| Namaku Ryan. Usiaku 28 tahun. Aku akan menceritakan tentang kisah kehidupanku yang kemudian mengubah pola
pikirku dalam memahami cinta dan nafsu.
Cerita sex ini terjadi beberapa tahun yang lalu saat aku mempunyai seorang pacar yang sedang mengerjakan
skripsi guna menyelesaikan studi S1-nya. Sebagai seorang pacar aku selalu mencoba menemaninya mengerjakan
skripsi namun di sisi lain sebagai seorang karyawan aku pun harus mengutamakan pekerjaanku. Kisah ini
terjadi pada 28 Juli 2004 di suatu senja di kota K.
“Halo Ryan.. ‘Met sore” Risa pacarku meneleponku.
O iya, sebagai gambaran, pacarku cantik, wajahnya hampir mirip artis yang sering tampil di layar
televisi, bodynya sexy, sintal, montok, serta ukuran BH-nya 36 B.
“Hallo juga Risa, lagi dimana nih?”.
“Aku di rumah, eh kamu ada acara nggak?”.
“Kalau ya kenapa dan kalau nggak kenapa” .
“Aku mau minta tolong dong, papa mama kan lagi pergi ke Jakarta. Di rumah aku sendirian, aku mau ngerjain
skripsi. Mau nggak nemenin aku?”
“Kapan?”.
“Dua tahun lagi.. Gimana sih ya sore ini dong”.
“Yah kalau sore ini aku nggak bisa, aku udah janjian ama temen bisnisku untuk merancang pembuatan
proposal proyek”.
“Ya udah kalau nggak bisa aku minta temenin temen kampusku aja biar sekalian bisa diskusi”.
Aku kemudian bergegas untuk pergi dengan teman bisnisku, sebenarnya ingin sekali aku menemani Risa, namun
apa boleh buat karena aku berpikir bisnis ini kan juga untuk masa depan kami berdua, jadi nggak mungkin
aku batalkan.
Sementara Risa kemudian mengajak temennya Rico yang memang sudah kukenal untuk menemaninya mengerjakan
skripsi. Rico ini adalah sahabat Risa, teman sekampusnya. Kalau kulihat dari tatapan matanya aku tahu
betul kalau Rico itu naksir kepada Risa, apalagi memang Risa orangnya sangat friendly dan cantik lagi
sehingga siapapun lelaki pasti tak akan menolaknya ketika diajak menemani.
Acara dengan rekan bisnisku ternyata tidak berlangsung lama, karena ternyata ia ada saudaranya yang
meninggal sehingga harus segera pergi. Di satu sisi aku girang juga karena aku segera dapat menemani
kekasihku Risa. Segera kupacu mobilku menuju ke rumahnya. Sengaja aku tidak meneleponnya karena aku akan
memberi kejutan kalau aku bisa menemaninya. Terbayang wajahnya yang cantik, aku ingin memeluknya dan
segera berduaan dengannya.
Tiba-tiba di tengah jalan aku teringat kalau ia tadi sudah menelepon temannya Rico. Entah mengapa tiba-
tiba aku jadi cemburu membayangkan mereka lagi berduaan dan bercanda ria. Padahal aku biasanya tidak
merasakan ini karena aku paham betul siapa Rico.
Pukul 20.00 tepat sampailah aku di rumah Risa. Sayup-sayup kudengar orang tertawa-tawa dari dalam,
sepertinya mereka tidak menyadari ada orang yang datang. Kuurungkan niatku untuk menekan bel, aku ingin
tahu apa yang sedang mereka lakukan, sehingga aku mencoba mengintip dari jendela kaca. Kulihat mereka
lagi bercanda, apalagi Rico orangnya memang pintar melawak. Ada perasaan cemburu dalam dadaku melihat
keasyikan mereka berdua. Sesekali kulihat Risa mencubit Rico karena saking gemasnya.
Aku betul-betul tak tahan melihatnya. Langsung kubuka pintu depan rumahnya, hingga membuat mereka terkejut.
“E Ryan..”, serempak mereka mengucapkan itu melihat kedatanganku.
“Katanya garap skripsi kok malah asyik berduaan gitu?”, bentakku ke Risa, karena cemburukku yang tidak
terkontrol.
“Iya.. Kita kan lagi istirahat dulu”, jawab Risa sambil tergagap. Kulihat Rico hanya diam saja mematung.
Nampaknya ia tidak mau terlalu ikut campur karena “internal” kami.
