Tanteku dan keluarganya pindah ke rumah yang baru. Rumah lamanya mau disewakan, tapi untuk sementara belum ada orang yang menyewa, Tanteku menyuruh aku menjaga rumah lamanya, sebab masih banyak barang yang belum dipindahkan ke rumah yang baru.
Rumah Tanteku mempunyai 2 lantai. Bagi yang mau menyewa satu lantai saja, yaitu rumah utama di lantai dasar, diperbolehkan. Tanteku menjanjikan aku komisi jika ada orang yang menyewa rumahnya. Misalnya uang sewanya 1 juta perbulan, aku mendapat 20% yaitu 200 ribu rupiah.
Wah, jadi makelar nih gue.. hee.. hee..
Nasib baik memihak padaku ternyata. Rumah Tanteku ada orang yang mau sewa selama 1 tahun yaitu rumah yang bagian lantai dasarnya saja, sedangkan untuk lantai 2, Tanteku tetap menyuruh aku yang menjaganya.
Supaya kelihatan bagus dan bersih, Tanteku menyuruh seorang tukang cat untuk mengecat rumah yang akan disewakan tersebut. Barang-barang bekas seperti buku-buku bekas, majalah bekas, koran bekas dan baju bekas Tanteku menyuruh aku memindahkannya ke lantai atas.
Setelah dicat 2 hari, Tanteku datang menengok rumahnya. Waktu itu aku sedang membaca majalah-majalah bekas di salah satu kamar yang kutempati di lantai atas.
“Tante numpang tukar pakaian ya, Her?” kata Tanteku masuk ke kamar.
“Ya Tante,” jawabku tidak memperhatikan Tanteku.
“Itu buku-buku sama majalah, kalau kamu nggak mau pake, kasihkan ke orang saja, Her…” kata Tanteku.
“Aku jual saja sama pemulung ya, Tante…” jawabku memandang Tanteku yang berdiri membelakangiku di belakang pintu kamar.
Oo… auuhh… aduhh… Tanteku sedang melepaskan celana panjang yang dipakainya, sedangkan bagian atas tubuhnya yang sudah tidak berpakaian terlihat selembar BH berwarna ungu melilit di punggungnya…
Tanteku bernama Ariana, isteri dari kakak sepupu Papaku. Anaknya 4 orang, 2 laki-laki, 2 perempuan dan sudah punya cucu 2 orang dari anak pertamanya. Ia berumur kira-kira 50 tahun, tapi badannya masih bagus. Pantatnya montok.
Aku mau mengalihkan pandanganku kembali memilih majalah, rasanya sayang banget. Lalu aku mencari alasan dan aku teringat pesan Pak Salim tadi pagi.
“Tante, tadi Pak Salim ngomong, cat-nya kurang.” kataku membuat Tanteku yang hanya memakai BH dan celana dalam itu memandang aku.
Dag dig dug jantungku melihatnya. “Masih kurang berapa kaleng? Kamu belikan saja!” ujar Tante Ria seraya meninggalkan belakang pintu memakai BH dan celana dalam menuju ke tasnya yang diletakkan di atas tempat tidur.
Aku pura-pura tidak tahu dan kembali melaksanakan tugasku memilah dan memilih majalah bekas. “Nih duitnya, Her…” panggil Tante Ria tak lama kemudian.
Aku bangun dari tempat dudukku di lantai dengan tak tenang, lalu kudekati Tante Ria yang sedang membuka dampetnya mengambil duit untukku membeli cat.
Apa reaksi Tante Ria saat ia memberikan uang padaku untuk membeli cat? Ia tersenyum saat aku melihat dadanya. Payudaranya montok, aku menelan ludah melihatnya. “Kenapa, sampai matamu nggak berkedip gitu memandang Tante? Apa Tante masih menarik menurut kamu?”
“Hee.. hee.. iya sih…” jawabku tertawa kecil.
