Sore itu saya pulang kerja, saya bertemu dengan Mbak Sari yang sedang menyapu di depan rumahnya. Mbak Sari tinggal di sebelah rumah saya bersama suaminya Mas Priyo dan kedua anaknya, Fani dan Fandi.
Kami bertetangga baik. Mbak Sari tersenyum melihat saya, lalu ia bertanya pada saya. “Mar… di kantor kamu ada pekerjaan, nggak?”
“Buat Mbak?” tanya saya.
“Bukan, tetapi kalau ada yang mau terima Mbak bekerja, boleh juga sih… nyapu kantor nggak apa-palah, he..he..”
Saya tau bahwa Mbak Sari bukan ngomong yang sebenarnya dengan saya, ia bercanda dengan saya, maka sayapun menimpali Mbak Sari dengan candaan pula, “Ada sih… tapi masa nyapu kantor sih Mbak? Mbak jadi sekretaris juga masih cocok…” kata saya. Memang Mbak Sari cocok menjadi sekretaris, kecantikannya menunjang.
“Ha..ha… bukan buat Mbak, Umar… tapi buat Fani, katanya sudah nggak mau melanjutkan sekolah lagi, pengen kerja ajaaa…”
“O… kalau di kantor saya nggak ada lowongan, Mbak… nanti saya coba tanya sama teman saya…” jawab saya.
Ngobrol saya dengan Mbak Sari terputus sampai di sini, dan saya juga sudah hampir lupa kalau saja teman saya Stanley tidak telepon saya menanyakan apakah saya ada saudara atau kenalan yang mau bekerja, ia membutuhkan seorang kasir untuk coffee shop-nya.
Saat itu juga saya langsung teringat dengan Fani, anak Mbak Sari dan Mas Priyo yang ingin bekerja.
Setelah saya selesai telepon dengan Stanley, cepat-cepat saya pergi ke sebelah rumah saya. “Tok… tok… tokk… Mass…. Mbakk….”
“Yaaa…. sebentar….” terdengar suara yang menjawab saya itu sangat jauh, tetapi saya bisa menebak kalau suara tersebut adalah suara Mbak Sari.
Sebentar kemudian terdengar klekk… suara pintu dibuka. “Ehhh…. Mar, tumben malem…..” ujar Mbak Sari kaget membuka pintu.
“I.. iyaa… Mbak…” jawab saya juga kaget.
Tapi segera ditimpali dengan senyuman Mbak Sari yang menggoda. “Nggak usah sampai gemetar gitu kali Umar, Mbak sudah tuek… hee… he… ayo, masuk…”
“Saya hanya mau memberitahukan sama Mbak saja…” kata saya sebelum Mbak Sari masuk ke kamar mengganti pakaian, “Nggak pakai lama…” karena saat itu Mbak Sari barusan selesai mandi masih memakai handuk dan rambutnya juga basah. Maka itu saya berbicara tadi agak sedikit tergagap dengan Mbak Sari.
“Saya mendapat pekerjaan untuk Fani di coffee shop teman saya, Mbak… sebagai kasir.” kata saya. “Besok siang Fani disuruh ke sana.”
“O… iya…??? Tapi Fani gak ada di rumah, Mar… Fani lagi pergi ke rumah neneknya dengan Fandi dan papanya…”
“O… okelah kalo gitu… nanti saya ngomong dengan teman saya biar wawancaranya ditunda saja sampai Fani pulang. Kapan kira-kira Fani pulang, Mbak?”
“Nanti Mbak coba telepon sama bapaknya ya, Mar…”
“Kalau gitu, saya permisi dulu ya, Mbak…”
“Ngapain buru-buru Mar…. bini kamu belum pulang kerja kan? Duduk dululah….”
Saya sangat sulit untuk menolak permintaan Mbak Sari, apalagi setelah ia menukar handuknya dengan celana legging ketat ukuran sedengkul, kaosnya yang juga ketat dan sepertinya ia tidak memakai BH… aduhaii…haii… payudaranya tampak jelas menggelantung dengan puting yang bukan tegak berdiri, melainkan menunduk.
Mbak Sari datang dari dapur membawa segelas minuman untuk saya, saya pandangi Mbak Sari sampai mata tak berkedip.
“Ngelamun aja…!” kata Mbak Sari menepuk paha saya, plokk… sambil meletakkan pantatnya di samping saya. “Lagi puasa, ya…” ia bertanya.
“Nggak…!” jawab saya. “Istri saya belum cuti haid…”
“Iya… ya, Mar… Mbak kayaknya sudah mau menopause kali ya… haid sudah dikiii..iittt…. banget, dan main juga sudah gak sedap kayak dulu lagi…” kata Mbak Sari.