“Kok nggak ada buku-bukunya?”, tanyaku dengan kesal.
Tanpa menunggu jawaban kemudian aku keluar sembari membanting pintu menuju mobilku yang kuparkir di
halaman. Aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa secemburu ini padahal aku juga sudah kenal baik dengan
Rico dan aku pun paham meski pun kadang Risa agak sedikit genit namun dia tidak mungkin melakukan hal
yanhg aneh-aneh dan melebihi batas.
Aku masuk ke mobilku dan ku starter mobilku, tiba-tiba Risa keluar dari rumah dan berteriak-teriak
memanggil namaku.
“Ryan.. Ryan..”, ia langsung masuk ke mobilku.
“Kamu kenapa sih Ryan kok nggak biasanya kamu begitu?”.
“gak usah banyak tanya, kan udah jelas kamu ini nggak tahu diri, aku lagi susah-susah untuk berusaha
mengerjakan bisnis untuk masa depan kita berdua tapi kamu malah enak-enakan, bermesra-mesraan dengan
Rico”.
“Kamu jangan salah paham Ryan.. Kok tega kamu menganggap aku serendah itu, aku kan hanya minta tolong
sama Rico apalagi dia yang lebih paham masalah skripsi ini.. Kamu jahat Ryan”, Risa mencoba menjelaskan
sambil menangis.
Melihatnya menangis aku menjadi iba, teringat aku akan kebaikannya, lucunya, keceriannya, bibir seksinya.
Sejenak aku diam, kemudian kurengkuh badannya dalam pelukanku.
“Tapi kamu nggak selingkuh kan sayang?”.
Risa menggeleng, kuseka air matanya, kuelus pipinya kemudian kukecup bibirnya. Ia membalas, lidah kami
saling bertautan.
“Uhh.., ogh..”, ia melenguh ketika sambil kucium bibirnya tangan bergerilya ke payudaranya.
“Uhh Ryan.. Aku sayang kamu”, ciuman lidahnya makin panas dalam mulutku, sementara tanganku terus
bergerilya pada dua buah dadanya yang montok.
Aku tahu betul kalau Risa ini paling tidak tahan ketika dadanya di sentuh, apalagi kalau putingnya di
pegang pasti langsung mengeras bagaikan tersengan listrik 3000 volt.
“Ahh.. Uh.. Ryan.. Aku nggak tahan, kita lanjutin di kamar yuk.. Gak enak kalau kelihatan orang”.
Wajah Risa memerah, nampak sekali kalau ia menahan gairah yang luar biasa. Tanpa banyak bicara langsung
kupapah Risa sambil terus berangkulan menuju kamarnya. Kulihat di ruang tengah Rico tak ada, mungkin ia
sedang di belakang. Tapi kami tak ambil pusing, langsung kubawa Risa ke kamarnya. Tanpa sempat menutup
pintu sehingga agak terbuka sedikit. Kurebahkan tubuh Risa di kasur, kuciumi bibirnya, pipinya dan tak
ingun kulepaskan.
“Ohh.. Ryan.. Uh.. Nikmat sekali”, Risa terus menggelinjang ketika kubuka bajunya.
Tersembul di depan mukaku dua buah gunung yang masih terbungkus kain meski tidak menutupi semuanya. Putih
bersih begitu indah dan menggairahkan. Kuciumi kembali ‘buah’ yang masih tertutup itu.
“Uh.. Ogh.. Uh.. Ogh..”.
Desahan suara Risa semakin menggairahkan aku untuk terus memainkan payudaranya. Perlahan kubuka kait tali
BH nya dari belakang, sedikit demi sedikit kutarik semua BH nya.
“Oh..”.
Lenguhan Risa semakin kencang. Sejenak kupandangi dua buah gunung yang sudah tak berkain lagi, tampak
putingnya yang kecoklatan mengeras tegak seolah memanggilku untuk segera menjilatnya
“Kok dipandangi aja sih.. Cium dong”.
Risa memintaku seakan tak sabar untuk segera memintaku melumat habis putingnya. Kudekatkan perlahan
kepalaku di dadanya. Kujilat-jilat kulit di sekitar putingnya sembari menggodanya untuk memberikan
sensasi yang luar biasa.
“Oh.. Oh, ogh,” Risa merintih ketika lidahku tepat berada di putingnya. Kubasahi putingnya dengan
ludahku.
“Aughh.. Ohh.. Ogh..”, rintihan dan lenguhannya makin keras saat kutarik putingnya dengan mulutku..