“Nih duitnya, pergi beli cat dulu sana…! Nanti nggak jadi pergi-pergi deh kamu melihat Tante sampai begitu…”
Aku ambil duitnya. “Uhh… uuhh… Herman… Herman… ada kalajengking di belakang kamu…!” teriak Tante Ria. “Cepat dipukul… cepat dipukul!”
Anak kalajengking. Aku pukul dengan sandal sampai mati, lalu kudorong keluar dari kamar. Tante Ria duduk di tempat tidur mengangkat kedua kakinya ketakutan.
“Soalnya Tante sudah pernah digigit kalajengking waktu masih kecil,” katanya dan kulihat gumpalan daging indah di sela pahanya yang terbungkus celana dalam berwarna krem. Pahanya putih mulus.
“Sudah… sudah… sudah… pergi sana! Tante sudah nggak enak digituin, sudah alot!” katanya mengusir aku pergi membeli cat.
“Ahh Tante, memangnya aku mau gituin Tante?” jawabku sombong, padahal air liurku tak henti-hentinya kutelan ingin merasakan gumpalan daging indah yang terdapat di sela pahanya itu.
“Herman, jangan gitu dong!” kata Tante Ria saat aku mau melangkah pergi dari kamar.
Ia turun dari tempat tidur menghampiriku. “Kamu mau?” ia bertanya padaku. “Tapi janji ya, jangan sampai ketahuan sama siapapun. Ayo, lepaskan celana kamu!” suruhnya. “Eh.. malah berdiri begong? Mau nggak?”
Tante Ria berkata tulus. sambil aku membuka celana pendekku, aku melihat Tante Ria membuka tasnya mengambil sesuatu. “Ahh… besar juga ternyata!” katanya saat ia melihat kemaluanku sembari tangannya memegang botol body lotion.
Tante Ria lalu membuka tutup botol body lotion. Cairan kental harum berwarna putih itu dituangnya di telapak tangan, kemudian telapak tangannya mendekap kemaluanku yang mulai tegang. “Biar gampang masuk..” katanya sembari meremas-remas kemaluanku.
Aku memegang lengannya dan kucium pipinya yang sudah tidak mulus, tapi sudah berflek kecil-kecil berwarna hitam itu. “Tanteku Sayang…” bisikku.
“Ihh… jadi besar begini… muat enggak nih di lubang Tante…” katanya setelah kemaluanku berkembang keras menjadi seperti sebatang pentungan satpam.
Darah mudaku mendidih saat Tante Ria sudah melepaskan celana dalamnya. Bulu yang tumbuh di atas belahan vaginanya hanya sejumput kecil, sehingga tak pelak aku bisa melihat belahan vaginanya.
Ia berbaring di tempat tidur membuka lebar pahanya. “Ayo…” ajaknya. “Aihh… aaihh… aiihh… nakal kamu, pakai cium segala…!” serunya saat kutunduk ke gundukan yang tumbuh bulu itu.
“Uughh… aiihh… pelan-pelan jilatnya, jangan tergesa-gesa…”
Vagina Tante Ria bau sesuatu. Bibirnya menonjol keluar seperti dua lapis daging tipis. Kutangkupkan mulutku di vagina Tante Ria dan kuhisap kedua iris daging itu. “Aiihh… enak, Her…!” seru Tante Ria.
“Lubangnya… lubangnya… masukin lidah kamu…. aaghh… uuughhh… sedapnyaa… Hermanku Sayang… kamu pintar banget menyenangkan wanita… uuugghh.. aiihhh… enakk… Herman..!” celoteh Tante Ria saat kukilik-kilik lubang vaginanya dengan lidahku.
Lubang vagina Tante Ria basah oleh ludahku dan tampak keras menganga. “Yang diatas itu… yang diatas itu… uuughhh… ssshhhtt… aaahhh…. Hermaa..aaannn… Tante mau keluaaa…arrrr… “ rintihnya saat kuhisap kelentitnya yang membengkak keras seperti sebiji kacang kedelai.