Mbak Sari mengeluh apa curhat pada saya, tanya saya dalam hati.
Langsung saja saya sambar Mbak Sari, “Sudah jenuh kali, Mbak….. setiap hari itu-itu saja jadi membuat Mbak nggak napsu…. he..he… maaf ya, Mbak…. kok saya jadi nasehati Mbak, ya….” kata saya. “Tapi boleh dicoba Mbak, kalau Mbak mau… sekali-sekali ganti pasangan….”
“Kamu berani…? Binimu cemburuan begitu, hiii….!”
Saya terprovokasi. Ucapan Mbak Sari sungguh menggoda saya. Tanpa berpikir panjang saya segera menjulurkan tangan saya merangkul leher Mbak Sari dan mendekatkan bibir saya mencium bibirnya. “Mmmpphh…. aahhh… mmmpphh… ooohhh….” desah Mbak Sari antara melawan dan kepengen.
“Plokk…” Mbak Sari menepuk paha saya setelah ia berhasil melepaskan dirinya. “Pintu terbuka begitu… gila lu kamu, Umar…. main nyosor aja…”
“Ya sudah, saya pulang dulu…. maaf…” kata saya mengangkat pantat saya dari kursi dan Mbak Sari segera memegang tangan saya.
“Mar….” ucap Mbak Sari memandang saya dengan mata tak berkedip.
Di bawah kelopak matanya sudah tampak kerutan, tetapi kecantikannya belum memudar. Dengar-dengar dulu Mbak Sari pernah menjadi pramugari di sebuah perusahaan airline swasta. Nasiblah yang telah merubahnya hidup tidak setimpal dengan profesinya yang dulu penuh dengan glamour.
Saya duduk lagi… saya merangkulnya lagi… saya mencium bibirnya lagi… kini berjalan mulus tanpa penolakan dari yang empunya bibir. Malahan Mbak Sari menggeluti bibir saya dengan penuh napsu.
Sebagai tetangga sebelah rumah seharusnya saya menolak, tetapi karena rasa penasaran dan napsu pula yang membuat saya sulit untuk berpikir logis. Apalagi Mbak Sari — menurut saya — masih layak untuk dikencani. Tubuhnya masih bagus, hanya saja payudaranya yang sudah kendor.
“Oohhh… ooohhh…. mmmmpphh… Maaa…aarr…. ooohhh…. mmmpphss… oohhh…. oohhhh….” Mbak Sari mendesah-desah di tengah pergulatan bibirnya dengan bibir saya.
Tangannya juga sudah tidak bisa diam lagi meraba-raba dan meremas-remas tubuh saya. Sampai akhirnya penis saya yang tegang menantang dicengkeramnya. Kebetulan saya lagi tidak memakai celana dalam. Pikir saya, saya hanya sebentar ke rumah Mbak Sari, ternyata….
Mbak Sari mulai mengulum penis saya dengan mulutnya. Sessttthh…. oouuhh…. betapa nikmat rasanya… saya hanya bisa duduk bersandar selonjotan di kursi ruang tamu Mbak Sari merasakan kenikmatan duniawi itu, bukan dengan istri saya, melainkan dengan istri tetangga saya yang umurnya lebih tua dari saya.
Kuluman Mbak Sari rasanya begitu profesional dibandingkan dengan kuluman istri saya. Memang tidak bisa dibandingkan, karena umur berbeda, jam terbang Mbak Sari juga berbeda dengan jam terbang istri saya.
Saat itu saya tidak memikirkan lagi Mas Priyo maupun istri saya ketika Mbak Sari melepaskan semua pakaiannya dan dengan telanjang bulat ia naik ke atas tubuh saya yang masih duduk selonjotan di kursi.
Mbak Sari berjongkok mengangkang di pangkal paha saya lalu tangannya satu memegang penis saya yang tegak berdiri. Pelan-pelan ia mendorong lubang vaginanya ke penis saya. Blessss…. wahhh… lubang di selangkangan Mbak Sari itu terasa sempit dan kesat.
“Ohh…” desahnya.
“Nggak nyangka ya, Mbak…” kata saya.
“He..he… kamu kecewa ya, setelah tau Mbak kayak gini…?” balas Mbak Sari duduk di pangkal paha saya merangkul leher saya dengan manja. Ujung penis saya terasa seperti menekan sesuatu di dalam vagina Mbak Sari; rahim Mbak Sarikah?
“Nggaklah, Mbak!” jawab saya. “Mbak masih nikmat kok…”
“He..he… iya? Ayo kita selesaikan…” ajak Mbak Sari memegangi bahu saya dengan kedua tangannya, lalu menaik-turunkan pantatnya.