“Ohh.. Ambil semua Ryan.. Ambil semua.. Aku milikmu Ryan”, napas risa semakin tak beraturan menggelinjang
ke kanan ke kiri bagai cacing kepanasan.
Sementara itu akibat kelalaian kami tak menutup pintu, sepasang mata terus mengamati aktivitas yang aku
dan Risa lakukan. Di luar sepengetahuanku, Rico ternyata mengintip perbuatan kami. Memang bukan
sepenuhnya dia yang salah tapi juga karena keteledoran kami yang karena terlalu asyik tidak sempat
menutup pintu.
Aku terus mencumbu Risa, kujilat perutnya dan terus kebawah. Pelan namun pasti kubuka celana jeans Risa,
tangannya secara refleks juga ikut membantu menurunkan celananya. Terlepaslah celana jeans biru Risa,
kini yang tertinggal hanyalah celana dalam warna pink yang di dalamnya tampak gundukan hitam yang
ditumbuhi rambut ynag cukup lebat.
“Oh.. Rico..”, teriak tertahan Risa yang makin terangsang, sambil menggigit bibir menahan gelora nafsu
yang kian panas.
“CD-mu lepas sekalian yah?”
“Ehm..”, ungkap Risa sembari menggangguk, seakan tak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata.
Kini Risa telah telanjang bulat di depanku, bodynya betul-betul menggairahkan membuat ‘adik’ kecilku yang
masih tersimpan di celana berontak meminta untuk keluar ikut bergabung.
“Kamu lepasin juga dong pakaianmu.. Kan nggak adil kamu masih lengkap aku dah telanjang bulat gini”.
Tanpa banyak bicara kulepaskan seluruh pakaianku, hingga keluarlah senjataku yang telah berdiri tegak dan
bersiap menjemput mangsanya. Kutundukkan kepalaku untuk menciumi gundukan bukit kecil Risa yang ditumbuhi
hutan hitam yang lebat.
“Ohh.. Uhh.. Ugh”, teriakan Risa makin tak beraturan, apalagi saat kutemukan benda kecil bagai kacang
berwarna merah dan basah. Sejenak kupandangi kemudian kembali kusapu dengan lidahku meminum sari-sari
kacang itu dengan nikmatnya.
“Ah.. Ryan.. kamu pintar sekali, terusin Ryan.. terusin”, sambil menggelinjang tangan Risa mencari-cari
sesuatu.
Ups.. akhirnya ia dapatkan juga tongkatku yang sudah tegak.
“Oh.. Oh..”, aku pun mendesah geli ketika tongkatku dipegang tangan halusnya, perlahan tongkatku
dikocoknya.
“Uh.. Uh..”, aku semakin tak tahan merasakan sensasi yang begitu nikmat.
Tiba-tiba Risa bergerak memutar tubuhnya hingga mulutnya persis berada di ‘adik’ kecilku seolah ia mau
berdiskusi lebih jauh dengan ‘adik’ku yang gagah. Sedangkan mulutku juga tepat berada di bukit yang di
tengahnya terdapat lorong ditutup kacang. Kami bermain dengan gaya 69.
“Oh.. Uhh.. Ogh..”.
“Ah.. Uh.. Slurp.. Slurp..”, bunyi gesekan mulut dan tongkat serta mulut dan gua makin keras terdengar.
Kami asyik dengan mainan kami masing-masing hingga berlangsung sekitar 20 menit.
“Ryan.. photomemek.com Aku nggak tahan lagi, masukin dong tongkatmu ke guaku”, rengek Risa sambil terus berdiskusi
dengan tongkatku, dijilatnya tongkatku hingga licin, bahkan sesekali telornya pun ia cicipi juga.
“Ryan.. Please.. Cepetan donk.. Aku nggak tahan lagi..”.
“He eh..”, jawabku sambil terus menikmati kacangnya..
Beberapa saat kemudian kuputar badanku pada posisi semula. Risa mengangkangkan kakinya hingga gundukan
bukit itu nampak jelas sekali. Hutannya yang hitam dan rimbun membuat pemandangan tampak begitu indah,
begitu pula ‘kacang basahnya’ yang melambai-lambai. Wajahnya yang merah, bibirnya yang seksi menahan
gairah semakin menambah kecantikannya malam ini.
“Cepetan dong Ryan..”, Perlahan namun pasti kugerakkan tongkatku menuju gua yang lebat itu.
