminten keluar pula dari kamarnya dengan mamakai daster longgar. Aku melihat dia juga tidak memakai Bra.
“Eh.. Nak Rudy, belum tidur ya?” sapanya dengan senyum khasnya. Bila dia tersenyum begitu manis sekali. Apakah karena aku sudah empat bulan tak berhubungan seks? Giginya kelihatan rapi berbaris, putih dan bersih, sma dengan kulit tubuhnya. Rambutnya yang setiap minggu dia cat, selalu kelihatan hitam berkilat.
“Gerah sekali, Nek,” kataku. Nek Suminten terkenal cerewet bila dengan anak-anak mahasiswa yang masih remaja, karena mereka suka berbuat onar dean tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. seperti buang sampah sembarangabn. Tidak mau membersihkan beranda kamar masing-masing dan membuat air seenaknya saja. Mereka diam-diam menyebut Nek Suminten dengan sebutan Nek Lampir.
Nek Sumi, begitu aku selalu memanggilnya, duduk di sisi kananku. Aku melihat dengan jelas, buah dadanya bergoyang, membuatku jadi tegang tak karuan. Kami bercerita apa saja dan Nek Sumi sembari menggoyang kipas tangannya, menghalau rasa gerah.
“Nenek awalau sudah tua masih tetap cantik dan tubuh Nek Sumi masih kelihatan padat,” aku memancing dan menanyakan apa rahasianya. Kulihat Nek Sumi tersipu. Mungkin tak pernah anak-anak kos memujinya selama ini, bahkan selalu mencari gara-gara untuk ribut.
“Ah.. kamu ini ada-ada saja,” bantahnya tersipu. Aku kira langkah awalku sudah kena.
“Sunguh Nek. Masih menggemaskan setiap lelaki,” kataku meyakinkan dan berupaya berkata sejujur mungkin.
“Ah… mungkin karena Nak Rudy mungkin sudah ruindu dikeloni oleh isteri,” katanya sembari tersenyum dan mencubit pahaku dengan gemas.
“Justru, aku selalu teringat ibuku, Nek. Aku rindu sekali pada ibuku. Biasanya kalau aku sedang risau, ibu selalu datang menyabarkan diriku sembari mengelus-elus kepalaku, mirip perlakuan pada anak bayi,” kataku pula.
“Oh.. jadi kamu rindu ibu ni?” katanya. photomemek.com Aku mengangguk. Saat dia menunduk mengambil kipasnya yang terjatuh, aku jelas melihat teteknya yang sudh molor, tapi mulus dan putih. Kontan kontolku mengeras dan berontak.. Kutatap buah dadaku itu lekat-lekat.
“He kamu melamun, lihat apa sih?” kata Nek Sumi sembari memperbaiki dasternya, karean dia tahu aku melihat buah dadanya. Dia mencubit kembali pahaku dan berkata:” BUah dada yang sudah peot begini, masih dilirik.”
“Tua, tapi masih OK punya Nek. AKu jadi gemas dan kepingin,” kataku berterus terang. Keberanianku, karena Nek Sumi memberiku respons.
“Ah, kamu ini ada-ada saja,” ujarnya lebih genit lagi.
“Sunguh, Nek. AKu kepingin, nih,” kataku semakin berani.
“Awas nanti ada orang, baru nyaho kamu,” ancamnya.
“Kan hanya kita berdua, Nek?” jawabku lebih cepat dan kontolku semakin mengeras. Nek Sumi tersenyum penuh arti. Kami pun diam sesaat. Kami hanyut dengan pikiran kami masing-masing.
“Nek… aku kepingin, nih,” kataku bermanja.
“Hussst… nanti didengar orang. Gak baik,” kata Nek Sumi. Dalam hatiku, aku sudah berada pada sasaran. Buktinya dia hanya takut di dengar orang.
“Ini rahasia kita dong,” kataku menyerang.
“Ih.. laki-laki mana bisa jaga rahasia?” Nek Sumi berkelit. Kulihat ke kiri dan ke kanan.
“Pokoknya aku bisa jaga rahasia. Kalau aku gak bisa jaga rahasia, mana mungkin aku sampaikan niatku ini. Aku sudah punya isteri dan anak, ya aku harus jaga rahasia sekuat-kuatnya Nek,” kuyakinkan Nek Sumi. Nek Sumi hanya tersenyum.