“Eittss… ohhh, Mbak…! Mmmmphh… Mbak, sedap banget, Mbak…” desis saya merasakan nikmatnya dinding vagina Mbak Sari menggesek-gesek batang penis saya naik-turun, naik-turun seperti penis saya diurut-urut.
“Ohhh… ahhh…” Mbak Sari ikut merintih. “Ayo, Maa..aarr…. puaskan Mbak…”
Merasa tidak tahan lagi, saya pun ikut menglancarkan serangan saya dari bawah. Saya sodok-sodok penis saya ke lubang vagina Mbak Sari. Sedapnya, ohhh… rasanya sampai naik ke atas ubun-ubun kepala saya.
“Truu…usss, Mar… oohh… oohhh… trussss…. Mm… mbak sudd… dah hampir ma…mau sampe….” desah Mbak Sari dengan napas terengah-engah seperti habis lari maraton.
“Kita ganti tempat saja, Mbak…” ajak saya.
Mbak Sari melepaskan jepitan vaginanya dari penis saya. Penis saya tampak basah berlumuran cairan birahi Mbak Sari yang berbau amis.
Saya tidak peduli. Saya minta Mbak Sari duduk di kursi. Saya menaikkan kedua kakinya ke atas kursi. Saya kangkang lebar pahanya dan saya terkam vaginanya dengan mulut saya.
“Adduuhhhh…. Ummaaa…arrr… ahhh…” jerit Mbak Sari ketika vaginanya saya sedot. “Oohhh… mmmmphh… ohhh… oohhh… ohhh….” Mbak Sari terus mendesah dan merintih saat lidah saya menjilat-jilat kelentitnya, menghisap-hisap biji sebesar kacang tanah itu dan menggigitnya.
Ouughhh…. Mbak Sari langsung kejang-kejang. Vaginanya ia dorong merapat ke mulut saya, arrghhh…. lalu cusssss…. cairan hangat dari vagina Mbak Sari menerjang mulut saya.
Mbak Sari orgasme sampai terkencing-kencing. Kasihan saya melihat Mbak Sari, mungkin sudah lama ia tidak merasakan kenikmatan sex seperti ini. Setelah ia orgasme kelihatan ia lega sekali seperti segala beban di tubuhnya terlepas bebas….
Saya memeluk erat Mbak Sari. Saya memasukkan lagi penis saya ke lubang vaginanya. Saya goyang maju-mudur. “Marrr… ohhh… Umarr…” desah Mbak Sari.
“Keluarkan saja lagi Mbak, kalau masih mau keluar… saya sayang sama Mbak….” kata saya terus menggoyang penis saya maju-mundur.
Pergesekan penis saya dengan vagina Mbak Sari menimbulkan kenikmatan yang tiada taranya. Saya pun menggoyang semakin cepat. Penis saya menghujam-hujam lubang vagina Mbak Sari.
Plokk… plokk… plokk… plokk….
“Ahh… ahhh… ahhh… ahhh…” jerit Mbak Sari.
Saya seperti tidak ingin berpisah dengan Mbak Sari. Ingin lengket terus di tubuh telanjangnya. Tetapi kenikmatan itu pula yang memisahkan kami yaitu ketika penis saya tidak mampu lagi menahan kenikmatan itu.
Kenikmatan itu meledak di dalam lubang vagina Mbak Sari. Crrroooootttttt——— croottttt——– croootttttt——— crroooottttt——- crooootttt——- croootttt—–
“Oooooggggghhh…. ooohhhh….. ohhhh…..” erang saya, nikmatnya luar biasa membuat saya melayang-layang untuk beberapa saat.
“Bagaimana rasanya, Mbak?” tanya saya dengan napas terengah.
“Kamu benar juga ya, Mar…. nggak sangka ya kita bisa begini….” jawab Mbak Sari.
“Namanya juga jodoh, Mbak.” balas saya, lalu saya melepaskan penis saya dari lubang vagina Mbak Sari.
Dan melihat di atas meja ada tissu, saya ambil tissu membersihkan vagina Mbak Sari yang belepotan air mani saya. “Umar….” kata Mbak Sari malu.
“Kan Mbak sudah jadi milik saya…” jawab saya mengelus-elus rambut kemaluan Mbak Sari yang hitam setelah saya bersihkan vaginanya.
Saat itu diri saya rasanya seperti berada di persimpangan jalan, mau pulang saya tidak ingin meninggalkan Mbak Sari sendirian di rumah dan pengen mengulangi percintaan ‘black street’ itu lagi, tetapi bagaimana dengan istri saya di rumah?