“Ouhh..”, Risa merintih saat kepala tongkatku mulai masuk kemulut gua yang sudah basah dan licin.
“Ah.. Ouh.. Ohh.”.
“Oh.. Oh.. Uhh..”.
Desahannya dan desahanku bersahutan tatkala pelan-pelan batang tongkatku masuk ke dalam gua. Sejenak
tongkat itu kutarik keluar kemudian kumasukkan lagi dengan sangat perlahan.
“Ahh.. Ouhh.. Nikmat sekali Ryan.. Ohh”.
“Aku sayang kamu Risa”.
“Aku juga Ryan.. Oh nikmat sekali.. Ohh”.
Tongkatku terus bersenam maju mundur di dalam gua Risa. Sementara itu mulutku juga terus bergerilya di
gunung kembar Risa.
“Ahh.. Ryan.. Oh.. Terus Ryan.. Dalem lagi.. Ohh”, Risa terus menggelinjang ke sana ke mari, pantatnya
juga terus bergoyang bagaikan Inul di atas panggung.
“Oh.. Oh.. Aku tak tahan lagi Ryan.. tongkatmu enak sekali, aku hampir sampai.. terus Ryan lebih keras
lagi.. Ohh”.
“Ahh.. Uhh.. Uh.. Aku juga hampir keluar sayang, dikeluarkan dimana? Di luar apa di dalam?”.
Tiba-tiba ada sesuatu lahar panas yang akan segera muntah dari tongkat kenikmatanku.
“Di dalam aja biar nikmat.. Oh.. Uh..” Cret.. Cret.. Crett..”, keluarlah lahar panas dari tongkatku.
“Ohh.. aku sampai..”, ada saat yang bersamaan Risa juga sampai pada puncaknya.
“Uhh.. Ogh..”.
Lolongan panjang kami mengakhiri pertempuran pertama yang luar biasa nikmatnya. Perlahan nafas kami
teratur kembali seperti turun dari puncak kenikmatan yang sensasional.
“Prakk..!”, tiba-tiba terdengar suara vas bunga tersenggol, aku dan Risa saling berpandangan, terkejut
sekaligus sadar kalau Rico masih ada di ruang tengah.
“Risa.. Rico kan belum pulang?”.
“Belum.. kamu sih terlalu bernafsu..”.
“Habis kamu juga sih.. rerlalu menggairahkan he he..”.
“Jangan-jangan dia lihat kita?”.
“Biarin aja deh, kan malah lebih sensasional”
“Dasar Gabrut kamu..”.
“Eh Risa, aku punya ide”.
Tiba tiba muncul dalam benakku untuk mengajak Rico ikut serta dalam permainan kami, seolah aku sudah lupa
kalau tadi sempat merasa cemburu dengan keberadaannya.
“Ide apaan?”.
“Gimana kalau Rico kita ajak sekalian main dengan kita”.
“Maksudmu?”.
“Kita ajak dia untuk bercinta bersama, kan lebih asyiik.. pasti jauh lebih nikmat”.
“Ah gila kamu.. gak mau emangnya aku cewek apaan..”.
“Bukan begitu, pasti lebih sensasional. Percayalah ini tidak akan mempengaruhi hubungan kita. It’s just
sex not love. Aku juga tetap mencintaimu”.
Sejenak Risa berpikir, mungkin ia menganggap ideku sangat gila, tapi entah kenapa tiba-tiba bulunya
merinding dan tampak wajahnya bergairah, mungkin ia membayangkan permainan tersebut. Namun ia juga tidak
mau kalau tampak menggebu menginginkan permainan itu karena bagaimana pun kami memang saling mencintai.
“Apa kamu serius Ryan?”.
“Serius”, aku coba meyakinkan Risa.
“Kamu nggak cemburu kalau aku main seks juga dengan Rico?”.
“Ya enggaklah kan aku yang minta, asalkan ada aku”.
“Kamu nggak ngambek lagi kayak tadi saat liat aku hanya bercanda dengan Rico”.
“Enggak.. percayalah.. ini mungkin malah akan membuat hubungan kita semakin dewasa”.
“Terserah kamulah” Risa akhirnya pasrah, yang penting tak mengubah apapun pada hubungan kami, karena
tiba-tiba ia pun mulai bergairah.
“Ok kalau gitu aku akan bicara ama Rico”.