“Nek, aku duluan masuk ke kamarku, ya. Bila nenek sudah merasa aman, nenek masuk aja. Pintu tidak aku kunci,” kataku meyakinkan dan aku langsung meninggalkannya tanpa menungu jawabannya. Aku memasuki kamarku dan menutup pintu. Kuintip Nek Sumi dari lubang kunci. Dadaku berdegup kencang menunggunya. AKu melihat Nek Sumi celingak-celinguk kiri dan kanan dengan sangat awas. Hatiku gembira. Itu pertanda Nek SUmi akan datang ke kamarku. Tapi bagiku menunggu waktu itu sangat lama. Hampir setengah jam aku mengintipnya dari lubang kunci, akhirnya Nek Sumi berdiri. Setelah melihat kiri dan kanan, dia melangkah cepat ke arah pintu kamarku dan membuka pintu kamarku. Saat itu aku cepat menariknya dan mengunci pintu. Saklar lampu langsung kumatikan dan kami saling berbisik.
“Hati-jati jangan sampai ketahuan orang lo,” katanya. AKu diam. Langsung kupeluk Nek Sumi. Aku melapaskan sarungku dan aku sudah telanjang bulat. Cepat pula kuangkat daster Nek Sumi yang longgar itu dan… Astaga, Nek sumi juga tidak memakai apa-apa, selain daster longgarnya itu. Walau dalam keadaan remang-remang, aku melihat tubuhnya yang putih mulus walau agak gempal. Perutnya sudah berlipat dan pahanya juga sangat rapat. Cepat kukecup bibir Nek Sumi dan memeluk tubuh telanjangnya. Nek Sumi cepat pula membalas kecupanku. Lidah kami sudah mulai menari-nari dengan lincahnya.
Buah pantatnya yang besar, membuat aku semakin semangat dan kutuntun Nek Sumi ke atas ranjangku. Kunyonyot pentil teteknya yang besar dan kuremas-remas buah dadanya yang walaupun sudah molor, tapi masih terasa kenyal. Kujilati lehernya dan aku mengelus-elus memeknya yang sudah mulai basah itu.
“Cepat sayang.. memek Nenek dimasuki saja,” bisiknya manja. Duh manjanya ucapannya itu, membuatku semakin bersemangat. Aku mulai menusukkan kontolku ke dalam memeknya yang licin tanpa bulu. Nek Sumi ternyata sangat rajin mencukur bulu-bulu yang tumbuh di memeknya itu.
Perlahan aku mulai memompanya. Suara kecepak dan kecepuk terdengar setiap kali aku menyodok dan menarik kontolku. Licin sekali memeknya. Aku semakin bergairah, Kuangkat kedua kaki Nek Sumi ke bahuku dan aku memompanya secara teratur. Nek Sumi kesenangan dan nafasnya mendesah-desah. Diremasnya kedua tanganku dengan kuat, sembari dia menggigit bibirnya dan mengeluarkan suara erangan yang panjang. Aku terus memompanya.
“Hayo sayang… jangan siksa aku. Keluarkan didalam…” desisnya sembari mengerang. Dengan kuat kutusuk kontolku sedalam mungkin dan kupeluk tubuhnya yang gemuk itu, lalu kusemprotkan beberapa kali spermaku ke dalam memeknya yang hangat itu. Walau dia sudah monopause, memeknya masih terasa licin sekali dengan lendirnya yang hangat. Kami saling berpelukan dan tersenyum. Begitu kontolku keluar, dia cepat cepat memakai dasternya dan mengecup pipiku.
Dia minta aku keluar lebih dulu dan duduk di kursi di bawah pohon ceri. Bila sudah aman dia minta aku mengeluarkan suara jentitan pada pertemuan ibu jari telunjukku dan jari tengah. Dalam hati, Nek Sumi memang perempuan lihai. Mungkin dia juga sering selingkuh dengan laki-laki lain. Setidaknya aku mendapatkan kepuasan seks darinya. Setelah aku merasa aman, aku memberinya kode dan dia cepat keluar dan duduk di sampingku. Sembari sama-sama merokok kami kembali bercerita.
Malam itu juga Nek sumi menyatakan cintanya padaku. Aku terkejut, Tap Nek SUmi meyakinkanku, kalau kami hanya pacaran saja. Dia tidak akan menuntut untuk dinikahi. Yang penting dia bisa dipuasi bathinya. Aku setuju. Jadilah Nek sumi pacarku selama dua tahun aku di kotanya dan aku bebas dari sewa kamar. Bahkan aku selalu mendapat makanan gratis masakan istimewa.
Bukan itu saja. Karena akua mengaku orang kampung dan aku orang miskin, tak jarang pula Nek SUmi memberiku uang, menyelipkannya di saku bajuku. Untuk uang jajan, katanya. AKu tersenyum dan menerimanya. Pokoknya kami dua kali seminggu melakukan hubungan seks dan saling memuaskan.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,