Batang kemaluanku semakin tegang. “Oooohhhh….. Hermaaaa…aaannnn….” teriak Tante Ria mencengkeram seprei dengan kedua tangannya. Tubuhnya kejang!
“Ooohhh…. “
Tante Ria sudah orgasme, lalu kunaik ke tubuhnya. Ia memegang batang kemaluanku kemudian ditekannya ke lubang vaginanya. “Masukin pelan-pelan…” suruhnya. “Penismu besar, takut memek Tante koyak nanti…”
Haa… haa… aku tertawa dalam hati sambil kudorong masuk pelan-pelan batang kemaluanku ke lubang vagina Tante Ria. Jlebb… jleebb.. bless… jlebbb… jleebbb… bleee..eesss… aahhhh…. Herman… penismu enak… teriak Tante Ria saat batang keras itu sudah masuk semua ke dalam lubang surga dunia milik Tante Ria.
Tante Ria menaikkan BH-nya. Pentil teteknya kecil. Saat kuhisap, pentil itu selalu meleset keluar dari mulutku. Kuayunkan batang kemaluanku, sementara itu pantat Tante Ria ikut bergoyang.
Bless.. sleeppp… blesss… sleeppp…. batangku keluar masuk menggesek-gesek dinding nikmat Tante Ria. Kucium bibirnya. “Sungguh-sungguh enak penismu, Herman…” kata Tante Ria.
“Tante sih, tadi jual mahal…”
Tante Ria mencubit pinggangku. “Yang pertama atau yang keberapa nih?”
“Menurut Tante, yang keberapa, ayo?” balasku sambil kugoyang-goyangkan batang kemaluanku keluar-masuk di lubang nikmat Tante Ria.
“Oohhh…. mau lagi Herman… kayak tadi…” kata Tante Ria mau orgasme lagi.
Kuhentikan goyanganku dan kucium bibirnya. Saat itu aku bisa merasakan dinding kemaluan Tante Ria berdenyut-denyut. Ia menghisap mulutku dalam-dalam sambil vaginanya didorong kekuatnya ke batang kemaluanku hingga batang kemaluanku tenggelam sampai dasar kemaluannya, kurasa!
Aku benar-benar tak tahan saat itu. Aku tidak menghiraukan panggilan Pak Salim, “Dik Herman… Dik Herman… Ibuu… Ibuu…” lagi. Aku keluarkan air maniku di dalam vagina Tante Ria.
CRROOTT… CRROOTT… CRROOTTT…
“Ooooohhh…. Sayangg… ooohhh…. Sayangg…. “ lenguh Tante Ria merasakan nikmatnya air maniku menembak di rahimnya.
“Iyaa… iyaa… iyaa… Pak Salim, ada apa?” tanya Tante Ria kemudian masih kutindih.
“Catnya kurang Bu, tapi aku pulang makan dulu…”
“Nihh… Pak Salim… Pak Salim yang beli aja catnya…” seru Tante Ria mendorong aku pergi dari tubuhnya.
Batang kemaluanku yang masih setengah tegang lepas dari lubang kemaluan Tante Ria, lalu Tante Ria bangun dari tempat tidur pergi ke belakang pintu memakai dasternya.
Aku memberikan duit untuk membeli cat pada Tante Ria. Setelah Tante Ria memberikan uang untuk membeli cat pada Pak Salim, Tante Ria kembali ke tempat tidur melepaskan dasternya. Ia memelukku yang masih telanjang.
“Sekali lagi… masih kuat nggak?” kata Tante Ria tersenyum padaku.
“Ayo…” jawabku.
Selama seminggu aku dan Tante Ria bermain seks dengan berbagai gaya sampai anusnya pun ia berikan padaku. Entah ia bosan apa tidak, yang jelas aku bosan. Dan sejak yang menyewa rumah pindah ke rumah Tante Ria, Tante Ria sudah tidak datang lagi padaku.