Aku segera turun dari ranjang, kupakai celanaku kemudian aku keluar dari kamar. Kulihat Rico lagi merokok
di ruang tengah, dari wajahnya nampak ia sangat gelisah melihat permainan tadi, mungkin ia juga sangat
terangsang tapi tak ada pelampiasan. Kaget ia ketika melihatku melangkah ke arahnya.
“Eh Ryan..”.
“Ric.. sori ya perlakuanku tadi, aku agak emosi karena badanku lagi capek, pikiranku juga stress akibat
kerjaan”.
“Gak pa-pa kok Ryan.. aku paham, biasalah dalam setiap berhubungan, cemburu itu kan tanda sayang”,
ungkapnya sok bijak dan arif.
“Sori juga tadi kamu kami tinggal sendirian di ruang tengah”.
“Gak pa-pa kok”.
“Tapi tadi kamu lihat kan aku ngapain dengan Risa?”.
“Enggak.. aku nggak.. Tahu..” Katanya agak gugup.
“Gak usah bohong Ric.. aku nggak pa-pa kok, kita kan udah sama-sama dewasa, malah kalau kamu mau boleh
kok kalau kamu ikutan”.
“Maksudmu?”.
“Iya kalau kamu mau, kamu boleh kok ikutan”.
“Ikutan apaan?”.
“Ikutan bermain seperti yang kamu lihat tadi”.
“Apa aku nggak salah denger?”.
“Enggak.. tadi aku juga udah bicarakan ama Risa, Risa juga setuju kok, itung-itung ini sebagai tanda maaf
kami berdua, lagian kamu kan juga udah lihat semuanya”.
Rico tercenung, mungkin ia tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar, ia seolah sedang bermimpi. Tapi
aku segera menyadarkannya.
“Yuk kita ke kamar.. kasihan Risa udah menunggu lama”, kutarik tangan Rico untuk ikut ke kamar Risa.
Begitu masuk kamar, nampaklah Risa sedang telentang di tempat tidur sambil diselimuti sedikit di bagian
bawah perutnya. Rico melongo melihat pemandangan yang luar biasa, paha yang putih mulus, dada yang indah
membusung, pemandangan yang mungkin selama ini hanya ia bayangkan saat melakukan onani karena aku pun
tahu kalau memang sudah sejak lama ia sangat tertarik dan bernafsu ketika melihat Risa. Namun sejauh ini
ia cukup tahu diri karena Risa sudah ada yang punya. Tapi kini Rico melihat Risa yang betul-betul dalam
posisi menantang, atas ajakanku sendiri yang merupakan pacarnya Risa.
“Kok diem Ric, kenapa?”, sapa Risa memecahkan kesunyian.
Kulihat sebenarnya Risa agak gugup dipandangi seperti itu. Apalagi kini di depannya ada dua lelaki yang
selama ini memang dekat dengannya yang satu sahabatnya yang satu adalah pacarnya. Atau mungkin ia juga
membayangkan sebentar lagi kedua orang dekatnya itu akan menjamah tubuhnya dan memberikan kenikmatan
kepadanya. Kulihat pancaran wajahnya sangat bergairah. Sedangkan aku sendiri juga tidak tahu kenapa, saat
ini sama sekali tidak ada rasa cemburu sedikit pun, malah yang justru aku sangat terangsang menghadapi
permainan yang akan segera kami mulai.
“Yuk Ric kita mulai pestanya”, kuajak Rico segera mendekat ke Risa.
Kulepas semua baju yang ada di tubuhku, juga kuminta hal yang sama dengan Rico. Kini kami bertiga dalam
keadaan yang sama-sama telanjang. Kulirik tongkat Rico yang sudah tegak, dari sisi ukuran memang tak jauh
beda. Namun masing-masing punya kekhasan tersendiri. Punyanya agak melengkung sedangkan punyaku menjulang
dengan kokohnya.
Aku memulai duluan dengan merundukkan kepalaku pada bagian bawah perut Risa. Hutannya yang lebat kuciumi
dengan seksama.
“Ouh.. Ouh..”, Risa merintih kenikmatan.
Rico pun tidak mau ketinggalan, ia mengambil bagian pada wajah Risa. Ia ciumi bibir Risa dengan
lembutnya. Bibir sensual yang selama ini hanya ada dalam bayangannya.
“Ouh.. Ogh.. Uh..”, Risa tak tahan menahan sensasi serangan bawah atas, tubuhnya menggeliat ke sana ke
mari, pantatnya bergoyang bagai tampah yang sedang diputar-putar.