Yang menyewa rumah Tanteku namanya Rudi. Karena ia lebih tua dariku dan anaknya sudah 2 orang dan satu masih bayi, aku memanggilnya Koh Rudi. Istrinya kemudian kukenal namanya, A Cin dan aku memanggilnya Cik A Cin.
Cik A Cin orangnya baik. Ia masak apa-apa suka memanggil aku untuk makan, tapi selalu bisa kutolak dengan halus sebab aku melihat keluarga Koh Budi bukan keluarga yang berada. Ruang tamunya masih kosong dan kamar tidurnya hanya selembar kasur busa digeletakkan di lantai.
Tapi aku senang karena ada teman untuk ngobrol di rumah, dan lama-kelaman aku dengan Koh Budi dan Cik A Cin makin akrab.
Karena keakraban kami, suatu hari Koh Rudi tidak ada di rumah, Cik A Cin berkata padaku sambil menentek anaknya duduk di lantai. “Koh Rudi itu suka berjudi, Her…”
“Tapi aku melihat Cicik sabar banget…”
“Aku berharap suatu hari Koh Rudi bisa berubah Her… tau nggak kamu, kalau uang kontrak rumah ini dibayarin oleh kakaknya?” kata Cik A Cin padaku.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya dan kemudian aku melihat anak bayinya Cik A Cin yang baru berumur 5 bulanan itu mengeluarkan pentil susu yang dikenyotnya.
“Nah, siapa tuh…?” kata Cik A Cin menghadapkan wajah anak bayinya ke arahku yang duduk di kursi plastik tidak menutupi teteknya.
Aku bergidik melihat pentil tetek Cik A Cin yang besar basah berwarna hitam gelap itu, sedangkan teteknya sendiri montok kencang menggantung.
Cik A Cin berwajah biasa-biasa saja. “Sudah kenyang ya, Dek?” tanyaku.
“Kuat neteknya…!” kata Cik A Cin.
Aku bangun dari kursiku mendekati Cik A Cin. Aku elus-elus pipi bayinya yang mulus. “Gantian Kokoh yang minum, ya?” godaku.
Si Dedek tersenyum. “Hee… hee… boleh tuh, Koh… katanya…” Cik A Cin yang menterjemahkan bahasa tersenyum anaknya.
Aku memandang Cik A Cin. “Boleh nih aku hisap teteknya Cicik?” tanyaku.
“Asalkan kamu nggak minta kalau Koh Budi ada di rumah aja…”
“Ohh… Koh Budi nggak ada di rumah?” tanyaku.
“Kakaknya ngajak ke Cirebon tadi pagi, pulangnya besok..”
“Ari juga ikut?”
“Ari nggak ke sekolah sampai besok, ia minta nginap di rumah Oomnya… banyak mainan, banyak makanan…” jawab Cik A Cin.
“Bebas sampai besok dong kita…” kataku senang.
“Tidur di sini, ya?” ajak Cik A Cin.
Ehemm…. ehemmm… ehemmm….
Sejurus dengan itu, aku sergap Cik A Cin dengan melumat bibirnya, kami berciuman, saling melumat bibir, air liur kami saling bersatu dan saling melilit lidah.
“Tutup pintu, kita di kamar saja…” kata Cik A Cin. “Kamu sudah makan belum? Makan dulu baru main, nanti masuk angin lho main dengan perut kosong…”
Di dalam kamar, Cik A Cin meletakkan bayinya di pinggir kasur dekat dinding. Kemudian ia melepaskan pakaian yang dipakainya, aku juga melepaskan pakaian yang kupakai.
Setelah itu, aku pun tidak tinggal diam lagi. Sambil menetek, aku mengelus vagina dan kelentit Cik A Cin dengan tanganku. Mendapat serangan seperti ini, Cik A Cin mendesah, “Aacchh… emmhh…. eeeemmmmhhh… aaaacchhh, oohh nikmat banget…!!”serunya
Tangan Cik A Cin terus meremas batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat. Kemudian jari tengahku kucoba masukkan ke lubang vaginanya. Ternyata vagina Cik A Cin sudah sangat basah sampai cairan pelumasnya meleleh keluar dari vaginanya.
Dengan segera aku berganti posisi, lalu aku sapukan lidahku pada lubang vaginanya, terus aku masukan lidahku. Mendapat perlakuan ini Cik A Cin blingsatan, tubuhnya bergetar. Aku terus menjilati lubang vaginanya, kadang-kadang aku gigit dengan gemas bibir vaginanya.
“Ooooccchhh…. mmmhhhmhhhhhcchh….. aaaaccchhh…”
Tubuh Cik A Cin mengejan, meliuk seperti cacing kepanasan. Ia orgasme!
Aku membiarkan sejenak ia menikmati kepuasannya. Setelah itu, aku arahkan batang kemaluanku, ia tau apa yang harus dilakukannya. Segera ia meremas batang kemaluanku kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya mengulum batang kemaluanku.
Cik A Cin dengan rakusnya menyepong batang kemaluanku. Srruullpp…. srruulpp…. srlluupp, suara indah muncul ketika ia memaju-mundurkan batang kemaluanku di mulutnya.
Kenikmatan yang tiada tara sedang kurasakan, aku sedang mengentot mulut Cik A Cin. Lalu aku pegang kepalanya dengan kedua tanganku kemudian aku membantunya untuk mempercepat sepongannya. Cik A Cin tampak kewalahan, air liurnya menetes di sela-sela bibirnya.
Ssrruulluupp….. ssrruulluupp…
Tanpa membuang waktu aku tunggingkan tubuh Cik A Cin dan segera kubenamkan batang kemaluanku ke dalam vaginanya yang sudah sangat membanjir itu. Aku entot vaginanya dalam posisi sujud.
Aku terus memompa vagina Cik A Cin dan Cik A Cin mengimbanginya dengan menggoyang-goyangkan pantatnya. Batang kemaluanku terasa enak seperti di pijit oleh dinding vaginanya.
Cik A Cin tidak banyak mendesah dan berteriak seperti Tante Ria. Aku semakin cepat dan semakin dalam menghujamkan batang kemaluanku ke dalam vaginanya. Tak lama kemudian Cik A Cin mendapatkan orgasmenya yang kedua.
Bersamaan dengan itu,tiba-tiba aku merasa batang kemaluanku diperas dan dihisap lubang vagina Cik A Cin. “Oookkkhhh….. Cicikk… oookkkkhhh…” erangku tak kuasa menahan nikmat.
Kupercepat gerakan batang kemaluanku keluar-masuk vagina Cik A Cin sambil meremas teteknya yang menggelantung di dadanya. Tak lama kemudian kudesakkan kontolku sedalam-dalam ke vaginanya.
Croott…! Croott….! Croott…!
Air maniku menyembur-nyembur di dalam vaginanya sangat banyak seiring rasa nikmat yang kurasakan, tubuhnya ambruk tersungkur di kasur bersama dengan tubuhku yang menindihnya dari belakang.
Napas kami memburu. Lalu kubisikkan kata-kata mesra di telinganya. “Aku mencintai Cicik…” kataku.
Cik A Cin mencubitku. “Oohh gitu yaa…”
“Mulai sekarang aku bisa ngentot Cicik kapan pun…” kataku.
“Hii… hiikk… kalau gitu, jangan panggil aku Cicik lagi dong…”
“Iya, Mama…” jawabku serius.
“Aku juga mencintaimu, Her…” balasnya
Kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Entah sampai kapan, aku terbangun dan melihat jam sudah pukul 16:30. A Cin, begitu aku memanggilnya sekarang, tidak berada di sampingku. Tapi tak lama kemudian ia masuk ke kamar membawakan aku secangkir kopi.
Ooohhh indahnya hidup ini.