Sambil terus beradu bibir dengan Risa, tangan Rico bergerilya ke dalam payudara Risa yang ranum.
“Ouh.. Ou..”, sensasi yang Risa rasakan makin menjadi-jadi.
“Hh.. Uh..”, desah nafas kami makin tak beraturan.
Sambil terus kujilati ‘kacang basah’ Risa, kulihat Rico mengubah posisi. Tongkatnya yang melengkung itu
ia sodorkan ke mulut Risa. Dan Risa pun menyambutnya dengan antusias.
“Ouhh.. Ups..”, pelan dan pasti tongkat Rico keluar masuk dari mulut Risa.. Terkadang Risa melahapnya
hingga hampir mengenai telurnya.
“Ohh..”, kudengar erangan Rico menahan kenikmatan dari mulut yang selama ini ia bayangkan. Sementara aku
sendiri juga mengubah posisi, tongkatku yang sudah tegak kucoba untuk kumasukkan ke dalam tempat ‘kacang
basah’ Risa.
“Aauuww.. Ohh.. Auww”, Risa berteriak tertahan menahan kenikmatan tongkatku, namun tertahan suaranya oleh
tongkat Rico yang sedang maju mundur.
Kulihat wajah pacarku ini benar-benar cantik dan menggairahkan dengan dua buah tongkat yang sedang
memasuki lubang atas dan bawahnya. Kugerakkan tongkatku maju mundur mengikuti gerakan Rico yang juga maju
mundur dalam mulut Risa.
“Ohh.. Ua.. Uuaoww”, berbagai suara-suara tertahan serta desahan nafas memecah kesunyian malam itu.
Setelah berlangsung selama 10 menit, kemudian Rico menoleh ke arahku, meski ia tak bicara tapi aku
mengerti kalau ia minta ijin kepadaku untuk tukar posisi, karena ia ingin merasakan juga nikmatnya
‘kacang basah’ Risa. Kami pun bertukar tempat. Tongkat Rico di bawah, sedangkan tongkatku di mulut Risa.
“Ouhh.. Ohh..”, tongkatku maju mundur dalam mulut Risa, kadang kepalanya ia jilat, kadang batangnya
bahkan kadang seluruhnya ia telan.
“Ouhh enak sekali Ris.. punya kamu masih seret.. Ohh”, terdengar Rico meracau merasakan nikmatnya gua
Risa.
“Ris, kamu makin cantik sekali, dengan wajah penuh permen gitu.. Ohh”, matanya melotot kugodain seperti
itu, tapi makin tambah nikmat.
“Ohh Ris.. dada kamu montok sekali.. Ohh”.
“Ahh.. kamu menggairahkan sekali Ris..”.
“Auh.. Ohh”, sensasi yang kami rasakan makin menjadi.
Mata Risa berkejap-kejap tanda ia sudah mau mencapai orgasme, aku hapal betul tanda-tanda ini karena aku
sering bermain cinta dengan Risa.
“Ohh.. Ohh..”, di saat yang sama akupun juga merasakan hal serupa, akhirnya kutumpahkan seluruh lahar
panasku kemulutnya. “Crutt.. Crutt..”.
“Ups.. Ohh..”.
Mulut Risa belepotan oleh cairan lahar panasku. Sebagian ia telan karena ia mempercayai akan membuatnya
awet muda. Sedangkan Rico masih terus memompa, tapi kulihat ia pun hampir mengeluarkan lahar panasnya.
“Ohh.. Huu.. Ohhghh..”.
“Cret.. Cret.. Crret..”, tumpahlah lahar panas Rico yang ia keluarkan di perut Risa, sengaja ia tidak mau
mengeluarkan di dalam karena takut resiko pada kehamilan Risa, meski sebenarnya Risa sudah meminum obat
anti hamil.
Kami bertiga kemudian tergeletak lemas, namun puas setelah mencapai puncak bersama-sama. Karena Risa di
rumah sendirian, maka semalam kami terus berpesta. Kadang aku dengan Risa, kadang Rico dengan Risa,
kadang juga bertiga. Tapi yang pasti aku tidak dengan Rico karena aku masih waras bukan gay. Dan kulihat
Risa sangat menyukai permainan ini. Sejak saat itu hubunganku dengan Risa semakin mesra, tanpa ada rasa
cemburu tapi semakin cinta. Dan rencananya kami juga akan segera menikah. Sedangkan petualangan kami
terus berlanjut yang mungkin di lain waktu kuceritakan.- ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,